Rabu, 20 Maret 2013

Sang Tanujiwa

Dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelas kan bahwa Tanujiwa adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk pasukan pekerja dan menda pat perintah dari Campuijs untuk membuka hutan Pajajar an sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat kelahiran (de bakermat) Kabupaten Bo-gor yang didirikan kemudian.
Tanujiwa ini dalam catatan VOC disebut Leuitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa ada di Cipinang (Jatinagara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Ang sana. Ketika Tanujiwa pindah dari Kampung Baru Cipi- nang ke sana, ia memberi nama Kampung Baru. Sekarang tempat itu bernama Tanah Baru.
Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas ibukota Pakuan ber­sama Scipio, Tanujiwa yang sudah menetap di Cipinang pindah ke Parung Angsana. Ia ingin mendekatkan di rinya dengan pening­galan Siliwangi. Kampung-kampung: Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar, semuanya didirikan oleh Tanujiwa bersama anggota pasu kannya. Kampung Baru (Parung Angsana) tempat kedudu kannya sudah merupakan semacam pusat pe­merintahan bagi kampung-kampung yang didirikan secara ter­pencar oleh anak buahnya.
Tanujiwa merupakan orang senior di antara teman-te mannya sesama letnan. Ia pula yang mengambil prakarsa membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas. Daerah alir­an Ciliwung antara Ke-dung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asal nya setelah tercapai persetujuan antara Mataram dengan VOC dalam tahun 1677. Sebahagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebahagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan oleh Sunan Amangkurat I dalam tahun 1661 ke Muara Beres bekas basis pasukan rakit Mataram ketika me­ngepung benteng Batavia.
Rasa hormat Tanujiwa terhadap bekas ibukota Pakuan de ­mikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga ke pada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai ter sebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).
Dokumen tanggai 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu (Ciliwung). Tahun 1704 Tanujiwa menuntut agar orang-orang Banten membatal kan niat mereka menduduki Parung Banteng dan Tangkil lalu menetapkan bahwa Ciluwar dan Cikeas dijadikan perbatasan. Akhirnya diputuskan bahwa batas itu sejauh 400 roeden (1 roe = 3,75 m) dari tepi Ciliwung.
Dokumen yang dikutip oleh De Haan (1912) menyebut Tanu­jiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pemimpin kaum koloni di sebelah selatan Cikeas. Oleh karena itu De Haan memulai daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dari tokoh Ta nujiwa ini (1689 - 1705) walaupun secara resmi pengga bungan distrik-distrik Kabupaten Kampung Baru terjadi ta hun 1745. Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam salah satu nomor tahun pertama majalah ’Intisari, bahwa Menak Ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-ayang Gung itu dimaksudkan Tanujiwa ini. Entahlah! Tetapi hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanujiwa dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci oleh rekan-rekannya yang iri. Ia di tunjuk oleh Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali) untuk membuka daerah selatan. Tetapi akhir nya ia dihukum buang oleh Kumpeni sebagai seorang pemberontak dan penghianat.
Rupa-rupanya kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajar an telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni yang disadari sepenuhnya bahwa mereka itu orang-orang asing. Ia tentu merasakan kepahitan bahwa sebagai seo rang Letnan tetap harus tunduk kepada seorang Sersan seperti Scipio yang kulit putih pada hal ia sendiri menjadi atasan para Sersan peribumi. Akhir­nya anak emas Kum peni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasai yang bangkit mengangkat senjata terhadap per­luasan daerah kekuasaan VOC. Mereka kalah dan Tanujiwa di buang ke Tanjung Harapan di Afrika.
Orang dulu menyindir dia dengan, ’’lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong”. Ia mengejar harapan kosong dan ’’bermesraan” dengan orang ’’tidak bergigi”, yaitu Perwatasari yang ternyata kalah dalam perjuangan. Pengalaman Tanujiwa dengan Kumpeni memang mirip de ngan Untung Surapati yang juga Letnan Kumpeni. Bila be nar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan orang untuk me-nyindir kelakukan Tanujiwa, memang patut kita renung kan kembali dan jaman merdeka seperti sekarang ini. Yang jelas, dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkam nama Tanujiwa sebagai ’bupati pertama. Dalam daftar silsilah tradisional bupati pertama biasanya dicantumkan nama Mentangkara atau Mertakara, Kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718). Menurut dugaan De Haan, mungkin ia putera Tanujiwa. Sebaliknya para penulis Belanda, lebih bebas menyebutkan Tanujiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak-dasar Kabupaten Bogor
Jika diurut lebih jauh lagi, Tanujiwa diketahui masih keturunan dari Parenggong Jaya. dan siapa[un pasti tahu, siapakah tokoh ini (?)

Di adpot dari Buku Sejarah Bogor (1983).
.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960