Kamis, 13 Desember 2012

Pakuan (1482-1579)

Upaya Rekonstruksi sejarah melalui
sumber tradisonal dan sejarawan moderen
------------------------------------------
Carita waruga guru suatu naskah yang diperkirakan dibuat tahun 1750-an masehi menyebutkan bahwa istilah Pakuan dida sarkan pada lokasi yang banyak pohon Paku Jajar. Sama halnya de ngan para akhli lainnya. Namun Pakuan hakekatnya bukan hanya sekedar asal kata dari pohon paku (pakis), atau pohon paku yang berjajar. Pakuan adalah Paku dalam arti Lingga, sumbu jagat yang memiliki hubungan erat dengan kedudukan raja-raja Pajajaran. Pa kuan pada masa itu adalah pusat jagat bagi urang Sunda, pusat kos mos di dunia, yang mewakili Hyang tertinggi. Pakuan bukan ber arti Kadatwan, karena Pakwan adalah nama ibukota, pusat keraja an memiliki lingga sebagai tanda pusat jagat, sedang kadatwan adalah keratonnya. Kadatwan di Pakuan memiliki nama, yakni Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Para pujangga banyak yang menyebutnya Panca Persada, berarti lima bangunan keraton, sedangkan orang Cirebon menyebutnya disingkat dengan istilah Sang Bima atau Sri Bima.

Bangunan paling depan adalah Keraton Sri Bima, lalu bertu rut-turut Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Komplek ke raton terdiri lima bangunan utama. Bangunan yang disebutnya Sri Bima adalah balai peperangan, tempat berkumpulnya para pa muk Pajajaran, untuk mengatur strategi pertahanan negara; Kera ton Punta digunakan sebagai balai pengadilan, bagi mereka yang dangka ka nagara, atau menggangu ketentraman hidup sesama nya; Keraton Narayana digunakan untuk tempat raja-raja daerah maupun kerabat raja menghadap raja, tempat raja memperbin cangkan kemajuan atau kemunduran wilayah Pajajaran; Keraton Madura digunakan sebagai tempat resepsi, tempat menerima ta mu yang dihormatinya, bercengkrama dan bertukar pengalaman tentang kemajuan negerinya; Keraton Suradipati merupakan ba ngunan persemayaman raja dan keluarga, Kelima bangunan itu disebut juga Panca Prasadha.

Pajajaran penerus kerajaan Sunda, diketahui keberadaannya sejak tahun 932 sampai dengan 1579 masehi. Memiliki luas Wila yah di bagian Barat pulau Jawa, yakni Banten, Jakarta, Jawa Barat dan sebagai Jawa Tengah. Kerjaan Sunda bahkan pernah mengua sai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Didalam naskah Bu jangga Manik, suatu dokumen yang ditulis antara abad ke-15 dan 16 Masehi. Saat ini dokumen tersebut tersimpan rapi di Perpusta kaan Bodleian, Oxford, sejak 1627 masehi atau 1629. Naskah ini menyebutkan batas-tungtung Sunda pada abad itu berada di Cipa mali. “Setibanya aku di tungtung Sunda kusebrangi sungai Pamali dan tibalah di wilayah Jawa, kususuri sudah sejumlah wilayah Ma japahit dan pelataran wilayah Demak...... dst.” Dalam buku Suma Oriental (1513 - 1515) menuliskan "Beberapa orang menegas kan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya seperti ga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya.” Batas wilayah dan Budaya Sunda kemudian digeser oleh Belanda, seperti yang ada sekarang. Mereka membaginya untuk kepentingan wilayah pertahanan, batas tersebut digunakan pula oleh Republik Indone sia guna membagi propinsinya, menjadi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Batas ini bukan suatu data baru, bahkan lebih luas lagi pada masa Sanjaya. Pada tahun 723 Masehi, kekuasaan Sunda diserah kan kepada Sanjaya, atau di sebut juga Prabu Harisdarma, keturu nan Galuh dari Senna dan sekaligus Cucu dari maharani Sima. San jaya dilantik dengan nama abhiseka Maharaja Bimaparakarma Pra bu Maheswara Sarwajitasatru Yudapurnajaya. Sanjaya adalah satu satunya raja Sunda yang sudah diketahui memiliki kekuasan me lebihi Purnawarman. Maka pantas jika pada abad kedelapan Sanja ya disebut penguasa Pulau Jawa dengan gelar Maharaja Sanjaya.

Naskah Carita Parahyangan sebagai sebagai sumber sejarah mempunyai nilai yang tinggi, karena pemberitaanya mengenai to koh Sanjaya dibenarkan oleh prasasti Canggal di Gunung Wukir Kedu. Prasasti ini belum dikenal pada saat ditulisnya naskah Cari ta Parahyangan. Carita Parahyangan menceritakan adanya perebu tan kekuasaan di Galuh, Purbasora yang unggul mengasingkan la wannya, Sang Sena ke Gunung Merapi yang kemudian mendapat anak bernama Rakean Jambri, setelah Rakean Jambri, setelah de wasa diberinama Sanjaya. Setelah Rakean Jambri dewasa meminta bantuan kepada Rahyangtang Kidul di Denuh, yang terletak di Ta raju dan Karangnunggal saudara Mandiminyak, kakeknya Sanjaya. Rahyangta Kidul tidak berani memberikan pertolongan namun me nunjukan agar meminta bantuan Tohaan (raja) Sunda (Terusba wa) disebelah barat Sungai Citarum, untuk kemudian dijadikan mantu raja Sunda. Pada akhirnya Sanjaya mampu merebut tahta Galuh. Dari Galuh Sanjaya bertolak kewilayah jawa sampai ke Bli tar, di luar Jawa Galuh Sanjaya bertolak kewilayah jawa sampai ke Blitar, di luar Jawa sampai ke Khmer dan Sriwijaya. Inilah tokoh Nusantara pertama, keturunan Galuh, menantu raja Sunda yang berhasil memperluas wilayahnya hingga jauh keluar Nusantara.

Orang Portugis pada tahun 1513 berkunjung ke Pakuan de ngan membawa empat buah kapal Jung. Mereka menilai orang Pakuitu menarik (goodly figure), ramah, tinggi, kekar (robust), dan sangat jujur (true man). Mereka menyebutkan Kerajaan Sun da diperintah oleh orang yang adil (The King dom of Sunda is justly governed). Kerajaan Pajajaran disebut pula sebagai ‘negeri para satria dan pahlawan laut.

Sumber Eropa yang mencuplik dari sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda, pada masa Dinasti Sung Selatan, yakni inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang be nar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi yang ditulis tahun 1225, menye butkan pelabuhan di Sin-t'o. Zhao melaporkan bahwa "Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang rumah panggung dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus ping gangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut me reka sampai panjangnya setengah inci.

Buku perjalanan Cina Shunfeng Xiangsong sekitar 1430 ma sehi mengatakan : "Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian meng ikuti pantai melewati Tanjung Indramayu akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan kearah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

⫵⫵

Pada abad ke-14 kerajaan Sunda kembali beribukota di Paku an Pajajaran, serta memiliki beberapa pelabuhan, yakni Banten, Pontang, Kalapa, Karawang, Cigede dan Cirebon. Perjalanan dari Kalapa Pabeyan ke Pakuan ditempuh melalui Mandi Racan, Ancol Tamian, Samprok, memasuki kawasan hutan, menyebrang Sungai Cipanas, Suka Kandang, Sungai Cikencal, Luwuk, Sungai Ciluwer, Peuteuy Kuru, Kandang Serang, Batur-batur, Menyebrang Cihali wung, Pakeun Tubuy, Pakeun Tayeum, Batur, Cipakancilan. Bebe-rapa kilometer ke utara Muaraberes di kali Cihaliwung dan Ciam pea terdapat beberapa Dermaga, namun Dermaga yang ada di Kali Cisadane dibuatkan juga benteng pertahanan. Kali-kali tersebut merupakan batas sungai yang dapat dilayari sampai ke muara La ut Jawa, dan gerbang menuju Kali di pedalaman. Dari Pakuan ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusa, Warung Gede, Tanjungpura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang, laju Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga Kawali dan kepusat kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis dan Bojong Galuh. Da lam kata lain, jalan raya Pajajaran terbentang dari ibu kota ke Ban ten melalui Jasinga dan Rengasdengklok. Dari Ibu Kota ke Kara-wang Cikawao, Wanayasa, Buahdua, Congeang, Karangsambung, Maja, Talaga, Panjalau, Kawali. Jalan ini digunkan oleh para petu gas kerajaan untuk mengawasi Pabeyan. Dan digunakan sebagai la lulintas perdagangan lada. Pajajaran masa itu memiliki 100.000 prajurit aktif.

Pakuan memiliki parit sepanjang tebing Cisadane, dari ger bang Pakuan sampai Batutulis, tempat gerbang Pakuan kedua, bersambung dengan jalan ibukota ke Rancamaya. Gerbang ketiga berada diperbatasan kota menuju kearah timur. Parit kedua ber ada pada sisi tenggara, tanah galian parit ditimbun menjadi Kuta, atau tanah yang tinggi berbentuk benteng, dibagian puncaknya diperkeras dan ditimbun batu. Sedangkan jalur benteng terletak dibagian dalam parit, sehingga benteng tersebut memiliki perta hanan berlapis. Konon parit pertahanan ini dibuat pada masa Sri Baduga Maharaja.

Bagi para kerabat raja, keluar dari Kadaton akan berjalan melewati balai pertemuan, kemudian turun kearah Pancawarna hingga tiba dipintu gerbang, lantas berjalan lewat Pakeun Dora. Kadang laju kearah timur menyebrang Cipanangkilan menuju Pa keun Teluk hingga sampai di Pakancilan, lalu membuka gerbang, berjalan melewati umbul, kemudian menuju jalan melewati Cipa- kancilan menuju pintu luar melewati Windu Cinta. Biasanya me lewati Panca Warna menuju Lebuh (Buruan) Ageung, disana su dah banyak orang berlalu lalang. Tapi jika ingin bertemu ibu suri berjalan memasuki pintu gerbang lewat Cipakancilan, tibalah di Bale Renceng, ruangan penuh lukisan, nampak terasa indah. Rua ngan ditopang tiang balok berwarna merah, serasi dengan padu an balok penyambung yang melintang. Papan penjepitnya bercat merah tua, bubung atap berwarna keemasan, sedang bantalan lantai dibuat dari bambu betung tua yang diikat kawat Jawa. Kedi aman raja dikelilingi oleh pilar-pilar sebesar tong anggur seba nyak 330 buah, tinggi masing-masing sembilan meter. Dipuncak nya dihias ukiran indah. Rumah-rumah sangat besar terbuat dari kayu dan palem.

Pakuan memiliki Sasakala Gugunungan, terletak di bukit Badigul Rancamaya. Kaki bukit ini bersambung dengan telaga Re na Mahawijaya. Disekitar Pakuan terletak hutan Samida, pohon mirip cemara. Kayu Samida digunakan untuk pembakaran jena-zah. Sri Baduga Maharaja membuat pula wilayah perdikan bagi kaum agamawan, sekaligus sebagai sumbet spiritual masyarakat; membuat kabinahajian-kaputren; kasatriaan-asrama prajurit.

Pajajaran tahun 1513 dapat memperdagangkan 30.000 kwintal lada setiap tahun. Menurut orang Portugis urang sunda sudah biasa berlayar keberbagai negeri, hingga mencapai pulau Maladewa. Memperdagangkan beras hingga mencapai 10 jung pertahun; berniaga lada 1.000 bahan pertahun; kain tenun untuk diekspor ke Malaka; daerah ini juga penghasil sayur; daging dan tamarin, bahkan tamarin cukup memuat kapal seribu kapal. Urang Sunda mengimpor tekstil dari Cambay dan mendatangkan kuda dari Pariaman.

Sumber Eropa yang mencuplik dari sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda, menyebutkan lada yang tumbuh di bu kit negeri ini bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitas nya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."

⫵⫵

Pada masa ini Pajajaran mengalami jaman keemasan ketika masa pemerintahan Jayadewata dalam Babad dikenal pula dengan sebutan Sang Pamanah Rasa. Juru Pantun menyebutnya Kekem bingan Raja Sunu. Jaya dewata diistrenan dua kali, pertama di Ga luh menggantikan Prabu Dewa Niskala, ayahnya dengan nama abhiseka Prabu Guru Dewa taprana. Pelantikan kedua di Pakuan menggantikan Prabu Susuk tunggal, mertuanya, dengan nama abhiseka Sri Baduga Maharaja. Pelantikan dikedua tempat ini sekaligus menjadikan Jayadewata sebagai Maharaja Sunda, dan menyatukan tatar Sunda didalam satu tangan, sama ketika masih dipegang oleh Prabu Niskala Wastu kancana, kakeknya dan lelu hur sebelumnya. Sri Baduga Maharaja ditatar Sunda lebih di kenal dengan sebutan nama Prabu Siliwangi. Menurut Pangeran Wangsa kerta “Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudungaran swaraga nira.” Hanya orang Sun da dan orang Cirebon serta semua orang ditatar Sunda yang me nyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Menurut tradisi pada masa itu, masyarakat Sunda, termasuk Cirebon merasa segan (teu wasa) atau tidak sopan (belegug) menyebut nama raja yang dihormati nya sesuai dengan nama sesungguhnya, sehingga juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Akan tetapi, hiruk pikuk pen carian nama aslinya menyebabkan Siliwangi disebutkan hanya se bagai tokoh sastra.

Kemasyhuran Prabu Siliwangi banyak dikenang urang sunda sepanjang masa, seolah-olah Prabu Siliwangi hanya satu-satunya raja Pajajaran; atau setiap raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi; atau tak tergantikan oleh siapapun termasuk oleh raja-raja pene-rusnya. Nama Prabu Siliwangi menembus ruang dan waktu. Mem-bicarakan Pajajaran atau apapun yang terkait dengan peninggalan masa lalu ditatar Sunda, rasanya tidak lengkap jika tidak menyer-takan nama Prabu Siliwangi didalamnya. Demikiam pula yang ter-kait dengan masalah ageman Prabu Siliwangi, banyak yang menya takan Prabu Siliwangi kukuh pada pendiriannya, memelihara pur batisti-purbajati, bahkan ngahiyang bersama para pendukungnya. Sebagaimana yang dikukuhkan dalam Wangsit Prabu Siliwangi, yang saat ini masih beredar dimasyarakat. Namun tak kurang pula

yang menyebutkan Prabu Siliwangi telah berpindah ageman, bahkan mau dikhitan, sebagai penegasannya keluar dari ageman lama. Padahal jika dilihat dari sejarah pra Islam di Pajajaran, me lakukan khitan juga dianggap sebagai pituin adat Sunda, sebagai-mana yang dikisahkan dalam naskah Carita Parahyangan, tentang Ratu Dewata, berkuasa di Pajajaran pada tahun 1535 maasehi, nas kah ini menyebutkan: “Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu. Sum bélé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sun da teka.” Menjalankan kehidupan seperti Rajaresi. Hanya memi num susumurni. Di khitan, maksudnya supaya bersih, suci dari segala kotoran jika di bersihkan, dikhitan oleh ahlinya, asli Sunda. Perdebatan tentang masalah ini memang agak sedikit ambigu, ka rena disatu sisi mencintai Prabu Siliwangi, disisi lainnya menye ret, memaksakan identitas Prabu Siliwangi agar sama dengan age man yang dianutnya. Seharusnya, biarlah sejarah berjalan apa ada nya. Jangan dikurang-kurangi bahkan jangan pula dilebih-lebih kan, : “agar jaga keh tuturus Pajajaran nyaho Jati Sunda teka.”

Penokohan terhadap Prabu Siliwangi mungkin juga berasal dari kecintaan masyarakat tatar Sunda terhadap Siliwangi. Banyak babad, naskah sejarah dan kisah yang dituturkan para petutur tra disional mengisahkan Siliwangi, dengan menggunakan nama Sili wangi langsung, atau nama samaran, tapi akhir kisahnya menam pakan aslinya sebagai Siliwangi. Tokoh Siliwangi dalam naskah Ca rita Parahyangan dengan Babad Galuh yang disusun oleh Ki Se rengrana misalnya, memiliki sirsilah yang berbeda. Akibatnya keti ka diterjamaahkan secara terpisah maka tak akan mendapatkan ti tik temu, serta menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.

Tokoh Siliwangi ada disetiap peristiwa, menembus ruang dan waktu. Kehadirannya ada didalam sanubari para pecintanya, seba gai pemimpin yang patut dijadi kan panutan; sebagai tokoh yang hidup di jaman apapun lengkap dengan atribut raja Sunda, bahkan bukan hanya ditatar Sunda, melainkan menembus jauh keluar wi layah Jawa Barat, seperti suatu tempat yang pernah memiliki na ma sebagai Tungtung Sunda, maupun terbawa para transmigran

dan para perantau asal tatar Sunda, yang jauh disebrang pulau.Perdebatan tentang siapa itu tokoh Prabu Siliwangi bukan hanya milik para pecinta tradisional ditatar Sunda, karena banyak pula sejarawan modern yang berdebat tentang siapa nama Prabu Siliwangi yang sebenarnya, dan hidup dijaman mana. Ada yang berpendapat bahwa tokoh Siliwangi adalah nama seluruh raja-raja Sunda, hingga Prabu Nilakendra; Siliwangi disebutkan hanya sebagai tokoh dalam sastra; Siliwangi adalah Prabu Niskala Wastu kancana, putra dari Prabu Wangi, Prabu Maharaja yang gugur di Palagan Bubat, kasilih ku Sang Bunisora; ada pula yang menye butkan Siliwangi adalah gelar untuk Sri Baduga Maharaja yang di berikan oleh Urang Sunda dan Urang Cirebon yang menganggap masih keturunannya, mengingat mereka merasa teu wasa, atau ti- dak sopan bila menyebut nama aslinya.

Kisah perdebatan yang menafsirkan siapa Prabu Siliwangi di kalangan sejarawan masa kini hanya tinggallah dua, yakni Prabu Niskala Wastukancana dan cucunya, Sri Baduga Maharaja. Kepe-mimpin Niskala Wastukancana, yang dipegangnya di Kawali, me miliki ciri yang lebih baik dari Sri Baduga Maharaja. Kerajaan Sun da pada masa itu digambarkan, pada masa kepemimpinannya pa ra Rama enak makan, sangresi tentram menjalankan aturan keresi an dan mengamalkan Purbatisti-Purbajati. Dukun-dukun (?) ten tram mengadakan perjanjian-perjanjian yang menuruti aturan para leluhurnya. Raja membagi-bagikan hutan di sekitarnya, tidak ada keberatan dari masyarakat dari kalangan manapun. Para pela ut merasa aman berlayar mengikuti aturan raja. Air, cahaya, angin, tanah merasa senang berada digenggaman raja. Menegaskan ba tas-batas kekuasaannya dengan mendirikan Sanghiyang Linggawe si, puasa dan menyembah Tuhan tiada terbatas. Sang Wiku memili ki wibawa menetapkan aturan dewa, mengamalkan Sanghyang Watangageung. Prabu Niskala Wastukancana melepaskan jabatan nya, karena didorong oleh keyakinannya. Naskah Parahyangan me nyebutkan, pada masa kepemimpin Prabu Niskala Wastukancana ditatar Sunda disebut sebagai kretayuga, masa sejahtera. Karena raja mengikuti nasehat dari Satmata, tokoh agama pada waktu yang sudah berada ditingkat keempat, yakni Prabu Bunisora. Pada akhirnya perdebatan ini seolah-olah mendapatkan kesepakatan, sekalipun belum selesai, bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, cucu dari Prabu Wangisutah – Rahyang Niskala Wastu kancana, dan pengganti dari Prabu Wangi atau Prabu Maharaja.

⫵⫵

Sri Baduga Maharaja diyakini sebagai Prabu Siliwangi tentu mendasarkan pada pesatnya pembangunan tatar Sunda pada ma sa kepemimpinannya, sehingga apapun yang dianggap peninggal an masa Pajajaran maka disebutkan sebagai peninggalan Prabu Si liwangi. Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisah kan dalam Carita Parahyangan, yakni menjalankan nilai-nilai Pur batisti–Purbajati. “Mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kre ta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". Sejalan dengan keterangan orang Portugis yang menyebutkan: “Raja Sun da memerintah secara adil.”

Pengganti Sri Baduga adalah Prabu Surawisesa yang sering disebut tokoh utama didalam kisah Mundinglaya Dikusumah, da lam Babad disebut Guru Gantangan, sedangkan orang Portugis me nyebutnya Ratu Sangiang. Surawisesa memerintah Pajajaran sela-ma 14 tahun, sejak tahun 1521, wafat pada tahun 1535 masehi, atau dua tahun setelah membuat prasasti sebagai Sakakala untuk ayahnya. Sampai saat ini, prarasti tersebut dikenal dengan sebut an ‘Prasasti Batutulis’, suatu prasasti yang tak sempat dihancur kan musuh Pajajaran. Batutulis tersebut menerangkan peringatan bagi prabu ratu suwargi, dinobatkan dengan gelar Prabuguru De wataprana; dinobatkan (lagi) dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah pembuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dialah pembuat tanda peri ngatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu membuat (hutan) samida, membuat telaga Rena Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). Dibuat dalam tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455).

Surawisesa begitu mencintai dan menghormati ayahnya. Dari kecintaannya tersebut diwujudkan dengan cara mempertahan keu tuhan Sunda, namun tidak pernah ada kesempatan untuk memba ngun kembali kejayaan Pajajaran, karena sibuknya mempertahan kan wilayah dari gempuran Cirebon, Demak dan Banten. Upaya nya dikenang dan dilantunkan dalam pantun serta dikisahkan da lam babad. Konon raja-raja Pajajaran yang paling banyak dikisah kan setelah Prabu Siliwangi adalah Prabu Surawisesa. Namun se- telah Surawisesa purna tugas dan purna hirup, Pajajaran menga lami kemorosotan dan sulit bangkit kembali.

⫵⫵

Kemakmuran suatu negara tentunya tidak terjadi tiba-tiba, melainkan ada proses panjang yang membentuk negara tersebut makmur. Demikian pula ganggungan dari pihak luar, karena sebe-narnya serangan Banten hanya merupakan pukulan terakhir bagi kemunduran atau kejatuhannya yang berlangsung dari peristiwa sebelumnya.

Penghancuran Pajajaran dimulai sejak munculnya gangguan perdagangan atau persaingan dengan para pedagang Islam dan lu- ar Nusantara, seperti Portugis. Untuk keperluan mengamankan perdagangannya, maka pada tahun 1521 masehi Pajajaran melaku kan Perjanjian pertahanan dan perdagangan dengan Portugis. Na- mun Demak segera menduduki pelabuhan di pantai utara Pajaja ran, dari Banten hingga Cirebon, bahkan Portugis pun tidak sem pat memberikan bantuan. Dengan demikian berakhirlah perdaga ngan lada lada Pajajaran, berakibat pula terjadi kemorosotan eko nomi diseluruh wilayah Pajajaran. Pada masa berikutnya Demak dengan Portugis melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dan pertahanan. Hal ini terjadi ketika Demak berkeinginan melaku kan serangan ke Panarukan.

Islam mulai menguasai wilayah Pajajaran sejak tahun 1530 masehi. Mulai dari Cirebon, Sunda Kalapa, Banten, Galuh, Talaga, Sagalaherang sampai dengan Cianjur. Pada waktu yang sama dari Cirebon sampai dengan Banten sudah menerima islam sebagai aja rannya dan banyak para penduduk yang meninggalkan ageman lamanya. Raja-raja daerah masih mematuhi tugas-tugasnya tetapi kepatuhannya sudah mulai longgar, bahkan dilingkungan kereton sudah terjadi perpecahan. Sejak saat itu Pajajaran sudah goyah da ri dalam, dan hanya menunggu waktu.

⫵⫵

Prabu Surawisesa digantikan oleh Ratu Dewata, putranya yang bertahta di Pakuan pada tahun 1535 sampai tahun 1543. Ratu Dewata adalah raja yang sangat alim dan taat beragama, ber-perilaku ngarajaresi. Carita Parahyangan mengisahkan kealiman nya,: “Prebu Ratudéwata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa Pwah Susu Sumbéléhan niat tinja bre-sih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.” Akan tetapi naskah carita Parahyangan pun mengamanatkan kepada para pe mimpin sesudahnya, agar memiliki keseimbangan, antara urusan akhirat yang bersifat pribadi, dengan urusan sebagai pemimpin di dunia. Karena urusan dunia pun jika dijalankan dan bertujuan untuk kepentingan rakyat akan berbuah kebaikan bagi akhiratnya. Nasehat tersebut dituliskan; “Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh. Prebu ratudewata, lilana jadi ratu dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.”

Pada masa Ratu Dewata perjanjian perdamaian Pajajaran de-ngan Cirebon, terakhir dibuat oleh ayahnya, Prabu Surawisesa, pa da tahun 1531 masehi masih berlaku. Ratu Dewata sangat yakin perjanjian ini akan ditaati oleh pihak Demak, Cirebon dan Banten, sehingga tidak berprasangka buruk akan adanya pelanggaran dari pihak lain. Namun pemikiran Ratu Dewata berlainan dengan Hasa nudin dari Banten, salah satu penandatangan perjanjian perdamai an Pajajaran dengan Cirebon, yang melakukannya karena patuh ke pada Syarif Hidayat, ayahnya. Hasanudin beranggapan, bahwa per janjian Cirebon dengan Pajajaran hanya menguntungkan Cirebon, sama sekali tidak menjamin kepentingan Banten. Padahal wilayah Banten berbatasan langsung dengan Pajajaran. Hasanudin secara diam-diam membentuk pasukan khususnya tanpa menggunakan identitas resmi. Pasukan ini mampu bergerak cepat, dari satu tem pat ketempat lainnya, dibentuk untuk mengganggu keamanan wi layah Pajajaran. Naskah Carita Patahyangan menyebutnya pasu-kan ‘Tambuh Sangkane’. Kemampuan pasukan bentukan Hasanu din dalam melakukan gerakan telah dibuktikan pada saat terjadi huru hara di keraton Surasowan, memaksa bupati Banten, Suraja ya, pamannya sendiri, melarikan diri ke Pajajaran. Pada masa itu Hasa- nudin dibantu oleh Cirebon dan Demak, dengan mengirim kan armada perangnya yang dipimpin Fadillah Khan, menantu Raden Fatah, atau Susuhunan Jim Bun, Sultan Demak Pertama. Se telah pem berontakan tersebut, Banten menjadi bagian dari Cire bon. Kemudian Syarif Hidayat mengangkat Hasanudin sebagai bu pati Banten dibawah lindungan Cirebon. Hasanudin baru bisa men dapatkan ke kuasaan sebagai Sultan Banten terjadi pada tahuh 1568, wafat pa da tahun 1670 masehi.

Pada masa Ratu Dewata, tanpa diketahui asal muasalnya tiba tiba datang serbuan musuh hingga masuk ke Buruan Ageung (alun alun) Pakuan, hingga terjadi perang di Buruan Ageung, menewas kan dua pembesar Pajajaran. Hal ini dikisahkan, :”Datangna ban cana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung. Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.” Namun musuh dapat dihalau keluar Pakuan, mengingat masa itu Pakauan masih memiliki para perwira yang pernah beberapakali mendampingi Prabu Surawisesa, berpengalaman melakukan per- tempuran di barat Citarum. Para perwira ini mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan pe ninggalan Sri Baduga tidak mudah ditembus musuh, karena posisi Pakuan sangat strategis untuk pertahanan. Posisi Pakuan berada pada permukaan yang tinggi atau Lemah Duwur. Pada posisi ini pasukan pengawal keraton sangat leluasa untuk memantau seke lilingi luar istana, sehingga mempermudah untuk mengetahui da tangnya musuh. Pasir Muara di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batang sungai per nah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus ta hun sebelum masehi. Lokasi Pakuan merupakan lahan Lemah Du wur yang satu sisinya terbuka menghadap Gunung Pangrango. Se- dangkan tebing Cihaliwung, Cisadane dan Cipaku dapat dijadikan sebagai pelindung alamiah.

Musuh tak mengenal lelah untuk menaklukan Pakuan. Mere ka memancing dengan cara menyerang dan merusak kabuyutan-kabuyutan, bertujuan agar kekuatan Pajajaran keluar dari Pakuan, dan Pakuan agar mudah diduduki. Hal ini berdasarkan pada alas an, bahwa kabuyutan sampai dengan masa Pajajaran masih diang gap sebagai Dangiang Sunda, tempat harga diri raja-raja Sunda (dan Galuh) mempertahankan kehormatannya. Kisah tentang nilai kehormatan ini merupakan amanat langsung dari Prabu Darmasik sa, raja Pajajaran, yang sebelumnya raja di Saunggalah (kawasan Galuh), bahkan Sri Baduga pun pernah mengeluarkan piteket yang memerintahkan untuk membunuh siapa saja yang menggangu ka buyutan Sunda Sembawa, sebagaimana yang ditemukan didalam prasasti Kabantenan. Amanat dari Prabu (Rakean) Darmasika me nyebutkan,: “lebih berharga kulit lasun (musang) di jaryan (tem pat sampah) Jika dibandingkan raja putra yang tidak mampu mempertahankannya kabuyutannya.” Inilah alasan musuh musuh menyerang Kabuyutan-kabuyutan Sunda - Pajajaran.

Kabuyutan-kabuyutan yang diserang pada waktu itu, antara lain di Sumedeng; Ciranjang dan Jayagiri. Tak kurang dari para pandita yang dibunuh secara keji, seperti pandita di Sumedang dan Ciranjang; Pandita di Jayagiri dibenamkan kedasar laut hidup-hidup; sedangkan seorang Pandita sakti bernama Munding Rahi ang dibenamkan kelaut hidup-hidup, akan tetapi masyarakat me-yakini, Pandita tersebut hanya hilang dari penglihatan manusia bersama raganya. Kemudian diberi nama Hyang Kalinganja. Kisah ini pun dituliskan didalam naskah Carita Parahyangan, menyebut kan,: “Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang Pan dita di Ciranjang pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring sagara. Hana sang pandi ta sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya. Sinaguhniya ngaraniya Hyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan. Sa-mangkana ta précinta..” Namun naskah Carita Parahyangan tidak tuntas menyebutkan, apakah kekuatan Pakuan sempat melakukan pembersihan atau tidak. Naskah tersebut hanya menyebut akhir dari kisah Ratu Dewata yang meninggal pada tahun 1543, di pusa rakan di Tampian Dalem.

⫵⫵

Ratu Dewata digantikan oleh Ratu Sakti, putranya, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Konon kabar Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan Ratu Dewata yang diang-gap alim. Ratu Sakti dianggap sering melanggar agama dan dariga ma, atau ngarumpak sagala larangan yang ditabukan, bahkan tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang harus memegang Purbatisti–Purbajati. Pelanggaran tabu ini dikisahkan menikahi istri ayahnya (ambu tere); membunuh orang tanpa dosa; merampas harta orang; tidak berbakti kepada orang tua dan pemuka agama. Pelanggaran yang dianggap keterla luan adalah melanggar aturan “Estri Larangan”, yakni menikahi istri-se lir ayahnya. Ketatnya aturan ini dalam budaya Sunda bukan hanya terjadi pada jaman Ratu Sakti, namun Prabu Dewa Niskala, ayah dari Sri Baduga Maharaja dan putra dari Prabu Niskala Wastukan cana terpaksa turun dari tahta Galuh, hanya karena dianggap me langgar “Estri Larangan”, yakni menikahi istri ti kaluaran. Didalam tradisi urang Sunda (Pajajaran – Galuh), ada tiga wanita terlarang (Istri larangan) yang tidak boleh dinikahi. Larangan demikian di tuliskan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Sanghiyang Siksa Kandang Ng Karesyan. Carita Parahyangan mengisahkan Ratu Sak ti, sebagai berikut: “Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri larangan ti kaluaran deung kana ambu téré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas tanpa prégé, tan bak ti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.” Pada akhirnya nas kah ini menyebutkan dengan kalimat : “Aja tinut de sang kawuri pola sang nata - Janganlah ditiru oleh mereka yang (hidup) kemu dian kelakuan raja ini.“ Ratu Sakti setelah wafat dimakamkan di Pengpelangan.

Pengganti Ratu Sakti adalah Prabu Nilakendra, berkuasa dari tahun 1551 sampai dengan 1567 masehi. Pada masa pemerintah Prabu Nilakendra Pakuan jajaran sudah kembali menata Pakuan. Prabu Nilakendra membuat bendera-bendera (Sanghyang Panji); memperindah keraton; membalay tanah dan membuat taman-ta man disekitar pintu larangan; membangun tiang-tiang keraton yang berjumlah tujuh belas; serta membuat ukiran dengan berma cam-macam kisah. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan,: ”To haan di Majaya ..... Nu ngibuda Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora larangan. Nu migawe bale-bobot pituwe Jas jajar, tinulis pinarada warnana caca ritaan.”

Pembangunan kembali fisik Pakuan dimungkinkan tidak di-sertai dengan membangun kekuatan spiritual, spiritual dan keama nan. Padahal keadaan masa itu merupakan akumulasi dari keada- an sebelumnya. Pajajaran mulai turun pamor sepeninggal Prabu Surawisesa. Pada masa Nilakendra musuh makin gencar meng-ganggu keamanan wilayah Pajajaran, bahkan sudah sangat meng ganggu keamanan didalam kota Pakuan. Naskah Carita Parahyang an menggambarkan,: “Pada jaman manusia sejagat tidak mengala mi kejahatan disebutnya jaman sejahtera (kreta), jauh dari keseng saraan dan hidup bahagia. Tidak ada yang menyebabkan kehancu- ran alam. Pada jaman dopara, jaman perunggu; seterusnya ber ganti kejaman kali, jaman beusi - Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu ngayuga sangha ra, kreta, kreta. Dopara luha gumenti tang kali (Kaliyuga).” . Inilah gambaran pada akhir masa Prabu Nilakendra.

Pada jaman ini, musuh lemes sudah nampak kepermukaan, seperti adanya pembangkangan masyarakat dan pembesar kepa-da perangkat pemerintahan dan pemuka agama. Konon terbetik kabar, di Pakuan sudah tidak mengabaikan lagi prinsip,: ”nyatu tamba ponyo, nginum twak tamba hanaang; makan sekedar lapar, minum menghilangkan dahaga”, bahkan naskah Carita Parahyang an menyebutkan: “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan; Para petani merasa kurang akan makanan, tidak mera sa senang bila tidak bertanam sesuatu.” Disatu sisi rakyat Pakuan sudah mulai frustasi, karena takut sewaktu-waktu musuh datang menyerang. Masalah ini sangat jarang di perhatikan oleh masyara kat peminat sejarah Sunda, pada umumnya hanya melihat ganggu an yang datang dari luar, yakni Banten dan Cirebon. Padahal jika Pajajaran masih dianggap kuat, seperti terakhir pada Prabu Sura wisesa Jayaperkosa, maka suatu hal yang mustahil jika Banten dan Cirebon berani langsung menyerang kota Pakuan. Dalam keadaan demikian datang pasukan Tambuh Sangkane dari Banten menye rang Pakuan. Naskah Carita Parahyangan menyebutkan :”Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan; Prabu Nilakendra kalah perang, sejak itu tidak berdiam di keraton.” Na mun ada yang menafsirkan buraknya Pajajaran dari naskah Waru ga Jagat (Sumedang) dan Pancakaki Karuhun Kabeh (Cisondari) dalam tahun Jim Akhir, adalah peristiwa yang menyangkut saat Prabu Nilakendra meninggalkan keraton karena kalah perang. Rombongan raja dan para pengiringnya mengungsi kearah Suka-bumi Selatan.

⫵⫵

Sepeningal Nilakendra para penduduk banyak yang mengung si kesekitar pelosok kotanya, sebagian lagi ke Pulasari. Para kera bat keraton sebagian besar masih banyak yang tinggal di Keraton, namun ada juga yang kembali kenegara dibawah Pajajaran. Sisa nya bertahan bersama pasukan pengawal yang dipercaya menja- ganya. Para penjaga ini dikemudian hari dikenal dengan sebutan Bareusan Panganginan, dalam tradisi pantun disebutkan, dipim- pin oleh tiga orang Senapati, yakni Demang haurtangtu; Puun Bu luh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.

Benteng Pakuan sekalipun sudah ditinggalkan rajanya masih tetap sulit dijebol, sehingga Maulana Yusuf memerlukan waktu sembilan tahun sejak naik tahta untuk untuk mempersiapkan pe nyerangan besar-besaran. Didalam Serat Banten menyebutkan pe ristiwa pemberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerang an ke Pakuan, dalam Pupuh Kinanti, “Nalika kesah pu nika-ing sasih Muharam singgih-wimbaning sasih sapisan-dinten ahad tahun alif-punika sakalanya-bumi rusak rekeih iki - Waktu keberangkatan itu-terjadi bulan Muharam-tepat pada awal bulan-hari Ahad tahun Alif-inilah tahun Sakanya-satu lima kosong satu. Hanya beberapa saat benteng Pakuan dapat dikuasainya. Konon menurut berita Banten, gerbang Pakuan dibukakan oleh Ki Jonggo, salah seorang komandan pasukan pengawal, yang masih saudara dengan salah satu komandan pasukan Banten. Itu pun di lakukan karena merasa sakit hati, tak pernah dapat kenaikan pangkat. Me nurut sumber dari Cirebon Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakha masa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala-Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian te rang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’ awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.

Para penduduk pakuan banyak yang pergi mengungsi. Menu rut sumber Babad ada pula senapati Pajajaran yang melarikan diri kearah timur, antara lain tiga orang bersaudara, yakni Jayaperko sa, Pancar Buana dan Wiradijaya. Mereka memiliki perjalanannya tersendiri, ikut serta membantu Pangeran Angkawijaya menjadi Prabu Geusan Ulun, raja Sumedanglarang untuk meneruskan trah raja-raja Sunda. Yang unik dari perjalanannya tentang penyelama tan Sanghyang Pake, pakean raja-raja Pajajaran yang akan dilantik menjadi raja Pajajaran. Pakean ini diselamatkan oleh Jayaperkosa bersaudara kearah Sumedanglarang, untuk diserahkan kepada Anggakawijaya. Dengan demikian Geusan Ulun dianggap sebagai penerus raja-raja Sunda.

Adapula yang mengungsi kedaerah Bayah dan Ci solok, Sukabumi selatan. Menurut sumber Pantun Bogor, rombong an pengungsi keraton terpecah-pecah. Rombongan raja mengung si ke wilayah Tegal Buleud, Sukabumi Selatan. Kelompok kedua di pimpin oleh tiga orang senapati Bareusan Panganginan. Pasukan ini semula sebagai pasukan khusus penjaga Pakuan atau penga wal istana. Yakni Demang haurtangtu; Puun Buluh Pananjung; dan Guru Alas Lintang Kedesan.

Kelompok ketiga dipimpin Prabu Anom, menuju Cibeo Kane kes, kecamatan Leuwi Damar, Lebak Banten. Kelompok keempat yang terkecil. Mereka terdiri dari jumlah yang paling sedikit, yakni Nay Putri Purnamasari, putri bungsu raja Pajajaran dari istrinya yang ketujuh, dan suaminya Rahyang Kumbang Bagus Setra. Mere ka dikawal seorang Puragabaya yang bernama Rakean Kalang Sun da. Kelompokan inilah yang banyak dikisahkan dan dianggap ba nyak meninggalkan jejak.

Memang sulit mencari berita tentang penghancuran Pakuan pada masa itu, namun secara resmi Pakuan ditemukan kembali pa da tanggal 1 September 1687, dalam keadaan kosong oleh Ser san Scipio, pasukan ekspedisi Kompeni Belanda. Dalam laporannya menyebutkan, bahwa: ”istana tersebut dan terutama tempat du duk yang ditinggikan–sitinggil–kepunyaan raja Jawa Pajajaran, se karang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat oleh sejum lah besar harimau.”

⫵⫵⫵

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960