Senin, 28 April 2008

SILIHWANGI

Mengisahkan sejarah Siliwangi seperti mudah namun agak rumit, meningingat banyak pesan-pesan para petutur (tradisi lisan) yang menyesuaikan dengan semangat nilai-nilai yang diyakininya benar. Suatu hal yang mungkin menyebabkan kerancuan, antara lain adanya perubahan "ageman" urang sunda, dari tradisi buhun menjadi pemeluk agama yang sekarang. Ageman yang dikenal dengan istilah "Sunda Wiwitan" tak diakui pula sebagai agama, sama nasibnya dengan agama asli Batak, Nias, Suku Ibu dan Kaharingan. Mungkin karena kecintaan dan rasa kagumnya, para petutur seolah-olah tidak ikhlas jika "Silihwangi" berbeda agama dengan para petuturnya. Selanjutnya dalam Islam dan Sunda dalam mitos.



Antara Mitos dan Kebenaran Sejarah

------------------------------------

Sejarah adalah sejarah, suatu cermin yang dapat memantulkan kearifan masa lalu. Kita bisa mengambil nilai-nilainya yang universal. tanpa harus merubah keyakinan yang kita miliki. Mungkin kita bisa mengambil himah dari pesan Galunggung : Hana nguni hana mangke - Tan hana nguni tan hana mangke - Aya ma baheula hanteu teu ayeuna - Henteu ma baheula henteu teu ayeuna - Hana tunggak hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna ..... Tiada masa kini tanpa ada masa lalu - masa kini adalah peninggalan masa lalu.


Kerancuan yang paling nyata dapat ditemukan dari cara pandang para pecinta supranatural. dalam hal ini Silihwangi menjadi sangat mistis. Saya masih sering mendengar cerita "urang sunda" nu ngumbara didaerah transmigrasi. Mereka merasa di jenguk Prabu Silihwangi ketika pagi hari melihat bekas tapak harimau. Memang nampaknya berlebihan, tapi inipun ada alasannya, menafsirkan dari uga : "Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna".


Sebagai rasa hormat dan kekaguman, nama Silihwangi banyak diabadikan didalam berbagai ragam, dari nama jalan raya, lapangan, gedung bahkan, kesatuan, komunitas dan lembaga pendidikan. Di Jawa Barat nama pasukan yang selalu membawa nama harum diberi nama Siliwangi. Konon kabar nama Siliwangi memberikan semangat bagi tentara yang terkenal pemberani dan pantang menyerah, bahkan dalam penumpasan pemberontakan dijaman orla, dapat memberikan posisi menang selangkah di banding lawan-lawannya ketika mendengar Pasukan Divisi Siliwangi. Jadi tidak heran jika Pasukan Elite Angkatan Darat yang sekarang dikenal dengan nama Kopasus lahir dari haribaan Divisi Siliwangi.


Dalam perkembangannya, keharuman Pasuka
n Siliwangi yang menyatu dengan semangat kebesaran Prabu Siliwangi sangat dimasygulkan masyarakat sunda. Bagi yang sedikit melek politik nama ini dimanfaatkan untuk ikut mendongkrak nama organisasi politik atau ormas. Karena nama Siliwangi memiliki daya magnet dan keagungan yang meniscayakan dihormati masyarakat sunda, Jadi cukup beralasan jika nama Silihwangi digunakan pula sebagai Jargon pemersatu dan pemikatnya.


Organisasi yang menggunakan nama Siliwangi didalam Barisan Muda Jawa Barat, seperti Angkatan Muda Siliwangi (AMS) ; Gabungan Inisiatif Anak Siliwangi (GIBAS), namun sebenarnya agak kurang sreg jika nama Siliwangi digunakan hanya untuk gagah-gagahan atau menakuti-nakuti rakyat untuk mendukung salah satu organisasi politik ataupun organisasi masa. Karena Siliwangi milik semua lapisan masyarakat, tanpa mengenal golongan atau kelompok manapun. Sehingga dikhawatirkan nama Siliwangi menjadi tidak seharum asal mula gelar Silihwangi itu sendiri.


Situs "Silihwangi"


Para mahasiswa Jawa Barat dari resimen Mahawarman sebelum dilikwidasi jadi Menwa dan berubah menjadi baret ungu (semula biru) sangat bangga ketika dilengan kanannya masih berlambangkan Siliwangi. Seolah-olah menjadi jaga baya dari Negara Indonesia, dari sisi sebagai pengamal Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun sebagai Cadnas yang trampil dan sigap dalam olah fisik dan keprajuritan, banyak yang mendapat piagam "Bintang Seroja" karena cacat ketika turut dalam pasukan membebaskan timor timur. Semangat tersebut memiliki, yakni : "Widya Castrena Dharma Sidha: : “Dengan ilmu dan senjata kita sempurnakan kearah yang lebih baik”.



Siapa "Prabu Siliwangi ?"

Gelar Siliwangi didalam paradigma rakyat kebanyakan yang "taram-taram" dalam mengkaji sejarah diberikan kepada seluruh raja-raja Pajajaran. Namun ada yang memberikan Gelar Prabu Silihwangi kepada tiga raja Pajajaran, yakni: Rakean Mundinglaya - Siliwangi I ; Rakean Mundingwangi - Siliwangi II ; Rakean Mungingsari/ mundingkawati - Siliwangi III. Karena ketiganya memiliki gelar Sri Baduga (Sri Paduka) dan menguasai Sunda dan Galuh.

Berdasarkan analisa catatan sejarah resmi, yang patut dan tepat bernama Prabu Silihwangi adalah Sri Baduga (Prasasti Batutulis). Ketika masih kecil bernama Pamanahrasa, kemudian setelah menjadi Raja di Galuh bernama Jayadewata. Ia cucu dari Prabu Wastukancana (Prabu Wangisuta). Sedangkan Wastukancana putra dari Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur pada peristiwa Bubat.

Menurut Naskah Wangsakerta : Gelar Prabu Maharaja Lingga Buana sebagai "Prabu Wangi" diberikan karena kemasyhuran dan keadilannya selama memimpin negara. Selain itu ia dianggap sangat berprinsip ketika menghadapi peristiwa bubat.

Dalam Kidung Sundayana ia mengikrarkan sumpah bubat, yang isinya : “Nihan ta wuwusna rudiarana iking bhubat sabha,naming ksatrya sunda tan atemahan ring nagara pada jaya mami.”“ (Najan banjir getih, bedah di palagan Bubat, cadu ksatrya Sunda ancur ajen diri di lemahcai sorangan). Sama halnya dengan Lingga Buana, Jaya Dewata atau Sri Baduga sangat dicintai rakyatnya, membawa Negara pada kondisi yang adil dan makmur, maka iapun diberi gelar Silihwangi. “Silih” berarti pengganti (dari Prabu Wangi).

Nama Siliwangi sebenarnya sudah ada dalam cerita pantun ketika Sri Baduga masih jumeneng, ditulis dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Cerita ini banyak menceritakan tentang Siliwangi menjadi raja di Pajajaran. Menurut para akhli sejarah sunda hal ini menunjukan Sri Baduga mempunyai kekuasaan dan kemasyhuran yang sama dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi. Jika dihubungkan dengan tradisi sunda lama, rakyat sangat segan atau ada semacam larangan untuk menyebut raja yang sebenarnya,. Dalam tradisi “menak” sunda, memanggil nama orang yang dihormati dengan sebutan namanya langsung dianggap tidak sopan – “belegug”. Jadi wajar jika para juru pantun menggantikan dengan sebutan Silihwangi. Nama Siliwangi kemudian menjadi sangat populer ditelinga "Urang Sunda".

Tafsiran diatas sejalan dengan pendapat yang tertulis dalam Naskah Wangsakerta, yang menyebutkan : Urang Sunda dan Urang Cirebon serta urang jawa kulon (barat) menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Cerita lainnya dapat dihubungkan dengan Carita Parahiyangan, : Niskala Wastu Kancana adalah "seuweu" Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga dalam bahasa aslinya : ......... putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun. Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.


Masalah lainnya, : mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dan mertuanya yaitu susuk tunggal tidak diberi gelar Sri Baduga ?. Hemat saya dimungkinkan karena Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, demikian pula Susuk Tunggal hanya menguasai Sunda, namun Jayadewata menguasai Sunda dan Galuh, sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kancana. Jadi wajar jika Sri Baduga dianggap "silih" (pengganti) dari Prabu Wastu Kancana dan raja di tataran sunda.

Didalam prasasti batutulis menyebutkan Sri Baduga dinobatkan dua kali, pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala), bergelar Prabu Guru Dewapranata. Kedua ketika menerima Tahta Kerajaan Sunda Susuktunggal (mertuanya). Dengan peristiwa statusnya sebagai penguasa Sunda dan Galuh (sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kencana), maka dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.


Prasasti Batu Tulis


Menurut Saleh Danasasmita yang saya copas dari buku “Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi” yang diterbitkan tahun 2003, Bandung, Kiblat Buku Utama, prasasti Batu tulis menceritakan, sbb :


1. 0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu

2. diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri

3. baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-

4. wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-

5. kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu

6. ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-

7. la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga

8. rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-

9. wa '(m)ban bumi 0 0


Prasasti Batutulis menyebutkan pula bahwa Sri Baduga Maharaja dilantik menjadi raja dua kali. Pertama kali pada tahun 1420 M di Karaton Kawali Karajaan Galuh, menggantikan ayahnya dan diberi gelar Prabu Dewataprana. Keduanya dilakukan di Pakuan ibu kota karajaan Sunda, menggantikan Prabu Susuk Tunggal, Dewa Niskala mertuanya. Dengan demikian Sri Baduga Maharaja yang ditafsirkan sebagai Prabu Siliwangi menjadi raja dari dua Negara sekaligus, sehingga wajar jika ia sangat kuat membenam dibenak masyarakat sunda sebagai raja sunda.


Didalam cerita lainnya, ketika masih kecil dikenal dengan sebutan Sang Pamanahrasa kemudian menjadi Pangeran Jayadewata, ketika dinobatkan sebagai raja bergelar Sri Baduga Maharaja. Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja pada tahun 1404 Saka atau 1482 M. dan meninggal dunia pada tahun 1445 Saka atau 1521 M. Konon kabar dikebumikan di daerah Rancamaya, yang saat ini dijadikan pemukiman rumah mewah. Selanjutnya digantikan oleh Surawisesa.



Siliwangi dalam Naskah

---------------------------------

Kemudian dalam naskah sejarah yang pertama menyebut-nyebut Siliwangi ditemukan dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) dan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) yang disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, menerangkan bahwa Prabu Siliwangi adalah putra Prabu Anggalarang dari Galuh yang pernah mendiami Keraton Surawisesa.


Berita besar yang menceritakan kemasyhuran Siliwangi terdapat juga dalam catatan portugis yang dibuat Tome Pires. Mereka menuliskan bahwa Kerajaan Sunda diperintah secara adil dan masyarakatnya dikenal santun dan jujur. Kegiatan perdagangan Pajajaran dengan Malaka pada waktu itu dapat menembus hingga ke Maladewa. Prabu Siliwangi memimpin Pakuan Pajajaran selama 39 tahun.


Kebijakan lainnya yang dilakukan Sri Baduga yang dianggap paling popular saat itu yakni membebaskan rakyat dari pajak dan menetapkan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya, suatu daerah yang dianggap suci, sama halnya dengan sebutan desa perdikan (Baca : Kolom Kabuyutan). Hal ini tercantum didalam Piagam-piagam Sri Baduga yang "piteket" – perintah langsung.


Dari kisah diatas ada beberapa yang bisa disimpulkan, terutama yang terkait dengan cita-cita akhir dari BK untuk dapat dimakamkan di daerah Bogor bahkan istananyapun diberi nama “Hing Puri Sang Bimasakti”, yang artinya hampir sama dengan nama keraton Sri Baduga Maharaja di Bogor, yakni Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.


Konon kabar pula, istilah Pajajaran bukan hanya berasal dari nama pohon paku yang berjajar, namun ditafsirkan dari adanya sikap raja Pajajaran yang sangat egaliter - sajajar teu mandang darajat - kalawan teun ngabeda-bedakeun somah jeung menak, dan tidak dikenal adanya kasta dalam kehidupan masyarakat Pajajaran. Jika saja di wilayah ini dikenal adanya tingkatan "darajat manusa", hal tersebut setelah runtuhnya Pajajaran dan kasilihnya Raja Sumedang menjadi hanya Kabupaten dari Mataram.


Mangga urang lenyepan kalawan dipedar langkung tebih deui. (***)







2 komentar:

Iyus' Blog Sukabumi mengatakan...

bermanfaat bagi saya,,trims

Unknown mengatakan...

sae.... :)

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960