Rabu, 20 Agustus 2008

Pengaruh Islam Terhadap Budaya Sunda : Beberapa Catatan Perbandingan dan Pencerahan

Oleh H. WAHYU WIBISANA


SEMINAR Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa diselenggarakan pada 31 Oktober 2000 di Jakarta. Presiden Abdurrahman Wahid pada kata sambutannya, secara selintas, mengatakan bahwa seminar ini perlu juga didengar oleh orang Sunda. Beliau pun memberi tahu para peserta seminar bahwa PB Paguyuban Pasundan sengaja diundangnya untuk tujuan itu. Ucapan presiden tersebut dapat ditafsirkan macam-macam.


Pertama, pengaruh Islam tidak hanya terdapat dalam budaya Jawa, namun juga jelas terlihat pada budaya Sunda; dan karena itu, bila pada seminar ternyata lebih banyak membicarakan partisipasi Jawa, dipandang perlu untuk melengkapinya dengan bahasan-bahasan yang berisi pengaruh Islam terhadap budaya Sunda, mengingat kedua etnis itu berada dalam satu pulau akan tetapi masing-masing mempunyai kebuyaannya sendiri.


Kedua, mungkin sebaliknya dari yang pertama adalah anggapan bahwa dengan mencermati isi makalah-makalah pada seminar itu akan makin jelas bagaimana pengaruh Islam itu terhadap budaya Sunda, karena Jawa dan Sunda itu sudah berhubungan dalam tempo yang amat panjang dan menunjukkan pula bagaimana besar pengaruh budaya Jawa terhadap budaya Sunda. Saya sendiri lebih cenderung menafsirkan seperti yang dikemukakan pada kemungkinan pertama, walaupun tidak menafikan kenyataan seperti yang dikemukakan pada kemungkinan kedua.


Pengaruh bahasa dan budaya Jawa terhadap bahasa dan budaya Sunda memang amat besar, sehingga Ayatrohaedi (198 mempunyai dugaan bahwa bahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda dahulu banyak digunakan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan agama (Hindu/Budha). Bahkan menurut Krom (1931), dalam aspek kultural Sunda itu mencontoh Jawa, walaupun kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda dahulu mempunyai kedaulatan penuh. Kedua pendapat itu benar, karena disertai banyak bukti tertulis sebagai hasil penelitian diakronis.


Akan tetapi, bila kenyataannya sekarang jelas mempunyai budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya Jawa, maka dapatlah disimpulkan bahwa ternyata etnis Sunda itu dapat mempertahankan eksistensi budayanya betapapun pengaruh dari luar amat besar dan kuat. Hal ini ada hubungannya dengan unsur-unsur budaya yang bersifat stabil dan lokal genius yang dapat ditunjukkan secara sinkronis horisontal serta akan lebih baik lagi bila didukung oleh penelitian dengan pendekatan historis vertikal.


Saya kira, bila kita bermaksud mengadakan seminar yang membahas pengaruh Islam terhadap budaya Sunda, selain memperhatikan apa-apa yang telah dikemukakan pada Seminar Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, kita pun harus mengidentifikasi kekhasan-kekhasan yang terdapat dalam budaya Sunda dengan, antara lain, memperhatikan segala sesuatunya yang ada dan terjadi di Tatar Sunda. Dalam hal ini kita pun harus membatasi masalah yang diawali dengan pendefinisian budaya atau kebudayaan seperti yang telah dikemukakan Zoetmulder pada Historiografi Indonesia (1955:288):


Manusia, yang hidup di dalam alam serta merupakan bagiannya, sejak lahir sampai mati berusaha mengungkapkan bentuk kehidupannya. Bersama dengan sesamanya yang tergabung dalam kesatuan masyarakat yang lebih luas. Dalam proses memberi dan menerima, mereka membentuk cara hidup yang menjadi sifat masyarakat tersebut. Cara hidup demikian inilah yang kita sebut kebudayaan.


Cara hidup orang Sunda, yang telah menerima Islam sebagai agamanya, tentu saja berbeda dengan cara hidup orang Sunda dahulu yang, antara lain, mengacu kepada isi naskah Siksa kandang Karesian (1518), sebuah naskah yang (menurut berita yang sampai kepada saya) telah ditelaah oleh para mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati, untuk mengetahui adeg-adeg orang Sunda dahulu. Cara hidup yang bersendikan ajaran atau akidah sebuah agama dapat diobservasi dan ditelusuri proses kesejarahnnya yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan seperti dikemukakan Christoper Dawson (194 yang dicuplik Zoetmulder (1955:289):


Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami bentuk dalam suatu masyarakat jika kita tidak memahami agama(nya)… Dalam semua zaman, hasil karya kreatif pertama dari suatu kebudayaan muncul dari inspirasi agama dan diabadikan pada tujuan-tujuan keagamaan.

Pengaruh agama Islam terhadap budaya Jawa telah banyak ditelaah, antara lain oleh beberapa pemakalah pada Seminar di Jakarta 31 Oktober 2000 yang beberapa di antaranya sejalan dengan pendapat Dawson tersebut. Di bawah ini saya berusaha memaparkan hasil penyerapan saya terhadap beberapa makalah pada seminar tadi, akan tetapi bukan berupa ringkasan melainkan berupa catatan tentang perbedaan atau variabel dalam budaya Jawa dan Sunda dalam hal menerima pengaruh Islam.


Catatan Pertama

HASIL penelitian Clifford Geertz (1960), yang menunjukkan adanya lapisan sosial masyarakat Jawa, tampaknya masih menjadi perhatian beberapa pemakalah pada Seminar Sehari Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa. Dipertanyakan kapan munculnya istilah abangan, karena pada awal abad ke-19 istilah itu tidak ada. Istilah itu ada saat itu adalah kaum dan santri. Istilah abangan dan putihan baru muncul pada pertengahan abad ke-19 yang diumumkan oleh para pengamat sosial bangsa Belanda.


Keterangan di atas dapat dibandingkan dengan struktur sosial di Tatar Sunda. Setidaknya sampai dengan awal ke-20, di masyarakat kota ada yang disebut dengan menak (bangsawan atau priyayi menurut istilah Clifford Geertz), urang kaum (lingkungan mesjid), dan urang pasar (para pedagang atau saudagar), di samping sonah (rakyat kebanyakan). Sementara itu di setiap pesantren terdapat ajengan (kyai) dan santri, sama seperti di Jawa.


Urang kaum di tingkat ibu kota kabupaten dipimpin oleh penghulu besar atau penghulu, di tingkat kewedanaan dan kecamatan oleh naib, sedangkan di tingkat desa oleh lebe. Tampaknya urang kaum di tingkat kabupaten itu mempunyai hubungan baik dengan para ajengan, seperti Penghulu Besar Hasan Mustapa (1900) dengan Kyai Kurdi di Singaparna dan Ajengan Bangkonol di daerah Bandung.


Catatan Kedua

PERANAN kepala pemerintahan dalam kehidupan dan perkembangan agama Islam di Jawa jelas-jelas tercatat dalam sejarah, seperti peranan Sultan Agung yang beralih orientasi kepada pemuka-pemuka Islam. Pada tahun 1633 Sultan Agung berziarah ke makam Sunan Bayat di Tembayat dan pada tahun itu pula kelender Jawa disesuaikan dengan kalender tahun Hijriyah.


Catatan serupa itu ada pula di Tatar Sunda seperti peranan Sunan Gunung Djati yang telah diuraikan oleh P.S. Sulendraningrat dalam buku Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon (tanpa Tahun). Peranan dan pengaruh Sunan Gunung Djati ini terekam pula dalam beberapa cerita rakyat di wilayah Cirebon, sama seperti peranan Sultan Hasanuddin di Provinsi Banten. Agaknya peranan pangagung lainnya setelah itu belum banyak dibahas dan diteliti seperti Pangeran santri di Sumedang atau Dalem Haji (R.A.A. Wiranatakusumah V) di Bandung.


Memang, menurut sejarah yang dipercayai sampai saat ini, orang Sunda menerima Islam lebih kemudian daripada orang Jawa, yakni setelah Cirebon dan Banten mendapat pengaruh dari Demak. Setelah itu, kecuali Cirebon dan banten, di derah lainnya di Tatar Sunda tidak terdapat pangagung-pangagung yang dapat dibandingkan dengan sultan-sultan di Jawa, karena semuanya hanya setingkat bupati. Bahkan adakalanya hubungan menak dengan urang kaum kurang akrab, walaupun nama Kanjeng Dalem selalu di sebut pada khutbah Jum’at di mesjid agung sampai akhir masa penjajahan Belanda (1942). Bila memang demikian, tokoh-tokoh berpengaruh lainnya dapat dikedepankan seperti Syeikh Qura di Karawang (abad ke-15), Arif Muhammad di Cangkuang Garut (abad ?), dsb. Sehingga peranannya dapat diungkapkan seperti Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya (abad ke-17), dan Syeikh Nawawi di Banten (abad ke-19).


Catatan Ketiga

BERBAGAI kepercayaan orang Jawa yang terungkap dalam upacara adat dikemukakan pada beberapa makalah. Hal ini sama dengan yang ada di masyarakat Sunda masa lalu seperti dikemukakan oleh Hasan Mustapa pada buku Bab Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913). Demikian pula cerita wayang yang berasal dari India dan mengandung ajaran agama Hindu, berkat usaha para wali telah diberi nuansa Islami sehingga dapat diterima oleh masyarakat yang beragama Islam (Lihat K.H. Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 1977).


Agaknya, penjelasan-penjelasan dari beberapa makalah mengenai kedua hal itu yang pada dasarnya menggambarkan adanya garis kelanjutan dari zaman pra-Islam masih tampak sampai saat ini, baik di Jawa maupun di Sunda. Adapun yang harus ditelaah dan sekaligus dijadikan ancar-ancar adalah batas toleransi, bila kenyataan itu dihubungkan dengan syari’at Islam dalam budaya Sunda masa lalu dan dewasa ini.


Garis kelanjutan masa lalu tidak menunjuk pada suatu titik yang terpusat pada tokoh-tokoh raja pra-Islam yang masih hidup dalam kenangan orang Jawa, seperti Hayam Wuruk. Mungkin karena raja ini tidak ada hubungannya dengan Islam, sehingga tidak diungkapkan pada semua makalah. Lain halnya dengan orang Sunda yang selalu mengenang kebesaran Kerajaan Pajajaran dengan rajanya (menurut tuturan cerita pantun) Prabu Siliwangi. Dalam hubungan dengan Islam, raja ini telah diceritarakyatkan menjadi dua versi, yakni versi kaleran (termasuk Cirebon) dan versi Priangan.


Pada versi kaleran, Prabu Siliwangi itu akhirnya Prabu Siliwangi itu akhirnya menganut agama Islam, karena mempersunting santri peremuan yang dididik oleh Syeikh Quro, bernama Nyi Subanglarang. Dari pernikahannya ini lahir Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang yang kedua-duanya berhubungan dengan sejarah Cirebon (diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah itu putera Rara Santang dari pernikahannya dengan seorang bangsawan Mesir). Versi ini menggambarkan keberterimaan Prabu Siliwangi terhadap Islam.


Berbeda dengan versi Priangan yang menggambarkan ketidak berterimaan Prabu Siliwangi terhadap Islam seperti terungkap dalam cerita, Kian Santang mengejar dan memaksa Prabu Siliwangi agar mau menganut agama Islam, Ketidak berterimaan sebagian masyarakat Sunda terhadap Islam yang dilambangkan dengan tokoh Siliwangi menurut versi ini agaknya sejalan dengan adanya umpatan pejajaran di Jakarta dan anjing galuh di Priangan (minus Ciamis).


Lepas dari kedua versi tersebut, nama Siliwangi tetap hidup dalam sanubari orang Sunda seperti tersirat pada seni sastra dan seni karawitan Sunda. Hal ini menjadi menarik bila dihubungkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa junjunan orang Sunda sampai saat ini sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad (bila mereka menempatkan diri sebagai umat Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka sedang menyadari kesundaannya). Akan lebih menarik lagi bila hal itu dihubungkan pula dengan anggapan yang menyatakan bahwa Sunda itu identik dengan Islam, karena sampai saat ini dirasakan janggal bila asa orang Sunda yang tidak beragama Islam.


Catatan Keempat

PADA beberapa makalah digambarkan bahwa keberterimaan orang Jawa terhadap agama Islam lebih meningkat manakala disertai unsur sufinya. Digambarkan bahwa budaya kejawen yang berpusat di keraton-keraton amat berkesuaian dengan Islam sufi.


Kemudian dikemukakan tokoh-tokoh tasawuf yang amat berperan dalam mengembangkan budaya Jawa, seperti Sunan Kalijaga dengan konsep pancamaya atau sangkan paran dumadi dan ilmu kesempurnaan atau insan kamil yang bermuara pada konsep ajaran munggaling kawula gusti.


Sufisme atau tasawuf seperti itu banyak mempengaruhi alam pikiran orang Jawa dan melahirkan banyak karya sastra seperti Sastra Gending (Sultan Agung), Wulangreh (Paku Buwono IV), dan Wirid Djati (Rangga Warista). Salah seorang tokoh yang juga ditonjolkan pada makalah ini Abdul Muhyi Pamijahan dengan ajaran yang disebut Martabat Alam Tujuh.


Yang menarik adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya sastra dalam kepustakaan Islam kejawen tersebut sejalan dengan tradisi Jawa dengan unsur keIslaman. Sebutan “Islam Kejawen” yang jelas-jelas menunjuk nama agama (Islam) ternyata masuk juga ke dalam budaya Sunda. Agama Jawa Sunda yang diumumkan oleh Madrais (1925) atau Paham Perjalanan dalam Agama Kuring yang dikembangkan oleh Mei Kartawinata (1935) patut diduga sedikit banyak berbandingan dengan lahirnya Kejawen. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapat kejelasan dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengaruh Islam (melalui Islam yang telah dijawakan) ke dalam budaya (sekali lagi: budaya) Sunda.


Catatan Kelima

AGAMA Hindu amat berpengaruh terhadap kebudayaan Jawa. Berbeda dengan di Sunda, karena naskah Siksa Kandang Karesian atau naskah-naskah Sunda Kuno lain tidak secara keseluruhan berisi ajaran Hinduisme. Ada paparan pada sebuah makalah yang menjelaskan bahwa Hinduisme mengakar dalam budaya Jawa sehingga pada gilirannya menjadi penyangga kebudayaan priyayi kejawen. Sementara itu, Hinduisme hanya menyentuh sedikit saja pada budaya petani pedesaan, karena pihak ini amat dipengaruhi oleh budaya animisme dan dinamisme.


Kita dapat saja memperkirakan bahwa keadaan seperti itu terjadi pula di Sunda, terutama yang menyangkut budaya petani pedesaan. Adapula yang menyangkut budaya priyayi, mungkin kita dapat mengajukan hipotesis bahwa budaya priyayi Sunda bukan dibentuk langsung oleh Hinduisme, melainkan merupakan “cangkokan” dari priyayi Jawa. Diperkirakan hal ini terjadi pada masa pengaruh Mataram di Priangan yang berlangsung pada abad ke-17 dan berlanjut sampai dengan pertengahan abad ke-19.


Perhatian dan kegemaran para menak Sunda pada kesenian substil yang lazim di Jawa disebut “seni keraton”, dalam bentuk lain terdapat juga di Sunda, seperti tembang Sunda lagam Cianjuran yang dikembangkan oleh R.A.A. Kusumaningrat, Bupati Cianjur (1834-1862). Hal ini tidak berkaitan dengan keagamaan, melainkan berhubungan dengan bagian akhir pada catatan ketiga. Walaupun demikian, dapat pula dihubungkan dengan budaya Islam bila kita menerima anggapan sementara orang yang menyatakan bahwa teknik vokal tembang Sunda Cianjuran itu ada hubungannya dengan teknik vokal dalam pelantunan ayat suci al-Qur’an.


Wallahu a’lam bishshawab.***

Sumber: Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 01 Pebruari 2001.


Dicpoas dari Sumber : Pustaka Islam Sunda

http://sundaislam.wordpress.com

Ditulis pada

Tidak ada komentar:

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960