Kamis, 31 Maret 2011

Tri Tangtu

Sejarah kebudayaan masyarakat Sunda di masa lalu menun jukan kepada sifatnya yang mistis-spiritual, dikatagorikan kedalam masyarakat religius. Masyarakat religius sangat berbeda dengan masyarakat modern-sekuler yang memberikan jarak distansi an tara dia dan diluar dirinya, antara subyek dengan obyek, sehingga wajar jika manusia modern-sekuler lebih mementingkan dirinya di bandingkan orang lain yang berposisi diluar dirinya. Didalam pa radigma yang religius, manusia harus partisipatif aktif terhadap lingkungan dan alam semesta. Mereka menyadari bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam semesta, memerlukan manusia lain nya ; sangat tergantung terhadap alam, yang tak dapat dikuasai, sehingga manusia religius akan selalu menjaga harmoni hidupnya dengan alam dan lingkungan.


Kebudayaan religius atau mistis-spiritial membagi sumber pe ngetahuan kedalam tiga tahap (Sumardjo : 2006, hal.22). Pertama, subyek manusia berhadapan dan berjarak dengan obyek pe ngetahuan, atau antara dirinya dengan obyek pengetahuan ada jaraknya sama halnya dengan yang dipahami masyarakat modern. Sehngga manusia selalu berupaya untuk menggapai pengetahuan tersebut. Pada akhirnya manusia yang mistis–spritual atau religius mengenal pula pengetahuan atau ilmu, seperti ilmu obat-obatan, bertani dan lainnya. Kedua, antara subyek (dirinya) dengan obyek (pengetahuan) tidak ada jarak, atau partisipatif. Seperti dapat dilihat dari pepatah tepo sliro, tenggang rasa ; ngaragap angen sorangan ; tat twan asi, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.


Paradigma demikian bersumber pada faham totalitas dan menjadi pemikiran penting didalam kebudayaan mistis-spiritual. Pengetahuan dengan dirinya menjadi tidak ada batasnya, seperti didalam kisah, legenda danmitos-mitos, bahwa manusia bisa berbicara dengan hewan (Angling Dharma) ; manusia berubah jadi harimau (mitos Kean Santang : dan kerbau putih berubah menjadi Dewa. Contoh lain dari faham totalitas yang tidak membatasi antara masyarakat ma nusia dengan masyarakat di dalam bumi, seperti kisah Purnama Alam, Mundinglaya Dikusumah dan kisah-kisah keajaiban lainnya. Kisah-kisah diatas saat ini tidak dapat dikatagorikan sebagai hal yang rasional, namun tetap disebut rasional dalam katagori penge tahuan Sunda pramodern. Fenomena ini lajim disebut sebagai totalitas.Ketiga, batas pengetahuan dari kebudayaan mistis–spiritual adalah pengetahuan dan pengalaman yang di dalamnya tidak ada lagi subyek dan obyek. Hal ini disebut puncak mistisme, seperti pengetahuan suwung awang uwung, awang awang uwung uwung, kosong dalam kosong adalah isi yang sejati-jatinya. Puncak pengalaman mistisisme ini tidak semua manusia mampu dan memiliki pengetahuan ini.


Dilihat dari cara berpikir masyarakat modern seperti saat ini, pada umumnya hanya berhenti pada tahap pertama, tidak mengenal lagi cara berpikir tahap kedua dan ketiga, sehingga miskin dalam pengetahuan spiritual dan moralitas, memandang persoalan secara homogen (tunggal), padahal makna ruang dan waktu tidak tunggal, homogen.


Pola Budaya masyarakat agraris pada umumnya homogen. Diantaranya memiliki Pola Budaya Tiga, seperti dalam kehidupan masyarakat adat Bugis, Batak, Dayak, Minangkabau dan Sunda. Pola Budaya Tiga nampak dari struktur Kampung Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Perkampungan Cipta Gelar terdiri dari kelom pok kampung besar yang berangota tiga kampung. Masing-masing kampung memiliki peranan yang berbeda. Masyarakat Minangkabau menyebutnya Tigo Tungku Sajarangan atau Pola Nan Tigo. Pola Tigo Tungku Sajarangan merupakan satu kesatuan antara Ninik Mamak (kepala ada) ; Alim Ulama (pemuka agama) ; dan Cerdik Pandai (tokoh masyarakat). Selain dari wujud dan fung si para tokoh, nampak pula dari kampungannya (nagari). Basis budaya Minang dulu diakui berpuncak pada luhak nan tigo, yakni tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, dengan adagium adat ; adat manurun, syara mandaki, maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan perkembangan syara dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan puncak buda yanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung.


Pola Budaya
Sunda Pola Budaya Sunda termasuk pada pola budaya tiga dalam sistem budaya primordial. Masyarakat tradisional Sunda menyebut Pola Tri Tangtu; pola Nu Tilu ; Tilu Sapamalu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda. Pola tiga telah di dokumentasikan sejak tahun 1440 (Saka) atau 1518 M, dalam Koropak 630 yang dikenal dengan Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan. Intinya satu kesatuan dari fungsi ratu ; rama ; dan resi. Naskah tersebut jika di hubungan dengan naskah Kosmologi Sunda menguraikan tentang tiga fungsi diatas, yakni bayu, sabda, dan hedap. Menurut naskah tersebut : setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta, agar kelak bisa kembali ke kodratnya.


Pengertian mengenai tugas dan fungsi yang terkandung di dalam Tri Tangtu merupakan tiga ketentuan di dunia yang disebut peneguh dunia. Naskah Sanghyang Siksa nangtukeun (menegas kan) : Ini tri tangtu di bumi. Bayu kita pinahka prebu, sabda kita pinah ka rama. hedap kita pinahka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaran na.Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tri tangtu pineguh ning bwana. Tri warga hurip ning jagat. Ya sinangguh tri tangtu di nu reya ngaranya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Ke sentosaan kita ibarat raja ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehi dupan di dunia. Ya disebut tri tangtu pada orang banyak namanya. Tugas dan fungsi Tri Tangtu saat ini masih dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy, tentang mengelola perkampungan nya dan melaksanakan enam fungsi pokoknya. Tri Tangtu terdiri atas Resi, Rama, Ratu. Ketiga komponen tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tapi dalam jajaran yang setara. Fungsi Resi : mikukuhkeun agama Sunda ; ngabaratakeun nusa telung puluh telu ; bagawan sawidak lima ; panca salawe nagara, atau na paan. Tapi tapi yang dimaksud adalah menanungi, mengayomi, memelihara, mengelola dan sebagainya yang produktif untuk ke langsungan fungsinya. Fungsi Rama : ngasuh ratu ngajak menak dalam arti menjadi penasehat pihak eksekutif. Fungsi Ratu : Nga heuyeuk dayeuh ; ngolah nagara, atau sebagai pelaksana peme rintahan. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jika telah berpadu maka dapat memperteguh dunia.Tri Tangtu ditemukan dalam ungkapan masyarakat tradisio nal Sunda, antara lain dalam tradisi masyarakat Cipta Gelar, Suka bumi Selatan, yakni : Tilu Sapamalu - Dua Sakarupa - Hiji eta-eta keneh. Bilangan tersebut terbalik, dari tiga, dua kemudian satu, me-ngandung arti dari banyak menjadi atau menuju (yang) satu, yakni asal usul terjadinya keberadaan yaitu dari yang satu, atau mengembalikan kepada yang satu.


Dikatakan tiga sapamalu, ka rena yang tiga itu kesatuan dan yang satu itu selalu berhubungan dengan tiga (Sumardjo : 2006).Mitologi Sunda Buhun membicarakan eksistensi tiga dunia, yakni Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Itulah Tilu Sa pamalu. Pola tiga berasal dari dua sakarupa, artinya banyak (plu ral), namun substansi dari banyak adalah dua (karena lebih dari satu), yakni : pasangan atau kembar dan saling berlawanan, seperti ada laki-laki dan ada perempuan. Fenomen ruang juga ada dua, yakni ada siang dan ada malam ; ada bumi dan ada langit, namun menjadi tiga, seperti adanya manusia karena ada kedua orang tuanya (ayah dan ibu) ; adanya angin karena ada udara pa nas dan udara dingin. Namun yang dua pasangan itu, berasal dari yang satu, atau hiji eta-eta kenah. Itulah Hyang Tunggal.Tuntunan Kepemimpinan.Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yakni : Rama ; Resi ; dan Prabu. Rama adalah pendiri kampung yang menjadi pemim pin masyarakat dan keturunannya serta yang mewarisi Prabu ada lah raja, pemegang kekuasaan. Setiap manusia dianjurkan agar selalu berusaha memiliki bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja) ; sabda pinaka rama (ucapan seorang rama) ; dan hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Ketiga tokoh tersebut kesehariannya memiliki tugas, yakni :Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palang ka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerinta han menjadi tanggung jawab raja sebagai pemegang kekuasaan).Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitan-nya, pada muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karenanya, diantara ketiganya : haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang saka beh, tuha kalawan anwam. jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda) Pola kepemimpinan dimaksud saat ini masih dilaksanakan di Kanekes.


Masyarakat Baduy menyebut Tangtu Telu, nampak dari fungsi ketiga orang Puun, yakni posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Ketiga Puun kesehariannya berkuasa penuh di daerah masing-masing. Dalam hal menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu di-berlakukan secara umum .SpiritualitasPola Tri Tangtu tercermin di dalam kosmologi masyarakat tra disional Sunda, yakni (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sanghyang Kersa, yang letaknya paling atas ; (2) Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah ; dan (3) Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Masyarakat Baduy meyakini ada tiga pasang kata, semua saling melengkapi fungsinya dan ada hubungan dengan tugasnya seba gai pengemban wiwitan di Buana Panca Tengah. 


Pikukuh menurut Urang Baduy, sebagai berikut : Antara wiwitan jeung nu rek ngabangun nagara waktu babagi disawargaloka dibere atawa dibekelan tugas masing-masing, nya eta (1) di wiwitan aya carek, diluar wiwitan aya coret ; (2) diwiwitan aya lisan, di luar wiwitan aya tulisan (3) di wiwitan aya khabar, di luar wiwitan aya gambar. (Asep Kurnia : 2010). Antara wiwitan dengan yang akan membangun negara ketika di sorga diberikan ata dibekali tugs masing-masing, yaitu : (1) di wiwit an ada larangan diluar wiwitan ada tanda ; (2) di wiwitan ada lisan di luar wiwitan ada lisan ; (3) di wiwitan ada kabar diluar wiwitan ada gambar. 


Masyarakat Baduy sangat yakin jika masing-masing manusia telah diberikan tugas sejak belum lahir kedunia, yakni yang meng-abdi (menjaga) wiwitan dan mengabdi (mengabdi) negara. Tugas dimaksud berkaitan dengan keseimbangan hidup dalam menjaga masalah spiritual dan keduniaan. Fungsinya ada tiga yang disebut Tiga Sapamalu ; dua jenis tugas disebut dua saka rupa, sama-sa ma memikul tugas kehidupan ; semuanya berasal dari satu sema ngat, yakni menjalankan tugas dari pencipta.Contoh lannya ditemukan di dalam trasi masyarakat Naga, yang masyarakat tradisional Sunda yang berada di daerah Tasik, penganut agama Islam. Selain melaksankan syariat agama islam juga melaksanakan tradisi yang biasa dilakukan pendahulunya. Diantara tradisi yang menyangkut masalah spiritual yakni melaku kan nyepi namun berbeda dengan nyepi yang dilakukan oleh ma syarakat Bali. 


Masyarakat Naga melakukan nyepi tiga kali dalam satu minggu. Bertujuan mengembalikan dan memusatkan kekua tan-kekuatan yang hilang dalam diri dan jiwa yang kotor dan ber usaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. Namun kenapa harus tiga kali dalam seminggu?. mungkin inilah pemaknaan dari Tri Tangtu dan menyeimbangkan unsur bayu ; sabda dan hedap.LingkunganPola Tri Tangtu Sunda ditemukan pula didalam Sistim penge lolaan Kabuyutan, seperti yang disebut di dalam Amanat Galung gung dan Prasasti Kabantenan. Pola di Kabuyutan Sunda tercer min dari fungsi Resi (pemuka agama/Wiku); ratu (raja Sunda); dan Rama (tetua kampung atau yang dituakan). 


Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang, fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).


Perkampungannya ditentukan dari bobot dari kemandalaannya, yakni Tangtu ; Panamping ; Dangka. Wilayah Tangtu termasuk yang terkuat Kemandalaannya. Selain terletak di daerah yang paling dalam juga tugasnya untuk menjaga wiwitan. Perkampungan mayarakat Naga memiliki tiga elemen Pola Pembagian Lahan, yakni Kawasan Suci; Kawasan Bersih ; dan Ka wasan Kotor. Fungsi lahan dimaksud, sebagai berikut :(1) Kawasan Suci :Lokasi yang disebut kawasan suci terdapat tiga tempat, yakni leuweung larangan ; leuweung tutupan ; dan pekuburan masya rakat Naga. Disebut kawasan suci karena tidak boleh dikunju ngi sembarang orang, harus dijaga kesucian, kelestarian dari pengaruh luar, serta diawasi setiap saat. Leuweung larangan, ditumbuhi pohon-pohon besar, dilarang untuk dikunjungi sembarang orang da, banyak tabu. Di tempat ini leluhur mereka dimakamkan.


Leuweung tutupan atau leuweung biuk. Ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Leuweung ini sangat mempengaruhi iklim sekitar perkampungan Naga, bahkan dijadikan sebagai sumber kehidupan.Pemakaman Masyarakat Naga, tempat dimana mereka di-makamkan ketika saatnya tiba, terletak ditempat yang lebih tinggi dari pemukiman, namun dekat leuweung larangan.(2) Kawasan Bersih :Kawasan ini terletak dipemukiman Kampung Naga. Terdapat rumah-rumah dengan arsitek Sunda lama. Di kawasan bersih terdapat leuit ; Bale patemon ; Bumi Ageung.Leuit adalah lumbung padi, tempat penyimpan padi atau gabah hasil panen.Bale Patemon atau balai pertemuan, digunakan pada saat melakukan musyawarah atau digunakan pula untuk menerima kunjungan tamu. Bangunan ini terletak di dekat bangunan Masjid.


Bumi Ageung atau bangunan besar, merupakan bangunan tanpa jendela. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan ba rang-barang pusaka. Bangunan ini dikelilingi Pager Jaga dan ti dak boleh dimasuki sembarangan orang, kecuali seijin Kuncen (juru kunci). (3) Kawasan Kotor :Terletak disebelah Sungai Ciwulan, sekaligus batas wilayah Kampung Naga. Kawasan ini digunakan untuk kegiatan sehari-hari penduduk kampung naga. 


Menurut naskah Sanghyang Siksa, kawasan kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbu- ang.Inilah gambaran umum tentang Tilu Sapamalu ; Tri Tangtu ; Nu Tilu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda, ber ikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Trilogi Sunda menun jukan adanya harmoni dalam kehidupan kosmos. Fungsi dari Tri Tangtu sebagai peneguh dunia, dilambangkan dengan raja seba gai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (agus setia permana)


Sumber bacaan :

Sumardjo, Jakob

2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.

Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960