Kaum perempuan didalam tradisi Sunda ditempatkan sebagai sosok makhluk yang sangat penting dan dan terhormat, diposisikan sebagai pelindung, pengasuh atau disebut juga Patih Goah. Hal yang tidak mengherankan, karena tradisi dan keyakinan Urang Sunda buhun, atau urang sunda dahulu menempatkan posisi per-empu-an sebagai sosok yang berpengaruh dalam kehidupan manusia, seperti ditemukannya sosok tokoh adikuasa yang bernama Dewi Sri, Nyi Pohaci, Sang Wirumananggay serta Sunan Ambu. Istilah Sunan berasal dari kata suhun, artinya yang disembah. Ambu adalah ibu. Di kahyangan (tempat tinggal para hyang dan roh-roh leluhur itu), Sunan Ambu memiliki posisi yang penting, berkuasa atas para pohaci (bidadari) dan bujangga (bidadara).
Dalam dunia nyata, banyak pula tokoh perempuan Sunda nu manggung dina sajarah. Seperti Ni Buyut Dawit yang pernah menjadi penguasa Galunggung, suatu nagara kabataraan yang ngabiseka Galuh, dan penyusun naskah Sundo Kuno tentang tetekon hirup urang sunda.
Tokoh per-empu-an terkait pula dengan siloka pencarian jatidiri Ki Sunda, seperti Dayang Sumbi dalam legenda Sangkuriang, yang sering dihubungkan pula dengan kisah terbentuknya danau Bandung Purba. Selain kisah ini, ditemukan juga dalam kisah lain, seperti Kisah Purbasari (Puspasari) dan Purbalarang.
Kisah tentang gambaran kebaikan dan keburukan. Dalam kisah ini pun Sunan Ambu dikishkan berperan penting, dengan menurunkan putranya untuk membantu Purbasari, untuk kemudian sangg putra mendampingi Purbasari memimpin nagara Pasir Luhur anu Girang. Tokoh-tokoh perempuan juga memiliki peran yang efektif untuk menyatukan para keturunan Sang Wretikandayun, seperti kisah para putri Galunggung yang menikah dengan Sang Manarah dan Banga. Untuk kemudian para keturunannya bersatu kembali dan memimpin di tatar Sunda, hingga masa Pajajaran, bahkan Perempuan dilambangkan pula sebagai pusat harga diri laki-laki Sunda. Misalnya kisah tentang Dewi Citraresmi atau Diyah Pitaloka, yang memilih melakukan belapati daripada hidup terhina.
Pada masa ke Indonesiaa, seperti dari epos kepahlawanan pun demikian. Pada masa perintis Kemerdekaan dikenal pula Dewi Sartika (1884-1947). Beliau terkenal sebagai tokoh pendidikan, bahkan perlawanannya pun bukan sekedar surat menyurat, seperti curhatan di FB yang kemudian dibukukan, akan tetapi Ibu Dewi benar-benar terjun mendirikan sekolah kautamaan istri dan memiliki banyak murid. Kisah dan model perlawanannya bayak ditiru tokoh-tokoh wanita lainnya, terutama yang mengambil aras pendidikan. Demikian pula Gan Ema, atau sebutan untuk nama Raden Ema Bratakusuma, tokoh yang sangat berpengaruh di tatar Sunda sampai ke Betawi.
Nakh sekarang bagaimana posisi para “ambu” teureuh di tatar sunda ?.