SEJARAH masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya.
Saya gemar baca buku sejarah. Walau tidak melekat seluruhnya, hampir semua paparan sejarah yang ditulis para ahli sejarah resmi (maksudnya para sarjana sejarah yang diakui pemerintah), manakala saya sampaikan lagi kepada masyarakat tradisional pencinta sejarah, malah banyak yang tidak klop. Maksudnya, apa yang ditulis di buku sejarah karya para sarjana dengan "pengetahuan" yang "dimiliki" masyarakat tradisional, tidak seluruhnya sama. Bahkan untuk hal-hal yang sangat prinsipil, jauh berbeda.
Sebagai contoh, manakala saya baca di berbagai buku sejarah yang ditulis ilmuwan resmi, secuil pun tidak memaparkan siapa Kian Santang itu. Namun tokoh itu, demikian hidup di dalam benak masyarakat tradisional. Bahwa Kian Santang itu putra Prabu Siliwangi, kemudian kerjanya mengejar-ngejar sang ayahanda lantaran sang ayah tak mau berganti agama dari non-Islam ke Islam, demikian amat dipercayanya di mana-mana. Sebagai pertanda amat diyakini, di beberapa daerah akan didapat "bekas-bekas" pengejaran Kean Santang. Sejak dari Pakuan (Bogor), hingga ke Hutan Sancang (Garut Selatan), banyak didapat petilasan dari peristiwa kejar-mengejar ini. Dari mulai Nagara Padang (wilayah Ciwidey) hingga Cigegejlig (Cikancung Cicalengka), terdapat "liang pangparatan" bekas Prabu Siliwangi menerobos bumi saat menghindai pengejaran sang anak.
Di beberapa masyarakat tradisional, ada yang memercayai bahwa Patih Jayaperkosa yang mengabdi ke Sumedanglarang, adalah dulunya Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran. Sesuatu hal yang tidak akan dipercaya oleh para sejarawan resmi. Menurut "penelitian" para sejarawan, ada rentang waktu berbeda antara Prabu Surawisesa dengan Patih Jayaperkosa dan diakhiri dengan komentar nyinyir: "Masa dari seorang raja turun menjadi sekadar patih?"
Menurut catatan resmi, Dipati Ukur ditangkap orang-orang Mataram dan dihukum mati di Kartasura karena dosa-dosanya yang telah mengkhianati Sultan Agung lantaran gagal dalam melawan VOC. Namun masyarakat tradisional punya keyakinan tersendiri, bahwa Dipati Ukur tidak pernah tertangkap dan apalagi dibawa ke Mataram. Sebagai bukti, di beberapa wilayah, mereka tunjukkan ada hampir 42 "makam" Dipati Ukur. Namun, dari ke-42 gundukan tanah itu, hanya satu makam beneran, sisanya adalah makam-makam penghilang jejak supaya musuh menganggap Dipati Ukur memang telah wafat.
Kejadian yang sama juga dilalui Pangeran Jayakarta di Kota Jakarta. Ada lebih satu makam yang dimiliki sang pangeran, semua hanya untuk menghilangkan jejak. Lalu di manakah makam Prabu Siliwangi dan Prabu Seda (raja terakhir Pajajaran) berada? Catatan sejarah resmi tidak menyebutkan secara pasti namun masyarakat tradisional sanggup tunjukkan bahwa kedua makam tokoh penting masa lalu itu ada di sebuah gunung di wilayah Karaha, Malangbong, Garut. Ha!
Di samping banyak "data" sejarah yang tidak sama, sejarawan resmi kayanya juga "kalah" langkah dalam memunguti berbagai peristiwa lama. Penyebabnya, mereka terbentur oleh berbagai rambu yang diisaratkan oleh disiplin ilmu di mana mereka belajar. Seperti apa kata almarhum Drs. Halwany Michrob ketika bertemu penulis beberapa tahun silam. Menurut almarhun, sesuatu bisa bernilai sejarah bila memiliki data tertulis dan data arkeologi. Bila kedua syarat ini tidak dipenuhi, peristiwa apa pun yang dipercaya masyarakat tak bisa disebut sebagai sejarah.
Oleh karena itu, kala itu (1980-an) Pemkab Bogor meminta pendapat mengenai pro dan kontra status Rancamaya (apakah tetap dianggap sebagai wilayah situs atau boleh disulap jadi perumahan mewah dan lapangan golf). Adalah salah satunya almarhum Drs. Halwany Michrob yang menyetujui Rancamaya boleh dibangun apa pun sebab tak didapat bukti bahwa di sana ada situs. Tentu ini bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa Rancamaya adalah wilayah suci milik Pajajaran sebab Prabu Siliwangi kerap lakukan ritual di puncak bukit Rancamaya.
Ketika Candi Bojongmenje di Rancaekek tergali, arkeolog bilang bahwa arsitektur Candi Bojongmenje sama persis dengan candi-candi yang ada di Pegunungan Dieng namun usia Candi Bojongmenje lebih tua. Penelitian berhenti hingga di sini. Sementara masyarakat tradisional sudah lama tahu kalau arsitek Candi Bojongmenje dan candi-candi di Pegunungan Dieng adalah sama, yaitu orang Sunda. Mengapa, sebab baik di Bojongmenje maupun di Dieng, yang punya gawe adalah Prabu Senna.
Senna itu anaknya Prabu Mandi Minyak dari Galuh. Dia mengembara ke wilayah timur, beristrikan Sanaha putri Raja Mataram Kuna dan Senna kemudian menjadi raja di Mataram Kuna (716-732 Masehi). Lantaran Senna beragama Hindu dan di tanah kelahirannya bikin candi Hindu kurang mendapat dukungan pemerintah (di Sunda Hindu tidak dominan dan tak jadi agama negara), Senna melampiaskan ambisinya untuk kembali bikin candi serupa di Pegunungan Dieng.
"Kekayaan pengetahuan" masyarakat tradisional, sepertinya jauh lebih banyak ketimbang apa yang dihasilkan ilmuwan sejarah resmi. Sebagai "bukti", manakala sejarawan resmi tak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan di mana dan bagaimana bentuk Keraton Pajajaran, maka masyarakat tradisional sudah memiliki pengetahuan akan kekayaan budaya masa lalu, semisal pengetahuan arsitektur masa lalu.
Jadi, kalau ada yang berminat mengembalikan kebesaran masa lalu Pajajaran, orang sudah bisa bikin replikanya. Keraton terbuat dari kayu berarsitektur megah ini, lengkap dengan konsep standar keraton di tatar Sunda, seperti di mana letak lawang kori, lawang gintung hingga lawang saketeng. Di mana letak bale raja, bale ksatrian, bale watangan, bale paseban hingga ruang belakang tempat menyimpan leuit salawe jajar. Pengetahuan perbatikan (batik Pajajaran), pengetahuan kemiliteran (ilmu bela diri Pajajaran, taktik perang kolosal Pasukan Pajajaran), sampai mengetahui di mana akademi kemiliteran orang-orang Pajajaran dan siapa saja rektor serta dosen perguruan tinggi militer Pajajaran kala itu, catatannya telah dimiliki para "ilmuwan" tradisional.
Ilmuwan resmi tak banyak bercerita tentang perjuangan Haji Prawatasari dari Jampang, sementara masyarakat tradisional demikian hapalnya. Bahwa taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi.
Manakala penulis sejarah resmi tak banyak tahu tentang keberadaan Ki Tanu Jiwa, peletak dasar Kota Bogor, masyarakat tradisional sejak dulu telah memiliki catatannya. Kata Ucang Sumardi pemilik buku kuna tentang catatan sejarah lokal, disebutkan bahwa Ki Tanu Jiwa dari Sumedanglarang datang ke wilayah hutan Pajajaran bukan ingin "ulun kumawula" kepada VOC, melainkan lantaran rindu dalam penelusuran sejarah karuhun-nya. Mengapa begitu, sebab Ki Tanu Jiwa yang kemudian menjadi bupati pertama Kabupaten Bogor adalah putra Santoan Peregong Jaya.
Santoan Peregong Jaya salah satu putra Aji Mantri (makamnya ada di Cimalaka) dan Aji Mantri adalah putra mahkota Prabu Ragamulya, raja Pajajaran terakhir. Namun Aji Mantri tak dibolehkan terlibat urusan politik, maka dia diperintahkan ayahandanya menyerahkan mahkota Pajajaran Binokasih Sanghyang Pake kepada Prabu Geusan Ulun. Dengan demikian, Ki Tanu Jiwa yang di catatan sejarah resmi luput dari pengamatan khusus adalah buyut dari raja Pajajaran terakhir.
Barangkali penyebab kesemuanya lantaran masyarakat tradisional adalah "pelintas-batas" yang andal. Kalau ilmuwan sejarah banyak dihadang rambu-rambu etika keilmuan, masyarakat tradisional boleh dikata tak mengenal rambu, makanya dia bisa melintas dan menyebrangi apa pun."Tak ada orang yang sanggup menengok ke masa depan sebab itu meramal namanya. Namun, untuk menengok ke masa silam, amat dimungkinkan," tutur seorang dari kalangan tradisional sejarah.
Karena "kekayaan pengetahuan" sang pelintas-batas bisa dianggap lebih lengkap, maka masyarakat lebih dekat kepada mereka ketimbang kepada sejarawan resmi. Terbukti, banyak buku yang dihasilkan kalangan ilmuwan sejarah, namun sedikit sekali yang dibaca oleh mereka. Bisa lantaran buku dengan biaya penelitian mahal itu susah didapat tapi bisa juga lantaran tak tertarik untuk membacanya.
Ada juga yang menganggap bahwa kalangan ilmuwan bekerja tidak membuka fakta yang seutuhnya lantaran berbagai kepentingan, semisal kepentingan politik penguasa. Sementara kepada "ilmuwan tradisional" mereka percaya penuh sebab beranggapan bahwa apa yang dicari kaum tradisional tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan kelompok. Mereka hanya ingin membuka tabir masa lalu sejelasnya dan seutuhnya, apa pun bentuknya.
Maka jadilah berita masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut sebagai pengetahuan masyarakat lokal yang susah dibendung kadar keyakinannya. Sejarah masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah dan menghabiskan banyak dana. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya. Cag!
***
Disadur
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : tukisan Aan Merdeka Permana, Pikiran Rakyat, Edisi Cetak – Sabtu 27 Maret 2007