Jumat, 16 Oktober 2009

Masa Purbasora


Jika ditilik dari cikal bakal raja-raja Galuh, menurut Pustaka Raja Nusantara, pada umumnya dikenal dari kepanditaan dan kesalehannya dalam memegang “tetekon agama jeung dari gama”. Hal ini tidak heran karena sejarah leluhur pendiri Galuh berasal dari Kendan, yakni “Resiguru Manikmaya”.

Kekuasaan di Kendan ia dapatkan setelah menikah dengan putri Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara. Sehingga wajar jika dalam cerita rakyat sekitar Galuh, pemihakan terhadap raja-raja yang saleh (minandita) lebih dihormati ketimbang raja-raja yang hanya mengurusi tahta. Sedangkan wilayah Galuh sendiri lebih dikenal dengan sebutan Parahyangan (Para Hyang)

Galuh didirikan oleh Wretikandayun setelah membebaskan diri, tanpa darah dari Sundapura (670 M). Wretikandayun memiliki tiga orang putra, yakni Sempakwaja, Jantaka dan Mandiminyak. Hanya karena Sempakwaja giginya ompong dan Jantaka memiliki Hernia maka keduanya dianggap tidak berhak mewarisi tahta Galuh. Wretikandayun wafat tahun 702 M dalam usia 111 tahun.

Sepeninggal Wretikandayun, tahta Galuh diserahkan kepada Mandiminyak, anak bungsunya. Dalam catatan sejarah Mandiminyak disebut-sebut memiliki dua orang putra, yakni Bratasenawa atau Sena dan Sanaha. Sena merupakan anak hasil perselingkuhannya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja. Sanaha anak dari Parwati putri pasangan Kertikeyasinga dengan Ratu Sima. Kemudian Sena dan Sanaha (saudara se ayah) melakukan pernikahan dan melahirkan Sanjaya.

Sebelum menjadi raja galuh , Mandiminyak bersama istrinya pada tahun 695 M telah memerintah Mataram Kuno, pecahan dari Kalingga. Mandiminyak, setelah wafat digantikan Bratasenawa (709M) anak dari Rabbabu.

Memang peristiwa kelahiran Sena di Galuh dianggap aib besar. Untuk mendingin kan suasana Wretikandayun terpaksa harus memisahkan Mandiminyak dari Galuh dan menikahkannya dengan putri dari kerajaan kalingga.

Berikut ini saya cuplik dari Carita Parahyangan :

Carek Rahiang Sempakwaja:

"Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea."
Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.
"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.


Pemberontakan Pertama
Cerita yang sering hilang dari alurnya adalah alasan para keturunan Wretikandayun lainnya (Purbasora dan Bimaraksa) melakukan pemberontakan terhadap Bratasenawa yang termasuk keluarganya sendiri. Hal ini dimungkinkan jika dilihat dari dua alasan.

Pertama, keturunan Sempakwaja (Purbasora) merasa lebih berhak menggantikan tahta Wretikandayun, mengingat Sempakwaja anak pertama Wretikandayun. Sedangkan Bimaraksa, anak jantaka merupakan menantu dari Purbasora, sehingga wajar jika Bimarksa memihak Purbasora.


Kedua dapat saja disebabkan oleh asal-usul kelahiran Sena dan perilaku Mandiminyak yang dianggap tidak lajim oleh keturunan Wretikandayun lainnya. Perilaku menyimpang ini didalam sejarah raja-raja tatar sunda selalu diberi cap kurang baik. Selain hal tersebut, dilihat dari kesejarahan Galuh yang didirikan oleh seorang resi, mereka lebih menghormati raja-raja yang minandita. Disini ada semacam pesan moral yang terkait dengan masalah (bibit, bobit, bebet).

Dalam cerita yang beredar diluar Galuh, Sena memang dikenal sebagai orang alim namun kurang mendapat sambutan lingkungan keluarga Galuh, antara lain disebabkan sirsilah kelahiran diatasnya. Kekurang nyamanan lingkungan Galuh menyulut pemberontakan terhadapnya sehingga pada 716 M Sena dijatuhkan dari takhtanya, akibat pemberontakan yang dipimpin Purbasora.

Keberhasilan Purbasora tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan Bimaraksa. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan Bhayangkara, balabantuan dari Indraprahasta (kerajaannya terletak di Cirebon Girang). Bimaraksa dikenal pula sebagai senapati yang akhli memainkan berbagai jenis senjata dan akhli strategi perang. Mengingat peran Bimaraksa yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.

Sekalipun tidak sebanyak bahasan untuk Sanjaya, carita Parahyangan menceritakan perihal suksesi di Galuh, sebagai berikut :

Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.


Keberpihakan Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh. Disinilah mulai terbentuk epos aki Balangantrang ((**)

Lanjut ke masa Sanjaya.


Dari berbagai sumber.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960