Minggu, 20 April 2008

Puing Kerajaan Pajajaran

Mencari jejak kerajaan Pajajaran memang harus dilakukan melalui cara melingkar, atau mengabungkan dalam bentuk puzel. Secara resmi daerah yang dikonotasikan bekas peninggalan ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru ditemukan Scipio seabad kemudian. Selain itu para sejarawan sering menarik benang merah dari naskah-naskah kuno, seperti carita Parahyangan, Naskah Wangsakerta dan Serat Banten. Upaya lain yang ditemukan dilakukan melalui penulusuran sejarah lisan yang disampaikan turun temurun, seperti cerita pantuan atau keterangan para juru kunci. Namun dari alur ini adakalanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural, sehingga penemuan sejarah malah menjadi kabur.

Mermang sulit menemukan titik pusat kota pajajaran (pakuan), selain kota Bogor telah padat dihuni penduduk dan aktifitas ekonominya, juga masih kurangnya prioritas terhadap sejarah. Seperti di buatnya Real Estate di lokasi situs Rancamaya, padahal ketika itu sudah diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Hal tersebut juga sama ketika para ahli menemukan lokasi percandian di daerah Batujaya, yang diyakini sebagai peninggalan masa Tarumanagara, lebih tua dari candi manapun di Indonesia, saat ini sudah dipastikan terdapat 26 candi, namun sayangnya masalah pemugarannya masih terkendala, dengan alasan belum ada biaya.

Masalah yang mungkin menghambat terkait dengan penemuan jejak Pajajaran adalah adanya keyakinan yang terkait dengan masalah relijius atau keengganan untuk menguak kebenaran dari kesejarahan Pajajaran. Mungkin ada benarnya Uga Prabu Siliwangi yang mengabarkan kepada para pengikutnya :
  • Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”.
Didalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
  • Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".
Sejalan dengan naskah tersebut, didalam serat Banten diceritakan pula tentang keberangkatan pasukan Banten ketika melakukan penyerangan ke Pakuan dengan pupuh Kinanti, terjemaahaannya :

  • "Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Banyak para ahli sejarah yang mencari musabab dapat direbutnya Pakuan, sekalipun telah ditinggalkan 12 tahun oleh rajanya, benteng Pakuan yang di bangun pada Sri Baduga tersebut masih berdiri kokoh. Namun untuk saat ini kisah yang dimuat dalam Serat Banten menjadi masuk akal. Konon kabar perisiwa ini hampir sama dengan cerita “kuda troya”.

Pakuan dapat mudah dibobol setelah terjadinya penghianatan yang dilakukan oleh Komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Secara kebetukan Sang Komandan saudara dari Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Ketika malam tiba, sang komandan membuka pintu benteng dari dalam, ia  mempersilahkan pasukan Banten masuk, sehingga tanpa disadari para penghuni Pakuan, pasukan Banten sudah berada ditengah-tengah mereka.

Memang dalam catatan sejarah banyak rangkaian yang menyebabkan runtuhnya Pajajaran. bermula dari masalah intern Kadatuan Pajajaran sampai dengan adanya alasan Cirebon, Demak dan Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Selain hal tersebut, ada beberapa akhli yang menilik lebih jauh, bahwa kejatuhan Pakuan tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu Demak, Banten dan Cireon. Yang jelas hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari adanya infasi perdagangan para Saudagar Islam di wilayah Pasundan.

Dari rangkaian peristiwa ini Pajajaran Sirna Hing Bumi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, suatu batu yang kerap dijadikan singgasana raja-raja Pajajaran ketika dinobatkan. Batu tersebut diboyong oleh pasukan Panembahan Yusuf ke Surasowan - Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut bertujuan politis agar tidak ada lagi raja pajajaran yang dilantik. Dilain sisi memberikan legitimasi kepada Maulana Yusuf sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena Maulana Yusup juga masih dianggap “teureuh” Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten lama. Orang Banten menyebutnya watu gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan “sriman”.

Perihal batu Palangka Sriman Sriwacana dikisahkan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sang Susuktunggal inyana
nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana
Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal beliau - yang membuat tahta Sriman Sriwacana - (untuk) Sri Baduga Maharaja - ratu penguasa di Pakuan Pajajaran - yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, - yaitu istana Sanghiyang - Sri Ratu Dewata).

Istilah "palangka" berarti tempat duduk atau "tahta". Dalam tradisi Pajajaran digunakan pada upacara penobatan. Di atas batu palangka para calon raja diwastu atau diberkati oleh Purohita. Letak palangka berada di kabuyutan kerajaan dan tidak di berada dalam istana. Batu palangka terbuat befrbentuk yang digosok menjadfi halus dan mengkilap. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat sunda menyebutnya batu pangcalikan atau batu ranjang. Sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang - Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan batu ranjang ditemukan di Desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang (ditengah sawah).

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nila kendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Didalam kisah lainnya, atribut dan mahkota raja Pajajaran tersebut diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya, sedangkan Sang Ragamulya memerintah tanpa mahkota, karena iapun memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.Bagi Jayaperkosa dan adik-adiknya, diboyongnya batu Palangka bukan berarti berakhirnya trah raja-raja Pajajaran untuk berkuasa di tatar Sunda, sebab ia masih sempat memboyong atribut (pakaian) raja Pajajaran ke Sumedang Larang. Dikelak kemudian hari Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris syah raja Pajajaran, ia juga dipercaya sebagai pemegang 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul. Namun sayang Pangeran Arya Suriadiwangsa, putranya (ada juga yang menyebutkan putra titinya) menyerahkan Sumedang kepada Sultan Agung Mataram, tanpa syarat apapun, sehingga tatar Sunda menjadi Vasaal Mataram.

Puing Kerajaan
Perkiraan bekas Kadatuan Pajajaran ditemukannya kembali selang satu abad kemudian, oleh ekspedisi Scipio (1 September 1687), dalam bentuk puing yang diselimuti oleh hutan tua. Dalam laporan Gubernur Belanda dijelaskan, bahwa : istana tersebut terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah dimungkinkan munculnya mitos, bahwa pasukan atau yentara pajajaran berganti wujud menjadi harimau.

Ketika melakukan penelitian tersebut Scipio diantar Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri, mereka kemudian diakui sebagai peziarah pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singgasana raja.

Hal yang berkaitan tentang sakralnya singgasana tersebut diceritakan pula oleh Abraham van Riebeeck (1703), dia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Sehingga ditafsirkan pula sejak ditemukan kembali oleh Scipio masyarakat merasakan menemukan kembali Pajajaran yang telah hilang.

Kemudian pada tahun 1709, Van Riebeeck melihat adanya ladang baru pada lereng Cipakancilan. Disini menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebut akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan. Dengan demikian orang belanda telah mengetahui jauh-jauh hari nama Pakuan, Pajajaran dan Siliwangi dua abad sebelum nama Pakuan Pajajaran diketahu lewat pembacaan prasasti batu tulis oleh Friederich pada tahun 1853.

Pakuan bagi sebagaian besar masyarakat Sunda bukan hanya sekedar lokasi kerajaan, melainkan menyimpan berjuta kenangan tentang kejayaan Pajajaran di masa lalu yang lengkap dengan tingginya kebudayaan, bahkan masih banyak masyarakat Sunda yang menganggap bahwa sebenarnya Kerajaan Pajajaran tidak runtuh, tapi tilem. Namun apapun masalahnya, mungkin ada kata-kata bijak yang diyakini sebagai Uga Wangsit Silihwangi, tentang sikap yang harus dilakukan masyarakat Sunda, unina :
  • Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, - najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! - Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, - ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. - Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, - supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, - bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! - Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, - nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih !
Cag Heula ……. Urang sampeur jaga.(Rakean)


Disarikan dari berbagai sumber.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960