Ali Sadikin, lahir di Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat, pada tanggal 7 Juli 1927, meninggal di Singapura pada
tanggal 20 Mei 2008, ia adalah seorang Letnan Jenderal Korps Marinir yang
ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Jakarta pada tahun pada tahun
1966. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Laut,
Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen
Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Ali Sadikin menjadi gubernur
yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Karena itu ia disapa akrab oleh
penduduk kota Jakarta dengan panggilan Bang Ali, sementara istrinya, Ny. Nani
Sadikin, seorang dokter gigi, disapa Mpok Nani.
Ali Sadikin adalah gubernur yang
sangat berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan
yang modern. Di bawah kepemimpinannya Jakarta mengalami banyak perubahan karena
proyek-proyek pembangunan buah pikiran Bang Ali, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun
Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman
Ria Remaja, kota satelit Pluit di Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di
kawasan Condet, dll. Bang Ali juga mencetuskan pesta rakyat setiap tahun pada
hari jadi kota Jakarta, 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya
Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng
Betawi, dsb.
Ia juga sempat memberikan
perhatian kepada kehidupan para artis lanjut usia di kota Jakarta yang saat itu
banyak bermukim di daerah Tangki, sehingga daerah tersebut dinamai Tangkiwood. Selain
itu, Bang Ali juga menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang saat itu lebih
dikenal dengan nama Jakarta Fair, sebagai sarana hiburan dan promosi dagang
industri barang dan jasa dari seluruh tanah air, bahkan juga dari luar negeri.
Ali Sadikin berhasil memperbaiki sarana transportasi di Jakarta dengan
mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya, serta membangun halte
(tempat menunggu) bus yang nyaman.
Di bawah pimpinan Bang Ali,
Jakarta berkali-kali menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) yang
mengantarkan kontingen DKI Jakarta menjadi juara umum selama berkali-kali.
Salah satu kebijakan Bang Ali
yang kontroversial adalah mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab
malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut
pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak
sebagai lokalisasi. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang
dan None Jakarta. Masa jabatan Ali Sadikin berakhir pada tahun 1977, dan ia
digantikan oleh Letjen. Tjokropranolo.
Setelah berhenti dari jabatannya
sebagai gubernur, Ali Sadikin tetap aktif dalam menyumbangkan
pikiran-pikirannya untuk pembangunan kota Jakarta dan negara Indonesia. Hal ini
membawanya kepada posisi kritis sebagai anggota Petisi 50, sebuah kelompok yang
terdiri dari tokoh-tokoh militer dan swasta yang kritis terhadap pemerintahan
mantan Presiden Soeharto.
Bang Ali meninggal di Singapura
pada hari Selasa, 20 Mei 2008. Dia meninggalkan lima orang anak lelaki dan istri
keduanya yang ia nikahi setelah Nani terlebih dahulu meninggal mendahuluinya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, anak sulung mantan presiden Soeharto, Siti
Hardijanti Rukmana turut hadir melayat ke rumah duka. Jenazahnya dimakamkan di TPU
Tanah Kusir.
Ali sadikin dikenal sebagai orang
yang konsisten, bahkan diusia senjanya masih semangat untuk membicarakan
persoalan negara dan rakyat, ia pun dikenal sebagai sosok yang cinta tanah air,
sebagaimana terlihat dalam upacara penganugrahan Bintang Maha Putra Adipradana,
walaupun kakinya sudah gemetar, namun ia tetap berdiri.
Bang Ali selama memimpin Jakarta
sering pula menimbulkan beberapa kontroversi, namun sangat menguntungkan bagi
masyarakat Jakarta. Sebelum tutup usia, Bang Ali masih sempat melontarkan
kekecewaannya, karena para penerusnya banyak yang melupakan program yang dibuat
oleh gubernur sebelumnya. Banyak fasilitas umum yang hilang, seperti
waduk-waduk yang hilang di Bogor, menyebabkan Jakarta kebanjiran. Banyak tanah-tanah
dibangun real estate, tanpa mempedulikan kondisi lingkungan, bahkan Taman
Ismail Marjuki yang dicanangkannya sebagai Hollywood Indonesia, Gelanggang
Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro, kini berubah menjadi pertokoan. Dahulu
dibangun balai rakyat disetiap kecamatan, saat ini sudah beralih fungsi. Tidak
hanya itu, Bang Ali pun banyak mengkritik tentang mahalnya biaya Pemilu,
ketidak adilan yang dilalukan para penguasa.
Mengenai Bang Ali bagi masyarakat
Jakarta tentunya mengenang pula sosok pemimpin yang tegas, berwibawa dan
konsisten. Inilah yang menyebabkan masyarakat Jakarta tidak sangat mencintai
Ali Sadikin.
Disadur dari Wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Sadikin.