Minggu, 17 Juni 2012

Jangjawokan

Orang Sunda Tradisional penganut ageman Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda mengenali istilah jangjawokan yang biasa digunakan ketika menyepah (nyeupah), diucapkan dengan lirih seakan berbisik atau ada juga yang mengucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pula pada setiap laku lampah, bahkan menjadi tertib hidup dalam melakukan kegiatan seha ri-hari, seperti pada saat bergaul, bekerja, dan berdoa. Laku demikian sangat lumrah bagi urang Sunda Tradisional yang tergolong kedalam masyarakat agraris, sedangkan ciri dari masyarakat agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam dan lingkungannya. Konon pula seluruh nu kumelendang di alam dunya dianggap memiliki jiwa, maka jika mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik dan mengambil harus me minta ijin).

Para Sastrawan Sunda seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana dan Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan kedalam kelom pok bentuk PUISI SUNDA. Yus Rusyana menuangkannya keda lam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970). Tentunya apapun penilaian dan pemahaman masing-masing para sas trawan, namun dengan cara ini dapat membantu menga-barkan, bahwa Urang Sunda pernah memiliki suatu produk budaya yang disebut JANGJAWOKAN. Strategi penyampaian demikian sama halnya ketika menyelipkan adat dan tradisi Sunda ke dalam paradigma baru, dalam istilah jawa disebut ‘NGRANGKEPI’, sehingga adat dan tradisi Sunda masih terka barkan sampai dengan saat ini.

Didalam kancah sastra mungkin ada baiknya meminjam isti lah dari para sastrawan. Menurut Wahyu Wibisana : jangja wokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemuka kan Yus Rusyana, mungkin senada dengan pendapat Rach mat Subagya didalam buku tentang “Agama Asli Indonesia”. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kua- sa kuasa imajiner yang di anggap melanggar atas wewe-nangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga. Pengertian imajiner berpusat pada pemi kiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang mempu nyai kekuasaan, kewenangan serta berada di tempat terten tu. Maka dengan cara tertentu, seperti membacakan mantra dan ritual, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang dikehendaki.

Jangjawokan sebagai krama hidup urang sunda di temukan pula didalam kegiatan lainnya, seperti pada cara pengelolaan padi. Jangjawokannya digunakan sejak menebar benih (ne bar); menanam padi (tandur), ngaseuk (ngolah tanah), pa-nen nyiuk beas, nyangu (menanak nasi), membawa beras da ri tempat mencucinya, dan ngisikan (mencuci beras). Contoh jangjawokan yang digunakan dalam mengelola beras, seperti menyimpan beras dan mencuci beras : Mangga Nyi Pohaci - Nyimas Alame - Nyimas Mulang - Geura ngalih ka gedong manik ratna inten - Abdi ngiringan. Ashadu sahadat panata, panetep gama - Iku kang jumeneng lohelapi - Kang ana teleking ati - Kang ana lojering Allah - Kang ana madep maring Allah - Iku wuju salamaet ing dunya - Salamet ing akherat. Asaha duanla ila haileloh - Wa ashadu anna Muhammad darrasolullah. ...... Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa - Nyanggakeun sangu putih sapulukan - Kukus kuning purba herang - Tuduh kang seseda tuhu - Datang ka sang seda herang - Tepi ka kang seda sakti - Nu sakti neda kasakten - Neda deugdeugan tanjeuran.

Contoh lainnya dalam Jampe ngisinikan (mencuci beras untuk ditanak) : Mangga Nyimas Alene - Nyimas Maulene - Geura siram dibanyu mu’min - Di Talaga Kalkaosar - Abdi ngiringan Nyi Pohaci Budu gul Wulung - Ulang jail babawaan kaula - Heug. Nyi Pohaci Barengan Jati - Ka Nyi Pohaci Sukma Jati – heug.

ISTILAH JANGJAWOKAN
Wahyu Wibisana dalam buku Sastra Lagu : Mencari Hubung an Larik dan Lirik menjelaskan, bahwa: “Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah aji mantra dan bentuk puisi pada cerita pantun (Rajah dan Nata an). Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Sanghiyang Siksa Kanda Ng Karesiyan. Sedangkan puisi pada pantun te lah ada sebelum tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Puisi didalam cerita pantun nampak dari ra jah dan nataan”.

Misalnya Rajah dalam Kisah Pantun Gantang an Wangi :Pun sapun - Sang kuyupu ngaraning parukuyan - Sang rupay puting ngaraning seuneu - Sang lingsir putih ngaraning menyan - Kukus nyambuang - Pangandika gusti rosul - Mangka terus ka nu alus - Ka purba ka nu kawasa - Ka nu dihin - Ka nu pasti - Kukus nyambuang - Nuja katatar pasagi handap - Ngungkab bumi tujuh lapis - Cundukna ka ratu bungsu - Ka pangeran rangga sinuhun - Ka batara naga raja - Kanu aya di sakuriling cai.

Jangjawokan arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra di gunakan dalam Naskah Siksa Kandan Karesiyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi penggunaan istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan, karena Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan dan ajian maka istilah ajimantra agak kurang dikenal.

Penggunaan istilah ajimantra (sanksekerta) untuk jangjawo kan dimungkin sebagai adaptasi bahasa yang menggunakan persamaan kata (eufimisme). Istilah Aji didalam kamus baha sa Indonesia disebutkan yang menyebabkan seseorang men jadi sakti, sedangkan kata mantra ditafsirkan sebagai per kataan yang mendatangkan kekuatan gaib; atau susunan ka ta berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap me ngandung kekuatan gaib. Ajip Rosidi lebih menekankan pada istilah Jangjawokan dibandingkan menggunakan kalimat aji mantra. Dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Menurut Ajip Rosidi, dilihat dari segi isinya, Jangjawokan dilaksana kan oleh nu gaib, dalam arti makhluk gaib.

ADAPTASI BAHASA ATAU KEYAKINAN
Pemahaman orang Sunda tradisional tentang konsep Nu Gaib dapat ditelusuri melalui perkembangan sejarah keyakinan. Nama-nama Nugaib dimaksud dapat ditelusuri dalam naskah Kosmologi Sunda (Kropak 420) dan Jatiraga. Nama-nama Nu Gaib bukan hanya istilah-istilah Dewata, seperti Brahma, Wisnu, Siwa dan Mahadewa, namun ditemukan pula nama-nama Nu Gaib yang asli penemuan Ki Sunda, seperti Pohaci, Sunan Ambu dan Wirumananggay.

Menurut Ekadjati (2005 : 176), pada awalnya masyarakat di tanah Sunda sudah mengenal yang gaib sebagai jiwa atau arwah leluhur, yang dapat memancarkan kekuatan gaib. Untuk mencegah pancaran kekuatan gaib yang bersifat bu ruk maka dilakukan ritual-ritual penghormatan, atau ritual-ritual khusus yang dipersembahkan untuk leluhurnya. Rituali tasnya sangat tergantung kepada masing-masing yang indivi du, bahkan sampai sulit untuk mengetahui tatacaranya. Pada periode selanjutnya di Pasundan bersentuhan pula dengan budaya dari India, yang membawa agama Hindu dan Buda. Didalam naskah Wangsakerta dan buku Rintisan Penelusur an Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan bahwa agama Hindu dan Buda berkembang di keraton Tatar Sunda, sedang masyarakat atau rakyat pada umumnya biasa masih tetap yang menganut ageman dari nenek moyangnya.

Didalam keyakinannya agama Hindu dan Buda mengenal pu la adanya istilah yang Gaib lainnya, yakni Dewa yang bukan berasal dari rokh (arwah) nenek moyang. Dewa-dewa terse but mempunyai cara hidup dan tempat tersendiri diluar kehi dupan manusia, yakni nirwana atau sorga. Dewa-dewa dalam agama Hindu jumlahnya memiliki fungsi dan tugas ma sing-masing. Dari sorga dewa-dewa tersebut mengatur dan meng awasi kehidupan manusia. Pada masa kerajaan Sunda dan Galuh para pemuka agama (pendeta, resi, wiku) melakukan pencarian dengan menggunakan referensi dari keyakinan me nurut ajaran leluhurnya serta dari Hindu dan Budha, di sam ping pengamatan, pengalaman dan pengetahuan mereka sen diri.

Pada masa selanjutnya ditemukan konsep Tuhan yang dina makan Hiyang. Istilah Hiyang disebut juga Sanghiyang, memi liki makna yang sama, yaitu Yang Gaib. Konsep Hiyang, Sang hiyang, Sang Hiyang, berpangkal dari makna dan proses ter bentuknya rokh dalam kepercayaan leluhur, namun bukan berasal dari jiwa manusia sebagaimana arwah atau roh. Hi yang terbentuk dengan sendirinya, keberadaannya gaib dan Tunggal, tidak jamak dan menguasai seluruh alam. Sifat Hi yang tercermin dari nama-nama yang diberikan kepadanya, yaitu Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Esa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam), Sang Hiyang Kere sa (Yang Kuasa), Nu Ngersakeun (Yang Berkehendak), dan Batara Guru (Yang Maha Tahu), bahkan Batara didalam isti lah seperti Batara Tunggal dianggap adaptasi bahasa dari ba hasa Hiyang Tunggal.

Penemuan konsep Hiyang tidak serta merta menghilangkan fungsi dari dewa-dewa lainnya, namun tetap ada dan di tem patkan di bawah Hiyang. Tempat Hiyang berada di Parahya ngan atau di luar dunia. Parahyangan memiliki ruang yang digambarkan yang bertingkat tingkat. Tingkat paling bawah dihuni oleh para Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa, Isora, Mahade wa). Diatasnya ditempati Dewa dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati. Diatasnya lagi dihu ni oleh Dewi Sri (Pwa Sang-hiyang Sri), Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini), Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini). Ditempat yang paling atas sekali, bersemayam Sang Hiyang Keresa, tempat yang lepas dari semua ikatan, dan hidup dalam keabadian, atau Jatiniskala.

Dari kesejarahan tersebut memang nampak adanya Nu Gaib dengan Yang Maha Gaib. Istilah Nu Gaib dimungkin disebut kan untuk dewa-dewa dalam dalam konsep Sunda, seperti Sari Dewata dan Ni Dang Larang Nawati; Dewi Sri (Pwa Sang hiyang Sri); Dewi Bumi (Pwa Naga Nagini); Dewa Bulan (Pwa Naga Nagini), disamping dewa-dewa yang mengadopsi dari agama Hindu, seperti Brahma; Wisnu; Siwa; Isora; dan Maha dewa. Sedangkan Yang Maha Gaib disebutkan kepada Sang Hiyang Keresa atau Sang Hiyang Tunggal.

Disisi lain, pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berko notasi makhluk gaib yang berasal dari seperti arwah leluhur. Akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritu litas dalam diri manusa, seperti paradigma tentang raga; bathin dan kuring.

Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan dari salah satu Jangjawokan sebagai berikut: Ka Indung nu ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Ka Indung nu teu ngandung - Ka Rama nu ngayuga - Kadulur opat kalima pancer - Pangnepikeun ieu hate - Ka Indungna anu nagnadung - Ka Ramana anu ngayuga - Ka Indungna nu teu ngandung - Ka Ramana nu ngayuga - Kadulur opat kalima pancer - Kalawan kanu ngurus jeung - ngaluis si …. (anu) …… dst dst.

Dari Jangjawokan diatas tidak nampak adanya eksistensi nu gaib dari luar dirinya. Kecuali jika kalimatul indung nu ngan dung dan nu teu ngandung; bapak nu ngayuga kalawan nu teu ngayuga; dulur opat kalima pancer dianggap makhluk gaib ?. Padahal istilah ini di yakini terkait dengan sejarah diri. Sejarah dimana saat ini dia ada kumelendag (berada) di alam dunia.

PENGGUNAAN JANGJAWOKAN
Pada kasus lain penggunaan Jangjawokan bisa jadi bertujuan untuk memperkuat bathin yang membacakannya, atau sema cam ada perintah ingsun kepada bathinnya untuk berkomuni kasi dengan ingsun orang lain. Jika saja yang dimaksud dalam kandungan jangjawokan sama dengan yang dimaksud dalam Pantun Sunda, mengingat keduanya juga dikatagorikan se bagai puisi arkais, hemat saya dapat pula diperbandingkan dengan referensi dari Buku Jakob Sumardjo tentang ‘Khasa nah Pantun Sunda’, terutama tentang ‘arkeologi pemikiran’ Urang Sunda Buhun. Salah satunya Trias Politik Sunda. Tan pa pemahaman yang jelas niscaya Ki Sunda akan kehilangan sejarah pemikirannya yang hakiki.

Signal dari paradigma dan muara permohonan bisa pula dika itkan dengan strata atau hirarkhi pengabdian. Misalnya Wa do tunduk kepada Mantri; Mantri tunduk kepada nangga nan; nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi, tunduk kepada ratu; ratu tunduk kepada dewata; dewata tun duk kepada Hyang. Dengan demikian posisi Hyang berada di posisi tertinggi.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan ada sebutan Allah kepada yang dimohonkan. Urang sunda biasanya mem baca dengan Alloh. Konsonan “O” nya sangat kental – khas. Menurut beberapa sumber ada jangjawokan dari Urang Ba duy yang menggunakan istilah yang digunakan para pemeluk agama islam, seperti didalam Sawer Panganten dan Sadat Islam. Padahal Urang Baduy memeluk agama Sunda Wiwitan, atau Jati Sunda.

Adapun contoh dari Sawer Panganten Baduy dan sadat Islam, sebagai berikut: Bismillahirohmanirohim-Panggpunten kasadaya-Kau nu tua ka nu anom -Sumawon kanu sepuh mah,-Kaula bade nyembahkeun,-Nyipanganten sareng ki panganten. - Sadat Islam - Sadat Islam aya dua - Ngislamkeun badan kalawan nyawa Dat hirup tangkal iman - Ngimankeun badan sakujur,-Hudang subuh banyu wulu,-Parentah Kangjeng Gusti,-Nabi Adam pangyampurnakeun badan awaking-Sir suci- Sir adam/Sir Muhammad-Muhammad Jaka lalana,-Nu aya di saluhuring alam.

Istilah dalam jangjawokan yang banyak disebut-sebut urang sunda Buhun, seperti Allah, Adam dan Muhammad ten tunya tidak bisa dilepaskan dari paradigma tentang Dzat, Sifat dan Manusia itu sendiri. Mungkin pengaruh dari agama Islam seperti dalam tarekat ‘Nahdlatul Arifin’, yang mengajarkan, bahwa: jika manusia ingin mengenal Allah yang sebenar benarnya, maka seseorang harus mengetahui rahasia ‘alif- lam-mim’, yaitu Allah–Muhammad–Adam. Mungkin juga me nandakan adanya unsur kesatuan yang hakiki antara raga, bathin dan kuringna manusa.

Contoh lain dapat ditemukan didalam kebiasaan sebelum be lajar atau memecahkan persoalan, bertujuan agar dicerahkan pikiran, seperti : Allahuma hujud bungbang-Nu hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng dina angen-bray padang ….. Alllah....... Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula-Bray padang,-Brya caang,-Caang na salalawas na-Lawasna Saumur kula.

Setelah waktu yang cukup lama kemudian dicoba menelusuri dari mana asal jangjawokan itu, dan bagaimana pula bahasa aslinya. Pada akhirnya menemukan dari salah satu sumber, konon dahulunya berisi, demikian : Hujud bungbang-Nu hurung dina jajantung-Nu ruhay dina kalilipa-Remet meteng dina angen-Bray padang-Pangmukakeun kareremet nu aya didiri kula-Bray padang,-Bray caang,-Caangna salalawasna-Lawasna Saumur kula.

Abdul Rojak menyebutkan, Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo) juga mengenal istilah Sa hadat, yang disebut Sahadat Sunda, sebagai berikut :Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi angari cing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad. (Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman allah hanya satu. Kedua para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muham mad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menjelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).

Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh masyarakat Baduy, Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat Cibeo : Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebu tuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90, Asep Kurnia dkk – 2010).

Jika dikaji lebih jauh, mungkin akan ditemukan adanya trans formasi ageman, yang semula menggunakan simbol-simbol dan bahasa agama Sunda Wiwitan, atau menggunakan ba hasa yang digunakan di dalam agama Islam, namun tidak merubah substansi dari tujuannya. Jika saja asal Jangjawo kan yang kedua diatas diyakini bersumber dari jangjawokan yang pertama dan tidak di temukan kalimat Allah, namun da lam bentuk Jangjawokan dibawah pun tidak unsur yang me mintakan kepada makhluk gaib dalam arti diluar (kekuatan) dirinya. Mungkin pencantuman kalimat Tauhid didalam jang jawokan dikembangkan oleh urang sunda berikutnya, bertu juan memintakan legitimasi dan ijin dari yang Maha Gaib, yak ni Tuhan.

Hal ini menunjukan adanya adaptasi dan penguat an permohonan kepada Tuhan. Ada benarnya jika urang tua mengemukakan, bahwa : antara Gusti jeung makhlukna euweuh watesna, leuwih deu keut jeung naon wae, malah masih jauh antara hate jeung urat beuheungna. (antara Allah dan makhluknya tidak ada batasnya, lebih dekat dari apa saja, malahan masih jauh jarak antara hati manusia dengan urat le-her).

CIRI-CIRI JANGJAWOKAN
Jangjawokan didalam koridor sastra puisi arkais didefinisi kan sebagai: permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib dalam pengertian makhluk gaib. Sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makh luk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya digunakan oleh urang sunda yang beragama islam (lihat Sadat Buhun), yang di katagorikan sebagai do’a. Hanya saja menjadi membuahkan pertanyaan, apakah jangjawokan itu bukan do’a ?.

Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sun da (arkais), serta dibahas dengan menggunakan Indikator dalam kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika masyarakat Sunda Tradisional mengucapkan jangjawokan tentunya tidak ber tujuan membaca puisi, melainkan memohonkan sesuatu.

Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemung kinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakannya man menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun te murun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terka barkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia deng an alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.

Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, se perti dokter; psikolog; atau profesi apapun yang terkait deng an masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan di gunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya. Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil); Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar); Jampe Neda (Jampi sebelum makan); Jampe Masamon (Jampi bertamu). Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati sipelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunanya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah merupakan bagian dari para akhlinya.

Didalam paradigma sastra mengkatagorikan ajimantra (Jang jawokan) yang merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Sama halnya dengan yang dimuat dalam kamus bahasa Indonesia, yakni susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang diang gap mengandung kekuatan gaib. Dikatakan ’pernah digunakan’ dan ’pernah muncul’, karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah banyak yang tidak menggunakannya, selain sudah jarang diketahui, juga dimungkinkan karena tidak dikenal didalam ageman barunya. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupa kan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.

Dari pernyataan diatas, saya yakin masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nya man digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai ba gian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya kata gorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.

Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri khu sus. Ciri-ciri yang dimaksudkan Wahyu tentunya dilihat dari kata gori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sun da. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawo kan; gaya sastra dan gaya bahasa; rima-rima; dan kelahiran nya dalam pemahaman tentang sastra sunda.

Adapun ciri-ciri Jangjawokan, sebagai berikut :
1. menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sang hiyang Asri, Batara, Batari dll.
2. dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap jangjawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otoma tis berhadapan dengan pihak yang lemah.
3. berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanju tan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yak ni adanya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.
4. masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan.
5. adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut dise rap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucap nya.
6. terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul ke mudian setelah sastra sunda.

PENYEBUTAN KUASA IMAJINER
Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubu ngan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai ke kuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehenda ki, sebagaimana dalam Jangjawokan. Nama-nama kuasa ima jiner, seperti Nu Gaib dan Nu Maha Gaib, sebagaimana diurai kan diatas, tentunya ada juga yang menggunakan istilah-isti lah lainnya, seperti Pohaci Sanghyang Asri; Batara dan Bata ri; Sri Tunggal Sampurna; Malaikat Incer Putih; Raden Angga Keling ; Sang Ratu Babut Buana.

Contoh-contoh penyebutan kuasa imajiner tersebut, seperti didalam Jampe Masamoan : Nu ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga monyet-Nya aing mandahna !-Maung pundung datang turu-Badak galak datang depa-Galudra di tengah imah Kakeureut-kasieup ku pohaci awaking.

Jampe masamoan (berkunjung) diatas bertujuan agar memi liki kekuatan yang tersinari pohaci yang ada didalam dirinya. Bahkan ada semacam perintah bathin kepada bathin siapa pun yang ada ditempat pasamoan tersebut untuk tunduk dan menerima kehadirannya. Mungkin juga dapat ditafsirkan ada nya perintah bathin orang yang hendak bertamu kepada bathin pihak nu di pasamoan.

Contoh perintah bathin seperti diatas dapat dilihat dari jangjawokan tentang Asihan (penarik) seperti dibawah ini : Ka Indung anu ngandung-Ka Rama anu ngayuga-Ka Indung nu teu ngandung-Ka Rama anu teu ngayuga-kadu lur opat kalima pancer-Pang nepikeun ieu hate-Ka Indung na anu ngandung-Ka Rama na anu ngayuga-Ka Indung na nu teu/ngandung-Ka Rama anu teu ngayuga-Kadulur na opat kalima pancer-Kalawan kanu ngurus ngaluis-hirup jeung huripna... (sianu)...../ Pamugi sing ....

Dari jangjawokan diatas ditemukan ada perintah bathin (rasa) dari pembaca jangjawokan kepada bathin (rasa) orang yang dituju, untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Perintah dan urusan koridor bathin ini sangat nampak ketika pemohon memerintahkan bathinnya untuk menyampaikan ke pada bathin tujuannya. Seperti ada eksistensi bathin ibu yang mengandung maupun yang tidak mengandung serta ayah yang melindungi dan yang tidak melindungi). Kemudian dise but pula eksistensi dari saudara yang empat dan pan cernya.

Tentang empat dan pacernya ini ada wawacan yang menje laskan maksudnya, sebagaimana dibawah ini : Coba riksa anu opat nu jadi bakal manusa bumi, geni, banyu jeung angin. Bumi metukeun cahaya hideung, nu nyata jadi pangucap. Geni metukeun cahaya beureum, nu nyata jadi panguping. Angin metukeun cahaya ko neng, nu nyata jadi pangangseu. Banyu metukeun caha ya bodas, nu nyata jadi paningal. ..... Nu metukeun cahaya hideung, tina bumi malaikat sawi ah. Nu metu keun cahaya beureum, tina geni malaikat tamarah. Nu metukeun cahaya koneng, tina anginna malaikat mutmainah, nu metukeun cahaya bodas, tina banyu malaikat loamah. Anu opat ngalebur ngajadi hiji, ngajadi papancer ning manusa.

Dalam konteks yang sama ditemukan pula istilah spiritual yang lajim digunakan penganut agama islam. Sehingga kuasa imajiner jika ditafsirkan yang gaib atau makhluk terasa ku rang pas.

JAMPE UNGGAH : Ashadu sahadat bumi-Ma ayu malebetan-Bumi rangsak tanpa werat-Lan tatapakan ing Muhammad-Birahmatika ya arohmana rohomin

JAMPE TURUN : Allohuma ibu bumi-Medal tapak tatapakan-Turun wawa yang ing Muhamad-Birahmatika ya arohma rohimin.

Jika saja ditelaah lebih lanjut dari kedua jangjawokan ter akhir, kiranya menjadi maklum, bahwa permohonan bathin kepada sesuatu ”Yang Gaib” dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ”Yang Maha Gaib”, atau dapat juga disimpulkan bah wa atas kehendak yang Maha Gaib maka Yang Gaib diperin tahkan. Mungkin lebih bijak jika mendefinisikan jangjawokan dengan cara menggunakan paradigma dari para pengguna nya, yakni masyarakat Sunda tradisional. Ketika mengkaji dan menemukan sejarah diri akan terungkap ada tiga unsur yang menyebabkan manusa hirup jeung hurip, yakni unsur lahir (raga) ; bathin (hidup) dan kuring (aku). Kuring atau aku bertindak sebagai driver bagi lahir dan bathin, bagi raga jeung hirupna. Aku pula yang memanaje raga dan bathin. Da ri paradigma tersebut tentunya dapat disimpulkan, bahwa nu gaib itu bukan sesosok makhluk yang ada diluar dirinya, mela inkan nu ngancik dina dirina. Jika ada sanggahan ma salah spi ritualnya, paradigma yang bisa digunakan tentang pemaha man kesalehan urang Sunda Buhun adalah panggih jeung hyang tanpa balik kadewa (kembali kepada Dzat asal nya bukan kepada Dewa).

PEMBERI PERINTAH
Para pengguna jangjawokan bertindak sebagai pemberi pe rintah bathin, paling tidak sebagai pihak yang menginginkan sesuatu. Oleh para sastrawan diposisikan sebagai pihak yang lebih kuat terhadap penerima perintah. Misalnya didalam jampe masamoan : Nu ngariung jiga lutung-Nu ngarendeng jiga monyet-Nya aing mandahna ……....... kakeureut ka sieup ku pohaci awaking, (atau) : Curuk aing curuk angkuh-Bisa ngangkuh putra ratu …… mangka reret soreang-soreang ka badan awaking.

Sipemberi perintah hemat saya tidak selamanya memposisi kan diri sebagai pihak yang lebih kuat, karena ada juga ke cenderungan kalimat yang dapat ditafsirkan sebagai permo honan atau himbauan, bukan perintah. Jika diperhadapkan dengan yang kuat dan yang lemah, maka sangat tepat jika ia disebutkan sebagai pihak yang lebih rendah dan sedang me mohon sesuatu untuk dikabulkan. Suatu hal yang sering terlu pakan dalah sifat Ki Sunda yang senantiasa menjaga harmo ni,sebagaimana layaknya masyarakat agraris senantiasa men jaga harmoni dengan alam sehingga antara alam dengan diri nya tidak ada batasnya. Inilah yang disebutkan budayawan sebagai puncak mitis spiritualitas, yang tidak dapat dimiliki semua manusia.

Tipe jangjawokan yang ada kaitannya dengan menjaga har moni alam dimaksud sebagaimana yang ditemukan di dalam jampe nyimpen beas (menaruh beras) : Mangga Nyi Pohaci-Nyimas Alane Nyimas Mulane-Geura ngalih ka gedong manik ratna inten-Abdi ngiringan dst.

Kalimat tersebut ini jauh dari unsur memerintah, namun me naruh harapan besar untuk dilakukan, sehingga lebih tepat jika dikatagorikan membujuk untuk melakukan.

Contoh lainnya seperti dalam Jampe Ngisikan (mencuci beras) : Mangga Nyimas Alene Nyimas Mulane-Geura siram dibanyu mu’min-Di Talaga Kalkaosar-Abdi ngiringan ... dst”.

Dari beberapa jangjawokan tertentu, seperti pangabaran atau asihan, penyatuan bathin dan kandungan jangjawokan dilakukan melalui proses kuru cileuh kentel peujit (berpuasa atau semacam tirakat). Mungkin ini untuk menumbuhkan ke sungguhan dan keteguhan hati serta keyakinan agar tujuan tersebut bisa dicapai. D

idalam jangjawokan sering ditemukan adanya pengulangan kata-kata yang bersifat imperatif atau persuasif, misalnya didalam jampe belajar : Bray padang, Bray caang-Caangna salalawasna,-lawasna Saumur kula. (Atau) : Mangka langgeng mangka tetep-mangka hurip kajayaan.

Jika dicermati kalimat ini ada semacam penegasan seperti dari istilah “Bray Padang - Bray Caang”, yang kurang lebih maksudnya sama, yakni terang benderang. Atau dalam kali mat “Mangka Langgeng - Mangka Tetep”, yang artinya kurang lebih agar kekal dan abadi. Namun didalam yang diniatkan, penegasannya dapat dipahami sebagai yang menunjukan kesungguhan dari Pemohon agar tercapai apa yang dikehen dakinya.

PENUTUP
Sangat sulit mendifinisikan jangjawokan, kecuali dari kandu ngan keinginan yang termaktub didalam jangjawokan itu sen diri. Memang ada pernyataan yang meminta kepada kekuatan gaib, namun ditemukan pula adanya upaya untuk mengu atkan bathin, dan negasi tentang eksistensi Tuhan. Jika saja dinyatakan sebagai perintah, itupun sulit didefinisikan, mengingat ada pula jangjawokan yang isinya memohon atau meng himbau, agar yang dimohon dapat memberikannya dengan ikhlas.

Jangjawokan adalah hasil cipta, karsa dan rasa Ki Sunda. Memiliki akar kesejarahan yang mandiri. Sejalan dengan per kembangan dan sejarah pemahaman tentang keyakinan dan sejarah diri, bahkan keberadaanya pernah berperan sebagai penyembuh. Pada masa lalu, jangjawokan bukan sekedar pui si yang dapat dinikmati kata-katanya, namun diyakini memi liki kekuatan spiritual. Biarlah jangjawokan diampihan seba gai sastra dan puisi, agar tidak hilang dan dapat terkabarkan dikemudian hari.

Mun seug tea mah aya nu nyungsi rusiah jangjawokan, di paluruh nepi ka wates wangenna. Tinangtu bakal panggih jeung sajatining hirup jeung huripna. Nu gaib lain makhluk nu misah tina ingsunna. Nu ngulon, nga ler, ngetan jeung ngidul, lain nu nyengkal tina pancerna. Sakabeh aya na hate jeung rasana, aya dina uteuk jeung pikiranana. Ibarat gula jeung amisna, uyah jeung asin na, ngajirim ngajadi hiji, kalawan tinekenan bakal kabu ka rusiah, saha ari urang ? timana ari urang ? jeung rek kamana ari urang ?. Sabab mun manusa geus wawuh jeung dirina tinangtu bakal wawuh ka Gustina.(Cag)

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960