Jumat, 16 Oktober 2009

Pengantar

Didalam cerita rakyat sunda tokoh Balangantrang banyak di kenal melalui sejarah lisan namun saat ini agak sulit membedakan peran Ki Balangantrang dengan Lengser atau Cerita Sikabayan. Karena ketiganya lebih dikenal dari perilakunya yang nyeleneh namun mengandung makna kajian yang dalam melalui sindir sampir. Merekapun hanya diala bobodoranana.

Cerita Si Kabayan mengisahkan tokoh sunda yang sederhana namun hidup dijaman modern. Cerita ini banyak menampilkan kisah-kisah lucu dan cerdik. Sehingga sosok Kabayan digambar sebagai orang sederhana yang lugu dan lucu namun kadang-kadang cerdik. Jika saja para penyaji cerita pandai meramu kisahnya dengan baik, seolah-olah membawa penononton untuk melakukan intropeksi dan mentertawakan diri sendiri.

Sikabayan dikenal lewat banyol an lisan namun Lengser dikenal lewat gerakannya. Peranan Lengser saat ini banyak dikenal melalui upacara adat sunda. Kolaborasi menjaga tradisi karuhun dengan intertement. Digambarkan sebagai kakek-kakek, berkumis, gendut, jalan agak membungkuk dengan tangan dibelakang, jalan lenggak lenggok, berpakaian seperti orang jaman dulu, memakai totopong dan membawa kaneron, berperan sebagai penyambut tamu dan pembawa berita.

Sampai saat ini saya belum mendapat referensi resmi tentang peranan Lengser didalam birokrasi kerajaan sunda, apakah Lengser ini patih kerajaan ? atau punakawan seperti semar dalam cerita pewayangan ?; atau bentuk lain yang disembunyikan dari peranan aKi Balangantrang ?”. Namun memang ada juga yang menyebutkan peranan Lengser dalam kerajaan Sunda sebagai Purohita.

Balangantrang Sang Bimaraksa
Dalam catatan sejarah lisan maupun resmi, Aki Balangantrang merupakan nama lain dari Bimaraksa, senapati sekaligus Mahapatih Galuh dimasa pemerintahan Purbasora. Didalam paradigma sejarawan sunda, Bimaraksa dikatagorikan sebagai patriot Galuh. Ia terlibat langsung dalam epos perjuangan Galuh melawan kerajaan sundapura.

Perlu ada semacam penekan tentang istilah “Kerajaan Sunda” yang dimaksud dalam cerita ini, bukan suku atau etnis, atau Geografis, (mengenal sunda besar dan sunda kecil ; selat sunda dll) melainkan “Sundapura” nama negara kecil yang dijadikan lokasi penerus pemerintahan kerajaan Tarumanagara, Karena Tarumanagara pamornya merosot maka Terusbawa, menantu Linggawarman (wafat 669 M) menganggap perlu untuk mengalihkan pusat pemerintahan Tarumanaga ke Sundapura (670 M).

Terusbawa sebelum menggantikan Linggawarman sebagai raja Tarumanaga adalah raja di Sundapura. Posisi Sundapura sebelumnya merupakan salah satu kerajaan kecil dibawah kekuaasaan Tarumanagara, sama halnya dengan Galuh dan kerajaan kecil lainnya (+ 46 negara).

Pemindahan pusat pemerintahan dan penggantian nama dari Tarumanagara menjadi Sundapura (670 M), memicu Wretikandayun untuk memisahkan Galuh dan Negara-negara kecil disekitarnya dari Sundapura.

Namun Terusbawa menyadari posisinya dan memilih jalan damai, maka Galuh didiamkan untuk bediri sendiri lepas dari Kerjaan Sundapura. Mengenai batas wilayah Galuh dan Sundapura disepakati dibatasi oleh Sungai Citarum. Galuh kemudian dikenal pula dengan sebutan Parahiyangan.

Jika dilihat dari batas Kerajaan Tarumanagara yang mendasarkan pada catatan sejarah jawa barat, pada saat Purnawarman Wafat, terdapat 46 kerajaan yang ada dibawahnya. Istilah “tungtung sunda” dalam peta Indonesia sekarang dapat meliputi Selat Sunda dengan Kali Serayu di Jawa Tengah bagian selatan dan Kali Brebes (Cipamali) di Jawa Tengah bagian utara.

Peranan Mahapatih Bimaraksa

Peranan aKi Balangantrang dalam sejarah lisan lebih dikenal melalui cerita Ciung Wanara, berperan sebagai pengasuh Ciung Wanara. Dikisahkan pasangan Aki dan Nini Balangantrang telah lama merindukan seorang anak, hingga suatu malam ia bermimpi kejatuhan bulan. Mimpi itupun ditafsirkan, : ia akan menerima rejeki. Malam itu juga Aki Balangantrang membawa kecrikan (jala penangkapan ikan) kesungai Citanduy.

Betapa gembiranya Aki Balangantrang menemukan ranjang emas yang isinya sesosok bayi mungil, ditemani sebutir telur ayam. Bayipun dirawat hingga dewasa dan diberi nama “Ciung Wanara”. Sedangkan telur ayam kemudian ditetaskan dan jadilah “Hayum aduan”. Kemudian yang tak kalah hebatnya adalah peranan sang ayam yang dijadikan taruhan. Konon kabar dari sang juru pantun, ayam Ciung Wanara tersebut tidak terkalahkan, berkat ayam adu ini kemudian Ciung Wanara dapat menerima tahta galuh.

Dalam Babad Pajajaran yang menjadi pengasuh Ciung Wanara adalah Ki Anjali, pemilik panday besi - pengolah besi untuk berbagai keperluan perkakas dari besi, termasuk senjata tajam. Ki Anjali disebut-sebut juga sebagai orang yang memperkenalkan Ciung Wanara kepada lingkungan Kerajaan Galuh.

Ada juga sumber lain yang mengabarkan, bahwa Ki Anjali adalah partisan Galuh pendukung Ki Balangantrang, bertugas membina masa rakyat di panday besinya untuk melakukan pemberontakan terhadap Sundapura.

Selain eksistensi para tokoh diatas disebutkan peranan Banga atau Haryang Banga yang umurnya dianggap lebih tua dari Ciung Wanara. Mungkin cerita ini agak “kasilih” dengan cerita Lutung Kasarung, karena dalam cerita ini ada juga disebut eksistensi wanara (kera). Sekalipun demikian, memang ada persamaan ending dari ceritanya, yakni Ciung Wanara atau Manarah menjadi raja di Galuh menggantikan Tamperan.

Sebenarnya kita tidak dapat menyalahkan para petutur lisan ini, yang sering hiperbol atau warokti dalam menuturkan kisahnya, bahkan membiarkan hayalannya (cittanung maya) jauh membumbung meninggalkan kesejatian sejarah. Selain diatas, para petutur biasa juga tidak mengenal adanya batas logika, kita masih perlu menafsirkan hingga sesak dengan pemaknaan.

Apapun masalahnya, patut juga diberikan apresiasi, jika saja tidak ada peranan para petutur lisan, seperti juru pantun, maka kitapun menjadi kehilangan jejak sejarah, bakhan bisa jadi kita tidak memiliki bahan dasar untuk menemukan sejarah.(*)


Lanjut ke masa pemberontakan Purbasora ...........



Dari berbagai sumber

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960