Jumat, 06 Desember 2013

RAA Kusumaningrat

111 tahun sebelum Indonesia merdeka, ketika para bupati dicekal, kekuasaan mereka di batasi. Cianjuran lahir, dari seorang Bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834—1862). Ketika itu seni menjadi tempat ‘pelarian’ yang sempurna. Karena semenjak Mataram menyerahkan Priangan kepada Belanda pada 1667, kekuasaan bupati semakin berkurang hingga akhirnya Pemerintahan hanyalah ‘mainan’ Belanda.

RAA. Kusumaningrat, lebih senang menghabiskan waktunya di sebuah bangunan bernama Pancaniti –RAA. Kusumaningrat dikenal juga dengan sebutan Dalem Pancaniti, istilah Dalem adalah julukan bagi seorang pemimpin dan pemerintahanya disebut Kadaleman. Ia lebih suka mencipta lagu, daripada menjalani pemerintahan yang dikebiri Belanda. 

“mau tidak mau memang seperti itu sejarahnya, meskipun kita tidak mau mengakuinya -masa seperti itu. tapi memang itu latar belakang politiknya”, ungkap Nina Herlina Lubis, Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran. Karena memang pemerintahan saat itu tidak memberi ruang yang leluasa untuk para bupati dalam menjalankan pemerintahan.

Selain latar belakang politik, Cianjuranpun lahir dari perpaduan kesenian-kesenian yang ada sebelumnya. Dalem pancaniti mencipta Cianjuran dengan meracik dari beberapa kesenian, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta pupuh. Kesenian terdahulu itu diolah menjadi satu bentuk kesenian yang lebih halus, yaitu Cianjuran.

Mulanya, seni Pantun sudah diperkenalkan semenjak R. Jaya Sasana. Dia adalah pemimpin pertama Cianjur. kesenian pantun ini dikembangan oleh seorang seniman bernama Candramanggala, seni ini sudah mulai dilagukan dengan iringan kilung –kecapi sederhana. selain itu ia juga memperkanalkan kesenian tembang wawacan. 

perkembangan kesenianpun berlanjut seiring dengan bergantinya Bupati. begitupun Belanda yang melanda Nusantara kian garang menancapkan cakarnya. hingga akhirnya pada masa Bupati ke VII yaitu Dalem Pancaniti. Cianjuran mengalami puncak perpaduan kesenian yang ada. Dalem Pancaniti yang kesehariaan dihabiskan untuk menciptakan lagu, berhasil membuat suatu bentuk kesenian baru.

Kesenian yang terlahir dari perpaduan beberapa kesenian yang ada. Kesenian ini diberi nama Mamaos. pada masa Dalem Pancaniti, disebut juga masa pembentukan seni mamaos atau periode awal. 1862, RAA. Kusumaningrat wafat, tampuk kepemimpinanpun diganti oleh anaknya RA. Prawiradireja II. Ia menaruh perhatian pada Mamaos dengan menyempurnakan waditra. 

Pada masa pemerintahan Prawiradireja II mamaos berkembang pesat. Dibantu oleh beberapa seniman kadaleman seperti R. Etje Madjid, R. Asikin, Aong Jalahiman, serta beberapa seniman lainnya. Perkembangan Mamaos mulai menurun sekitar tahun 1910-1912 saat pemerintahan diwakili oleh Demang Natakoesoemah. Pada masa ini para seniman Mamaos mulai berinisiatif untuk menyebarluaskan di kalangan menak.



Penyebarluasan mamaos mulai gencar dilakukan pada masa RA. Mucharam Wiranatakoesoemah. Ia juga mulai memperkenalkan mamaos di Bandung pada 1920, saat ia menjadi Bupati Bandung. Ia menugaskan R. Etje Madjid beserta seniman mamaos lain untuk memperkenalkan kesenian ini di Tatar Sunda. Seiring dengan perkembangan waktu, akhirnya pada 1962 kesenian Mamaos mulai dikukuhkan sebagai kesenian pasundan, istilah Mamaos diganti menjadi Tembang Sunda Cianjuran atau kita biasa menyebutnya Cianjuran.

Menyingkap sejarah Cianjuran : http://store.cc.cc/g1g268055
Address : Komp. Grya Bandung Asri Bojongsoang, Bandung,Jawabarat, Indonesia, | Telephone : 02278424408 
Email : pesonanusantaragroup@hotmail.com 
Name : Pesona Nusantara Group | Company : Pesona Nusantara

Rabu, 20 Maret 2013

Sang Tanujiwa

Dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelas kan bahwa Tanujiwa adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk pasukan pekerja dan menda pat perintah dari Campuijs untuk membuka hutan Pajajar an sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat kelahiran (de bakermat) Kabupaten Bo-gor yang didirikan kemudian.
Tanujiwa ini dalam catatan VOC disebut Leuitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa ada di Cipinang (Jatinagara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Ang sana. Ketika Tanujiwa pindah dari Kampung Baru Cipi- nang ke sana, ia memberi nama Kampung Baru. Sekarang tempat itu bernama Tanah Baru.
Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas ibukota Pakuan ber­sama Scipio, Tanujiwa yang sudah menetap di Cipinang pindah ke Parung Angsana. Ia ingin mendekatkan di rinya dengan pening­galan Siliwangi. Kampung-kampung: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar, semuanya didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasu kannya. Kampung Baru (Parung Angsana) tempat kedudu kannya sudah merupakan semacam pusat pe­merintahan bagi kampung-kampung yang didirikan secara ter­pencar oleh anak buahnya.
Tanujiwa merupakan orang senior di antara teman-te mannya sesama letnan. Ia pula yang mengambil prakarsa membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Daerah alir­an Ciliwung antara Ke-dung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asal nya setelah tercapai persetujuan antara Mataram dengan VOC dalam tahun 1677. Sebahagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebahagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I dalam tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan rakit Mataram ketika me­ngepung benteng Batavia.
Rasa hormat Tanujiwa terhadap bekas ibukota Pakuan de ­mikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga ke pada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai ter sebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).
Dokumen tanggai 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu (Ciliwung). Tahun 1704 Tanujiwa menuntut agar orang-orang Banten membatal kan niat mereka menduduki Parung Banteng dan Tangkil lalu menetapkan bahwa Ciluwar dan Cikeas dijadikan perbatasan. Akhirnya diputuskan bahwa batas itu sejauh 400 roeden (1 roe = 3,75 m) dari tepi Ciliwung.
Dokumen yang dikutip oleh De Haan (1912) menyebut Tanu­jiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum koloni di sebelah selatan Cikeas. Oleh karena itu De Haan memulai daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dari tokoh Ta nujiwa ini (1689 - 1705) walaupun secara resmi pengga bungan distrik-distrik Kabupaten Kampung Baru terjadi ta hun 1745. Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam salah satu nomor tahun pertama majalah ’Intisari, bahwa Menak Ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-ayang Gung itu dimaksudkan Tanujiwa ini. Entahlah! Tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanujiwa dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya yang iri. Ia di tunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan. Tetapi akhir nya ia dihukum buang oleh Kumpeni sebagai seorang pemberontak dan penghianat.
Rupa-rupanya kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajar an telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni yang disadari sepenuhnya bahwa mereka itu orang-orang asing. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seo rang Letnan tetap harus tunduk kepada seorang Sersan seperti Scipio yang kulit putih pada hal ia sendiri menjadi atasan para Sersan peribumi. Akhir­nya anak emas Kum peni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasai yang bangkit mengangkat senjata terhadap per­luasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanujiwa di buang ke Tanjung Harapan di Afrika.
Orang dulu menyindir dia dengan, ’’lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong”. Ia mengejar harapan kosong dan ’’bermesraan” dengan orang ’’tidak bergigi”, yaitu Perwatasari yang ternyata kalah dalam perjuangan. Pengalaman Tanujiwa dengan Kumpeni memang mirip de ngan Untung Surapati yang juga Letnan Kumpeni. Bila be nar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan orang untuk me-nyindir kelakukan Tanujiwa, memang patut kita renung kan kembali dan jaman merdeka seperti sekarang ini. Yang jelas, dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkam nama Tanujiwa sebagai ’bupati pertama. Dalam daftar silsilah tradisional bupati pertama biasanya dicantumkan nama Mentangkara atau Mertakara, Kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718). Menurut dugaan De Haan, mungkin ia putera Tanujiwa. Sebaliknya para penulis Belanda, lebih bebas menyebutkan Tanujiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak-dasar Kabupaten Bogor
Jika diurut lebih jauh lagi, Tanujiwa diketahui masih keturunan dari Parenggong Jaya. dan siapa[un pasti tahu, siapakah tokoh ini (?)

Di adpot dari Buku Sejarah Bogor (1983).
.

Kamis, 13 Desember 2012

Pakuan (1482-1579)

Upaya Rekonstruksi sejarah melalui
sumber tradisonal dan sejarawan moderen
------------------------------------------
Carita waruga guru suatu naskah yang diperkirakan dibuat tahun 1750-an masehi menyebutkan bahwa istilah Pakuan dida sarkan pada lokasi yang banyak pohon Paku Jajar. Sama halnya de ngan para akhli lainnya. Namun Pakuan hakekatnya bukan hanya sekedar asal kata dari pohon paku (pakis), atau pohon paku yang berjajar. Pakuan adalah Paku dalam arti Lingga, sumbu jagat yang memiliki hubungan erat dengan kedudukan raja-raja Pajajaran. Pa kuan pada masa itu adalah pusat jagat bagi urang Sunda, pusat kos mos di dunia, yang mewakili Hyang tertinggi. Pakuan bukan ber arti Kadatwan, karena Pakwan adalah nama ibukota, pusat keraja an memiliki lingga sebagai tanda pusat jagat, sedang kadatwan adalah keratonnya. Kadatwan di Pakuan memiliki nama, yakni Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Para pujangga banyak yang menyebutnya Panca Persada, berarti lima bangunan keraton, sedangkan orang Cirebon menyebutnya disingkat dengan istilah Sang Bima atau Sri Bima.

Bangunan paling depan adalah Keraton Sri Bima, lalu bertu rut-turut Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Komplek ke raton terdiri lima bangunan utama. Bangunan yang disebutnya Sri Bima adalah balai peperangan, tempat berkumpulnya para pa muk Pajajaran, untuk mengatur strategi pertahanan negara; Kera ton Punta digunakan sebagai balai pengadilan, bagi mereka yang dangka ka nagara, atau menggangu ketentraman hidup sesama nya; Keraton Narayana digunakan untuk tempat raja-raja daerah maupun kerabat raja menghadap raja, tempat raja memperbin cangkan kemajuan atau kemunduran wilayah Pajajaran; Keraton Madura digunakan sebagai tempat resepsi, tempat menerima ta mu yang dihormatinya, bercengkrama dan bertukar pengalaman tentang kemajuan negerinya; Keraton Suradipati merupakan ba ngunan persemayaman raja dan keluarga, Kelima bangunan itu disebut juga Panca Prasadha.

Pajajaran penerus kerajaan Sunda, diketahui keberadaannya sejak tahun 932 sampai dengan 1579 masehi. Memiliki luas Wila yah di bagian Barat pulau Jawa, yakni Banten, Jakarta, Jawa Barat dan sebagai Jawa Tengah. Kerjaan Sunda bahkan pernah mengua sai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Didalam naskah Bu jangga Manik, suatu dokumen yang ditulis antara abad ke-15 dan 16 Masehi. Saat ini dokumen tersebut tersimpan rapi di Perpusta kaan Bodleian, Oxford, sejak 1627 masehi atau 1629. Naskah ini menyebutkan batas-tungtung Sunda pada abad itu berada di Cipa mali. “Setibanya aku di tungtung Sunda kusebrangi sungai Pamali dan tibalah di wilayah Jawa, kususuri sudah sejumlah wilayah Ma japahit dan pelataran wilayah Demak...... dst.” Dalam buku Suma Oriental (1513 - 1515) menuliskan "Beberapa orang menegas kan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya seperti ga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya.” Batas wilayah dan Budaya Sunda kemudian digeser oleh Belanda, seperti yang ada sekarang. Mereka membaginya untuk kepentingan wilayah pertahanan, batas tersebut digunakan pula oleh Republik Indone sia guna membagi propinsinya, menjadi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Batas ini bukan suatu data baru, bahkan lebih luas lagi pada masa Sanjaya. Pada tahun 723 Masehi, kekuasaan Sunda diserah kan kepada Sanjaya, atau di sebut juga Prabu Harisdarma, keturu nan Galuh dari Senna dan sekaligus Cucu dari maharani Sima. San jaya dilantik dengan nama abhiseka Maharaja Bimaparakarma Pra bu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Sanjaya adalah satu satunya raja Sunda yang sudah diketahui memiliki kekuasan me lebihi Purnawarman. Maka pantas jika pada abad kedelapan Sanja ya disebut penguasa Pulau Jawa dengan gelar Maharaja Sanjaya.

Naskah Carita Parahyangan sebagai sebagai sumber sejarah mempunyai nilai yang tinggi, karena pemberitaanya mengenai to koh Sanjaya dibenarkan oleh prasasti Canggal di Gunung Wukir Kedu. Prasasti ini belum dikenal pada saat ditulisnya naskah Cari ta Parahyangan. Carita Parahyangan menceritakan adanya perebu tan kekuasaan di Galuh, Purbasora yang unggul mengasingkan la wannya, Sang Sena ke Gunung Merapi yang kemudian mendapat anak bernama Rakean Jambri, setelah Rakean Jambri, setelah de wasa diberinama Sanjaya. Setelah Rakean Jambri dewasa meminta bantuan kepada Rahyangtang Kidul di Denuh, yang terletak di Ta raju dan Karangnunggal saudara Mandiminyak, kakeknya Sanjaya. Rahyangta Kidul tidak berani memberikan pertolongan namun me nunjukan agar meminta bantuan Tohaan (raja) Sunda (Terusba wa) disebelah barat Sungai Citarum, untuk kemudian dijadikan mantu raja Sunda. Pada akhirnya Sanjaya mampu merebut tahta Galuh. Dari Galuh Sanjaya bertolak kewilayah jawa sampai ke Bli tar, di luar Jawa Galuh Sanjaya bertolak kewilayah jawa sampai ke Blitar, di luar Jawa sampai ke Khmer dan Sriwijaya. Inilah tokoh Nusantara pertama, keturunan Galuh, menantu raja Sunda yang berhasil memperluas wilayahnya hingga jauh keluar Nusantara.

Orang Portugis pada tahun 1513 berkunjung ke Pakuan de ngan membawa empat buah kapal Jung. Mereka menilai orang Pakuitu menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar (robust), dan sangat jujur (true man). Mereka menyebutkan Kerajaan Sun da diperintah oleh orang yang adil (The King dom of Sunda is justly governed). Kerajaan Pajajaran disebut pula sebagai ‘negeri para satria dan pahlawan laut.

Sumber Eropa yang mencuplik dari sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda, pada masa Dinasti Sung Selatan, yakni inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang be nar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi yang ditulis tahun 1225, menye butkan pelabuhan di Sin-t'o. Zhao melaporkan bahwa "Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang rumah panggung dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus ping gangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut me reka sampai panjangnya setengah inci.

Buku perjalanan Cina Shunfeng Xiangsong sekitar 1430 ma sehi mengatakan : "Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian meng ikuti pantai melewati Tanjung Indramayu akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan kearah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

⫵⫵

Pada abad ke-14 kerajaan Sunda kembali beribukota di Paku an Pajajaran, serta memiliki beberapa pelabuhan, yakni Banten, Pontang, Kalapa, Karawang, Cigede dan Cirebon. Perjalanan dari Kalapa Pabeyan ke Pakuan ditempuh melalui Mandi Racan, Ancol Tamian, Samprok, memasuki kawasan hutan, menyebrang Sungai Cipanas, Suka Kandang, Sungai Cikencal, Luwuk, Sungai Ciluwer, Peuteuy Kuru, Kandang Serang, Batur-batur, Menyebrang Cihali wung, Pakeun Tubuy, Pakeun Tayeum, Batur, Cipakancilan. Bebe-rapa kilometer ke utara Muaraberes di kali Cihaliwung dan Ciam pea terdapat beberapa Dermaga, namun Dermaga yang ada di Kali Cisadane dibuatkan juga benteng pertahanan. Kali-kali tersebut merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara La ut Jawa, dan gerbang menuju Kali di pedalaman. Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warung Gede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, laju Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan kepusat kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis dan Bojong Galuh. Da lam kata lain, jalan raya Pajajaran terbentang dari ibu kota ke Ban ten melalui Jasinga dan Rengasdengklok. Dari Ibu Kota ke Kara-wang Cikawao, Wanayasa, Buahdua, Congeang, Karangsambung, Maja, Talaga, Panjalau, Kawali. Jalan ini digunkan oleh para petu gas kerajaan untuk mengawasi Pabeyan. Dan digunakan sebagai la lulintas perdagangan lada. Pajajaran masa itu memiliki 100.000 prajurit aktif.

Pakuan memiliki parit sepanjang tebing Cisadane, dari ger bang Pakuan sampai Batutulis, tempat gerbang Pakuan kedua, bersambung dengan jalan ibukota ke Rancamaya. Gerbang ketiga berada diperbatasan kota menuju kearah timur. Parit kedua ber ada pada sisi tenggara, tanah galian parit ditimbun menjadi Kuta, atau tanah yang tinggi berbentuk benteng, dibagian puncaknya diperkeras dan ditimbun batu. Sedangkan jalur benteng terletak dibagian dalam parit, sehingga benteng tersebut memiliki perta hanan berlapis. Konon parit pertahanan ini dibuat pada masa Sri Baduga Maharaja.

Bagi para kerabat raja, keluar dari Kadaton akan berjalan melewati balai pertemuan, kemudian turun kearah Pancawarna hingga tiba dipintu gerbang, lantas berjalan lewat Pakeun Dora. Kadang laju kearah timur menyebrang Cipanangkilan menuju Pa keun Teluk hingga sampai di Pakancilan, lalu membuka gerbang, berjalan melewati umbul, kemudian menuju jalan melewati Cipa- kancilan menuju pintu luar melewati Windu Cinta. Biasanya me lewati Panca Warna menuju Lebuh (Buruan) Ageung, disana su dah banyak orang berlalu lalang. Tapi jika ingin bertemu ibu suri berjalan memasuki pintu gerbang lewat Cipakancilan, tibalah di Bale Renceng, ruangan penuh lukisan, nampak terasa indah. Rua ngan ditopang tiang balok berwarna merah, serasi dengan padu an balok penyambung yang melintang. Papan penjepitnya bercat merah tua, bubung atap berwarna keemasan, sedang bantalan lantai dibuat dari bambu betung tua yang diikat kawat Jawa. Kedi aman raja dikelilingi oleh pilar-pilar sebesar tong anggur seba nyak 330 buah, tinggi masing-masing sembilan meter. Dipuncak nya dihias ukiran indah. Rumah-rumah sangat besar terbuat dari kayu dan palem.

Pakuan memiliki Sasakala Gugunungan, terletak di bukit Badigul Rancamaya. Kaki bukit ini bersambung dengan telaga Re na Mahawijaya. Disekitar Pakuan terletak hutan Samida, pohon mirip cemara. Kayu Samida digunakan untuk pembakaran jena-zah. Sri Baduga Maharaja membuat pula wilayah perdikan bagi kaum agamawan, sekaligus sebagai sumbet spiritual masyarakat; membuat kabinahajian-kaputren; kasatriaan-asrama prajurit.

Pajajaran tahun 1513 dapat memperdagangkan 30.000 kwintal lada setiap tahun. Menurut orang Portugis urang sunda sudah biasa berlayar keberbagai negeri, hingga mencapai pulau Maladewa. Memperdagangkan beras hingga mencapai 10 jung pertahun; berniaga lada 1.000 bahan pertahun; kain tenun untuk diekspor ke Malaka; daerah ini juga penghasil sayur; daging dan tamarin, bahkan tamarin cukup memuat kapal seribu kapal. Urang Sunda mengimpor tekstil dari Cambay dan mendatangkan kuda dari Pariaman.

Sumber Eropa yang mencuplik dari sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda, menyebutkan lada yang tumbuh di bu kit negeri ini bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitas nya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."

⫵⫵

Pada masa ini Pajajaran mengalami jaman keemasan ketika masa pemerintahan Jayadewata dalam Babad dikenal pula dengan sebutan Sang Pamanah Rasa. Juru Pantun menyebutnya Kekem bingan Raja Sunu. Jaya dewata diistrenan dua kali, pertama di Ga luh menggantikan Prabu Dewa Niskala, ayahnya dengan nama abhiseka Prabu Guru Dewa taprana. Pelantikan kedua di Pakuan menggantikan Prabu Susuk tunggal, mertuanya, dengan nama abhiseka Sri Baduga Maharaja. Pelantikan dikedua tempat ini sekaligus menjadikan Jayadewata sebagai Maharaja Sunda, dan menyatukan tatar Sunda didalam satu tangan, sama ketika masih dipegang oleh Prabu Niskala Wastu kancana, kakeknya dan lelu hur sebelumnya. Sri Baduga Maharaja ditatar Sunda lebih di kenal dengan sebutan nama Prabu Siliwangi. Menurut Pangeran Wangsa kerta “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudungaran swaraga nira.” Hanya orang Sun da dan orang Cirebon serta semua orang ditatar Sunda yang me nyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Menurut tradisi pada masa itu, masyarakat Sunda, termasuk Cirebon merasa segan (teu wasa) atau tidak sopan (belegug) menyebut nama raja yang dihormati nya sesuai dengan nama sesungguhnya, sehingga juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Akan tetapi, hiruk pikuk pen carian nama aslinya menyebabkan Siliwangi disebutkan hanya se bagai tokoh sastra.

Kemasyhuran Prabu Siliwangi banyak dikenang urang sunda sepanjang masa, seolah-olah Prabu Siliwangi hanya satu-satunya raja Pajajaran; atau setiap raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi; atau tak tergantikan oleh siapapun termasuk oleh raja-raja pene-rusnya. Nama Prabu Siliwangi menembus ruang dan waktu. Mem-bicarakan Pajajaran atau apapun yang terkait dengan peninggalan masa lalu ditatar Sunda, rasanya tidak lengkap jika tidak menyer-takan nama Prabu Siliwangi didalamnya. Demikiam pula yang ter-kait dengan masalah ageman Prabu Siliwangi, banyak yang menya takan Prabu Siliwangi kukuh pada pendiriannya, memelihara pur batisti-purbajati, bahkan ngahiyang bersama para pendukungnya. Sebagaimana yang dikukuhkan dalam Wangsit Prabu Siliwangi, yang saat ini masih beredar dimasyarakat. Namun tak kurang pula

yang menyebutkan Prabu Siliwangi telah berpindah ageman, bahkan mau dikhitan, sebagai penegasannya keluar dari ageman lama. Padahal jika dilihat dari sejarah pra Islam di Pajajaran, me lakukan khitan juga dianggap sebagai pituin adat Sunda, sebagai-mana yang dikisahkan dalam naskah Carita Parahyangan, tentang Ratu Dewata, berkuasa di Pajajaran pada tahun 1535 maasehi, nas kah ini menyebutkan: “Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu. Sum bélé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sun da teka.” Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Hanya memi num susumurni. Di khitan, maksudnya supaya bersih, suci dari segala kotoran jika di bersihkan, dikhitan oleh ahlinya, asli Sunda. Perdebatan tentang masalah ini memang agak sedikit ambigu, ka rena disatu sisi mencintai Prabu Siliwangi, disisi lainnya menye ret, memaksakan identitas Prabu Siliwangi agar sama dengan age man yang dianutnya. Seharusnya, biarlah sejarah berjalan apa ada nya. Jangan dikurang-kurangi bahkan jangan pula dilebih-lebih kan, : “agar jaga keh tuturus Pajajaran nyaho Jati Sunda teka.”

Penokohan terhadap Prabu Siliwangi mungkin juga berasal dari kecintaan masyarakat tatar Sunda terhadap Siliwangi. Banyak babad, naskah sejarah dan kisah yang dituturkan para petutur tra disional mengisahkan Siliwangi, dengan menggunakan nama Sili wangi langsung, atau nama samaran, tapi akhir kisahnya menam pakan aslinya sebagai Siliwangi. Tokoh Siliwangi dalam naskah Ca rita Parahyangan dengan Babad Galuh yang disusun oleh Ki Se rengrana misalnya, memiliki sirsilah yang berbeda. Akibatnya keti ka diterjamaahkan secara terpisah maka tak akan mendapatkan ti tik temu, serta menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.

Tokoh Siliwangi ada disetiap peristiwa, menembus ruang dan waktu. Kehadirannya ada didalam sanubari para pecintanya, seba gai pemimpin yang patut dijadi kan panutan; sebagai tokoh yang hidup di jaman apapun lengkap dengan atribut raja Sunda, bahkan bukan hanya ditatar Sunda, melainkan menembus jauh keluar wi layah Jawa Barat, seperti suatu tempat yang pernah memiliki na ma sebagai Tungtung Sunda, maupun terbawa para transmigran

dan para perantau asal tatar Sunda, yang jauh disebrang pulau.Perdebatan tentang siapa itu tokoh Prabu Siliwangi bukan hanya milik para pecinta tradisional ditatar Sunda, karena banyak pula sejarawan modern yang berdebat tentang siapa nama Prabu Siliwangi yang sebenarnya, dan hidup dijaman mana. Ada yang berpendapat bahwa tokoh Siliwangi adalah nama seluruh raja-raja Sunda, hingga Prabu Nilakendra; Siliwangi disebutkan hanya sebagai tokoh dalam sastra; Siliwangi adalah Prabu Niskala Wastu kancana, putra dari Prabu Wangi, Prabu Maharaja yang gugur di Palagan Bubat, kasilih ku Sang Bunisora; ada pula yang menye butkan Siliwangi adalah gelar untuk Sri Baduga Maharaja yang di berikan oleh Urang Sunda dan Urang Cirebon yang menganggap masih keturunannya, mengingat mereka merasa teu wasa, atau ti- dak sopan bila menyebut nama aslinya.

Kisah perdebatan yang menafsirkan siapa Prabu Siliwangi di kalangan sejarawan masa kini hanya tinggallah dua, yakni Prabu Niskala Wastukancana dan cucunya, Sri Baduga Maharaja. Kepe-mimpin Niskala Wastukancana, yang dipegangnya di Kawali, me miliki ciri yang lebih baik dari Sri Baduga Maharaja. Kerajaan Sun da pada masa itu digambarkan, pada masa kepemimpinannya pa ra Rama enak makan, sangresi tentram menjalankan aturan keresi an dan mengamalkan Purbatisti-Purbajati. Dukun-dukun (?) ten tram mengadakan perjanjian-perjanjian yang menuruti aturan para leluhurnya. Raja membagi-bagikan hutan di sekitarnya, tidak ada keberatan dari masyarakat dari kalangan manapun. Para pela ut merasa aman berlayar mengikuti aturan raja. Air, cahaya, angin, tanah merasa senang berada digenggaman raja. Menegaskan ba tas-batas kekuasaannya dengan mendirikan Sanghiyang Linggawe si, puasa dan menyembah Tuhan tiada terbatas. Sang Wiku memili ki wibawa menetapkan aturan dewa, mengamalkan Sanghyang Watangageung. Prabu Niskala Wastukancana melepaskan jabatan nya, karena didorong oleh keyakinannya. Naskah Parahyangan me nyebutkan, pada masa kepemimpin Prabu Niskala Wastukancana ditatar Sunda disebut sebagai kretayuga, masa sejahtera. Karena raja mengikuti nasehat dari Satmata, tokoh agama pada waktu yang sudah berada ditingkat keempat, yakni Prabu Bunisora. Pada akhirnya perdebatan ini seolah-olah mendapatkan kesepakatan, sekalipun belum selesai, bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, cucu dari Prabu Wangisutah – Rahyang Niskala Wastu kancana, dan pengganti dari Prabu Wangi atau Prabu Maharaja.

⫵⫵

Sri Baduga Maharaja diyakini sebagai Prabu Siliwangi tentu mendasarkan pada pesatnya pembangunan tatar Sunda pada ma sa kepemimpinannya, sehingga apapun yang dianggap peninggal an masa Pajajaran maka disebutkan sebagai peninggalan Prabu Si liwangi. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisah kan dalam Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai-nilai Pur batisti–Purbajati. “Mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kre ta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". Sejalan dengan keterangan orang Portugis yang menyebutkan: “Raja Sun da memerintah secara adil.”

Pengganti Sri Baduga adalah Prabu Surawisesa yang sering disebut tokoh utama didalam kisah Mundinglaya Dikusumah, da lam Babad disebut Guru Gantangan, sedangkan orang Portugis me nyebutnya Ratu Sangiang. Surawisesa memerintah Pajajaran sela-ma 14 tahun, sejak tahun 1521, wafat pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya. Sampai saat ini, prarasti tersebut dikenal dengan sebut an ‘Prasasti Batutulis’, suatu prasasti yang tak sempat dihancur kan musuh Pajajaran. Batutulis tersebut menerangkan peringatan bagi prabu ratu suwargi, dinobatkan dengan gelar Prabuguru De wataprana; dinobatkan (lagi) dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah pembuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dialah pembuat tanda peri ngatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). Dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455).

Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya. Dari kecintaannya tersebut diwujudkan dengan cara mempertahan keu tuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk memba ngun kembali kejayaan Pajajaran, karena sibuknya mempertahan kan wilayah dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upaya nya dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan da lam babad. Konon raja-raja Pajajaran yang paling banyak dikisah kan setelah Prabu Siliwangi adalah Prabu Surawisesa. Namun se- telah Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran menga lami kemorosotan dan sulit bangkit kembali.

⫵⫵

Kemakmuran suatu negara tentunya tidak terjadi tiba-tiba, melainkan ada proses panjang yang membentuk negara tersebut makmur. Demikian pula ganggungan dari pihak luar, karena sebe-narnya serangan Banten hanya merupakan pukulan terakhir bagi kemunduran atau kejatuhannya yang berlangsung dari peristiwa sebelumnya.

Penghancuran Pajajaran dimulai sejak munculnya gangguan perdagangan atau persaingan dengan para pedagang Islam dan lu- ar Nusantara, seperti Portugis. Untuk keperluan mengamankan perdagangannya, maka pada tahun 1521 masehi Pajajaran melaku kan Perjanjian pertahanan dan perdagangan dengan Portugis. Na- mun Demak segera menduduki pelabuhan di pantai utara Pajaja ran, dari Banten hingga Cirebon, bahkan Portugis pun tidak sem pat memberikan bantuan. Dengan demikian berakhirlah perdaga ngan lada lada Pajajaran, berakibat pula terjadi kemorosotan eko nomi diseluruh wilayah Pajajaran. Pada masa berikutnya Demak dengan Portugis melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dan pertahanan. Hal ini terjadi ketika Demak berkeinginan melaku kan serangan ke Panarukan.

Islam mulai menguasai wilayah Pajajaran sejak tahun 1530 masehi. Mulai dari Cirebon, Sunda Kalapa, Banten, Galuh, Talaga, Sagalaherang sampai dengan Cianjur. Pada waktu yang sama dari Cirebon sampai dengan Banten sudah menerima islam sebagai aja rannya dan banyak para penduduk yang meninggalkan ageman lamanya. Raja-raja daerah masih mematuhi tugas-tugasnya tetapi kepatuhannya sudah mulai longgar, bahkan dilingkungan kereton sudah terjadi perpecahan. Sejak saat itu Pajajaran sudah goyah da ri dalam, dan hanya menunggu waktu.

⫵⫵

Prabu Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata adalah raja yang sangat alim dan taat beragama, ber-perilaku ngarajaresi. Carita Parahyangan mengisahkan kealiman nya,: “Prebu Ratudéwata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu Sumbéléhan niat tinja bre-sih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.” Akan tetapi naskah carita Parahyangan pun mengamanatkan kepada para pe mimpin sesudahnya, agar memiliki keseimbangan, antara urusan akhirat yang bersifat pribadi, dengan urusan sebagai pemimpin di dunia. Karena urusan dunia pun jika dijalankan dan bertujuan untuk kepentingan rakyat akan berbuah kebaikan bagi akhiratnya. Nasehat tersebut dituliskan; “Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi ratu dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.”

Pada masa Ratu Dewata perjanjian perdamaian Pajajaran de-ngan Cirebon, terakhir dibuat oleh ayahnya, Prabu Surawisesa, pa da tahun 1531 masehi masih berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perjanjian ini akan ditaati oleh pihak Demak, Cirebon dan Banten, sehingga tidak berprasangka buruk akan adanya pelanggaran dari pihak lain. Namun pemikiran Ratu Dewata berlainan dengan Hasa nudin dari Banten, salah satu penandatangan perjanjian perdamai an Pajajaran dengan Cirebon, yang melakukannya karena patuh ke pada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan, bahwa per janjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, sama sekali tidak menjamin kepentingan Banten. Padahal wilayah Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran. Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khususnya tanpa menggunakan identitas resmi. Pasukan ini mampu bergerak cepat, dari satu tem pat ketempat lainnya, dibentuk untuk mengganggu keamanan wi layah Pajajaran. Naskah Carita Patahyangan menyebutnya pasu-kan ‘Tambuh Sangkane’. Kemampuan pasukan bentukan Hasanu din dalam melakukan gerakan telah dibuktikan pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan, memaksa bupati Banten, Suraja ya, pamannya sendiri, melarikan diri ke Pajajaran. Pada masa itu Hasa- nudin dibantu oleh Cirebon dan Demak, dengan mengirim kan armada perangnya yang dipimpin Fadillah Khan, menantu Raden Fatah, atau Susuhunan Jim Bun, Sultan Demak Pertama. Se telah pem berontakan tersebut, Banten menjadi bagian dari Cire bon. Kemudian Syarif Hidayat mengangkat Hasanudin sebagai bu pati Banten dibawah lindungan Cirebon. Hasanudin baru bisa men dapatkan ke kuasaan sebagai Sultan Banten terjadi pada tahuh 1568, wafat pa da tahun 1670 masehi.

Pada masa Ratu Dewata, tanpa diketahui asal muasalnya tiba tiba datang serbuan musuh hingga masuk ke Buruan Ageung (alun alun) Pakuan, hingga terjadi perang di Buruan Ageung, menewas kan dua pembesar Pajajaran. Hal ini dikisahkan, :”Datangna ban cana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.” Namun musuh dapat dihalau keluar Pakuan, mengingat masa itu Pakauan masih memiliki para perwira yang pernah beberapakali mendampingi Prabu Surawisesa, berpengalaman melakukan per- tempuran di barat Citarum. Para perwira ini mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan pe ninggalan Sri Baduga tidak mudah ditembus musuh, karena posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan. Posisi Pakuan berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau seke lilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui da tangnya musuh. Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai per nah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus ta hun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Du wur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Se- dangkan tebing Cihaliwung, Cisadane dan Cipaku dapat dijadikan sebagai pelindung alamiah.

Musuh tak mengenal lelah untuk menaklukan Pakuan. Mere ka memancing dengan cara menyerang dan merusak kabuyutan-kabuyutan, bertujuan agar kekuatan Pajajaran keluar dari Pakuan, dan Pakuan agar mudah diduduki. Hal ini berdasarkan pada alas an, bahwa kabuyutan sampai dengan masa Pajajaran masih diang gap sebagai Dangiang Sunda, tempat harga diri raja-raja Sunda (dan Galuh) mempertahankan kehormatannya. Kisah tentang nilai kehormatan ini merupakan amanat langsung dari Prabu Darmasik sa, raja Pajajaran, yang sebelumnya raja di Saunggalah (kawasan Galuh), bahkan Sri Baduga pun pernah mengeluarkan piteket yang memerintahkan untuk membunuh siapa saja yang menggangu ka buyutan Sunda Sembawa, sebagaimana yang ditemukan didalam prasasti Kabantenan. Amanat dari Prabu (Rakean) Darmasika me nyebutkan,: “lebih berharga kulit lasun (musang) di jaryan (tem pat sampah) Jika dibandingkan raja putra yang tidak mampu mempertahankannya kabuyutannya.” Inilah alasan musuh musuh menyerang Kabuyutan-kabuyutan Sunda - Pajajaran.

Kabuyutan-kabuyutan yang diserang pada waktu itu, antara lain di Sumedeng; Ciranjang dan Jayagiri. Tak kurang dari para pandita yang dibunuh secara keji, seperti pandita di Sumedang dan Ciranjang; Pandita di Jayagiri dibenamkan kedasar laut hidup-hidup; sedangkan seorang Pandita sakti bernama Munding Rahi ang dibenamkan kelaut hidup-hidup, akan tetapi masyarakat me-yakini, Pandita tersebut hanya hilang dari penglihatan manusia bersama raganya. Kemudian diberi nama Hyang Kalinganja. Kisah ini pun dituliskan didalam naskah Carita Parahyangan, menyebut kan,: “Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang Pan dita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandi ta sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Sa-mangkana ta précinta..” Namun naskah Carita Parahyangan tidak tuntas menyebutkan, apakah kekuatan Pakuan sempat melakukan pembersihan atau tidak. Naskah tersebut hanya menyebut akhir dari kisah Ratu Dewata yang meninggal pada tahun 1543, di pusa rakan di Tampian Dalem.

⫵⫵

Ratu Dewata digantikan oleh Ratu Sakti, putranya, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Konon kabar Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan Ratu Dewata yang diang-gap alim. Ratu Sakti dianggap sering melanggar agama dan dariga ma, atau ngarumpak sagala larangan yang ditabukan, bahkan tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang harus memegang Purbatisti–Purbajati. Pelanggaran tabu ini dikisahkan menikahi istri ayahnya (ambu tere); membunuh orang tanpa dosa; merampas harta orang; tidak berbakti kepada orang tua dan pemuka agama. Pelanggaran yang dianggap keterla luan adalah melanggar aturan “Estri Larangan”, yakni menikahi istri-se lir ayahnya. Ketatnya aturan ini dalam budaya Sunda bukan hanya terjadi pada jaman Ratu Sakti, namun Prabu Dewa Niskala, ayah dari Sri Baduga Maharaja dan putra dari Prabu Niskala Wastukan cana terpaksa turun dari tahta Galuh, hanya karena dianggap me langgar “Estri Larangan”, yakni menikahi istri ti kaluaran. Didalam tradisi urang Sunda (Pajajaran – Galuh), ada tiga wanita terlarang (Istri larangan) yang tidak boleh dinikahi. Larangan demikian di tuliskan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Sanghiyang Siksa Kandang Ng Karesyan. Carita Parahyangan mengisahkan Ratu Sak ti, sebagai berikut: “Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambu téré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bak ti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.” Pada akhirnya nas kah ini menyebutkan dengan kalimat : “Aja tinut de sang kawuri pola sang nata - Janganlah ditiru oleh mereka yang (hidup) kemu dian kelakuan raja ini.“ Ratu Sakti setelah wafat dimakamkan di Pengpelangan.

Pengganti Ratu Sakti adalah Prabu Nilakendra, berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi. Pada masa pemerintah Prabu Nilakendra Pakuan jajaran sudah kembali menata Pakuan. Prabu Nilakendra membuat bendera-bendera (Sanghyang Panji); memperindah keraton; membalay tanah dan membuat taman-ta man disekitar pintu larangan; membangun tiang-tiang keraton yang berjumlah tujuh belas; serta membuat ukiran dengan berma cam-macam kisah. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan,: ”To haan di Majaya ..... Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituwe Jas jajar, tinulis pinarada warnana caca ritaan.”

Pembangunan kembali fisik Pakuan dimungkinkan tidak di-sertai dengan membangun kekuatan spiritual, spiritual dan keama nan. Padahal keadaan masa itu merupakan akumulasi dari keada- an sebelumnya. Pajajaran mulai turun pamor sepeninggal Prabu Surawisesa. Pada masa Nilakendra musuh makin gencar meng-ganggu keamanan wilayah Pajajaran, bahkan sudah sangat meng ganggu keamanan didalam kota Pakuan. Naskah Carita Parahyang an menggambarkan,: “Pada jaman manusia sejagat tidak mengala mi kejahatan disebutnya jaman sejahtera (kreta), jauh dari keseng saraan dan hidup bahagia. Tidak ada yang menyebabkan kehancu- ran alam. Pada jaman dopara, jaman perunggu; seterusnya ber ganti kejaman kali, jaman beusi - Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sangha ra, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali (Kaliyuga).” . Inilah gambaran pada akhir masa Prabu Nilakendra.

Pada jaman ini, musuh lemes sudah nampak kepermukaan, seperti adanya pembangkangan masyarakat dan pembesar kepa-da perangkat pemerintahan dan pemuka agama. Konon terbetik kabar, di Pakuan sudah tidak mengabaikan lagi prinsip,: ”nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang; makan sekedar lapar, minum menghilangkan dahaga”, bahkan naskah Carita Parahyang an menyebutkan: “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan; Para petani merasa kurang akan makanan, tidak mera sa senang bila tidak bertanam sesuatu.” Disatu sisi rakyat Pakuan sudah mulai frustasi, karena takut sewaktu-waktu musuh datang menyerang. Masalah ini sangat jarang di perhatikan oleh masyara kat peminat sejarah Sunda, pada umumnya hanya melihat ganggu an yang datang dari luar, yakni Banten dan Cirebon. Padahal jika Pajajaran masih dianggap kuat, seperti terakhir pada Prabu Sura wisesa Jayaperkosa, maka suatu hal yang mustahil jika Banten dan Cirebon berani langsung menyerang kota Pakuan. Dalam keadaan demikian datang pasukan Tambuh Sangkane dari Banten menye rang Pakuan. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan :”Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan; Prabu Nilakendra kalah perang, sejak itu tidak berdiam di keraton.” Na mun ada yang menafsirkan buraknya Pajajaran dari naskah Waru ga Jagat (Sumedang) dan Pancakaki Karuhun Kabeh (Cisondari) dalam tahun Jim Akhir, adalah peristiwa yang menyangkut saat Prabu Nilakendra meninggalkan keraton karena kalah perang. Rombongan raja dan para pengiringnya mengungsi kearah Suka-bumi Selatan.

⫵⫵

Sepeningal Nilakendra para penduduk banyak yang mengung si kesekitar pelosok kotanya, sebagian lagi ke Pulasari. Para kera bat keraton sebagian besar masih banyak yang tinggal di Keraton, namun ada juga yang kembali kenegara dibawah Pajajaran. Sisa nya bertahan bersama pasukan pengawal yang dipercaya menja- ganya. Para penjaga ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Bareusan Panganginan, dalam tradisi pantun disebutkan, dipim- pin oleh tiga orang Senapati, yakni Demang haurtangtu; Puun Bu luh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.

Benteng Pakuan sekalipun sudah ditinggalkan rajanya masih tetap sulit dijebol, sehingga Maulana Yusuf memerlukan waktu sembilan tahun sejak naik tahta untuk untuk mempersiapkan pe nyerangan besar-besaran. Didalam Serat Banten menyebutkan pe ristiwa pemberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerang an ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, “Nalika kesah pu nika-ing sasih Muharam singgih-wimbaning sasih sapisan-dinten ahad tahun alif-punika sakalanya-bumi rusak rekeih iki - Waktu keberangkatan itu-terjadi bulan Muharam-tepat pada awal bulan-hari Ahad tahun Alif-inilah tahun Sakanya-satu lima kosong satu. Hanya beberapa saat benteng Pakuan dapat dikuasainya. Konon menurut berita Banten, gerbang Pakuan dibukakan oleh Ki Jonggo, salah seorang komandan pasukan pengawal, yang masih saudara dengan salah satu komandan pasukan Banten. Itu pun di lakukan karena merasa sakit hati, tak pernah dapat kenaikan pangkat. Me nurut sumber dari Cirebon Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakha masa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala-Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian te rang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’ awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Para penduduk pakuan banyak yang pergi mengungsi. Menu rut sumber Babad ada pula senapati Pajajaran yang melarikan diri kearah timur, antara lain tiga orang bersaudara, yakni Jayaperko sa, Pancar Buana dan Wiradijaya. Mereka memiliki perjalanannya tersendiri, ikut serta membantu Pangeran Angkawijaya menjadi Prabu Geusan Ulun, raja Sumedanglarang untuk meneruskan trah raja-raja Sunda. Yang unik dari perjalanannya tentang penyelama tan Sanghyang Pake, pakean raja-raja Pajajaran yang akan dilantik menjadi raja Pajajaran. Pakean ini diselamatkan oleh Jayaperkosa bersaudara kearah Sumedanglarang, untuk diserahkan kepada Anggakawijaya. Dengan demikian Geusan Ulun dianggap sebagai penerus raja-raja Sunda.

Adapula yang mengungsi kedaerah Bayah dan Ci solok, Sukabumi selatan. Menurut sumber Pantun Bogor, rombong an pengungsi keraton terpecah-pecah. Rombongan raja mengung si ke wilayah Tegal Buleud, Sukabumi Selatan. Kelompok kedua di pimpin oleh tiga orang senapati Bareusan Panganginan. Pasukan ini semula sebagai pasukan khusus penjaga Pakuan atau penga wal istana. Yakni Demang haurtangtu; Puun Buluh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.

Kelompok ketiga dipimpin Prabu Anom, menuju Cibeo Kane kes, kecamatan Leuwi Damar, Lebak Banten. Kelompok keempat yang terkecil. Mereka terdiri dari jumlah yang paling sedikit, yakni Nay Putri Purnamasari, putri bungsu raja Pajajaran dari istrinya yang ketujuh, dan suaminya Rahyang Kumbang Bagus Setra. Mere ka dikawal seorang Puragabaya yang bernama Rakean Kalang Sun da. Kelompokan inilah yang banyak dikisahkan dan dianggap ba nyak meninggalkan jejak.

Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan pada masa itu, namun secara resmi Pakuan ditemukan kembali pa da tanggal 1 September 1687, dalam keadaan kosong oleh Ser san Scipio, pasukan ekspedisi Kompeni Belanda. Dalam laporannya menyebutkan, bahwa: ”istana tersebut dan terutama tempat du duk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, se karang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejum lah besar harimau.”

⫵⫵⫵

Minggu, 04 November 2012

Tokok Perempuan tatar Sunda

Kaum perempuan didalam tradisi Sunda ditempatkan sebagai sosok makhluk yang sangat penting dan dan terhormat, diposisikan sebagai pelindung, pengasuh atau disebut juga Patih Goah. Hal yang tidak mengherankan, karena tradisi dan keyakinan Urang Sunda buhun, atau urang sunda dahulu menempatkan posisi per-empu-an sebagai sosok yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, seperti ditemukannya sosok tokoh adikuasa yang bernama Dewi Sri, Nyi Pohaci, Sang Wirumananggay serta Sunan Ambu. Istilah Sunan berasal dari kata suhun, artinya yang disembah. Ambu adalah ibu. Di kahyangan (tempat tinggal para hyang dan roh-roh leluhur itu), Sunan Ambu memiliki posisi yang penting, berkuasa atas para pohaci (bidadari) dan bujangga (bidadara).

Dalam dunia nyata, banyak pula tokoh perempuan Sunda nu manggung dina sajarah. Seperti Ni Buyut Dawit yang pernah menjadi penguasa Galunggung, suatu nagara kabataraan yang ngabiseka Galuh, dan penyusun naskah Sundo Kuno tentang tetekon hirup urang sunda.

Tokoh per-empu-an terkait pula dengan siloka pencarian jatidiri Ki Sunda, seperti Dayang Sumbi dalam legenda Sangkuriang, yang sering dihubungkan pula dengan kisah terbentuknya danau Bandung Purba. Selain kisah ini, ditemukan juga dalam kisah lain, seperti Kisah Purbasari (Puspasari) dan Purbalarang.

Kisah tentang gambaran kebaikan dan keburukan. Dalam kisah ini pun Sunan Ambu dikishkan berperan penting, dengan menurunkan putranya untuk membantu Purbasari, untuk kemudian sangg putra mendampingi Purbasari memimpin nagara Pasir Luhur anu Girang. Tokoh-tokoh perempuan juga memiliki peran yang efektif untuk menyatukan para keturunan Sang Wretikandayun, seperti kisah para putri Galunggung yang menikah dengan Sang Manarah dan Banga. Untuk kemudian para keturunannya bersatu kembali dan memimpin di tatar Sunda, hingga masa Pajajaran, bahkan Perempuan dilambangkan pula sebagai pusat harga diri laki-laki Sunda. Misalnya kisah tentang Dewi Citraresmi atau Diyah Pitaloka, yang memilih melakukan belapati daripada hidup terhina.

Pada masa ke Indonesiaa, seperti dari epos kepahlawanan pun demikian. Pada masa perintis Kemerdekaan dikenal pula Dewi Sartika (1884-1947). Beliau terkenal sebagai tokoh pendidikan, bahkan perlawanannya pun bukan sekedar surat menyurat, seperti curhatan di FB yang kemudian dibukukan, akan tetapi Ibu Dewi benar-benar terjun mendirikan sekolah kautamaan istri dan memiliki banyak murid. Kisah dan model perlawanannya bayak ditiru tokoh-tokoh wanita lainnya, terutama yang mengambil aras pendidikan. Demikian pula Gan Ema, atau sebutan untuk nama Raden Ema Bratakusuma, tokoh yang sangat berpengaruh di tatar Sunda sampai ke Betawi.

Nakh sekarang bagaimana posisi para “ambu” teureuh di tatar sunda ?.

Kamis, 23 Agustus 2012

Urang Baduy

Banyak istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut suatu komunitas masyarakat adat Sunda yang tinggal di di kaki pegunungan Kendeng, seperti “Urang Pajajaran nu teu daek asup Islam”, “Urang Sunda Buhun” “Urang Sasak Rawayan”, dan “Urang Baduy, namun sebutan “Baduy” paling sering digunakan untuk komunitas ini. Istilah Baduy pertama kali disebutkan oleh para peneliti Belanda, mereka mempersamakan dengan Suku Badawi (Bedouin) Arab yang masih nomaden - berpindah-pindah.

Banyak kesalahan-kesalahan masyarakat kita dalam menafsirkan siapa "Orang Baduy" ini, terutama ketika mempersepsi tentang agama (ageman) mereka. Tak jarang diucapkan secara sinis, seolah melihat masyarakat yang tidak beradab dan tidak beragama. Tapi apapun tanggapan dan persepsi masyarakat kita, Urang Baduy atau Urang Rawayan adalah pemilik asli negara ini, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita.

Pada waktu itu saya ada di Bandung, pernah kedatangan seorang pu'un dari Baduy Dalam. Pu'un menceritakan bagaimana masyarakat kota "ngaranjah Leuweung Larangan" mereka. Hebatnya, aparat malah mendiamkan dan menangguk keuntungan dari ranjahan tersebut. Pu'un hanya ingin meminta bantuan saya agar bisa menyuarakan ke Menteri Lingkungan Hidup, karena daerah tersebut termasuk Wilayah Cagar Alam. Namun sampai sekarang tak pernah ada penyelesaian serius dari Pemerintahan. Bahkan kegiatan didaerah tersebut saat ini telah berkembang, dari alasan untuk mengangkat derajat Urang Baduy sampai ada team penyebaran agama, namun semuanya menurut Pu'un hanya mencari uang dari keberadaan Urang Baduy.

Kalo diteliti lebih dalam lagi, memang ada semacam komunitas yang hampir mirip dengan Urang Baduy, seperti Urang Baduy Luar dan Komunitasnya Abah Anom dari Kampung Ciptarasa – Ciptagelar. Komunitas ini tidak sekeras Baduy Dalam dalam cara mempertahankan adat dan tradisinya, bahkan yang agak longgar menerima budaya dari luar komunitasnya. Urang Baduy luar cenderung menerima adat Baduy Dalam, karena mereka berasal dari Baduy Dalam, namun keberadaanya ada juga yang dianggap melanggar adat sehingga perlu dikeluarkan dari Baduy Dalam. Urang Baduy luar sesekali menerima sweeping dari Baduy Dalam, terutama jika urang luar ini dianggap terlalu jauh menyimpang dari Tradisi Baduy Dalam, seperti piring tidak boleh berwarana, dll-nya.

Kelompok Urang Baduy pada umumnya terdiri dari tiga komunitas, yakni Baduy Dalam, Baduy Luar , dan Baduy Dangka. Baduy Dalam atau kelompok “tangtu” adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka berpakaian putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar disebut juga masayarakat “panamping”. Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan “Baduy Dangka” tinggal diluar wilayah paling luar dari Baduy Luar. Fungsi dari masing-masing komunitas diyakini sebagai “papancen”, yaitu Baduy Luar menjaga dan membantu “tapa” (semedi) Urang Baduy Dalam. Sedangkan Urang Baduy Dangka bertugas semacam penyangga pengaruh dari luar.

Bertapa yang dimaksudkan bukan sebagaimana “tapa” yang kita kenal saat ini, yaitu berpuasa makan, minum atau melek, namun menurut mereka, tapa yang benar itu adalah harus menjaga seluruh alam , meneguhkan , menetapkan cara penggunaan tugasnya, disamping itu dilarang melakukan pengrusakan dan merubah “titipan”, seperti kalestarian alam. Maka dari itu di Baduy Baduy Dalam dilarang membuat rumah menggunakan paku dan tidak boleh meratakan tanah, semua harus alami. Pengisi rumah dilarang memakai perhiasan emas dan dilarang menyalakan lampu minyak tanah. Sebab minyak tanah berasal dari alam dan cara menambangnya merusak alam dan lingkungan. Namun gunakanlah lampu berbahan baker minyak picung (sejenis buah-buahan) atau minyak kelapa. Mata pencaharian Urang Baduy yaitu “ngahuma”, namun tanahnya tida boleh dicangkul,

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy di Kanekes adalah "puun" yang bertempat tinggal di tiga kampung Baduy Dalam, berdasarkan pada kemampuannya, tidak dibatas waktu (umur atau masa kerja). Mereka menerima jabatan tersebut turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.

Berdasarkan keterangan Pu'un mereka mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya mempunyai tugas untuk menjaga adat - harmoni dunia. Namun sejarah ini sangat hanya diperoleh dari cara tutur tinular, tanpa adanya peninggalan-peninggalan tertulis yang sangat diyakini kesahihannya oleh para peneliti.

Pendapat asal mula Urang Baduy menurut Urang Baduy asli berbeda dengan pendapat ahli sejarah. Para ahli sejarah banyak menggunakan pendapatnya rujukan dari prasasti dan catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok. Selain dari catatan tersebut sering juga diambil dari catatan budaya (cerita rakyat) di Tatar Sunda, namun catatan ini sangat sedikit sehingga sering menimbulkan kontradiksi dengan cerita yang berasal dari Urang Baduy” sendiri.

Dilihat dari perjalanan budaya Urang Budaya tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan masyarakat Sunda yang pernah berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor). Ada sebagian ahli sejarah yang menyebutkan bahwa Urang Baduy adalah penduduk setempat yang daerahnya dijadikan kawasan suci (mandala) oleh Raja Rakeyan Darmasiksa. Jika dilihat dari Carita Parahyangan, Rakeyan Darmasiksa memerintah selama 150 tahun, tetapi menurut Naskah-naskah Wangsakerta disebutkan selama 122 tahun (1097 – 1219 Saka) atau 1175 s/d 1297 Masehi.

Ada juga yang mengaitkan asal mula Urang Baduy dengan sejarah perdagangan di Banten. Konon kabar Urang Baduy adalah tentara kerajaan Sunda yang sangat terlatih yang ditugaskan untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. pada waktu itu sungai Ciujung dapat dilayari dan dijadikan wilayah perdagangan. Berbeda dengan pendapat Van Tricht, pernah melakukan riset pada tahun 1928, menurutnya Urang Baduy penduduk asli daerah tersebut yang diberikan tugas untuk menjaga tradisi luar, namun mereka menolak jika disebut berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran. karena dalam paradigmanya : "Jika kami ini pelarian tentunya kami ini termasuk orang-orang yang melakukan kesalahan, sehingga perlu melarikan diri. Namun kami tidak pernah melakukan kesalahan".

Di sekolah yang tidak mempelajarai masyarakat Baduy secara spesifik pada umumnya menyebutkan Urang Baduy beragama Hindu, bahkan ada juga yang menyebutkan agama Budha. Memang pendapat ini tidak dapat disalahkan jika mengambil alur cerita bahwa hancurnya Pajajaran karena dikalahkan pasukan Islam yang bertujuan mengislamkannya. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri jika memang ada pengaruh dari agama-agama dari luar Sunda, mengingat banyak raja-raja pada waktu itu yang menganut agama Hindu atau Budha. Namun pertanyaannya : apakah agama resmi negara harus pasti dianut masyaraktnya ?.

Urang Baduy menyebut agemannya Sunda Wiwitan, kadangkala menyebutnya Slam Wiwitan. Sedangkan prinsip hidup yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu : pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang dipotong (pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong). Kehidupan Urang Baduy diyakini titipan dari Nabi Adam (Tunggal) yang merek sebut juga Wiwitan (asal muasal) yang harus dijaga sampai kapanpun. Urang Baduy memiliki komitmen untuk mendirikan, membangun dan meneguhkan titipan dari wiwitan yang diperintahkan Adam Tunggal. Namun mereka juga meyakini perlu adanya bantuan dari pihak pemerintahan.

Mengenai wiwitan yang perlu dipegang teguh, yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” perlu juga disertai dengan perilaku - Mipit kudu amit - Ngala kudu menta - Ngagedag kudu bewara - Ngali cikur kudu matur - Ulah gorah, ulah linyok (bohong) - Ngadek kudu sacekna (nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun) - Ulah sirik, ulah pidik - Ulah ngarusak bangsa jeung nagara - Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak.

Bagi saya dengan keteguhan Urang Baduy dalam menjaga tradisi dan adat leluhur ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Hindu, Budha dan Islam. Dengan tidak adanya strata sosial , benda yang mereka sembah sebagai perantara dengan Tuhan (sebagaimana yang dilakukan agama lain) dan meyakini Gusti Nu Maha Suci atau tuhan yang maha suci meneguhkan bahwa masyarakat Baduy adalah monoteisme. Tetapi saya pun mengakui tidak adanya bukti tulisan, sehingga para peneliti sejarah sering salah mengklasifikasikan ageman dan tradisi Urang Baduy.

Cag Heula ................ (***)

Sabtu, 11 Agustus 2012

Istilah Sunda

Penggunaan istilah Sunda saat ini diidentifikan dengan isti lah Jawa Barat, padahal secara histori memiliki sejarah yang berbeda. Kedua istilah tersebut mengalami perubahan pe ngertian dan penafsiran, sehingga sering terjadi kekeliruan dan keragu-raguan dalam penggunaannya, terutama ketika istilah Sunda hanya dikonotasikan politis, dianggap sukuis me, sehingga terpaksa istilah Sunda dalam pergaulan sosial dan budaya harus diganti dengan sebutan Jawa Barat.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk me nyebutkan suatu kawasan, atau gugusan kepulauan yang ter letak diwilayah lautan Hindia Sebelah Barat (Sunda besar dan Sunda kecil), bahkan istilah Sunda digunakan untuk me nunjukan gugusan kepulauan tersebut didalam peta dunia, kecuali di Indonesia. Istilah Sunda ditemukan pula di dalam prasasti dan naskah sejarah, digunakan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaan, bahkan bukan hanya terbatas di dalam yuridiksi penerintahan Jawa Barat saat ini, melainkan jauh kewilayah Jawa Tengah, didalam Catatan Bujangga Ma nik (abad ke-16) disebut Tungtung Sunda.

Menurut Edi S. Ekadjati dalam pidato pengukuhan jabatan gu ru besarnya yang berjudul SUNDA, NUSANTARA, DAN INDONE SIA SUATU TINJAUAN SEJARAH (1995:3–4) memaparkan bahwa: Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang menyebut Sunda sebagai na ma tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar ta hun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India (Atma mihardja, 1958: 8). Kiranya berdasarkan informasi dari Pto lemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa kemudian menggu nakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pu lau yang terletak di sebelah timur India. Hal yang sama diung kapkan oleh seorang ahli geologi Belanda R.W. van Bemme-len menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya di na mai Sahul.

DATARAN- KEPULAUAN SUNDA
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang menunjukan gugusan kepulau an yang disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil.

DATARAN SUNDA dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang me lingkar (CIRCUM-SUNDA MOUNTAIN SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian uta ma, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian ba rat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung deng an kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sa hul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).

Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di da taran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula, yakni KEPULAUAN SUNDA BESAR dan KEPULAUAN SUNDA KECIL. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau yang be rukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil me rupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flo res, Sumba, Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudi an istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi da lam percaturan ilmu bumi Indonesia.

Pendapat diatas tentunya mendekati paradigma masyarakat saat ini yang sedang mencari jejak Benua Antlantis, seperti Stephen Oppenheimer, seorang Profesor dari Universitas Oxford dan Arysio Santios, Profesor dari Brazil. Konon berda sarkan penemuan para ahli Amerika dan Jepang, yang menga cu pada ciri ciri kehidupan dan genetika manusianya, benua tersebut berada diwilayah yang saat ini disebut dataran Sunda. Didaerah ini pun ditemukan jejak arkeolog peningga lan prasejarah, seperti Situs Gunung Padang yang berada dibeberapa tempat, seperti Cianjur dan Ciwidey. Beluim lagi penemuan di Bukit Dago dan Gunung Masigit. Terakhir digu nung lalakon.

Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya berjudul ‘Eden in The East’ di gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pu sat, Kamis 28 Oktober 2010, menyebutkan, bahwa : Sejarah selama ini mencatat bahwa induk peradaban manusia mo dern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, nenek moyang dari induk peradaban manusia mo dern berasal dari tanah Melayu yang sering disebut deng an Sundaland atau Indonesia. Apa buktinya? “Peradaban agri kultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia. Dalam perjalanan yang dilakukannya, Oppenhe imer dimulai dengan komentar tanpa sengaja di sebuah desa zaman batu di Papua Nugini. Dari situ dia mendapati kisah pe ngusiran petani dan pelaut di pantai Asia Tenggara, yang di ikuti serangkaian banjir pasca-sungai es hingga mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Oppenhei mer meyakini temuan-temuannya itu, dan menyimpulkan bahwa benih dari budaya maju, ada di Indonesia. Buku ini mengubah secara radikal pandangan tentang pra sejarah.

Pada akhir Zaman Es, banjir besar yang diceritakan dalam kitab suci berbagai agama benar-benar terjadi dan meneng gelamkan paparan benua Asia Tenggara untuk selamanya. Hal itu yang menyebabkan penyebaran populasi dan tumbuh suburnya berbagai budaya Neolitikum di Cina, India, Meso potamia, Mesir dan Mediterania Timur. Akar permasalahan dari pemekaran besar peradaban di wilayah subur di Timur Dekat Kuno, berada di garis-garis pantai Asia Tenggara yang terbenam. “Indonesia telah melakukan aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum orang lain melakukan nya.” Oppenheimer mengungkapkan bahwa orang-orang Poli nesia (penghuni Benua Amerika) tidak datang dari Cina, tapi dari pulau-pulau Asia Tenggara. Sementara penanaman be ras yang sangat pokok bagi masyarakat tidak berada di Cina atau India, tapi di Semenanjung Malaya pada 9.000 tahun lalu.

Pendapat ini tentunya menuai tanggapan dari berbagai pihak dari yang mendukung sampai dengan yang tidak percaya, bahkan banyak pula para akhli Indonesia maupun para In donesianis menyangkal pendapatnya. Persoalannya sekarang mampukah kita menemukan jawaban atas pencarian terse but, atau hanya ‘bakutet’ seperti “monyet ngagugulung kala pa ?”. Jika dikelak kemudian hari pertanyaan tersebut ter jawabkan, tentunya akan mampu merubah peta kesejarahan dunia.

BEBERAPA PENGERTIAN SUNDA
Rouffaer (1905: 16) menyebutkan, bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkin an dari akar kata SUND atau kata SUDDHA dalam bahasa Sanse-kerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Ja wa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, de ngan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Menurut Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata SUD-DHA dalam bahasa Sansekerta digunakan untuk menyebut kan sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pu lau Jawa, dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Para hu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Ja wa terinspirasi oleh nama sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota pelabu han Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar Kota Bogor se karang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasas mita dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadi niningrat, 1913: 75).

R. Mamun Atmamihardja, dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan pada berba gai kamus bahasa, yaitu :

SANKSAKERTA : - Sopan, bersinar, terang, putih;
- Nama Dewa Wisnu;
- Ksatriya Buta (daitya) dalam cerita Upa Sunda dan Ni Sunda
- Ksatriya Wanara dalam cerita Ramayana
- Nama Gunung di Bandung Utara
KAWI : - Air, tumpukan, pangkat, waspada
J A W A : - Bersatu; penyusun; dua (nama chandrasang kala)
- Unda - naik; Unda – terbang.
SUNDA : - Saunda atau Saundana Lumbung Padi
- Sonda – bagus; indah; menyenangkan;
- Sonda – terkenal
- Sonda – laki laki tampan
- Sundara – nama Dewa Kamajaya
- Sundari – perempuan cantik

DIDALAM PRASASTI DAN NASKAH KUNA
Di bidang sejarah menurut Ekadjati (hal.2) : istilah Sunda yang menunjukan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan segala akitivitas kehidupan manusia didalam nya, muncul untuk pertama kalinya pada abad ke-9 Masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Ke bon Kopi, Bogor beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Bahwa terjadi peristiwa untuk mengembalikan kekua saan prahajian Sunda pada tahun 854 Masehi. Pada waktu itu sudah diketahui adanya suatu wilayah yang memiliki pengua sa yang diberi nama Prahajian Sunda. Ada juga yang menye butkan istilah ini telah dimuat dalam Prasasti Kabantenan. Prasasti tersebut menjelaskan tentang suatu daerah yang disebut Sundasembawa.

Data lain yang menyebutkan tentang istilah Sunda ditemu kan pula, dengan penjelasan: “pemerintahan Suryawarman meninggalkan sebuah prasasti batu yang ditemukan di kam pung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan Purnawar man. Prasasti ini berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch) ;

• ini sabdakalanda juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsandeca barpulihkan haji sunda. (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat dalam [tahun Saka] 458 [bahwa] pemerintahan daerah dipulihkan kepada raja Sunda”.

Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat seba gai raja Tarumanagara ketujuh. Diperkirakan memerintah pada tahun 457 sampai dengan tahun 483 Saka, bertepatan dengan tahun 536 sampai dengan tahun 561 masehi, sedang kan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536 masehi atau abad ke enam masehi. Sampai saat ini tidak kurang dari 20 buah jumlah prasasti yang ditemukan di wilayah Jawa Barat sekarang.

Prasasti dimaksud menurut waktunya dapat dikelompokan menjadi :
(1) prasasti Tarumanagara
(2) Sunda
(3) Rumantak
(4) Kawali
(5) Pakuan Pajajaran.

Nama-nama raja yang tertulis dalam prasasti tersebut yakni :
(1) Rajadiraja Guru
(2) Purnawarman
(3) Haji (raja) Sunda
(4) Sri Jayabupati
(5) Batari Hyang
(6) Prabu Raja Wastu – Niskala Wastu Kencana
(7) Ningrat Kencana (Dewa Niskala)
(8) Prabu Guru Dewataprana (Sri Baduga Maharaja).

Kisah yang dimaksudkan Ekadjati tersebut sama dengan yang dimaksud Pleyte (1914), kisah berdirinya kerajaan Sun da terdapat dalam naskah Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Pendiri dari kerajaan Sunda adalah Terusbawa. Sedangkan eksistensinya ditemukan dalam naskah Nagarakretabhumi (sumber sekunder), yang menjelaskan Terusbawa memerin tah pada tahun 591 sampai dengan 645 Saka, bertepatan dengan tahun 669/670 sampai dengan 723/724 Masehi.

Kisah berdirinya Sunda sebagai nama kerajaan di dalam Pus taka Jawadwipa I sarga 3 dikisahkan, sebagai berikut :
• Telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning rajya Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwapras tawa saking Bharatanagari.
• (Sesungguhnya dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama (kota) Sundapura. Nama ini berasal dari negeri India).

Prasasti tersebut menunjukan bahwa pada masa Tarumana garapun kerajaan Sunda sudah ada, sekalipun mungkin ha nya sebagai negara bagian dari Tarumanaga, atau wilayah ter sendiri, mengingat Tarumanagara didirikan oleh kaum penda tang dari India.

Generasi muda sekarang lebih memahami batas sunda bagi an timur adalah Cirebon. Penafsiran demikian tidak dapat di salahkan, mengingat pada masa Belanda yuridiksi Propinsi Ja wa Barat dibatasi hanya sampai Cirebon. Ekadjati dalam tuli sannya tentang Sajarah Sunda mengemukakan, bahwa :
• Tanah Sunda perenahna di beulah kulon hiji pulo anu ayeuna jenenganana Pulo Jawa. Ku kituna eta weweng kon disebut oge Jawa Kulon. Ceuk urang Walanda mah West Java. Sacara formal istilah West Java digunakeun ti mimiti taun 1925, nalika pamarentah kolonial nga degkeun pamarentah daerah anu statusna otonom sarta make ngaran Provincie West Java. Timimiti za man Republik Indonesia (1945) eta ngaran propinsi anu make basa Walanda teh diganti ku basa Indonesia jadi Propinsi Jawa Barat’.

Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawa hi 46 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Sera yu dan Kali Brebes Jawa Tengah). Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Su ngai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Su ngai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.

Untuk menyelusuri batas budaya, ada beberapa versi yang dapat diacu : Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatatkan perjalanannya pada abad ke-16, mengun jungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah ter sebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Per pustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (Kali Serayu) Ja wa Tengah. Dalam catatan Bujangga Manik disebutkan deng an isitilah Tungtung Sunda, bahkan menurut Wangsakerta, : wilayah kerajaan Sunda mencakup beberapa daerah Lam pung. Hal ini terjadi pasca pernikahan antara keluarga kera jaan Sunda dan Lampung. Hanya saja Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda. Disisi lain nya. Sunda memang tidak membentuk kerajaannya sebagai kerajaan Maritim.

Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanan nya, yang kemudian dibukukan dalam suatu judul Summa Oriental, menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdela pannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk

KERAJAAN SUNDA
Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Ja wa Barat (RPMSJB), uraian tentang kerajaan sunda nampak nya dibatasi sejak Maharaja Terusbawa sampai dengan Citra ganda, atau sejak tahun 669 M sampai dengan tahun 1311 M. Hal ini dapat dipahami mengingat pembahasan kerajaan-ke rajaan yang ada di tatar Sunda diuraikan tersendiri, seperti Sunda, Galuh, Kawali dan Pajajaran.

Pembahasan kesejarahan ini jauh lebih luas dibandingkan de ngan paradigma masyarakat tradisional yang selalu mengait kan Sunda dengan simbol-simbol Pajajaran, atau kerajaan Sunda terakhir. Jika budaya Sunda hanya dipahami hanya se batas Pajajaran, dengan satu-satunya raja yang terkenal, yakni Prabu Silihwangi, maka masyarakat ditatar Sunda akan berpotensi untuk makin kehilangan jejak kesejarahannya. Masalahnya adalah, mampukah masyarakat Sunda merubah paradigmanya untuk melemparkan kemasa yang lebih jauh kebelakang melebihi jejak Pajajaran dan Siliwanginya ?.

Sebutan Sunda untuk nama kerajaan di Tatar Sunda yang me ngambil dari garis keturunan Terusbawa agak kurang tepat jika dikaitkan dengan kesejarahan Sunda yang sebenarnya. Istilah Sunda sudah dikenal sebelum digunakan oleh Terus bawa, bahkan prasasti Pasir Muara yang menunjukan tahun 458 Saka (536 M) telah menyebutkan adanya raja Sunda. Secara logika sangat wajar jika ditafsirkan bahwa istilah Sun da sudah digunakan sebelum tahun tersebut, karena prasasti dimaksud tentunya tidak dibuat langsung bertepatan dengan istilah Sunda ditemukan. Dan prasasti tersebut tidak menan dakan dimulainya entitas Sunda, namun hanya menerang kan, bahwa memang telah ada penguasa Sunda yang berkua sa pada waktu itu.

Istilah Tarumanagara dimungkinkan diterapkan untuk nama kerajaan Sunda yang berada di tepi kali Citarum. Menurut be berapa versi, istilah Sunda digunakan ketika Ibukota Taru managara dipindahkan ke wilayah Bogor. Jika saja ada kaitan nya antara Tarumanagara dengan Salakanagara, kemungki nan besar istilah Sunda juga sudah digunakan untuk nama ke rajaan daerah atau jejak budaya manusia yang ada di dataran Sunda.

Istilah Sunda (Sundapura) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Tarumana gara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). Terus bawa adalah menantu Linggawarman menikah dengan Dewi Manasih, putrinya. Tarusbawa dinobatkan dengan nama MA HARAJA TARUSBAWA DARMAWASKITA MANUNGGALAJAYA SUNDA SEMBAWA. Dari sini para penulis sejarah Sunda pada umum nya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda

Instilah Sunda (Sundapura atau Sundasembawa) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat peme rintahan. Sundapura adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura Purnawarman me merintah dan mengendalikan Tarumanagara, dan di Sundapu ra Tarumanagara mencapai masa keemasanya. Tarumana gara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). digan tikan oleh Terusbawa, menantunya, menikah dengan putri Linggawarman, Dewi Manasih. Tarusbawa dinobatkan deng an nama Maharaja Tarusbawa Darmawas kita Manunggala jaya Sundasembawa. Dari sinilah para penulis sejarah menca tat dimulainya kerajaan Sunda.

LETAK SUNDAPURA
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kam pung Muara dan Prasasti Kebantenan menimbulkan perta nyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Pra sasti tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584, masa Tarumanagara, namun menurut para akhli lainnya dibuat tahun 854, menunjukan pada masa Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara. Pasir Muara kemudian berada dibawah daulat kerajaan Sun da. Namun suatu hal yang paling mungkin prasasti tersebut peninggalan masa Tarumanagara.

Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :
telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prasta wa saking Bratanagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan Tarumanaga. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Nama ini berasal dari nege ri Bharata).

MENJADI SUNDA
Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi sejak Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan ke Sundapu ra, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka Sunda. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tah ta Linggawar man pada tahun 669 M kepada Tarusbawa. Beri ta ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap negara, seperti Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Lingga warman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahir nya Kerajaan Sunda.

Perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan oleh penulis Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah nga ran Kadat wan Bima–Punta– Narayana–Madura–Sura dipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarus bawa denung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradi pati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maha raja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).

Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangun an istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum di dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
”Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran la wan Kadtwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”. (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bi ma–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa)

Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing, dengan nama nya sendiri, secara berurutan disebut Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Ba ngunan Keraton tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasan nya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tang gal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Keraja an Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Banten dan Cirebon.

Laporan Scipio menyebutkan :
“Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog gedui zig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort”. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat du duk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja di temukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebut nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negara nya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Su rakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemu dian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.

PERPINDAHAN IBUKOTA
Pemindahan pusat pemerintahan ke Sundapura memiliki alasan, bukan karena Sundapura adalah daerah asal Terusba wa, melainkan erat kaitannya dengan masalah pemerintahan. Terusbawa menginginkan kembalinya kejayaan Tarumanaga ra sebagai mana pada masa Purnawarman, yang memindah kan ibukota Tarumanagara ke Sundapura. Namun tidak mem perhitungkan akibat politis dari pemindahan ibukota.

Pada saat itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca meninggalnya Purnawarman pa mornya sudah mulai turun di mata raja-raja daerah, teruta ma pasca kekacauan yang terjadi diintern istana. Banyak ra ja-raja daerah yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur Citarum. Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya se bagai pesaing Tarumanagara. Dengan pertimbangan ini Wre tikandayun menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sun da. Sejak saat itu ditatar Sunda muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.

Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, bahkan budayanya. Menurut Saleh Danasasmita, Sunda dengan Galuh memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. Hal yang sama dikemu kakan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda dise but sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh ditereb atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penya tuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) deng an sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kese pakatan para penguasanya, melainkan muncul dengan sendi rinya.

Pasca ditemukannya Prasasti Kawali 1, para ahli sejarah Sun da Kuna pada umumnya berpebdapat, bahwa : “Dengan demi kian pengertian Galuh dan Sunda antara 1333 – 1482 Masehi harus dihubungkan dengan Kawali (ibukota Sunda dengan Galuh pasca bergabung kembali) walaupun di Pakuan ada penguasa daerah. Keraton Galuh sudah ditinggalkan atau fungsinya sebagai tempat kedudukan pemerintah pusat su dah berakhir. Sedangkan Kerajaan Sunda Pra Kawali disebut-sebut hingga masa pemerintahan Citraganda.

MENJADI JAWA BARAT
Sebutan Jawa Barat berasal dari pemerintah Hindia Belanda, terjemaahan dari istilah West Java, muali muncul pada abad ke-19, tatkala Pulau Jawa telah dikuasai penuh oleh Belanda. Untuk keperluan administrasi dan militer Belanda perlu membagi Pulau Jawa kedalam beberapa bagian. Pada akhir nya Belanda membagi tiga daerah militer, yaitu Daerah Mili ter West Java, Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java.

Penggunaan istilah West Java secara resmi digunakan pada tahun 1925, ketika itu dibentuk Province West Java, sedang kan Province Midden Jawa dan Oost Java dilakukan pada tahun 1926. Dari sejarah masa lalu orang Sunda mengingin kan menggunakan istilah Sunda untuk provinsi yang berada di Jawa Barat (Ekadjati, 2005, hal. 11). Upaya tersebut nam pak dimasa lalu. Pertama, menyosialisasikan kepada masya rakat Pasundan tentang konsekwensi dibentuknya provinsi itu, secara lisan maupun diwartakan di mass media. Kedua, mengajukan permohonan kepada pemerintahan kolonial Hin dia Belanda, agar nama provinsi ini disebut Pasundan, beribu kota di Bandung. Permohonan tersebut dipenuhi dan dike luarkan penetapan tentang pembentukan provinsi Pasundan, sebagaimana dimuat dalam Sttatsblad no. 25 dan 378 tahun 1925). Isi staatsblad tersebut menyatakan, bahwa ..... West Java, in inheemsche talen aan te duiden als Pasoendan ....” (Jawa Barat, dalam bahasa orang pribumi (bahasa Sunda) me nunjuk sebagai Pasundan. Namun mengenai ibukotanya ma sih tetap menunjuk Provincie West Java beribukota di Bata via. Pada saat mewujudkan konsep negara federal di Indo nesia (1948-1949), nama negara bagian yang telah di persiap kan bernama Pasundan, sekalipun pada saat persiapannya bernama Jawa Barat. Ketiga, Kongres Pemuda Sunda (1956) mengeluarkan pernyataan (proklamasi), bahwa nama Jawa Barat diganti dengan nama Sunda. Sebagai konsekwensinya nama Jawa Tengah menjadi nama Jawa Barat, sedangkan na ma Pulau Jawa diganti dengan nama Nusa Selatan.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku, sejak tahun 1925 dan pasca Kemerdekaan, nama Provinsi Jawa Barat masih tetap digunakan untuk wilayah Pulau Jawa Bagian Barat, akan tetapi lama kelamaan perkembangan di masyarakat dan karya-karya tulisan juga menggunakan istilah nama Jawa Barat, sehingga menjadi nama resmi. Istilah Sunda pada akhirnya hanya digunakan untuk menunjukan orang dan bu daya yang ada di Pulau Jawa Bagian Barat. Jika saja nama Sun da digunakan untuk menunujuk wilayah, maka hanya di tuju kan untuk kondisi wilayah di masa lalu, atau batas budaya.

Istilah Sunda dalam catatan masa lalu diterapkan untuk me-nyebutkan suatu kawasan, yakni Sunda besar dan Sunda ke cil, sedangkan didalam prasasti dan naskah sejarah diguna kan untuk menyebutkan batas budaya dan kerajaannya. Ba-tas wilayah Sunda (Pasundan) didalam Catatan Bujangga Ma nik (abad 16) disebut PAMANNA SUNDA ATAU TUNGTUNG SUN DA. Batas yang melam paui yuridiksi Jawa Barat sekarang, yakni di timur sampai dengan Cipamali. (***)

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960