Jumat, 16 Oktober 2009

Masa Sanjaya


Pada cerita sebelumnya dijelaskan identitas Balangantrang berikut eksistensinya dalam membantu Purbasora merebut tahta Galuh dari Sana, atau Bratasenawa. Namun Kisah kemenangan Senjaya, putra Bratasenawa merebut kembali Galuh hampir tidak diketahui, jarang diceritakan atau mungkin juga tidak pernah terceritakan dalam sejarah lisan, sehingga kisah Balangantrang menjadi raib. Kisah ini baru muncul kembali dalam cerita Ciung Wanara. Itupun karena Balangantrang disebut-sebut sebagai pengasuh Ciung Wanara.

Meretas alur kesejarahan Sanjaya di Galuh hemat saya menjadi penting, karena eksistensi Sanjaya sebagai penguasa Sunda – Galuh didalam kesajarahan nusantara menjadi tak tersambung, padahal Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya di Mataram Kuno - Medang, dan sekaligus penguasa Sunda dan Galuh. Dengan demikian Sanjaya memiliki wilayah kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan raja-raja Tarumanagara.


Sanjaya dalam sejarah Jawa Madha
Keharuman nama Senjaya di Jawa Kwulon, Madha dan Pawathan tak terkirakan. Menurut Slamet Mulyana, hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Ratu dalam sirsilah raja-raja Medang, sedangkan yang lainnya menggunakan gelar Sri Maharaja. Gelar Ratu identik dengan sebutan Datu, pemimpin, keduanya diakui sebagai gelar orang Indonesia asli.

Prasasti Canggal yang dibuat Sanjaya pada tahun 732 M menyebutkan Raja Sanjaya merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang bertahta di Mataram Kuno – Jawa Tengah, Prasasti itupun menyebutkan, bahwa ada raja Medang sebelum Sanjaya yang memerintah Pulau Jawa, yakni Sanna.

Kisah Karuhun Sanjaya di Jawa Madha dan Pawathan terputus dan tidak terlacak, bahkan disinyalir hampir sama dengan kisah Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang hanya mengkalim dirinya keturunan raja-raja Singasari. Namun kedua sejarah tersebut diuraikan dalam sejarah Sunda.

Jika saja mau sedikit telaten “Nyungsi Laratan” Sanjaya, atau sedikit mau berbesar hati membuka wacana ke Indonesiaan, Karuhun Sanjaya sebenarnya diuraikan dalam Carita Parahyangan. Ia disebut sebut sebagai putra Sanna, sedangkan Sanna adalah Putra Mandiminyak dari hasil hubungan gelapnya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakak Mandiminyak, atau dikenal pula sebagai ayah dari Purbasora.

Namun didalam buku pelajaran kelas empat Sekolah Dasar, Sanjaya disebut-sebut berasal dari Kerajaan Saunggalah, tapi entah dimana, yang jelas Kerajaan ciptaan itu meleburkan eksistensi Galuh sebagai salah satu kerajaan yang ada di tatar pasundan.

Carita Parahyangan memberi nama Rakeyan Jambri, dengan panggilan Rahyang Sanjaya.

Fragmen dari Carita Parahyangan tersebut, sbb :

Lawasna jadi ratu, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.

Carek Rahiangtang Kidul:

"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"

Carek Rakian Jambri:

"Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."

Kemudian ada juga yang mengaitkan Sannaha sebagai ibu dari Sanjaya. Karena dianggap suatu hal yang mustahil jika Sannaha mau mendudukan Sanjaya di tahta Medang sepeninggalnya Sena. Sannaha disebut sebut juga sebagai putri Mandiminyak dari Parwati, Putri Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, penguasa Kalingga. Dengan demikian disinyalir pula adanya perkawinan sedarah, antara Sena dengan Sannaha.

Prasasti Mantyasih yang dibuat pada tahun 907 menyebutkan raja Medang pertama adalah Rahyang ta rumuhun ri Medang Poh Pitu (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) namun tidak menjelaskan adanya Sanna sebagai pendahulunya.

Menurut versi ini, Sanjaya menjadi Raja di Medang setelah Sanna meninggal yang menimbulkan kekacauan. Kemudian Sanjaya menjadi Raja atas bantuan Sannaha, yang disebut-sebut sebagai Saudara perempuan Sanna.

Jejak Balangantrang pada masa Sanjaya
Hilangnya jejak Sanjaya menimbulkan putusnya jujutan Karuhun Sunda Galuh, terutama kaitannya dalam Kisah Ciung Wanara. Salah satu contoh adalah Kisah Bimaraksa atau lalakon Aki Balangantrang setelah kekalahan Purbasora oleh Sanjaya.

Kekisruhan sejarah lainnya ditenggarai dalam menempatkan identitas Ciung Wanara atau Manarah dengan Banga atau Haryang Banga. Padahal keduanya merupakan penerus syah dari kekuasaan raja-raja di tatar pasundan.

Ciung Wanara dan Haryang Banga dianggap “dulur pateterean”, dan palaputra dari Prabu Brama Wijayakusumah, dari dua ini yang berbeda, yakni Pohaci Naganingrum yang berputra Ciung Wanara dan Dewi Pangrenyep yang berputra Haryang Banga.

Konon kabar ketika Haryang Banga berumur 3 tahun Pohaci Naganingrum belum juga hamil. Ketika hamil Dewi Pangrenyep memrintahkan semua embank meningalkan Dewi Pohjaci dengan alasan, : kelahiran bayi Pohaci akan diurus langsung oleh Pangrenyep. Menurut cerita pula, ketika lahir bayi itu dibuang dan digantikan oleh seekor anjing, sehingga Dewi Pohaci dianggap melahirkan seeokr anjing. Serta dianggap aib dan harus dibuang. Disinilah dimulainya “lalakon” Ciung Wanara.

Dari untaian cerita rakyat, saya agak sulit menarik kesimpulan tentang : Siapa yang dimaksud dengan Prabu Brama Wijayakusumah ?, Tamperan Barma Wijaya atau Permana Dikusumah. Karena keduanya pernah memiliki istri yang sama, yakni Dewi Pohaci dan Dewi Pangrenyep (lihat kisah balangantrang dalam Masa Ciungwanara).

Bisa saja pasilih carita ini disebabkan dari cara menafsirkan rujukannya, karena dalam Carita Parhyangan Tamperan secara sepintas dapat disebut ayah Manarah.

Cuplikan dari persitiwa tersebut sebagai berikut :

Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,
ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu
kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah,
tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.

Masalah kedua, status Ciung Wanara dengan Haryang Banga yang dianggap saudara satu ayah, menimbulkan terputusnya kisah perseteruan keturunan Wretikandayun dari Sempakwaja dan Jantaka dengan Mandiminyak. Berakibat pula eksistensi Purbasora dan Senjaya menjadi tidak terceritakan, serta peran Balangantrang didalam Kisah Ciung Wanara hanya menjadi bumbu cerita.

Masalah ketiga menyebabkan kisah kasih Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah tercampur dengan “lalampahan” Mandiminyak yang berhasil menghamili Rabbabu, istri kakaknya, yakni Sempak Waja.

Kisah ini disebut-sebut didalam Carita Parahyangan, dari hasil perselingkuhan melahirkan Sena (Bratasenawa) ayah Sanjaya. Bagi saya, ketidak utuhan penangkapan informasi oleh masyarakat menjadi wajar, karena masalah Mandiminyak maupun Tamperan dianggap aib, sehingga pesannya disampaikan secara bisik-bisik.

Mungkin kekisruhan kisah ini yang menyebabkan peran Bimaraksa menjadi terpisah dengan nama Balangantrang. Karena Balangantrang dalam sejarah lisan hanya diberi peran sebagai pengasuh dan bumbu dari cerita Ciung Wanara. Padahal didalam sejarah Galuh, Balangantrang memiliki epos tersendiri, mengantarkan Ciungwanara ketampuk kekuasaan Galuh.

Sanjaya Mengembalikan Tahta Galuh
Pengambilan alihan kembali tahta Galuh oleh Sanjaya, sebagai pewaris syah dari Sena diuraikan dalam cerita Parahyangan :

Carek Rahiangtang Kidul:
"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"

Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."


"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."


Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?"


"Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, 'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru."


Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh.


Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.


Kedatangan Sanjaya kepada Jantaka seperti diuraikan diatas sebenarnya hanya untuk meminta agar dapat bertindak sebagai pemberi keadilan, namun permintaan ini membuahkan kegalauan bagi Rahyang Guru (Jantaka). Mengingat, disatu sisi ia menganggap Sanjaya sebagai pewaris syah tahta Galuh disisi lain Bimaraksa, anaknya terlibat membantu Purbasora. Kisah selanjutnya Eahyang Guru memilih diam dan tidak terlibat dalam perseturan anak Sempakwaja, kakaknya dengan anak Mandiminyak, adiknya.

Kisah Sanjaya di Galuh tentunya sejaman dengan Kisah Balangantrang, mengingat keduanya actor intelectual dari persitiwa tersebut dan keturunan dari Wretikandayun, pendiri Galuh, yang sedang bersebrangan.

Jika dipetakan kekuatan politis dan militer Sanjaya, tentunya pada saat itu masih unggul dibandingkan Purbasora. Sekalipun Purbasora berhasil menurunkan Sena (ayah Sanjaya) dari tampuk pimpinan Kerajaan Galuh, namun tidak dapat begitu saja bisa menikmati kejayaannya, dan Purbasora sangat dihantui serangan Sena yang akan datang sewaktu-waktu.

Untuk mempertahankan kekuasaanya, Purbasora kemudian membentuk pasukan khusus dari legiun Indraprahasta (mertua Purbasora) yang panglimanya langsung berada dibawah Bimaraksa. Maka dalam cerita ini, Balangantrang masih memiliki eksistensi.

Sena pada waktu itu sangat bersahabat dengan Terusbawa, raja Sundapura yang memiliki legiun cukup kuat untuk menyerang Galuh. Sewaktu-waktu bias saja Sena meminta bantuan Terusbawa.

Kedua Sena cucu suami dari Parwati, penguasa Mataram dan iapun masih bersaudara dengan Dewasinga, keduanya keturunan Kalingga. Namun Sena yang dikenal santun dan alim ini menyadari kondisi percaturan politik di Galuh yang tidak menyenangi kehadirannya. Cukup beralasan jika tidak berniat melakukan pembalasan.

Lainnya dengan Sanjaya, putra Sena. Ia menganggap peristiwa ini sebagai penghinaan kepada ayahnya. Ketika peristiwa tersebut terjadi Sena tidak ada di Galuh. Kemudian Mempersiapkan diri menuntut balas atas penghinaan kepada Sena. Namun sama halnya dengan Sena, Sajnaya pun tidak berkeinginan menjadi Raja di Galuh.

Titik kekuatan lainnya yang dimiliki Sena setelah ia menikahkan Senjaya, putranya dengan putri Terusbawa, putri mahkota Sundapura.

Sanjayapun sebelumnya dinikahkan dengan Sudiwara putri Dewasinga. Dengan demikian posisi Sanjaya ketika itu sebagai putra mahkota Mataram dari Sanaha, ibunya ; sebagai putra mahkota Galuh dari Sena, ayahnya ; dan suami dari putri mahkora Sundapura. Jika diletakan dalam atlas, secara politis Sanjaya bisa menguasai 75% pulau jawa.

Untuk melaksanakan niatnya Sanjaya melatih pasukan khusus di Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Disisi lain Sanjaya pun dibantu pasukan sunda yang dipimpin langsung oleh Patih Anggada. Sehingga hanya dalam satu kali penyerangan dimalam hari, Purbasora dan keluarganya dibantai habis.

Dalam cerita ini memang ada yang sedikit aneh, karena Bimaraksa, senapati yang sekaligus patih dari Galuh, bersama sebagian kecil pasukannya berhasil meloloskan diri, sehingga bias ditafsirkan adanya persekongkolan. Namun alasannya diuraikan dalam sejarah Jawa Barat, bahwa : Sanjaya mendapat pesan dari Sena, kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati.

Dalam cerita ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demuwan diminta Sanjaya untuk menjadi memegang pemerintahan Galuh dibawah Sanjaya, sedangkan Bimaraksa kemudian menetap di Geger Sunten dan menyusun kekuatan baru. Iapun lebih dikenal dengan sebutan Balangantrang, dalam sejarah lisan disebut Aki Balangantrang, penyampai benang merah kisah Galuh kepada Ciung Wanara.

Permana Dikusumah
Sanjaya sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh. Langkah ini nampak dari cara Sanjaya meminta restu dari Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai “piparentaheun” – pemerintah yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.



Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan sundapura pembunuh Purbasora. ia pun masih teringat perjuangan Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara.

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai berikut :

Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,
carek Dangiang Guru:
"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,
Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.
Da beunang ku aing kabawah.
Turut kana ucapan aing.
Da aing wenang ngelehkeun,
hanteu kasoran. Da aing anak dewata."

Sebagai orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta (Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.

Kekalahan Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja menunjuk Permana Dikusumah, putra Wijayakusumah, cucu Purbasora untuk memegang pemerintahan Sanjaya di Galuh, dan Sanjaya menyetujuinya.

Untuk mengontrol kekuasaan Permana Dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di Purasaba Galuh (***)

Laju ka masa Manarah..................

Masa Manarah


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Balangantrang dikenal juga dengan nama Bimaraksa, dalam cerita rakyat dikenal dalam kisah Ciung Wanara sebagai pasangan nini aki Balangantrang yang menemukan bayi Ciung Wanara, bayi itu ia beri nama Ciung Wanara.


Tersebutlah sepasang aki dan nini Balangantrang yang tinggal di Geger Sunten, suatu wilayah yang tidak memiliki tetangga. Karena kesepiannya si nini merindukan kehadiran anak yang konon tak kunjung tiba. Hingga pada suatu malam, si nini bermimpi kejatuhan bulan, si aki pun menafsirkan bahwa sebentar lagi ia akan mendapat rejeki.


Karena profesi aki Balangantrang sebagai penangkap ikan, pada malam itu juga aki membawa “kecrik” ke kali Cintanduy. Namun tanpa diduga duga, tiba-tiba melihat ranjang bayi yang gemerlap di tepi sungai, "lir ibarat emasng singaling". ia pun lantas mengambil dan memeriksanya. Betapa terkejutnya ketika dibuka nampak sesosok bayi mungil yang masih hidup. Disebelah bayi tergeletak sebutir telor ayam.

Konon menurut yang empunya cerita, bayi itu lantas di “rorok” dengan penuh kasih hingga dewasa, sedangkan telur ayamnya di tetaskan hingga menjadi seekor ayam jantan. Konon pula, kelak ayam itu menjadi ayam aduan yang tangguh dan berhasil mempersembahkan mahkota.

Balangantrang mendapat kabar, bayi yang ia pelihara itu ternyata anak raja. Aki dan Nini pun kemudian membekali pengetahuan secukupnya. Mereka pun menceritakan kepada Ciung Wanara, bahwa mereka sebenarnya bukan orang tuanya. Dan orang tua Ciung Wanara adalah seorang raja. Cerita selanjutnya dikisahkan, bagaimana Ciung Wanara memenangkan taruhan adu ayam, hingga kemudian ia menjadi raja di Galuh.

Dalam cerita lisan ini memang tidak disebutkan adanya pemisahan batas kekuasaan Manarah dengan Haryang Banga sebagaimana yang dikenal dalam catatan sejarah resmi. Namun ada persamaan mengenai batas wilayah kekuasaanya, yakni di batasi Kali Citarum.

Manarah dan Balangantrang



Dalam catatan sejarah, Ciung Wanara dikenal dengan nama Manarah, putra Permana Dikusumah – seorang raja “nu minandita” dari Pohaci Naganingrum, putri Balangantrang.

Permana Dikusumah lebih dikenal karena sikapnya yang minandita. Permana Dikusumah lebih senang bertapa ketimbang mengurus tahtanya. Dari sifatnya yang alim, Permana Dikusumah diberi nama Bagawan Sijalajala atau Ki Ajar Resi. Dengan demikian Manarah adalah cucu dari Bimaraksa.

Tentang Permana Dikusumah, biasanya cerita lisan sering “pacaruk” dengan cerita Mundiinglaya Dikusumah (Surawisesa), mungkin cerita ini terbaur karena memliki nama yang sama, yakni Dikusumah, agak sulit dibedakan. Sehingga epos Sunda (Sundapura) dengan Galuh menjadi cair.

Permana Dikusumah sebenarnya bukan keturunan Mandiminyak yang mendapat amanah menggantikan Wretikandayun, ayahnya. Ia anak Patih Wijaya Kusumah, Putra Prbasora. Memang sepintas menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan serius bagi para akhli sejarah :”kenapa Sanjaya memilih Permana Dikusumah sebagai pemegang pemerintahan di Galuh dan Sanjaya malah tinggal di ibu kota sunda ?.

Para akhli sejarah mencari jawaban ini dari Carita Parhyangan. Konon kabar setelah mengalahkan Purbasora, kemudian ia mengutus patih menemui Sempakwaja. Ia meminta agar Demuwan (adik Purbasora dan anak Sempakwaja) direstui untuk memegang pemerintahan di Galuh.


Karena Sanjaya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia berkeinginan untuk menyudahi perang saudara. Sanjaya pun meminta restu ini karena menghormati orang-orang tua di Galuh sesuai dengan pesan Sena (ayah Sanjaya).


Sempakwaja patut mencurigai permintaan ini dan berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan sundapura pembunuh Purbasora. Sedang ia pun masih teringat perjuangan Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara.

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai berikut :


Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,

carek Dangiang Guru:


"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,

Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,

aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.

Da beunang ku aing kabawah.

Turut kana ucapan aing.

Da aing wenang ngelehkeun,

hanteu kasoran. Da aing anak dewata."



Sebagai orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta (Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.

Kekalahan Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja menunjuk Permana Dikusumah untuk memegang pemerintahan di Galuh, dan Sanjaya pun menyetujuinya.

Ending yang sama namun disajikan dengan alasan yang berbeda, dikemukakan dalam Naskah Wangsakerta, isinya mengabarkan : Sanjaya menjadi Raja Galuh Pakuan (sunda dan galuh) tetapi kerabatnya, yakni Sempakwaja dan Demuwan merasa tidak senang melihat Sanjaya menjadi penguasa sekitar Galuh, terutama melihat Galuh berada dibawah Kerajaan Sunda.

Karena itu ia tinggal di ibukota sunda. Oleh karenanya Galuh dikuasakan kepada Prabu Permana Dikusumah sebagai raja bawahan sunda. Untuk mengontrol kekuasaan Permana dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di Purasaba Galuh.

Peristiwa Dewi Pangrenyep
Telah diuraikan diatas, Permana Dikusumah sangat terkenal dengan kepanditaannya, iapun pernah menjadi raja dibawah kekuasaan Mandiminyak. Bahkan julukan resi ia terima sejak masih muda.

Permana Dikusumah juga menantu Bimaraksa. Dari Naganingrum kemudian ia dikaruni anak yang diberi nama Surotama atau Manarah. Ada juga petutur yang memberinya nama Ciung Manarah, sedangkan dalam tradisi lisan (pantun), Manarah dikenall dengan sebutan Ciung Wanara. Ia sangat disayang, kakeknya, Bimaraksa. Dari Manarah terkumpul darah keturunan Wretikandayun tulen, yakni Sempakwaja dan Jantaka.

Pada periode kepemimpinan di Galuh, Permana Dikusumah di jodohkan dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada, patih Sundapura. Umurnya jauh lebih muda dari Permana Dikusumah.


Konon kabar karena beda umur ini dan hobinya Permana Dikusumah menyebabkan Pangrenyep menjadi kesepian. Dalam cerita lain, seringnya Permana Dikusumah pergi bertapa disebabkan keengganannya mengabdi kepada Sanjaya, pembunuh kakeknya. Namun semua itu ia lakukan sesuai permintaan Sempakwaja, kakek buyutnya.

Selama ditinggalkan bertapa Pangrenyep sering bertemu dengan Tamperan, patih yang masih muda dan gagah perkasa, terjadilah perselingkuhan. Hal inipun tidak diketahui Sanjaya, mengingat Sanjaya masih terus melakukan ekspansi kenegara lain.


Hubungan gelap Tamperan kemudian melahirkan seorang anak, yang diberi nama Banga. Permana beranggapan, Manarah tidak akan pernah menjadi Raja Galuh, karena siapapun yang dilahirkan Pangrenyep, secara resmi masih istri Permana, dinisacayakan menjadi raja di Galuh.

Sampai cerita ini, banyak sejarah nu pagaliwota, paling tidak penafsiran Manarah satu ayah dengan Banga, dan menganggap Permana Dikusumah telah meninggal, sehingga perseteruan Manarah dengan Banga dianggap perebutan tahta adik dan kakak.


Peristiwa memalukan ini kemudian diketahui Sanjaya. Untuk menutup aib Sanjaya menyingkirkan Tamperan ke Pakuan. Setelah penaklukan Jawa Madha dan Jawa Pawathan, Sanjaya memutuskan untuk tinggal di Galuh. Namun tidak berlansung lama, karena pada suatu ketika Sena meminta sanjaya menggantikannya, menjadi raja di Mataram.
Permintaan ayahnya tersebut menyebabkan Senjaya sangat sulit untuk menentukan pengganti yang dapat mejadi wakilnya di Galuh. Sementara itu, Permana Dikusumah pun telah berketetapan untuk menjadi pertapa dan meninggalkan kesibukan dunia. Pada akhirnya Senjaya menunjukan Tamperan sebagai penguasa Galuh.

Balangantrang manggung deui
Sebenarnya cinta terlarang tamperan dengan Pangrenyep tidak akan menumpahkan darah jika Tamperan tidak membunuh Permana Dikusumah dipertapannya. Pembunuhan terjadi ketika Tamperan menggantikan posisi Sanjaya di Galuh, namun ia belum memiliki permaisuri. Ia memilih pangrenyep untuk menjadi istrinya. Sayangnya Pangrenyep masih istri resmi dari Permana Dikusumah, hingga iapun perlu terlebih dahulu melenyapkan Permana Dikusumah.

Setelah suruhannya berhasil membunuh Permana Dikusumah kemudian iapun sekaligus menikahi Pangranyep dan Naganingrum. Iapun memperlakukan Manarah seperti anaknya sendiri. Mungkin peristiwa inilah yang ditafsirkan Manarah dan Banga adik kakak satu ayah. Bahkan dalam cerita rakyat nama ayah keduanya disebut-sebut Prabu Brama Wijayakusumah, hampir sama dengan nama Tamperan Barmawijaya.


Skandal yang sebelumnya menjadi rahasia Tamperan pada akhirnya tercium luas di lingkungan Galuh, terdengar pula oleh Bimaraksa di Geger Sunten, pada waktu itu sedang aktif menghimpun kekuatan dengan nama Aki Balangntrang. Ia pun mendapat dukungan dari raja-raja sekitar Galuh yang berhasil ditaklukan Sanjaya. Tugas ini tidak begitu sulit dilakukan, karena sebelumnya ia dikenal sebagai senapati dan Patih Galuh yang tangguh, serta masih terhitung cucu dari Wretikandayun.

Untuk mematangkan soliditas perlawanan, Balangantrang merasa perlu menarik Manarah dipihaknya. Memang agak sulit, karena Tamperan mengakui dan memperlakukan Manarah sebagai anaknya sendiri. Namun bagi gerakan Balangantrang, Manarah adalah simbol perlawanan Galuh, karena ia anak Permana Dikusumah yang dibunuh Tamperan. Pada akhirnya Manarah dapat diyakinkan, hingga iapun sering secara diam-diam menemui kakeknya di Geger Sunten.


Penyerbuan Manarah dan pasukan Balangantrang untuk menguasai Galuh diatur dengan seksama. Bagi mereka masalah penguasaan teritorial kota Galuh tidak sulit dilakukan, mengingat kesehariannya Ia hidup dilingkungan Galuh. Balangantrang merencanakan untuk melakukan penyerbuan pada siang hari, dengan cara langsung menguasai istana, sedangkan Manarah melakukannya ditempat sabung ayam, ia akan terlibat sebagai peserta sabung ayam. Biasanya pada acara itu di hadiri pada saat para pembesar istana (termasuk Tamperan). Sehingga dengan taktik ini Balangantrang akan sangat mudah menguasai istana. Namun dalam sejarah lisan, masyarakat Galuh lebih banyak menceritakan kisah sabung ayamnya, ketimbang penguasaan keraton oleh pasukan Balangantrang.


Upaya merebut tahta Galuh itu dilakukan pada tahun 723, dan berhasil dengan gemilang. Jika Sanjaya dahulu merebut tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pada malam hari, namun Manarah dengan Balangantrang melakukannya pada siang hari.


Persitiwa ini diceritakan didalam Carita Parahyangan, cuplikannya sebagai berikut :

Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,
ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik,
sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah,
tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa,
mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa,

Rahiang Tamperan
lilana ngadeg raja tujuh taun,
lantaran polahna resep
ngarusak nu tapa,
mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh

taun, lantaran tabeatna hade.

Perjanjian Galuh
Sanjaya mendengar berita kematian anaknya, dengan pasukan besarnya IA menyerang purasaba Galuh. Tapi Manarah telah mempersiapkan diri menyongsong serangan,dibantu oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang kerajaannya telah dibumi hanguskan Sanjaya, disampng itu ia dibantu raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukan Sanjaya.

Pengulangan perang saudara tidak berlangsung lama karena dapat dilerai oleh Resi Demuwan. yang memaksa mereka untuk berunding.

Dari perundingan kemudian disepakati, : menyudahi permusuhan ; tidak boleh saling menyerang ; penyelesaian masalah harus dengan musyawarah ; hubungan kekerabatan tidak boleh terputus ; harus saling menghormati hak ahli waris yang syah, yakni negeri sunda dari daerah Citarum ke barat dipimpin oleh Banga sedangkan Negeri Galuh dari Sungai Citarum ke timur dipimpin oleh Manarah.


Memang patut disayangkan, bekas kerajaan Tarumanagara yang berhasil disatukan oleh Sanjaya (723 – 739) terpaksa harus terpisah kembali. Namun ketika jaman Pajajaran (Kawali dan Pakuan) wilayah ini untuk yang kedua kalinya dapat dipersatukan.

Dalam babak berikutnya Galuh diserahkan kepada Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, sedangkan Sunda diserahkan kepada Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya. Perundingan itupun menetapkan status Banga menjadi raja bawahan Galuh. Namun Banga menerima keputusan ini, karena ia merasa masih bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.

Sama dengan tradisi raja-raja dahulu yang kerap dilakukan, adalah mengikat pertalian saudara melalui perkawinan. Untuk lebih mempererat persaudaraan dan menyatukan kembali keturunan Wretikandayun, keduanya dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dijodohkan dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.


Dari perkawinan dengan Kancanasari, manarah mempunyai beberapa orang putri, iapun kemudian diganti oleh menantunya, Manisri, suami dari Puspasari. Karena tidak diketahui asal-usulnya, maka didalam Cerita Lutung Kasarung, Manisri dianggap sebagai Putra Sunan Ambu, sedangkan Puspasari bernama Purbasari.

Rupanya keturunan Manarah sangat sulit memperoleh anak laki-laki dan keturunan, karena ketika Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeryan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya

Lainnya halnya dengan Banga, ia berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, untuk kemudian iapun melepaskan dari Galuh dan menjadi negara merdeka. Hingga Sunda menjadi sederajat dengan Galuh. Iapun dikarunia keturunan yang tidak terputus, bahkan cicit Banga , yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon, yang menjadi Raja Sunda ke-8. Diserahi menjadi raja Galuh, karena Lingga Bumi, keturunan Manarah tidak mempunyai keturunan.

Panutup
Setelah perjanjian dilaksanakan, dan Balangantrang berhasil mengantar Manarah, menjadi raja di Galuh, Balangantrang kembali ke Geger Sunten. Tentunya sekarang tidak lagi perlu bersembunyi seperti ketika ia bergerilya. Tinggalah Manarah yang dibantu anak-anak muda, melanjutkan tugasnya untuk mengemban hidup dan kehidupan. Aki Balangantrang masih hidup dengan para juru pantun, sekalipun raganya sudah tak lagi ada.

Cag heula. Pamuga jaga aya nu ngorehan carita jeung bebenerana (***).

Dari berbagai sumber.

Jumat, 09 Oktober 2009

In Memoriam Kang Duduh


Asa cik keneh tepung jeung Kang Duduh. Ceuk Indung kuring mah Kang Duduh teh babaturan sakola keur SD di Ciwidey. Malah Indung kuring pernah nganjrek di bumi ramana kang Duduh, nu katelah Anom Kiking. Lantaran harita aki kuring masih keneh jadi kapala kahutanan di Cimanggu. Harita mah ka Cimanggu teh masih naek kuda, teu jiga ayeuna loba angkot jeung ojeg jurusan Ciwidey – Cimanggu.

Kuring wanoh ka Kang Duduh lain lantaran di wanohkeun, tapi kabeneran sakaresep maen bridsen. Harita masih keneh SMA sok dibabawa maen ku Kang Pandi, raka teh Maya, istrina Kang Duduh. Harita Kang Duduh masih keneh ngajar di Bandung. Biasana maen teh saminggu dua kali. Jadi paling elat tepung teh saminggu dua kali.

Tepung deui waktu rek acara tujuh belasan, awal taun 80-an. Harita Kang Duduh keur sibuk ngajurian FFI. Tapi diolo mah teu burung kersaeun ngalatih kuring jeung babaturan. Saur Kang Duduh : “ulah teater rada panjang waktuna, mending oratorium”. Der we kuring saparakanca latihan oratorium langsung di sutradaraan ku anjeunna. Ti harita campleng kuring teu tepung deui. Sok komo kuring kudu ngumbara nyebrang pulo. Mun diitung-itung mah dua puluh taunan. Ngan kuring masih sering maca karya-karya Kang Duduh di Majalah atawa surat kabar.

Saprak pindah deui ka Batawi kuring remen ka lembur, komo mun aya program ngalatih barudak di leuweung. Tapi teu kungsi deui tepung sareng kang Duduh. Ngan cenah mah Kang Duduh tos ngalih ka Cibolerang.

Kira-kira genep bulan katukang mukaan deui buku-buku Kisunda, da bongan maca buku nu lian mah kerur rada bosen, gancang robahna. Memang aya gerentes hate hayang nepungan Kang Duduh, maksud teh rek nambut buku-bukuna. Lebaran kamari di nawaetuan.

Basa keur silaturakhmi jeung babaturan di imah, ras we inget ka Kang Duduh. Ceuk kuring, : “Cing euy anteur ka bumina Kang Duduh, urang aya perlu”. Babaturan teh lain ngajawab, malah ngabetem. Meurun nyangka na teh kuring heureuy. Lantaran kuring nanya wae terus babaturan ngajawab. “Kapan tadi enjing-enjing Kang Duduh Pupus. Malahan parantos di makam keun di awi surat”. Ngadenge kitu asa leuleus awak. Kuring ngan nembalan “Innalilalhi Wainna illah rojiun”. Mudah-mudahan Kang Duduh sing di tampi iman kalih islamna. Sing dicaang padangkeun di alam kuburna. Amin.


Lebaran kadua, 2008

Balangantrang.


Copas dari puyya multiply

Rabu, 03 Juni 2009

Sjrh Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda sebagai bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan–bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa Jawa, Konon kabar sejak abad 17 (Jatuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.




Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.


Bahasa Sunda manggung deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara resmi


Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.


Perihal hubungan Budaya dan Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :


“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”


Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya..


Untuk lebih mengetahui sejarah singkatnya, saya sadur tulisan dibawah ini.


Selamat membaca.



Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.


Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).


Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.


Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.


Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:


(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).


Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.


Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.


Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.


Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.


Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.


Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.


Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.


Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.


Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan
sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.



Disadur dari Sumber :

Ensiklopedia Sunda - Pustaka Jaya

Disadur dari http : reno overwoker.com


Negara, Agama dan KTP


Oleh : Agus Sopian


Ada tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?

Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka. Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari "eks tapol".

Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak bisa mengetuk pintu-pintu lainnya. Semua kebebasan sipilnya tertutup, kecuali derita panjang. Terkadang derita itu menjalar sampai ke anak-cucunya. Dan sekarang, perlukah Ruswana dikontrol sebegitu rupa sehingga ruang kebebasan sipilnya juga harus ditutup, semua atau sebagian? Saya mengenal Ruswana cukup lama. Dan rasa-rasanya dia tak memadai untuk dikerangkeng dalam definisi orang berbahaya. Dia suami dari seorang istri, Tuti Ekawati, seorang ibu rumah tangga yang ramah. Ruswana bapak dari tiga anak, yang kesemuanya tak pernah punya pertalian dengan kasus-kasus yang dapat dianggap membahayakan negara.

Ruswana yang saya kenal adalah seorang planolog lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1983, dan kini bekerja sebagai konsultan ahli sistem perencanaan pembangunan pada Local Governance Support Program (LGSP), sebuah lembaga kontraktor untuk United States Agency for International Development (Usaid).

Saya baru tahu di belakang hari kalau KTP strip itu ternyata penanda buat seorang penghayat aliran kepercayaan. Ruswana memang pemeluk Agama Buhun, suatu aliran kepercayaan yang bersumber dari ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Di Indonesia, penganut Agama Buhun tak sedikit. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan populasi 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia. Dikatakan terbesar lantaran angka itu adalah 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, total jenderal penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Semua penghayat umumnya mendapat KTP strip. Negara menggolongkan mereka sebagai pemeluk "agama lain-lain" dan praktis segolongan dengan penganut Konghucu, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, Kaharingan, Pahkampetan, Bolim, Basora, Tonaas Walian dan banyak lagi.

Sebagai penganut "agama lain-lain", banyak dari mereka yang harus berurusan dengan ranjau-ranjau birokrasi yang cenderung diskriminatif itu. Bukan hanya dijatah KTP strip, adakalanya bisa lebih menyakitkan lagi: mereka dipersetankan untuk punya KTP. Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon belakangan ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya dikenal juga sebagai Agama Cigugur.

"Saya sudah mendapatkan KTP sekarang," kata Dewi Kanti, awal Maret lalu. Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan birokrasi catatan sipil. Agustus 2005, dia baru mendapatkan KTP, atau setelah birokrasi menggantungnya tiga tahun.

Pahit yang dirasakan Dewi Kanti dimulai dari upacara pernikahannya dengan Okky Satrio yang berlatar adat Sunda Wiwitan. Birokrasi sipil tak terima. Pasangan itu gagal memeroleh Akta Nikah. Orang tahu, Akta Nikah adalah bahan baku untuk Kartu Keluarga, dan Kartu Keluarga bahan baku untuk KTP.

Gara-gara tak punya KTP, Dewi Kanti kehilangan hak asuransi dari suaminya, saat bekerja pada suatu perusahaan sekuritas. Kepahitan telah berlalu, KTP sudah di tangan Dewi Kanti, tapi suaminya tak lagi jadi karyawan swasta. Kini dia jadi petani.

***

Di kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).

Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata "agama" menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk "ada" dan gamana untuk "aturan atau jalan". Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai "ada aturan atau jalan (lebih baik)" dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.

Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar persamaan. Kebangsaan berdasar karakter dan nation building.

Apa boleh buat, negara melarang apa yang diyakini Ruswana sebagai agama. Larangan ini ada aturan yuridisnya: UU No. 1/1965, yang kemudian diikuti Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/1969. Kombinasi aturan ini dipagari Ketetapan MPR No IV/1978 yang menggariskan bahwa "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama." Sebuah frasa aneh, dan nyaris tak memiliki logika. Pertanyaannya, apakah ketidakpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama?

Apapun, demi aturan main dan loyalitas pada negara, para pemeluk ajaran Mei Kartawinata menamai agama mereka Aliran Kepercayaan Perjalanan, biasa disingkat AKP, sebuah nama yang kemudian dijadikan nama organisasi bagi salah satu sekte penghayat ajaran Mei Kartawinata. Siapa Kartawinata?

Nama itu pernah dikenal dalam jagat politik Indonesia tahun 1950-an. Dia pendiri Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Pada pemilihan umum 1955, Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Kartawinata juga pernah menjadi nama penting dalam jagat seni. Dia menjadi figur sentral dibalik pendirian Pebadi (Paguyuban Dalang Indonesia). Kartawinata suka wayang. Melalui wayang, dia memompakan ajaran-ajarannya.

Peneliti Abdul Rozak - sehari-harinya menjabat dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Sunan Gunung Djati, Bandung - banyak memberikan informasi seputar riwayat hidup Mei Kartawina melalui bukunya itu. Di luar pendekatannya terhadap teologi Agama Buhun, Engkus Ruswana mengafirmasi kebenaran fakta di dalam buku itu. Tokoh-tokoh Agama Buhun lainnya seperti Aa Suara Adinegara, Usup Sudarsa, Suparman, atau Endang Rasidi, menyatakan sependapat.

Menurut Abdul Rozak, Kartawinata lahir 1 Mei 1897 atau 1898 di Bandung. Dia mendapatkan pendidikan dari sekolah rakyat. Usia remajanya dihabiskan di lingkungan kediaman Sultan Kanoman Cirebon.

Pada 1929, dia pergi ke Subang dan bekerja di sebuah percetakan. Di sini Kartawinata tertarik pada dunia pergerakan, dan setahun kemudian dia mendirikan organisasi Perjalanan. Kartawinata mulai mengembangkan ajarannya, hasil kontemplasinya pada laku air.

Dia sering memperhatikan Sungai Cileuleuy. Pikirnya, dalam perjalanan menuju lautan, air sungai itu memberi kesejahteraan pada lingkungannya. Pada pepohonan. Pada binatang. Pada manusia. "Sungguh suatu perbuatan yang sangat mulia dan sangat luar biasa."

Kartawinata ingin dirinya seperti air.
Dia tak sendirian dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Kartawinata dibantu dua sahabatnya, M. Rasyid dan Sumitra. Rasyid berasal dari Bandung, anak keluarga kaya di kawasan Pasar Baru. Sedangkan Sumitra seorang yang berasal dari Garut. Mereka sering bersama-sama menerima wangsit, suara dari suatu sumber tanpa wujud dan rupa. Adakalanya, wangsit datang hanya pada Kartawinata seorang, terutama saat sedang merenung di pinggir Sungai Cileuleuy.

Ajaran Mei Kartawinata didengar orang. Dari hari ke hari, pengikutnya makin bertambah. Tak hanya orang-orang yang sebelumnya sama sekali tak beragama, tapi juga mereka yang sudah memeluk agama tertentu.

Kolonial Belanda menganggap Kartawinata menggangu ketertiban umum. Maka, seperti juga nasib yang menimpa Pangeran Madrais, Kartawinata jadi korban katastrofi politik represif kolonial Belanda. Tahun 1937, Kartawinata ditangkap dan dipenjara di Bandung. Di masa pendudukan militer Jepang, lagi-lagi Kartawinata dipenjara. Itu tahun 1943. Lalu, ketika Belanda datang lagi, pada 1947, Kartawinata masuk bui Cirebon. Dua tahun kemudian, Kartawinata jadi penghuni penjara Glodok di Jakarta.

***

Ada banyak nama untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Perjalanan atau Agama Buhun, orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Yakin Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya. Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring". Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi libel "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.

Cap semau gue telah lama menancap, sekurang-kurangnya sejak Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Ruswana menerangkan esensi itu. Katanya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.

Di bawah keyakinannya akan "kitab suci" itu, Ruswana menimbang bahwa agama yang dianutnya bukanlah berasal dari sinkretisme antara Islam dan budaya Sunda. Ini sekaligus tanggapannya untuk pendapat-pendapat yang terus berkembang, yang pada pokoknya menyatakan ajaran-ajaran Mei Kartawinata berasal dari sinkretisme itu, bahkan sinkretisme adat Sunda dengan aneka macam agama: Islam, Kristen, Hindu. Pendapat ini berlatar pada riwayat hidup Mei Kartawinata, yang diketahui sempat bergumul dengan macam-macam teologi ketuhanan dari rupa-rupa agama.

Abdul Rozak mengungkapkan bahwa di masa kecil, Kartawinata mengenal teologi Kristen dari sekolahnya, HIS Zendingschool. Semasa remaja, dia masuk pesantren-pesantren dan diduga belajar kitab kuning. Kemudian, Kraton Cirebon mengenalkan dia pada pada ajaran-ajaran kebatinan.

Kraton Cirebon dalam sejarahnya memang masyhur sebagai salah satu tempat pertumbuhan ajaran-ajaran kebatinan. Yang terkenal adalah Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat, kadang disebut juga Ngelmu Makrifat. Kaum santri menyebutnya Ngelmu Engkik atau Ngelmu Garingan -- kontra "ilmu basah" yakni ilmu-ilmu yang didapatkan para santri, yang selalu bersinggungan dengan air, baik untuk mandi maupun wudhu.

Mei Kartawinata diduga mendalami Ngelmu Sajati itu. Dasar argumentasinya adalah bahwa Kartawinata pandai membaca kitab kuning, suatu kunci yang bisa membuka gerbang teologi Murjiah, yang nyata-nyata mendukung pemikiran kebatinan itu.

Ngelmu Sejati sendiri, dalam pandangan Abdul Rozak, berasal dari tulisan-tulisan yang disebut Primbon. Sumbernya, penjabaran ajaran tasawuf Wihdah al-Wujud gagasan Ibnu Arabi. Bisa dipahami kalau dalam ajaran Ngelmu Sejati terdapat istilah-istilah dalam ajaran tasawuf tadi, seperti alam Ahadiat, alam Wahdat, Wahdaniyat, alam Arwah, alam Mitsal, alam Ajsam, atau al-Insan al-Kamil.

Ruswana menolak pendekatan itu. Menurutnya, penggunaan istilah-istilah tadi -- yang antara lain terekam dalam kitab Budi Daya, buku panduan bagi penghayat ajaran-ajaran Mei Kartawinata -- lebih bermuara pada situasi dan kondisi masa-masa awal penyebaran ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Dulu, tutur Ruswana, banyak penganut ajaran Mei Kartawinata yang berasal dari kalangan Islam. Mereka, salah satunya Haji Sujai, menuntut Kartawinata menjelaskan inti ajaran dalam istilah yang mereka pahami. Kartawinata manut. Di belakang hari, Kartawinata bahkan menggunakan pula istilah-istilah dalam bahasa Belanda, semata untuk melayani komunitas pengguna bahasa Belanda. Juga istilah-istilah dalam bahasa Cina untuk keperluan yang sama.

***

Bagaimana dengan pengaruh Hindu? Kemungkinan pengaruh itu selalu ada. Hindu dan Budha, menurut catatan sejarah, masuk ke Indonesia dalam kurun abad ke-2 hingga ke-4. Lebih dari cukup buat kedua agama itu untuk menjangkarkan pengaruh religiusitasnya, baik melalui penetrasi maupun akultrasi, ke dalam masyarakat Indonesia sejak masa silam. Apalagi keduanya masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai melalui hubungan dagang.

Fakta berikutnya, sebelum Islam datang, hampir seluruh kerajaan di Indonesia, mulai nama kerajaan hingga rajanya sendiri, menggunakan nama-nama Hindu atau Budha. Di Kalimantan, raja-raja Kutai, yang dianggap sebagai raja-raja tertua di Indonesia menggunakan nama-nama Hindu sejak Kundungga digantikan keturunannya mulai Devawarman, Aswawarman hingga Mulawarman.

Di Sumatra, kerajaan tertua Kanto Li - nama Cina untuk kerajaan Sriwijaya awal di Palembang - juga diperintah oleh raja-raja bernama Hindu atau Budha. I Tsing, musafir dari Cina, yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M, memberi kesaksian bahwa Sriwijaya adalah pusat penelitian agama Budha dan mempunyai banyak sarjana filsafat termasyhur seperti Sakyakirti, Dharmapala dan Vajabudhi.

Di tanah Priangan, naskah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon -- naskah yang dianggap tertua dan kini sedang dalam pengajian para ahli sejarah -- mengindikasikan kalau raja-raja Sunda di masa awal telah menggunakan nama-nama Hindu sejak abad ke-4 Masehi, termasuk kemudian Tarumanagara.

Sudah jamak dalam suatu sistem sosial prademokrasi, rakyat diminta loyal dan taat dari hulu sampai hilir pada raja-rajanya, tak terkecuali dalam keyakinan. Konsep keyakinan, kepercayaan pada Tuhan, iman, pada akhirnya menjadi suatu konsep "langage" - istilah yang digunakan pemikir Islam Ulil Abshar-Abdalla untuk merumuskan bentuk dan wujud iman.

Dalam takrif itu, berangkat dari filsafat Saussurean yang melandasinya, kepercayaan kepada Tuhan menjadi serba pasti, positivistis, dan dapat menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial. Iman ditentukan oleh penguasa. Seorang penguasa beragama A, rakyatnya akan ikut A.

Ajip Rosidi, sejarawan cum budayawan yang memahami dengan baik kosmologi kesundaan, menerangkan bahwa memang tak tertutup kemungkinan ada pengaruh Hindu dalam Agama Sunda Wiwitan, yang ditandai oleh adanya kosakata-kosakata yang berasal dari Hindu tadi.
Dalam seri Sundalana tentang "Islam dalam Kesenian Sunda", contoh-contoh yang diberikan Ajip Rosidi lebih teologis, seperti Batara Tunggal, Batara Jagat hingga Batara Seda Niskala. Hanya saja, menurut Ajip Rosidi, semua batara tadi tempatnya berada di bawah Sanghiang Keresa (Yang Maha Kuasa).

"Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan," kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.

Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa. Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.

Dalam Agama Buhun, alam didefinisikan secara luas, mulai pohon-pohon, sungai, air, langit dan sebagainya - yang mereka sebut Nyakra Manggilingan (konsep keteraturan alam) - sementara dalam Agama Sunda Wiwitan, alam lebih mengerucut lagi ke dalam definisi pohon-pohonan, dan terutama padi, yang dianggap sebagai simbol Dewi Sri. Tercela bagi pemeluk Agama Buhun dan Sunda Wiwitan untuk merusak alam.

Alam semesta, tutur Engkus Ruswana, adalah tempat kita bisa belajar dan menghayati. Seluruhnya berjalan secara teratur. Dalam keteraturan ini, gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin, telah enjalankan kodratnya, memberikan kehidupan pada seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan. Semuanya telah menjalankan kodratnya, yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.

"Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya, melaksanakan kemanusiaannya," Ruswana bertanya retoris.

***

Debat teologis di sekitar Agama Buhun belum lagi usai, seperti juga debat eksistensialnya. Agama Buhun masih tetap berada dalam lingkaran yuridis aliran kepercayaan, di saat Konghucu yang selama ini sejajar dalam daftar "agama lain-lain" mulai mendapat angin dari negara untuk didaulat sebagai agama yang ajeg.

"Disebut agama maupun tidak, negara harus menjadi pengayom semua," kata Mujtaba Hamdi, seorang aktivis lintas agama dari Jakarta, yang kerap menyuarakan perlunya toleransi dan pemahaman pluralisme. Taba, demikian panggilan akrab buatnya, mengatakan bahwa tugas negara adalah melindungi eksistensi semua masyarakat. Tak boleh pilih-pilih: dilindungi yang satu, digencet yang lain.

Ketidakadilan yang dilakukan negara selama ini, kata Taba, bersumber dari definisi yang bias. "Dalam definisi resmi negara kita, yang disebut sebagai agama adalah sistem kepercayaan yang, di antaranya, memiliki kitab suci dan nabi. Definisi ini menurut dia, terlalu bias 'agama samawi', bahkan terlalu bias Islam.

Dikatakan bias Islam, sebab menurut dia, posisi sentral kitab suci dalam Islam, sangat beda dengan posisi kitab suci di Kristianitas, misalnya. Di Kristianitas, Injil adalah sabda Yesus, dan jika Yesus diposisikan sebagai Nabi maka -- kalau mau disepadankan dengan Islam -- Injil itu setara dengan hadis.

"Tapi, yang disebut orang Islam kitab suci bukanlah hadis, melainkan al-Quran. Jadi, kalau mau di-strict-kan di sini, apa itu agama, yang dimaksud tak lain adalah Islam. " Dengan kata lain, definisi ini sudah mengandung 'kuasa', bahwa Islam-lah yang paling otoritatif, yang paling sah untuk disebut agama. Yang lain-lain, baru bisa masuk sebagai agama hanya jika mau disepadankan posisi 'kitab suci' dan 'nabi' dengan posisinya dalam Islam.

"Apakah dengan posisi demikian, saya tidak lagi loyal sama Islam? Saya yakin tidak. Saya justru sangat loyal dengan Islam. Di Islam, patokan agama dengan kategori-kategori seperti yang dimiliki di negeri kita, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada. Bahkan kalau 'agama' itu merupakan terjemahan kata din dalam bahasa Arab, pengertiannya justru sangat berbeda dari pengertian resmi kita," ujar Taba, pendiri Syir'ah itu, sebuah majalah dengan slogan "Menenggang Beda."

Agama dalam pandangan Taba adalah ad-diin nashihah. Nasihat. Maksudnya, agama adalah jika si pemeluk memiliki perhatian untuk saling memperhatikan sesama, memperingatkan mereka jika melakukan kesalahan, membantu mereka jika memperjuangkan kebenaran, menolong mereka jika tak mampu.

Lalu, dalam Islam juga dikenal ad-diin mu'aamalah. Agama itu interaktif dengan masyarakat. Intinya, agama adalah jika si pemeluk agama berkomitmen untuk mencipta hubungan yang baik dengan masyarakat, berbagi, saling bantu, baik masyarakat itu muslim atau nonmuslim.

Bagaimana kriteria suatu kepercayaan menjadi agama?
Menurut Taba, pertanyaan itu menyiratkan bahwa sebuah "aliran kepercayaan" berposisi subordinat di bawah agama: bahwa untuk bisa diakui, sebuah kepercayaan harus menjadi "agama". Ini tidak fair. Definisi agama hanya digunakan untuk 'menaklukkan' dan 'mendelegitimasikan' kepercayaan. Taba tak keberatan jika suatu aliran kepercayaan disebut agama jika mereka sendiri menyebutnya begitu.

Sebuah pertanyaan retoris lagi-lagi muncul, dan kali ini dari Taba: "Saya ingin Islam, dan umat Islam, bersikap adil, bahkan sejak dalam pikiran, dalam konteks ini, sejak dalam definisi agama. Dan bukankah sikap adil lebih dekat pada takwa, seperti kata al-Quran."

Sikap adil juga seharusnya menjadi landasan negara dalam memandang pluralisme agama dalam masyarakat. "Negara harus sadar bahwa masyarakat negeri ini tidak tunggal. Negara harus mengakui dengan tegas bahwa negeri ini memang "bhineka", bermacam ragam, dan semua harus dilindungi."

Sebagai awal, Taba meminta negara untuk mulai menghapus kolom agama di KTP. "Inilah biang segala ketidakadilan."

Ada bahaya lain di ujung perkara KTP bertanda strip pada kolom agamanya. Siapa yang bisa menjamin seluruh rakyat Indonesia paham "bahasa KTP"? Salah-salah mereka yang memiliki KTP strip didiskreditkan atheis. Dan atheisme tak pernah punya tempat di negeri ini.

Ada masa-masa rapuh yang lahir dari rahim prasangka atheisme. Kita bisa belajar dari peristiwa hitam yang terjadi di tahun-tahun rusuh, saat massa memburu mereka yang dianggap atheis.

Hari penuh kebencian itu berlangsung pada tahun 1954, di Kampung Paku Tandang, Ciparay, Bandung, kiblat bagi penghayat Agama Buhun. Kampung ini dibakar. Parang-parang berhenti menyabit rumput, lalu berganti fungsi jadi alat penyabit leher. Tiga orang yang berusaha meloloskan diri dari amuk massa, akhirnya meregang ajal. Di belakang jasad mereka, sebanyak 22 orang yang mempertahankan rumah ibadat Pasewakan, tewas terbunuh. Terbakar atau diparang.

Sejarah tak pernah mengenang mereka yang mati hari itu.

Disadur dari :
Majalah Playboy Indonesia, edisi I, April 2006.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960