Selasa, 05 Agustus 2008

Islam dan Sunda Dalam Mitos

Oleh : JAKOB SUMARDJO

PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.

Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.

"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama.

Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup ini.

**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?.

Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).

Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda.

Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.

**

MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.

Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati, tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo, bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama.

Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara "tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.

Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik, Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.

Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.

Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.

Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan.

Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda), Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam.

Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam.

Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.

Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun masjid di Mekkah.

Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.

**

SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurni-murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan raja Hindu-Budha.

Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan system kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang lain.

Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane dan Bapak Ambary. Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.


Dikutip sesuai dengan aslinya dari :
[kisunda] PR: Islam dan Sunda Dalam Mitos
KUMICIR
Sat, 14 May 2005 21:36:42 -0700 (Sabtu, 14 Mei 2005)

Senin, 04 Agustus 2008

Kabuyutan

Didalam tradisi Sunda buhun dikenal adanya istri larangan, suatu larangan atau tabu bagi seorang laki-laki untuk menikahinya. Larangan ini bukan hanya di tujukan kepada ma syarakat biasa, melainkan juga untuk lingkungan keraton dan para raja di tatar Sunda. Demikian pula sanksi yang diberikan, bisa berupa sanksi sosial atau dipaksa untuk meleta kan jabatan, seperti pada kasus Dewa Niskala (Kawali) dan Ratu Sakti (Pajajaran).

Naskah Carita Parahyangan dan Siksa Kandang, menetapkan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, atau Estri Larangan (Ekadjati – 2005 : hal.196), yaitu :
  1. Gadis atau wanita yang telah dilamar oleh seorang pria, dan lamarannya diterima oleh si gadis, maka terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu ;
  2. Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda. Larangan tersebut berlatar-belakang ada nya peristiwa Bubat ;
  3. Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikah dengan wanita tersebut.
Larangan yang pertama dengan ketiga sampai saat ini masih tetap kukuh dihindari untuk tidak dilakukan. Selain menyangkut moral dan etika, juga terkait dengan larangan agama. Sedangkan larangan yang kedua sudah mulai luntur. Generasi muda Sunda sekarang sudah banyak yang tidak mengenal tabu demikian atau ahistoris terhadap munculnya tabu tersebut. Sudah banyak laki-laki Sunda yang kawin dengan perempuan Jawa, juga sebaliknya. Bahkan jarang yang mengenal sejarah peristiwa bubat. Yang pasti adanya proses dan kesadaran yang mempersatukan Sunda dengan Jawa di dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan sendirinya mencairkan mitos tersebut.

Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan dengan tegas melarang aturan-aturan istri larangan. Naskah ini meru pakan artefak penting dari adanya ketentuan istri larangan. Bahkan dapat menginformasikan kepada generasi yang akan datang tentang universalitas nilai Kasundaan. Kisah para pelanggaran diceritakan pula didalam naskah Carita Parahyangan, sehingga naskah Sanghiyang Siksa dengan Carita Parahyangan sering dianggap acuan dari ketentuan istri larangan. Naskah Sanghiyang Siksa Kandang menjelaskan, sebagai berikut :

Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun nahaloan. Ulah ngeri(ng)keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowangtangan, sapanglung guhan di catang, di bale, patu tunggalan, haloan si panglungguhan ngaranna. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patu¬tunggalan, haloan sipanahtaran ngara(n)na. (Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan. Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rarahu lanjar agar tidak terkena godaan diperjalanan. Demikian pula memegang tangan (nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut goda an di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya).

Tabu mengganggu istri / tunangan orang
Etika atau Pikukuh yang paling keras adalah tidak boleh mengganggu istri orang, bahkan wanita yang sudah dilamar tabu untuk diganggu. Larangan demikian sampai sekarang masih berlaku, namun untuk yang sudah bertunangan masih ada sedikit perdebatan, atau boleh dikatakan masih ada kelonggaran. Terutama adanya idiom tentang “satu menit pun (sebelum nikah) masih milik umum”, alias masih bisa beralih lagi. Karena syahnya hubungan pernikahan setelah ‘ijab kabul’, maka inilah yang tidak boleh di ganggu.

Tabu sebagaimana yang dianut orang Sunda buhun tidak hanya mempertimbangkan pada nilai-nilai yang bersifat formal, atau hanya mengacu keabsyahan pasangan dari sya rat yang ditentukan oleh suatu lembaga perkawinan yang syah menurut hukum negara, melainkan mempertimbangkan juga perasaan dan hubungan dengan sesama manusia lain nya, terutama terhadap pihak lain yang merasa terganggu atas peristiwa ini. Karena hakikatnya, bagus atau tidak suatu hubungan tidak ditentukan oleh formalitas, atau adanya suatu perjanjian, melainkan timbul dari saling percaya dan saling menghormati. Inilah yang mungkin mendasarkan munculnya tabu yang melarang seorang perempuan yang sudah bertuna ngan dilarang diganggu.

Alasan lain menurut hemat penulis terkait erat dengan tahap dan proses berpikir manusia Sunda dahulu. Antara dia (pribadi) dengan orang lain (subyek) tidak terbatas oleh apapun. Faham ini disebut Totalitas. Manusia harus mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Sama halnya dengan idi om ‘ngaragap angen sorangan’ atau ‘teposliro tenggang rasa’, atau ‘tat twan asi’, aku adalah kamu dan kamu adalah aku !. Dengan demikian manusia akan merasakan sakit bila orang lain merasakannya. Sama ketika seseorang merasakan sakit hati jika tunangannya di ganggu orang atau lelaki lain.

Pemahaman lainnya berkaitan dengan sanksi yang akan diterima jika di melakukan perbuatan tersebut. Manusia Sun da buhun sangat yakin, jika kesalahan yang dibuat didunia ha rus di pertanggung jawabkan. Suatu contoh dari penerapan sanksi di kalangan masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy akan lebih takut terhadap kutukan dari pada sanksi di dunia. Kutukan dianggap berlaku terus bagi para keturunannya, sedangkan sanksi di dunia cukup bagi pribadi (seorang) yang melakukan kesalahan tersebut.

Ada juga yang mencontohkan dari peristiwa Harisbaya, istri Panembahan Ratu (Cirebon) yang kemudian iiwat dan di nikahi oleh Prabu Geusan Ulun (Sumedanglarang). Untuk me nebus talaknya dan mencegah peperanhan antara Sumedang larang dengan Cirebon maka Sumedanglarang harus melepas kan wilayah Sindangkasih kepada Cirebon. Mungkin pula aki batnya dirasakan oleh generasi berikutnya. Pengganti Geusan Ulun ternyata tidak mampu mempertahan Sumedang sebagai negara yang berdaulat penuh, bahkan raja-raja Sunda menjadi kehilangan penerusnya.

Hal yang sama dialami oleh trah Galuh, akibat smarakar ya Mandiminyak dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak, sehingga melahirkan.Sena Penulis Carita Parahyangan, menggambarkan sebagai berikut :

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungu keuneun nana, tatabeuhan di Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel. Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta ateh ?" "Bejana nu ngigel di buruan ageung!" "Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tang gungan aing. Geuwat bawa sacara paksa!" Patih indit kaburuan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonnanya lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena
Sena dianggap Sang Salah, padahal bukan Sena yang berbuat. Sena kemudian menggantikan Mandiminyak sebagai penguasa Galuh. Sena pun dianggap orang yang saleh, meng hormati tetua Galuh dan para tokoh agama, serta perilakunya bertolak belakang dengan Mandiminyak, namun tetap dikucil kan oleh kera bat lainnya. Peristiwa ini pun memicu rebutan tahta Galuh. Dikenal dengan Pisuna Galuh yang dipimpin Purbasora, putra Rababu dari Sempakwaja.

Peristiwa lain yang menimpa keturunan mandiminyak yakni kasus Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Di goda Rahiyang Tamperan, untuk kemudian Tamperan membu nuh Permana Dikusumah. Tamperan akhirnya dibunuh Sang Manarah. Kisah ini ditulis didalam Carita Parahyangan, sebagai berkut :

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.

Dua pelanggaran
Peristiwa lain yang termasuk katagori mengganggu tunangan orang menimpa Dewa Niskala, putra Niskala Wastu Kencana. Ketika itu Maja pahit dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindra wardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi kedaerah Galuh dan Kawali, pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala jatuh cinta kepada salah satu anggota rombong an. Wanita tersebut telah bertunangan. Carita Parahyangan menjelaskan, sebagai berikut :

Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka éstri larangan ti kaluaran. (Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran).
Carita Parahyangan menyebutkan pelanggaran yang di rumpak Dewa Niskala adalah bogoh ka éstri larangan ti kalua ran. Artinya dapat ditafsirkan adanya dua pelanggaran, yakni (1) melanggar istri larangan ; dan (2) istri tikaluaran. Kalimat dimaksud dapat ditafsirkan, yakni istri yang telah bertunangan dan berasal dari Majapahit. Kasus ini pada akhirnya memaksa Dewa Niskala untuk turun dari tahtanya.

Pelanggaran yang dilakukan Dewa Niskala memang masih menjadi perdebatan dikalangan penyusun sejarah Sunda, bahkan ada yang menafsirkan hanya melanggaran ketentuan untuk tidak menikahi perempuan yang telah bertunangan. Namun pendapat lainnya tidak bisa dikesampingkan. Mengingat peristiwa Bubat masih membekas dibenak dan hati masyara kat Sunda pada masa itu. Adanya tabu menikahi wanita yang berasal dari Majapahit (istri tikaluaran) menjadi beralasan. Maka wajar jika Dewa Niskala di anggap melanggar dua lara ngan sekaligus.

Tabu menikahi ibu tiri atau bekas istri bapak.
Ratu Sakti, putra Ratu Dewata raja Pajajaran, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan para pendahulunya, sering ngarumpak larangan (tabu), tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang memegang Purba satiti–Purbajati, yang paling parah melanggar Istri larangan, yakni menikahi istri ayahnya (ibu titinya).

Penulis Carita Parahyangan menanggapi perilaku Ratu Sakti, sebagai berikut :
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan ta hun, kenana ratu twahna kabancana ku estri, larangan tika luaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, nga rampas, tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Kisah penurunan Ratu Sakti diduga dilakukan dengan cara dipaksa. Mengingat, dilihat dari periakunya, suatu hal yang mustahil jika mau dengan ikhlas turun sendiri, sebagaimana dilakukan Dewa Niskala. Pada akhirnya Carita Parahyangan menegaskan, : Aja tinut de sang kawuri pola sang nata (Janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini).

Sumber-sumber larangan bagi ketentuan Istri Larangan tersebut berasal, atau di tulis didalam Carita Parahyangan dan Naskah Sanghyang Sika Kandang Karesyan. Didalam naskah Sanghiyang Siksa menyebut para pelanggar itu sebagai orang pandir yang turun dari alam gaib, tidak menemukan jalan kedewata an dan ingin cepat menjelma. Perbuatan ini di samakan dengan derajat orang yang tidak setia ; cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan; main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak; merasai wanita yang bukan istrinya. Menegaskan :

Kitu urang janma ini. Ha(ng) ger turun ti niskala hanteu ka temu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug ting kahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. Aya ka pitwah ta nu mo satya, nutan yogya: lumekas mang gawe hala: papanji ngan, bubu nyan, kapiadi, kapilan ceuk. Nya mana wadon nga rasa lalaki lain salakina, tan yogya ngarana. Lalaki ngarasa wadon lain eusi imahna, tan yogya ngarana. Wenang ditibakeun kana kawah si mrega wijaya. Jan ma ngawisesakeun nu salah. (Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuan nya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui. Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menye linap kerumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bukan suaminya, tidak layak namanya. Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, tidak layak namanya. Boleh di jerumuskan kedalam neraka simregawijaya. (sebagai) manusia yang mengutamakan per-buatan salah.)

Konsep istri larangan yang berlaku pada masa Karuhun Urang Sunda menunjukan, bahwa dimasa lalu orang Sunda sangat memegang teguh moral dan etika. Hemat penulis, selain perintah agama disebabkan pula pada pertimbangan menjaga hubungan dengan laki-laki yang istrinya dinikahi. Bagi orang Sunda di masa lalu, istri merupakan benteng akhir dari harga diri seorang laki-aki. Negara bisa saja melakukan peperangan hanya karena persoalan istri yang dibawa atau diganggu oleh raja lainnya.

Kewajaran sikap demikian tentunya bukan hanya mengandalkan rational itas dan pertimbangan politis, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Harisbaya. Pada masa itu, talaknya ditukar dengan wilayah Sindangkasih. Sumedang mendapatkan Harisbaya sebagai permaisuri Geusan Ulun, dan Cirebon memiliki wilayah baru, yaitu Sindangkasih. Kewajaran demikian juga mengandalkan pada rasa manusa dan kamunasaannana. Hubungan suami dengan istri; kekasih dengan tunangannya di dalam paradigma apapun dikendalikan oleh rasa, bukan sekedar perjanjian perdata. Yaitu rasa cinta; kasih sayang; saling mengharapkan dan saling memberi harapan untuk hidup bersama, lebih dari sekedar perjanjian sosial atau perhitungan material. Rasa ini akan berbuah baik dan menjadikan ketentraman serta kesentausaan hidup jika segenap warga memahami dengan baik. Namun jika sulit dipahami maka harus diberlakukan suatu hukum, dan menambahkan sanksi agar bisa ditaati. Inilah universalitasnya Budaya Sunda sebagai kearifan dari masa lalu. (asp).

Minggu, 01 Juni 2008

Dari KENDAN ke GALUH


Dalam paradigma sejarawan lokal nama KENDAN tidak dapat dipisahkan dari Galuh sehingga disebut juga Galuh Kendan disampin Galuh Kawali, untuk menyebut Galuh sejak Wretikandayun memisahkan diri dari Sundapura.
Kisah Kendan diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan dapat secara runtut menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal, Carita Parahyangan justru dapat menjelaskan muasalnya. Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan.
Sejarah Sunda lebih hidup dari cerita yang disampaikan secara lisan, banyak sejarah yang dianggap tabu untuk diceritakan dengan alasan “pamali” – “teu wasa” – “tabu”. Mungkin alasan yang diambil para karuhun dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang kebetulan terceritakan. Tetapi hukum dan realitas pemenuhan data kesejarahan resmi seolah-olah menganggap tidak mau tahu dengan urusan ini, sehingga sering menyatakan “Urang Sunda” kurang bersejarah.
Dari cerita Parahyangan menguraikan pula kisah Kendan serta hubungannya dengan Galuh, sbb :

Enya kieu Carita Parahiyangan teh. Sang Resi Guru boga anak Rajaputra. Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk. Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati, oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, njajang di pangjarahan Bagawat resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: "Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak."
Carek Bagawat Resi Makandria: "Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu."Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: "Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka Kendan." Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: "Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?" "Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati. Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak."
Carek Sang resi Guru: "Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu geuwat susul Bagawat Resi Makandria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh, anaking."
Pwah Rababu terus nyusul, datang ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi. Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek Sang Resi Guru: "Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung."Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak Mangalengale.
Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun.
Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.
Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli, Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumen-bumen, harita teh nya nyusun Purbatisti.

Carita Parahyangan menjelaskan Sang Resiguru beranak Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang.Itulah kisah para pendahulu Galuh.
Memisahkan diriPemisahan Kendan Galuh terjadi sejak jaman Wretikandayun yang berkuasa pada 534 Saka (612 M) sampai dengan 702 M, pada saat itu di Tarumanagara masih dipimpin oleh Maharaja Kretawarwan, berkuasa sejak 561 sampai dengan 628 M.
Wretikandayun menggantikan posisi Sang Kandiawan, ayahnya. Kemudian Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya kedaerah baru yang terletak di Karang Kamulyaan Ciamis. Lokasi tersebut berada ditengah-tengah dua sungai, yakni Citanduy dan Cilumur, yang ia beri nama Galuh (permata).
Sangat sulit dianalisa tentang alasan Galuh Kendan memisahkan diri, apakah karena Kendan sudah merasa besar dan memiliki kekuatan yang seimbang dengan Tarumanagara, atau karena menganggap tidak ada lagi ikatan emosional antara Tarumanagara yang berubah menjadi Sundapura dengan Galuh. Namun alasan yang terakhir banyak disebut-sebut sebagai trigger-nya, sedangkan alasan pertama hanya dijadkan premis pelengkap.
Kondisi Tarumanagara ketika itu memang sedang menurun dan sudah kurang berwibawa dimata raja-raja daerah, disinyalir terjadi pada masa Sudawarman, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh leluhurnya tidak dijaga hubungan baik. Mungkin juga karena ia tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil tinggal dan dibesarkan di Kanci, kawasan Palawa.
Kalaupun mampu menyelesaiakan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir: bagaimana menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.
Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. Seperti Galuh, ditenggara Jawa Barat, merupakan daerah bawahan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.
Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika para penggantinya dapat bertindak arif dan mampu menikan pamor kerajaan kembali. Hingga pada setelah wafatnya Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian ia digantikan menantunya, yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa.
Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M), sebelum menjadi penguasa Tarumanagara ia menjadi raja Sundapura, raja daerah dibawah Tarumanagara.
Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa). Namun tentunya sangat berbeda dengan Purnawarman, selain ia menguasai strategi peperangan dan pemerintahan, ia pun dikenal sebagai raja Tarumanagara yang full Power.
Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.
Mengenai penggantian nama Tarumanagara, dimungkinkan sebagai akibat pindahnya ibukota Tarumanagara ke Sundapura, sehingga iapun mengikuti nama Ibukotanya, bukan asal kerajaannya. Karena Purnawarman pun dahulu berkedudukan di Sundapura dengan nama kerajaannya Tarumanagara.
Jika diurut sejarah raja-raja Galuh maupun Sunda keduanya masih keturunan raja Tarumanagara. Dimungkinkan Tarusbawa masih keturunan Purnawarman, karena ia raja di Sundapura, pada masa Purnawarman menjadi ibukota Tarumanagara. Namun ada juga spekulasi yang berpendapat, Tarusbawa dan leluhurnya menjadi raja Sundapura karena adanya pemberian otonomi kepada raja-raja daerah yang ditaklukan Tarumanagara pasca Purnawarman. Sedangkan Wretikandayun, raja Galuh Kenda adalah cucu dari Tirtakancana, putri raja Tarumanagara.
Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Bisa saja Sundapura diduga berada di wilayah Bogor, mengingat kerajaan Pajajaran, kerajaan yang terkait dduga keras terletak di Bogor, sedangkan Tarumanagara diduga keras terletak di Bekasi.
Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, :

“telas karuhun wus hana ngaran deca Sundatathapi ri sawaka ning tajyua Taruma.Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura.Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”.

(dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Naman ini berasal dari negeri Bharata).
Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh bukan seuatu yang muskil untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena memiliki hubungan sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.
Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika jaman Purnawarman. Berdasarkan perhitungan Tarusbawa pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.
Pada kisah berikutnya, : Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Ia merelakan kerajaan terpecah menjadi dua. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negara.
Dalam tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sundapura, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut dimasa berikutnya disebut juga Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh.
Cag heula.(***)

Para Pendiri KENDAN


Naskah Wangsakerta yang disusun pada abad ketujuh belas menjelaskan Kendan didirikan oleh Sang Manikmaya, berasal dari keluarga Calankayana, India. Ia menetap di Kendan sebagai resi. Karena memiliki agama yang sama dan penyembah Wisnu, Manikmaya dinikahkan dengan Dewi Tirtakancana, putri Suryawarman, raja Tarumanagara.

Istilah atau sebutan Manikmaya dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familir dan dikenal dari nama Tokoh Dewa didalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.

Sebelum Sang Manikmaya tiba di KENDAN, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri KENDAN dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di KENDAN dalam kapasitasnya sebagai resi.

Sang Manikmaya berkuasa di KENDAN sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu KENDAN mendapat proteksi dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara. Pendirian KENDAN jika diurut kesejarahannya sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara. Pada saat pendirian KENDAN, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Sang Manikmaya keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut.

Pembentukan KENDAN sama halnya dengan kisah Tarumanagara, semula berada di Wilayah Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Sekalipun dalam perjalanannya selanjutnya, Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, namun masih belum dapat diketahui, kecuali disebut-sebut Tarumanagara maju lebih pesat dibandibandingkan Salakanagara.

Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja, jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan. Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di Wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.

Suatu hal yang sulit dipahami jika pada periode selanjutnya KENDAN melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena KENDAN tidak mungkin menjadi kerajaan yang utuh jika Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya suatu daerah (KENDAN) lengkap dengan rakyat dan tentaranya

Pemberian hadiah ini bukan hanya sekedar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat dan orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di wilayah Tarumanagara. Suryawarman juga menganggap Sang Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama.

Para penerus Manikmaya
Setelah Sang Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suralim, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suralim, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena kehidupannya yang minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati. Hal ini dimungkinkan, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati.

Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada diwilayah Kendan, yakni Mangukuhan di kuli-kuli ; Karungkalah di Surawulan ; Katungmaralah di Peles Awi ; Sandangreba di Rawunglangit ; dan Wretikandayun didaerah Menir.

Berbeda dengan kisah tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan tersebut dibenakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa KENDAN.

Sang Kandiawan menduduki tahta KENDAN selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.

Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan KENDAN kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias “digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki cirri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.

Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi KENDAN karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniaan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan KENDAN, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi Manikmaya. Namun untuk sekedar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.

Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun.

Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.

Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.


Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang paling dilarang didalam tradisi KENDAN, karena Wretikandayun didalam episode Galuh – Kawali mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya. Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.

Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung. Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain Purbalarang. Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya.



Bersambung Ke : Dari KENDAN ke GALUH .............................


KENDAN


Sejarah Jawa Barat mencatat eksisntensi KENDAN sebagai kerajaan disebut-sebut ada sejak tahun 536 sampai dengan 612 M. Kendan berubah nama menjadi Galuh (permata) ketika masa Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan diri melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena Terusbawa merubah Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (pura). Sejak tahun 670 M ditatar sunda dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.

Naman KENDAN seolah tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi KENDAN tidak dapat dilepaskan dari Galuh. KENDAN danggap cikal bakal Galuh. Bahkan sejarawan Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh Kawali.

Letak KENDAN
KENDAN didalam catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (KENDAN), + 500 meter sebelah timur stasiun kereta api Nagreg. Terdapat daerah hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka. Namun berdasarkan on the spot, letak KENDAN berada di sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa Nagreg.

Disekitar Nagreg dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya “tempat pamujaan”, Sayang istilah tempat pamuajaan dalam paradigma masyarakat sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan “pamujaan”, suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.

Nama KENDAN lebih dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas neolitik pada jaman purbakala. Batu Kendan sudah lama disebut-sebut dalam dunia kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak sebelum tarikh masehi.

Pasir batu bukit KENDAN sampai saat ini masih di ekspoitasi penduduk setempat, karena mengandung bahan perekat yang sangat cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik bukit itu sekarang, memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran bata merah. Konon kabar menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada waktu jaman belanda kakeknya mengeksploitasi tanah KENDAN untuk dikirim ke Belanda dari stasiun Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan pembangunan gedung sate dan gedung lainnya di kota Bandung disinyalir menggunakan bahan dari bukit KENDAN.

Kemudian pernah ditemukan sebuah patung kecil. Para akhli sejarah menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat ini disimpan dimusium Jakarta). Sedangkan di dalam prasasti Jayabupati disebutkan, bahwa : kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.

Keberadaan patung Durga ditempat pamujaan menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli sejarah. Pleyte (1909) mensinyalir daerah tersebut termasuk daerah “Kabuyutan”. Sama dengan daerah Mandala, atau Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.

Kerajaan KENDAN disebut-sebut dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Disinyalir kedua sumber ini berasal dari Pararatwan Parahyangan, naskah tersebut saat ini tidak diketahui rimbanya. Namun karena dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.


Bersambung ke : Pendiri Kendan .........................................

Kamis, 22 Mei 2008

TARUMANAGARA (PEMISAHAN GALUH)

Peta Sunda dan Galuh (Copas by Kaskus)


Didalam buku sejarah Jawa barat disebutkan pada masa Sudawarman sudah mulai nampak anti klimaks dari masa keemasan Tarumanagara. Sudawarman, raja Tarumanagara ke IX, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramertaresi Hariwangsa. Ia berkuasa sejak tahun 550 sampai dengan 561 saka (628 – 639 M). Ia dikenal sebagai raja yang berbudi luhur.


Kemunduran Tarumanagara pada masa Sudarwana dimungkinkan terjadi, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh leluhurnya tidak disertai hubungan dan pengawasan yang baik terhadap raja-raja bawahannya.


Mungkin juga karena ia tidak menguasai persoalan Tarumanagara, Karena sejak kecil ia tinggal di Kanci, kawasan Palawa. Kalaupun mampu menyelesaiakan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta. Pasukan ini sangat setiap terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir tentang : bagaimana cara menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik.


Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang pamornya sedang menaik. Seperti ditenggara Jawa Barat, terdapat Kerajaan Galuh, yang didirikan tahun 612 M, sebelumnya termasuk Wilayah Tarumanagara. Galuh didirikan oleh Wretikandayun, cucu dari Kretawarman, raja Tarumanagara kedelapan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan besar, yakni Melayu (termasuk Sriwijaya) dan Pali.


Kemerosotan pamor Tarumanagara sebenarnya tidak akan berakibat parah jika pengganti Sudarwan, yakni Dewamurti dapat bertindak arif. Namun ia dianggap sebagai raja yang kasar dan tidak mau berbelas kasihan, bahkan cenderung menebar aib didalam keraton Tarumanagara. Hingga pada akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kretawarman, raja Tarumanagara ke VIII, yang ia permalukan. Barjagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya, menantu Dewamurti.


Kemudian Sang Nagajaya mewarisi tahta mertuanya dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darmastya Cupujayasatru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajan dibawah Tarumanagara. Nagajaya memerintah Tarumanagara sejak tahun 562 sampai dengan 588 saka (640 – 666 M). Setelah wafat digantikan oleh Linggawarman, dinobatkan sebagai raja ke 12 Tarumanagara pada tahun 588 saka atau 666 M, dengan gelar Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabumi. Kemudian ia digantikan menantunya, yakni Tarusbawa, dengan gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manungmanggalajaya Sundasembawa, sebelumnya ia raja sundapura. Tarusbawa memerintah sejak tahun 591 sampai dengan 645 saka (669 – 723 M).


Karena melihat pamor Tarumanagara yang terus merosot, Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa).


Penggantian nama kerajaan yang ia lakukan tidak dipikirkan dampaknya bagi hubungan Tarumanaga dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman, melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura.


Tentang letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti di Kampung Muara Cibungbulang dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, bahwa perpindahan ibukota Tarumanagara dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Selain itu, posisi letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah kerajaan Pasir Muara. Sundapura diduga keras berada di daerah Bekasi.


Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura, : “telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kangken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwaprastawa saking Bratanagari”. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan kerajaan Taruma. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Naman ini berasal dari negeri Bharata).


Keinginan melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh. Padahal leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena ada perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke wilayah Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri.


Keinginan melepaskan diri ini bukan seuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan, mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karea Galu telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, dari cara menikahkan Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan melalui surat.


Isi surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan, sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara, dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.


Permintaan untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman Purnawarman. Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara yang ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah.


Pada cerita berikut dikisahkan, : akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan Wretikandayun. Dan memecah kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan Wretikandayun. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.


Dalam tahun 670. berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan).



Cag heula.(***)







TARUMANAGARA (MASA AWAL)



Pendiri Tarumanagara

Prasasti yang ditemukan di Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya Bekasi, ditulis dalam huruf palawi menerangkan, bahwa : Purnawarman telah menggali saluran sungai Gomati dalam waktu 20 hari, namun pada bait pertama menyebutkan, : “dahulu sungai Chandrabaga digali oleh Rajadirajaguru…”. Prasasti ini cukup kuat menjelaskan “Purnawarman” bukan raja pertama. Karena menyebut adanya Rajadirajaguru, pendahulunya. Paling tidak Rajadirajaguru adalah pendahulu Purnawarman.


Tentang Rajadirajaguru diuraikan dalam Naskah Wangsakerta, ia disebut-sebut nama aslinya adalah Sang Maharesi Jayasingawarman, berasal dari Calankayana, India, tiba pada tahun 270 Saka (348 M) di Jawa Barat bersama para pengikutnya, karena negaranya dikalahkan oleh Raja Samudragupta, Magada, India. Kemudian menetap di tepi Sungai Citarum yang termasuk Wilayah Salakanagara. Pada waktu itu Salakanagara diperintah oleh Dewawarman VIII. Kelak Sang Maharesi menjadi menantu Dewawarman VIII.


Karena kemasyhurannya, desa tersebut semakin hari semakin bertambah penduduknya, bukan karena bertambahnya anak, melainkan juga banyak penduduk dari desa lain yang menetap disana. Lama kelamaan desa tersebut menjadi sebuah Negara. Ia beri nama Tarumanagara.


Sang Maharesi Jayasingawarman kemudian menjadi Rajadirajaguru yang memerintah Tarumanagara, bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa, memerintah Tarumanagara sejak 280 Saka (358 M) dan wafat dalam usia 60 tahun.


Jika menyimak penundukan Salakanagara kedalam kekuasaan atau menjadi dibawah perlindungan kerajaan Tarumanagara, memang agak aneh. Karena sebelumnya Tarumanagara termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara. Tapi tentunya suksesi ini dilakukan tanpa pertumpahan darah dan jauh dari tanda-tanda adanya perebutan kekuasaan.


Prosesi penundukan Salakanagara kepada Tarumanagara dimungkin terjadi secara alamiah. Pertama, Rajadirajaguru raja Tarumanagara munggaran adalah menantu Dewawarman VIII, Ia menikah dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi. Kedua, pada episode berikutnya Tarumanagara lebih maju dibandingkan Salakanagara, sebagai akibat banyaknya para pendatang yang menetap di Pataruman. Proses alamiah ini membentuk Tarumanagara menjadi kota yang ramai.


Pembagian Strata sosial

Dari pernikahan Sang Rajaresi dengan putri Minawati Iswara Tunggal Pertiwi, mempunyai anak bernama Darmayawarman dan Nagawarman. Kelak sepeninggal Sang Rajadirajaguru, Darmayawarman diangkat menggantikannya, dengan gelar Rajaresi Darmayawarmanguru.


Sang Rajaresi memerintah Tarumanagara selama waktu 13 tahun, dimulai dari tahun 304 Saka (382 M). Ia disebut juga Sang Lumahing Candrabaga, karena ia dipusarakan di Candrabaga. Kemudian ia digantikan putranya yang bernama Purnawarman.


Kedudukan Sang Rajaresi di Tarumanagara bukan hanya sebagai pengendali pemerintahan, ia juga pemimpin semua agama yang ada di Tarumanagara. Sama dengan posisi ayahnya dan kesejarahan terbentuknya Tarumanagara. Posisi ini sangat menentukan dalam mengelola sosial kemasyarakatan. Sehingga sulit untuk mengkatagorikan Tarumagara sebagai negara sekuler.


Dari naskah Wangsakerta ada dua catatan penting yang pernah dilakukan Sang Rajaresi, yakni membagi strata sosial kemasyarakatan dan upaya merubah pola pikir penduduk Tarumanagara untuk tidak lagi menganut agama yang dianut nenek moyangnya.


Pertama, Sang Rajaresi membagi kasta penduduk Tarumanagara menjadi empat kasta, yakni Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Hal ini dimungkinkan, sama dengan yang dianut dalam kepercayaan Hindu, mengingat Sang Rajaresi termasuk penganut Hindu yang taat. Namun ia pun membedakan golongan penduduk kedalam tiga golongan, yakni golongan nista, madya, dan utama.


Penggolongan masyarakat menjadi golongan nista, madya dan utama, hemat saya sama dengan cara Belanda menetapkan penggolongan penduduk di Hindia Belanda. Namun di Tarumanagara dimungkinkan untuk memberikan hak dan perlakuan yang istimewa kepada raja Tarumanagara dan keluarganya serta kepada kaum Brahmana, dalam rangka menjalankan tugas keagamaan.


Sedangkan di Hindia Belanda pemerintahan waktu itu mengelompokan masyarakat menjadi golongan Eropa, Timur asing dan Pribumi untuk keperluan pendudukan hukum. Penggolongan demikian didudukan pula dalam bentuk-bentuk aturan (hukum). Seperti memberlakukan Hukum perdata barat untuk Golongan Eropa dan Hukum adat untuk pribumi.


Memang jika hanya aturan penundukan hukum adalah masalah kebebasan menentukan, tetapi parahnya, aturan ini mempengaruhi didalam cara pemberian layanan pemerintah kepada masyarakat. Seperti penggunaan fasilitas umum dan pengelompokan sekolah. Sadar atau tidak sadar dapat dikatagorikan pada tindakan diskriminatif.


Saya kurang mendapat Informasi yang jelas mengenai penerapan dan tingkat upaya menggiring kepatuhan warga Tarumanagara terhadap kebijakan ini. Namun tentunya, kebijakan ini memberikan hak yang istimewa kepada raja dan para brahmana yang menjalan tugas keagamaan.


Kedua, Sang Rajaresi berupaya merubah paradigma cara keberagamaan masyarakat Tarumanagara agar tidak lagi menganut agama nenek moyangnya. Upaya Sang Rajaresi ini sangat penting untuk ditelaah lebih jauh, karena masih banyak para ahli sejarah dan penganut agama lain yang mensinkretiskan masyarakat tatar sunda dan parahyangan padaan dahulu sebagai penganut Hindu dan penyembah rokh nenek moyang.


Secara resmi sentuhan dengan budaya luar (India) sudah mulai nampak ketika Dewawarman I menggantikan Aki Tirem. Namun sampai saat ini tidak diketahui adanya benturan, kecuali dari tutur tinular yang mengisahkan lahirnya penanggalan Saka Sunda.


Didalam Naskah Wangsakerta dijelaskan pula, sentuhan budaya Hindu di Jawa Barat ini menandakan sejarah Jawa Barat memasuki masa kerajaan dengan konsep kerajaan yang kemudian bersumber dari tradisi India. Namun tidak berarti seluruh masyarakat di tatar sunda beralih agama menjadi agama yang dianut raja-rajanya. Karena di jaman pemerintahan Sang Rajaresi ditemukan agama (ageman) yang tidak sama dengan agama yang dianut rajanya. Agama ini oleh Sang Rajaresi disebut sebagai agama yang memuja rokh nenek moyang.


Sampai saat inipun belum ada nama resmi dari agama tersebut, apalagi dengan adanya penetapan yang dituangkan dalam SK Menteri, agama ini digabungkan dalam wadah aliran kepercayaan, yang pembinaannya tidak dilakukan oleh Departemen agama. Jika ditenggarai dari istilah yang saat ini berkembang, maka lebih tepat jika dikatagorikan pada agama Urang Sunda Wiwitan (Wiwitan = awal = asal mula).


Berdasarkan peninggalan arkeologis dan naskah-naskah Sunda buhun, agama sunda wiwitan dapat dikatagorikan monoteisme. Dalam perkembangannya ada juga pengaruh ajaran agama lain. Konon kabar, keaslian agama urang sunda dapat dilihat dari agama yang dianut masyarakat Kanekes (Baduy tangtu) Banten.


Menurut keterangan pu’un di Kanekes, ageman Sunda Wiwitan menganggap adanya Sang Hyang Keresa (Tuhan yang Maha Kuasa), yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Tunggal), Batara Jagat (Penguasa Jagat) dan Batara Seda Niskala (Yang maha Ghaib). Dalam paradigma agama Sunda Wiwitan, alam ini dibagi tiga, yakni Buana Nyungcung (Dunia Atas), Buana Tengah (Tempat manusia) dan Buana Larang (neraka).


Naskah Carita Parahyangan menyebutkan ageman Urang Sunda Wiwitan sebagai agama Jatisunda, berasal dari kata wiwitan-mula-mula – awal – pokok. Sedangkan saripati dari ajaran ini belum sedemikian dikenal, mengingat adanya sikap yang tertutup dari para penganutnya saat ini. Ketertutupan ini menimbulkan spekulasi dari para penganut agama lain untuk menempatkan agama Jatisunda sebagai ageman yang bukan agama, bahkan ada yang sinis menyebutnya atheis, sehinga perlu diajak untuk masuk agamanya.


Upaya serius yang dilakukan Sang Rajaresi dilakukan pula melalaui cara mengajarkan agamanya kepada para penghulu desa yang ada disekitar Tarumanagara. Iapun mendatangkan brahmana-brahmana dari India. Namun upaya ini tidak seluruhnya membuahkan hasil, karena masih banyak penduduk Tarumanagara yang menganut agama nenek moyangnya.




Bersambung : Masa Keemasan ...................................


MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960