Rabu, 11 Mei 2011

Istri Larangan

Didalam tradisi Sunda buhun dikenal adanya istri larangan, suatu larangan atau tabu bagi seorang laki-laki untuk menikahinya. Larangan ini bukan hanya di tujukan kepada ma syarakat biasa, melainkan juga untuk lingkungan keraton dan para raja di tatar Sunda. Demikian pula sanksi yang diberikan, bisa berupa sanksi sosial atau dipaksa untuk meleta kan jabatan, seperti pada kasus Dewa Niskala (Kawali) dan Ratu Sakti (Pajajaran).


 
Naskah Carita Parahyangan dan Siksa Kandang, menetapkan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, atau Estri Larangan (Ekadjati – 2005 : hal.196), yaitu :
  1. Gadis atau wanita yang telah dilamar oleh seorang pria, dan lamarannya diterima oleh si gadis, maka terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu ;
  2. Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda. Larangan tersebut berlatar-belakang ada nya peristiwa Bubat ;
  3. Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikah dengan wanita tersebut.
Larangan yang pertama dengan ketiga sampai saat ini masih tetap kukuh dihindari untuk tidak dilakukan. Selain menyangkut moral dan etika, juga terkait dengan larangan agama. Sedangkan larangan yang kedua sudah mulai luntur. Generasi muda Sunda sekarang sudah banyak yang tidak mengenal tabu demikian atau ahistoris terhadap munculnya tabu tersebut. Sudah banyak laki-laki Sunda yang kawin dengan perempuan Jawa, juga sebaliknya. Bahkan jarang yang mengenal sejarah peristiwa bubat. Yang pasti adanya proses dan kesadaran yang mempersatukan Sunda dengan Jawa di dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan sendirinya mencairkan mitos tersebut.

 
Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan dengan tegas melarang aturan-aturan istri larangan. Naskah ini meru pakan artefak penting dari adanya ketentuan istri larangan. Bahkan dapat menginformasikan kepada generasi yang akan datang tentang universalitas nilai Kasundaan. Kisah para pelanggaran diceritakan pula didalam naskah Carita Parahyangan, sehingga naskah Sanghiyang Siksa dengan Carita Parahyangan sering dianggap acuan dari ketentuan istri larangan. Naskah Sanghiyang Siksa Kandang menjelaskan, sebagai berikut :

 
Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun nahaloan. Ulah ngeri(ng)keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowangtangan, sapanglung guhan di catang, di bale, patu tunggalan, haloan si panglungguhan ngaranna. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patu¬tunggalan, haloan sipanahtaran ngara(n)na. (Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan. Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rarahu lanjar agar tidak terkena godaan diperjalanan. Demikian pula memegang tangan (nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut goda an di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya).

 
Tabu mengganggu istri / tunangan orang
Etika atau Pikukuh yang paling keras adalah tidak boleh mengganggu istri orang, bahkan wanita yang sudah dilamar tabu untuk diganggu. Larangan demikian sampai sekarang masih berlaku, namun untuk yang sudah bertunangan masih ada sedikit perdebatan, atau boleh dikatakan masih ada kelonggaran. Terutama adanya idiom tentang “satu menit pun (sebelum nikah) masih milik umum”, alias masih bisa beralih lagi. Karena syahnya hubungan pernikahan setelah ‘ijab kabul’, maka inilah yang tidak boleh di ganggu.

Tabu sebagaimana yang dianut orang Sunda buhun tidak hanya mempertimbangkan pada nilai-nilai yang bersifat formal, atau hanya mengacu keabsyahan pasangan dari sya rat yang ditentukan oleh suatu lembaga perkawinan yang syah menurut hukum negara, melainkan mempertimbangkan juga perasaan dan hubungan dengan sesama manusia lain nya, terutama terhadap pihak lain yang merasa terganggu atas peristiwa ini. Karena hakikatnya, bagus atau tidak suatu hubungan tidak ditentukan oleh formalitas, atau adanya suatu perjanjian, melainkan timbul dari saling percaya dan saling menghormati. Inilah yang mungkin mendasarkan munculnya tabu yang melarang seorang perempuan yang sudah bertuna ngan dilarang diganggu.

Alasan lain menurut hemat penulis terkait erat dengan tahap dan proses berpikir manusia Sunda dahulu. Antara dia (pribadi) dengan orang lain (subyek) tidak terbatas oleh apapun. Faham ini disebut Totalitas. Manusia harus mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Sama halnya dengan idi om ‘ngaragap angen sorangan’ atau ‘teposliro tenggang rasa’, atau ‘tat twan asi’, aku adalah kamu dan kamu adalah aku !. Dengan demikian manusia akan merasakan sakit bila orang lain merasakannya. Sama ketika seseorang merasakan sakit hati jika tunangannya di ganggu orang atau lelaki lain.

Pemahaman lainnya berkaitan dengan sanksi yang akan diterima jika di melakukan perbuatan tersebut. Manusia Sun da buhun sangat yakin, jika kesalahan yang dibuat didunia ha rus di pertanggung jawabkan. Suatu contoh dari penerapan sanksi di kalangan masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy akan lebih takut terhadap kutukan dari pada sanksi di dunia. Kutukan dianggap berlaku terus bagi para keturunannya, sedangkan sanksi di dunia cukup bagi pribadi (seorang) yang melakukan kesalahan tersebut.

Ada juga yang mencontohkan dari peristiwa Harisbaya, istri Panembahan Ratu (Cirebon) yang kemudian iiwat dan di nikahi oleh Prabu Geusan Ulun (Sumedanglarang). Untuk me nebus talaknya dan mencegah peperanhan antara Sumedang larang dengan Cirebon maka Sumedanglarang harus melepas kan wilayah Sindangkasih kepada Cirebon. Mungkin pula aki batnya dirasakan oleh generasi berikutnya. Pengganti Geusan Ulun ternyata tidak mampu mempertahan Sumedang sebagai negara yang berdaulat penuh, bahkan raja-raja Sunda menjadi kehilangan penerusnya.

Hal yang sama dialami oleh trah Galuh, akibat smarakar ya Mandiminyak dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak, sehingga melahirkan.Sena Penulis Carita Parahyangan, menggambarkan sebagai berikut :

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungu keuneun nana, tatabeuhan di Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel. Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta ateh ?" "Bejana nu ngigel di buruan ageung!" "Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tang gungan aing. Geuwat bawa sacara paksa!" Patih indit kaburuan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonnanya lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena

Sena dianggap Sang Salah, padahal bukan Sena yang berbuat. Sena kemudian menggantikan Mandiminyak sebagai penguasa Galuh. Sena pun dianggap orang yang saleh, meng hormati tetua Galuh dan para tokoh agama, serta perilakunya bertolak belakang dengan Mandiminyak, namun tetap dikucil kan oleh kera bat lainnya. Peristiwa ini pun memicu rebutan tahta Galuh. Dikenal dengan Pisuna Galuh yang dipimpin Purbasora, putra Rababu dari Sempakwaja.

Peristiwa lain yang menimpa keturunan mandiminyak yakni kasus Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Di goda Rahiyang Tamperan, untuk kemudian Tamperan membunuh Permana Dikusumah. Tamperan akhirnya dibunuh Sang Manarah. Kisah ini ditulis didalam Carita Parahyangan, sebagai berkut :

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.

Dua pelanggaran
Peristiwa lain yang termasuk katagori mengganggu tunangan orang menimpa Dewa Niskala, putra Niskala Wastu Kencana. Ketika itu Maja pahit dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindra wardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi kedaerah Galuh dan Kawali, pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala jatuh cinta kepada salah satu anggota rombong an. Wanita tersebut telah bertunangan. Carita Parahyangan menjelaskan, sebagai berikut :
Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka éstri larangan ti kaluaran. (Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran).
Carita Parahyangan menyebutkan pelanggaran yang di rumpak Dewa Niskala adalah bogoh ka éstri larangan ti kalua ran. Artinya dapat ditafsirkan adanya dua pelanggaran, yakni (1) melanggar istri larangan ; dan (2) istri tikaluaran. Kalimat dimaksud dapat ditafsirkan, yakni istri yang telah bertunangan dan berasal dari Majapahit. Kasus ini pada akhirnya memaksa Dewa Niskala untuk turun dari tahtanya.

Pelanggaran yang dilakukan Dewa Niskala memang masih menjadi perdebatan dikalangan penyusun sejarah Sunda, bahkan ada yang menafsirkan hanya melanggaran ketentuan untuk tidak menikahi perempuan yang telah bertunangan. Namun pendapat lainnya tidak bisa dikesampingkan. Mengingat peristiwa Bubat masih membekas dibenak dan hati masyara kat Sunda pada masa itu. Adanya tabu menikahi wanita yang berasal dari Majapahit (istri tikaluaran) menjadi beralasan. Maka wajar jika Dewa Niskala di anggap melanggar dua lara ngan sekaligus.

Tabu menikahi ibu tiri atau bekas istri bapak.
Ratu Sakti, putra Ratu Dewata raja Pajajaran, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan para pendahulunya, sering ngarumpak larangan (tabu), tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang memegang Purba satiti–Purbajati, yang paling parah melanggar Istri larangan, yakni menikahi istri ayahnya (ibu titinya).

Penulis Carita Parahyangan menanggapi perilaku Ratu Sakti, sebagai berikut :
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan ta hun, kenana ratu twahna kabancana ku estri, larangan tika luaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, nga rampas, tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Kisah penurunan Ratu Sakti diduga dilakukan dengan cara dipaksa. Mengingat, dilihat dari periakunya, suatu hal yang mustahil jika mau dengan ikhlas turun sendiri, sebagaimana dilakukan Dewa Niskala. Pada akhirnya Carita Parahyangan menegaskan, : Aja tinut de sang kawuri pola sang nata (Janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini).

Sumber-sumber larangan bagi ketentuan Istri Larangan tersebut berasal, atau di tulis didalam Carita Parahyangan dan Naskah Sanghyang Sika Kandang Karesyan. Didalam naskah Sanghiyang Siksa menyebut para pelanggar itu sebagai orang pandir yang turun dari alam gaib, tidak menemukan jalan kedewata an dan ingin cepat menjelma. Perbuatan ini di samakan dengan derajat orang yang tidak setia ; cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan; main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak; merasai wanita yang bukan istrinya. Menegaskan :

Kitu urang janma ini. Ha(ng) ger turun ti niskala hanteu ka temu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug ting kahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. Aya ka pitwah ta nu mo satya, nutan yogya: lumekas mang gawe hala: papanji ngan, bubu nyan, kapiadi, kapilan ceuk. Nya mana wadon nga rasa lalaki lain salakina, tan yogya ngarana. Lalaki ngarasa wadon lain eusi imahna, tan yogya ngarana. Wenang ditibakeun kana kawah si mrega wijaya. Jan ma ngawisesakeun nu salah. (Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuan nya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui. Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menye linap kerumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bukan suaminya, tidak layak namanya. Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, tidak layak namanya. Boleh di jerumuskan kedalam neraka simregawijaya. (sebagai) manusia yang mengutamakan per-buatan salah.)

Konsep istri larangan yang berlaku pada masa Karuhun Urang Sunda menunjukan, bahwa dimasa lalu orang Sunda sangat memegang teguh moral dan etika. Hemat penulis, selain perintah agama disebabkan pula pada pertimbangan menjaga hubungan dengan laki-laki yang istrinya dinikahi. Bagi orang Sunda di masa lalu, istri merupakan benteng akhir dari harga diri seorang laki-aki. Negara bisa saja melakukan peperangan hanya karena persoalan istri yang dibawa atau diganggu oleh raja lainnya.

Kewajaran sikap demikian tentunya bukan hanya mengandalkan rational itas dan pertimbangan politis, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Harisbaya. Pada masa itu, talaknya ditukar dengan wilayah Sindangkasih. Sumedang mendapatkan Harisbaya sebagai permaisuri Geusan Ulun, dan Cirebon memiliki wilayah baru, yaitu Sindangkasih. Kewajaran demikian juga mengandalkan pada rasa manusa dan kamunasaannana. Hubungan suami dengan istri; kekasih dengan tunangannya di dalam paradigma apapun dikendalikan oleh rasa, bukan sekedar perjanjian perdata. Yaitu rasa cinta; kasih sayang; saling mengharapkan dan saling memberi harapan untuk hidup bersama, lebih dari sekedar perjanjian sosial atau perhitungan material. Rasa ini akan berbuah baik dan menjadikan ketentraman serta kesentausaan hidup jika segenap warga memahami dengan baik. Namun jika sulit dipahami maka harus diberlakukan suatu hukum, dan menambahkan sanksi agar bisa ditaati. Inilah universalitasnya Budaya Sunda sebagai kearifan dari masa lalu. (asp).

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960