Minggu, 09 Mei 2010

Masyarakat Tradisional tak Tertarik Buku Sejarah

SEJARAH masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya.

Saya gemar baca buku sejarah. Walau tidak melekat seluruhnya, hampir semua paparan sejarah yang ditulis para ahli sejarah resmi (maksudnya para sarjana sejarah yang diakui pemerintah), manakala saya sampaikan lagi kepada masyarakat tradisional pencinta sejarah, malah banyak yang tidak klop. Maksudnya, apa yang ditulis di buku sejarah karya para sarjana dengan "pengetahuan" yang "dimiliki" masyarakat tradisional, tidak seluruhnya sama. Bahkan untuk hal-hal yang sangat prinsipil, jauh berbeda.

Sebagai contoh, manakala saya baca di berbagai buku sejarah yang ditulis ilmuwan resmi, secuil pun tidak memaparkan siapa Kian Santang itu. Namun tokoh itu, demikian hidup di dalam benak masyarakat tradisional. Bahwa Kian Santang itu putra Prabu Siliwangi, kemudian kerjanya mengejar-ngejar sang ayahanda lantaran sang ayah tak mau berganti agama dari non-Islam ke Islam, demikian amat dipercayanya di mana-mana. Sebagai pertanda amat diyakini, di beberapa daerah akan didapat "bekas-bekas" pengejaran Kean Santang. Sejak dari Pakuan (Bogor), hingga ke Hutan Sancang (Garut Selatan), banyak didapat petilasan dari peristiwa kejar-mengejar ini. Dari mulai Nagara Padang (wilayah Ciwidey) hingga Cigegejlig (Cikancung Cicalengka), terdapat "liang pangparatan" bekas Prabu Siliwangi menerobos bumi saat menghindai pengejaran sang anak.

Di beberapa masyarakat tradisional, ada yang memercayai bahwa Patih Jayaperkosa yang mengabdi ke Sumedanglarang, adalah dulunya Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran. Sesuatu hal yang tidak akan dipercaya oleh para sejarawan resmi. Menurut "penelitian" para sejarawan, ada rentang waktu berbeda antara Prabu Surawisesa dengan Patih Jayaperkosa dan diakhiri dengan komentar nyinyir: "Masa dari seorang raja turun menjadi sekadar patih?"

Menurut catatan resmi, Dipati Ukur ditangkap orang-orang Mataram dan dihukum mati di Kartasura karena dosa-dosanya yang telah mengkhianati Sultan Agung lantaran gagal dalam melawan VOC. Namun masyarakat tradisional punya keyakinan tersendiri, bahwa Dipati Ukur tidak pernah tertangkap dan apalagi dibawa ke Mataram. Sebagai bukti, di beberapa wilayah, mereka tunjukkan ada hampir 42 "makam" Dipati Ukur. Namun, dari ke-42 gundukan tanah itu, hanya satu makam beneran, sisanya adalah makam-makam penghilang jejak supaya musuh menganggap Dipati Ukur memang telah wafat.

Kejadian yang sama juga dilalui Pangeran Jayakarta di Kota Jakarta. Ada lebih satu makam yang dimiliki sang pangeran, semua hanya untuk menghilangkan jejak. Lalu di manakah makam Prabu Siliwangi dan Prabu Seda (raja terakhir Pajajaran) berada? Catatan sejarah resmi tidak menyebutkan secara pasti namun masyarakat tradisional sanggup tunjukkan bahwa kedua makam tokoh penting masa lalu itu ada di sebuah gunung di wilayah Karaha, Malangbong, Garut. Ha!

Di samping banyak "data" sejarah yang tidak sama, sejarawan resmi kayanya juga "kalah" langkah dalam memunguti berbagai peristiwa lama. Penyebabnya, mereka terbentur oleh berbagai rambu yang diisaratkan oleh disiplin ilmu di mana mereka belajar. Seperti apa kata almarhum Drs. Halwany Michrob ketika bertemu penulis beberapa tahun silam. Menurut almarhun, sesuatu bisa bernilai sejarah bila memiliki data tertulis dan data arkeologi. Bila kedua syarat ini tidak dipenuhi, peristiwa apa pun yang dipercaya masyarakat tak bisa disebut sebagai sejarah.

Oleh karena itu, kala itu (1980-an) Pemkab Bogor meminta pendapat mengenai pro dan kontra status Rancamaya (apakah tetap dianggap sebagai wilayah situs atau boleh disulap jadi perumahan mewah dan lapangan golf). Adalah salah satunya almarhum Drs. Halwany Michrob yang menyetujui Rancamaya boleh dibangun apa pun sebab tak didapat bukti bahwa di sana ada situs. Tentu ini bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa Rancamaya adalah wilayah suci milik Pajajaran sebab Prabu Siliwangi kerap lakukan ritual di puncak bukit Rancamaya.

Ketika Candi Bojongmenje di Rancaekek tergali, arkeolog bilang bahwa arsitektur Candi Bojongmenje sama persis dengan candi-candi yang ada di Pegunungan Dieng namun usia Candi Bojongmenje lebih tua. Penelitian berhenti hingga di sini. Sementara masyarakat tradisional sudah lama tahu kalau arsitek Candi Bojongmenje dan candi-candi di Pegunungan Dieng adalah sama, yaitu orang Sunda. Mengapa, sebab baik di Bojongmenje maupun di Dieng, yang punya gawe adalah Prabu Senna.

Senna itu anaknya Prabu Mandi Minyak dari Galuh. Dia mengembara ke wilayah timur, beristrikan Sanaha putri Raja Mataram Kuna dan Senna kemudian menjadi raja di Mataram Kuna (716-732 Masehi). Lantaran Senna beragama Hindu dan di tanah kelahirannya bikin candi Hindu kurang mendapat dukungan pemerintah (di Sunda Hindu tidak dominan dan tak jadi agama negara), Senna melampiaskan ambisinya untuk kembali bikin candi serupa di Pegunungan Dieng.

"Kekayaan pengetahuan" masyarakat tradisional, sepertinya jauh lebih banyak ketimbang apa yang dihasilkan ilmuwan sejarah resmi. Sebagai "bukti", manakala sejarawan resmi tak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan di mana dan bagaimana bentuk Keraton Pajajaran, maka masyarakat tradisional sudah memiliki pengetahuan akan kekayaan budaya masa lalu, semisal pengetahuan arsitektur masa lalu.

Jadi, kalau ada yang berminat mengembalikan kebesaran masa lalu Pajajaran, orang sudah bisa bikin replikanya. Keraton terbuat dari kayu berarsitektur megah ini, lengkap dengan konsep standar keraton di tatar Sunda, seperti di mana letak lawang kori, lawang gintung hingga lawang saketeng. Di mana letak bale raja, bale ksatrian, bale watangan, bale paseban hingga ruang belakang tempat menyimpan leuit salawe jajar. Pengetahuan perbatikan (batik Pajajaran), pengetahuan kemiliteran (ilmu bela diri Pajajaran, taktik perang kolosal Pasukan Pajajaran), sampai mengetahui di mana akademi kemiliteran orang-orang Pajajaran dan siapa saja rektor serta dosen perguruan tinggi militer Pajajaran kala itu, catatannya telah dimiliki para "ilmuwan" tradisional.

Ilmuwan resmi tak banyak bercerita tentang perjuangan Haji Prawatasari dari Jampang, sementara masyarakat tradisional demikian hapalnya. Bahwa taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi.

Manakala penulis sejarah resmi tak banyak tahu tentang keberadaan Ki Tanu Jiwa, peletak dasar Kota Bogor, masyarakat tradisional sejak dulu telah memiliki catatannya. Kata Ucang Sumardi pemilik buku kuna tentang catatan sejarah lokal, disebutkan bahwa Ki Tanu Jiwa dari Sumedanglarang datang ke wilayah hutan Pajajaran bukan ingin "ulun kumawula" kepada VOC, melainkan lantaran rindu dalam penelusuran sejarah karuhun-nya. Mengapa begitu, sebab Ki Tanu Jiwa yang kemudian menjadi bupati pertama Kabupaten Bogor adalah putra Santoan Peregong Jaya.

Santoan Peregong Jaya salah satu putra Aji Mantri (makamnya ada di Cimalaka) dan Aji Mantri adalah putra mahkota Prabu Ragamulya, raja Pajajaran terakhir. Namun Aji Mantri tak dibolehkan terlibat urusan politik, maka dia diperintahkan ayahandanya menyerahkan mahkota Pajajaran Binokasih Sanghyang Pake kepada Prabu Geusan Ulun. Dengan demikian, Ki Tanu Jiwa yang di catatan sejarah resmi luput dari pengamatan khusus adalah buyut dari raja Pajajaran terakhir.

Barangkali penyebab kesemuanya lantaran masyarakat tradisional adalah "pelintas-batas" yang andal. Kalau ilmuwan sejarah banyak dihadang rambu-rambu etika keilmuan, masyarakat tradisional boleh dikata tak mengenal rambu, makanya dia bisa melintas dan menyebrangi apa pun."Tak ada orang yang sanggup menengok ke masa depan sebab itu meramal namanya. Namun, untuk menengok ke masa silam, amat dimungkinkan," tutur seorang dari kalangan tradisional sejarah.

Karena "kekayaan pengetahuan" sang pelintas-batas bisa dianggap lebih lengkap, maka masyarakat lebih dekat kepada mereka ketimbang kepada sejarawan resmi. Terbukti, banyak buku yang dihasilkan kalangan ilmuwan sejarah, namun sedikit sekali yang dibaca oleh mereka. Bisa lantaran buku dengan biaya penelitian mahal itu susah didapat tapi bisa juga lantaran tak tertarik untuk membacanya.

Ada juga yang menganggap bahwa kalangan ilmuwan bekerja tidak membuka fakta yang seutuhnya lantaran berbagai kepentingan, semisal kepentingan politik penguasa. Sementara kepada "ilmuwan tradisional" mereka percaya penuh sebab beranggapan bahwa apa yang dicari kaum tradisional tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan kelompok. Mereka hanya ingin membuka tabir masa lalu sejelasnya dan seutuhnya, apa pun bentuknya.

Maka jadilah berita masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut sebagai pengetahuan masyarakat lokal yang susah dibendung kadar keyaki­nannya. Sejarah masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah dan menghabiskan banyak dana. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya. Cag!


***

Disadur
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : tukisan Aan Merdeka Permana, Pikiran Rakyat, Edisi Cetak – Sabtu 27 Maret 2007

Sabtu, 08 Mei 2010

Percandian Batujaya


Situs Batujaya terletak wilayah Karawang Jawa Barat + 45 km di sebelah timur kota Jakarta. Situs Batujaya secara umum memiliki peninggalan arkeologi, dilahan yang seluas sekitar 5 km persegi, berada pada lahan-lahan persawahan serta sebagian kecil yang terletak disekitar pemukiman.

Situs Batujaya ditemukan pada tahun 1985 setelah ada laporan dari masyarakat setempat. Serangkaian penelitian dan penanganan peninggalan budaya tersebut hingga tahun 2006 telah tercatat sebanyak 24 bangunan kuno yang masih dalam bentuk Unur, atau gundukan tanah yang didalamnya terdapat reruntuhan bangunan kuno, diduga berupa candi.

Ciri-ciri yang tampak pada sejumlah bangunan yang digali menampilkan sejumlah bentuk profil, bentuk relung, serta sejumlah bagian bangunan yang merupakan bangunan candi. Hingga kini dari sekitar 24 sisa bangunan yang ada, baru 4 buah tengah ditangani, 2 bangunan telah selesai dipugar.

Nama-nama bangunan yang ada disesuaikan pemberian nama oleh masyarakat setempat, seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan atau dengan nama desa tempat bangunan tersebut berada, seperti bangunan Segaran untuk bangunan yang ditemukan diwilayah Segaran, Telagajaya untuk bangunan yang ditemukan di wilayah Telagajaya.

Dekat dari unur-unur tersebut biasanya terdapat cekungan tanah yang dikenal dengan nama kobak (kolam), letaknya agak lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitar. Ukuran cekungan tersebut bervariasi, mulai dari 5 m x 5m hingga 25 m x 25 m. Pada Musim penghujan cekungan tersebut tergenang air. Cekungan-cekungan tersebut ada kaitannya dengan keberadaan bangunan itu sendiri.

Gambaran umum beberapa unur (candi) di Situs Batujaya adalah sebagai berikut :

Candi Jiwa
Bangunan Segaranatau dikenal juga dengan nama Candi Jiwa terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, berjarak sekitar 200 m kearah barat dari jalan Kaliasin. Badan bangunan ini masif, tidak memiliki ruangan., ber ukuran 19 m x 19 m dan tinggi 4,7 m, dengan orientasi kearah tenggara baratlaut. Pada bagian kakinya terdapat profil bangunan berbentuk pelipit rata (patta) dan pelipit penyangga (uttara) serta pelipit setengah lingkaran (kumuda).

Candi Jiwa pada bagian fondasi bangunan tidak ditemukan tanda adanya bekas pintu. Pada permukaan atas bangunan membentuk pola yang melingkar dengan diameter sekitar 6 m. gejala ini menimbulkan pertanyaan apakah susunan bata melingkar itu merupakan bagian dari stupa atau merupakan bentuk lapik dari sebuah teras. Di bagian permukaan atas, pada keempat sisinya menampakkan permukaan yang bergelombang yang seolah-olah sengaja dibuat. Tidak tampak tanda adanya bagian atau komponen bekas atap bangunan.

Susunan bata bangunan candi terdiri dari dua lapis, lapisan bagian luar dan dalam, sehingga diduga bahwa bangunan dibangun dua kali atau mungkin pernah diperluas atau diperbesar. Sementara itu pada keempat sisinya ditemukan bekas-bekas relung masing-masing dengan pasti apakah dahulunya relung-relung tersebut merupakan tempat menempatkan arca.

Pada saat ini bangunan candi Jiwa telah selesai dipugar sesuai dengan bentuk aslinya saat ditemukan. Sekelilingnya telah diberi pagar besi. Pada tahun 2008 Candi Jiwa telah menjadi pusat perayaan Bhakti waisak umat Buddha dari Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Candi Blandongan
Bangunan Segaran V atau penduduk setempat lebih mengenal dengan sebutan Candi Blandongan, terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya. keseluruhan candi merupakan salah satu yang terbesar bila dibandingkan dengan unur-unur yang lainnya.

Penelitian terhadap bangunan Candi Blandongan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1992 s.d. 1998. Pada saat itu telah berhasil menampakkan denah berbentuk bujursangkar. Tangga naik terletak di sisi timurlaut, tenggara, barat daya dan barat laut bangunan. Disisi kiri kanan tangga naik terdapat pipi tangga. Bangunan bata ini pada umumnya telah mengalami kerusakan, disebabkan factor usia tetapi masih ada bagian yang menjadi rujukan dalam pemugaran. Anak tangga dilapisi dengan batu andesit yang dibentuk dan berukuran sama dengan ukuran batat (8x15x40 cm). Pada tangga naik teratas terdapat ruang. Ruang ini berukuran 2 m x 2,3 m berfungsi sebagai pintu menuju bagian dalam halaman candi. Lantai ruangan ini dilapisi dengan batu kerikil yang dicampur dengn semacam adonan lepa yang berwarna putih dan dicampur dengan bubukan kerang.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bagunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan sutu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalannya sekitar 1,75 m. Bagian luar tembok keliling ini terdapat hiasan-hiasan pelipit datar, pelipit kemuda, pelipit sisi genta dan hiasan kerucut terpotong.

Dinding luar tembok keliling ini mungkin dahulunya dilapisi dengan lepa yang berwarna putih, karena sisa-sisa lepa dapat ditemukan dibeberapa tempat, misalnya pada bagian bawah pelipit kemuda dengan ketebalan sekitar 0,5 cm. Dibagian luar tembok keliling denahnya tidak luas, tetapi terdapat penampil berukuran 1,5 m menjorok ke luar sekitar 40 cm, terletak diantara tangga naik dan sudut bangunan. Sudut luar bangunan juga menjorok ke luar sekitar 50 cm seperti bentuk bastion sebuah benteng.

Pada bagian dalam tembok keliling terdapat halaman yang dibuat dari bata dilapisi dengan kerikil yang diaduk denganadoanan lepa berwarna putih. Karena termakan usia , lapisan ini sudah terkikis dan yang tampak adalah lantai bata. Lapisan kerikil ini masih tersisa dekat dengan sudut selatan halaman. Selain itu terdapat dua buah batu andesit yang permukaannya datar. Tepat di tengah halaman terdapat bangunan inti. Bangunan inti kini hanya menyisakan bagian kaki yang denahnya bujursangkar dengan ukuran 9,2 m x 9,2 m. Sudut-sudutnya menonjol seperti bastion pada sebuah benteng. Permukaan atasnya sudah rusak terdapat semacam saluran air pada masing-masing sudut.

Sejak pertama kali penelitian sejak 1996 hingga sekarang (saat pemugaran) berhasil ditemukan sejumlah benda-benda suci yang biasa digunakan pada upacara keagamaan. Benda-benda tersebut ditemukan pada relung di sisi baratdaya bangunan, berupa amulet dari bahan tanah liat yang dibakar, tertera mantera-mantera dan penggambaran tokoh dalam Agama Budha.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bangunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalan 1,75 m.

Berdasarkan pengamatan pada fisik bangunan, ada usaha untuk menata bangunan yang sudah rusak. Gejala ini tampak dari tekhnik penyusunan bata, ada yang diletakan ada pula yang ditumpuk. Bata yang diletakan menunjukkan keaslian bangunan.

Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150-400 M. Bangunan Candi Blandongan sekarang ini masih dipugar (tahap akhir) oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Propinsi Banten.

Sejarah Situs Batujaya
Sejarah Indonesia kuno telah mencatat bahwa peradaban yang mula-mula muncul di Indonesia adalah peradaban bercorak Agama Hindu, yang berlangsung di dua pusat yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Dari prasasti-prasasti yang paling awal yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, meskipun tidak menyebutkan angka tahun yang lengkap, dapat diketahui bahwa kerajaan yang pertama kali berkembang diwilayah ini adalah kerajaan Tarumanegara yang berdiri sekitar abad ke IV Masehi. Prasasti-prasasti tertua yang menyebutkan keberadaan Prasati Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Lebak, Prasasti pasir Jambu (Koleangkak) dan Prasati Pasir Awi.

Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumpu, Desa tugu kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Transkipsi prasati Tugu :


  • Pura rajadhirajena guruna, Pinabahuna Khata Khyata, Puri prapya Candrabhagaenavam yayau, Pravarddharmana Dvavinsad Dvavinsad.


  • Dhvajabhutena Crimata purnavarmmana caitrasukla, Trayodsyam dinais siddhaikadhvin sakali, Ayata sastrasahasrena dhanusam sasatena ca, Dyayinsena nadi ramya gomati nirmaladaka, Vhrahmanairgga sahasrena prayati krtadaksina.

Terjemahan :
(Raja Purnawaran yang bijaksana berhasil mebuat dua sungai (kali), yaitu Candrabhaga dan Gomati hingga mengalir ke laut, dengan panjang ± 6.122 rumbak, dimulai tanggal 8 paro-petang bulan caitra (±21 hari). Selamatnya dengan menghadiahkan 100 ekor sapi).

Prasasti-prasasti itu berdasarkan ukuran batunya, dapat diketahui bahwa prasasti-prasasti itu dibuat insitu. Edangkan dari gaya tulisan dan bahasanya prasasti-prasasti berasal dari kurun waktu abad V Masehi. Tulisan menggunakan huruf Pallawa dengan Bahasa Sansekerta. Adanya penggunaan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa tersebut merupakan bukti bahwa pada masa itu telah terjadi kontak budaya antara Tarumanagara dengan kerajaa-kerajaan di India.

Situs batujaya hingga tahun 1993 telah ditemukan candi berjumlah 24 buah. Selain itu di wilayah pantai utara Karawang terdapat pula pusat percandian yaitu di situs Cibuaya, di Desa Cibuaya dengan temuan candi berjumlah 6 buah bangunan. Dapat dibayang kan bahwa pada masa lampau di wilayah (Karawang dan sekitarnya) itu pernah terdapat suatu komonitas yang cukup besar jumlahnya dan memiliki kemampuan tekhnologi yang cukup tinggi sehingga mampu menciptakan sejumlah besar bangunan yang terbuat dari material bata, tentunya sebelum membangun, masyarakat setempat harus menguasai tekhnologi pembuatan bata, baik tentang pemilihan bahan baku, proses pembuatan hingga pembakaran pada suhu cukup tinggi. Disamping itu di daerah kecamatan Perwakilan Cibuaya pada tahun 1952-1957 juga pernah ditemukan 2 buah arca Wisnu.

Menurut penelitian secara ikonografinya diduga bahwa kedua arca tersebut berasal dari abad ke VII-VIII. Selanjutnya pada tahun 1975 ditemukan fragmen arca Wisnu yang lain yang diduga juga sejaman dengan kedua arca tersebut. Kehadiran sejumlah besar bangunan yang mempunyai cirri-ciri budaya Budha di situs Batujaya dan Hindu di situs Cibuaya itu sendiri merupakn hal penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, karena dapat dikatakan bahwa telah berkembang masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha pada abad ke V-VIII di wilayah Jawa Barat.

Hubungan antara kawasan percandian Situs Batujaya dengan Kerajaan Tarumanagara didasarkan atas tafsiran salah satunya isi prasasti Tugu tersebut, bahwa Kerajaan Tarumanagara wilayah kekuasaan meliputi (masa pemerintahan Raja Purnawarman) setidak mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten. Apabila perkiraan ini benar adanya, maka Situs Batujaya merupakan komplek percandian yang masuk dalam kategori tua di Indonesia (untuk sementara tertua di Indonesia, yang diperkirakan dibangun sejak abad ke 4 Masehi).

Kerajaan Tarumanagara pada akhir abad ke 8 M mulai mengalami kemunduran. Hal ini diperkuat oleh berita Cina bahwa sesudah Tahun 669 M, Kerajaan To-lomo tidak mengirim utusan ke Cina lagi. Dengan mundurnya Kerajaan Tarumanagara dan muncul 2 kerajaan baru yang semula merupakan kerajaan bawahan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang berkembang pada masa yang bersamaan (abad VII). Kerajaan Sunda daerah kekuasaannya disebelah Timur Sungai Citarum. Selama pergeseran politik dari lenyapnya Tarumanagara dan munculnya Galuh dan Sunda tidak banyak berubah dalam kehidupan keagamaan.

Penelitian tahun 2005 yang merupakan bagian integral dalam penelitian arkeologi di situs Batujaya menunjukkan bahwa okupasi lahan di areal situs Batujaya diketahui telah dilakukan sejak periode Tembikar Buni (Buni Pottery Complex) dan terus berlangsung hingga periode Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Ekskavasi pada beberapa lokasi terpilih berhasil menemukan sejumlah kerangka manusia beserta bekal kuburnya yang semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah para pendukung kompleks Tembikar Buni. Selain itu ditemukan pula fragmen-fragmen tembikar Arikamedu (India) berada pada lapisan yang sama dengan fragmen-fragmen tembikar Buni termasuk sisa-sisa kerangka manusianya.

Budaya dan Religi
Situs Batujaya yang berlatar Agama Buddha dengan tinggalannya berupa percandian sebanyak 24 buah dikawasan seluas 5 km ini kini tertata dengan baik. Sehingga banyak menarik perhatian masyarakat dan telah menjadi objek wisata yang sering dikunjungi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat yang bertujuan ingin mengetahui situs ini. Disamping itu, situs Batujaya telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian di bidang kebudayaan, sejarah dan pariwisata.

Baru-baru ini pada tanggal 1 Juni 2008 umat Buddha dari propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten menyelenggarakan perayaan Puja Bhakti Waisak ke 2552 BE atau tahun 2008 untuk mengenang kembali perjuangan Bodhisatva Sidharta dalam mencapai kesempurnaan hidup menjadi Buddha di pelataran Candi Jiwa dan Candi Blondongan,di situs Batujaya.

Untuk melengkapi keperluan para wisatawan baik dalam dan luar negeri, Pemerintahan Propinsi Jawa Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat telah membangun Site Museum Batujaya secara permanen, terletak ditepi jalan Desa Segaran atau ± 200 meter sebelah selatan Candi Jiwa. Disamping untuk keperluan wisatawan, gedung ini untuk menyimpan dan sekaligus memamerkan temuan-temuan artefaktual. Koleksi yang dipamerkan di museum ini berjumlah ± 165 buah artefak berupa keramik, gerabah, fosil tulang binatang, dan fosil tumbuhan, replica kepala arca manusia dan binatang, manik-manik kaca dan tanah liat (terakota), bernagai bentuk bata. Disamping itu juga dipamerkan buku-buku yang berisi kepurbakalaan Situs Batujaya. (*)


Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Buklet Situs Batujaya, Kabupaten Karawang – Propinsi Jawa Barat, Penyusun Dra. Heni Fajria Rif’ati – Drs. Eddy Sunarto, Penyunting/Editor Dra. Wana Sundari.


.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960