Minggu, 01 Juni 2008

Para Pendiri KENDAN


Naskah Wangsakerta yang disusun pada abad ketujuh belas menjelaskan Kendan didirikan oleh Sang Manikmaya, berasal dari keluarga Calankayana, India. Ia menetap di Kendan sebagai resi. Karena memiliki agama yang sama dan penyembah Wisnu, Manikmaya dinikahkan dengan Dewi Tirtakancana, putri Suryawarman, raja Tarumanagara.

Istilah atau sebutan Manikmaya dalam kehidupan masyarakat sunda sangat familir dan dikenal dari nama Tokoh Dewa didalam cerita Mahabarata. Sehingga banyak runtutan Kisah yang menghubungkan sejarah para leluhurnya dengan tokoh pewayangan.

Sebelum Sang Manikmaya tiba di KENDAN, dipastikan daerah tersebut sudah ada kehidupan, sebagaimana ditemukannya gerabah yang diketahui berumur pada era sebelum tarikh masehi. Hal ini menjadi sangat masuk akal mengingat perkenalan Sang Manikmaya, pendiri KENDAN dengan penguasa Tarumanara terjadi setelah ia berada di KENDAN dalam kapasitasnya sebagai resi.

Sang Manikmaya berkuasa di KENDAN sejak 458 Saka (536 M) sampai dengan 490 Saka (568 M). Pada waktu itu KENDAN mendapat proteksi dari Tarumanagara, karena dianggap wilayah Tarumanagara. Pendirian KENDAN jika diurut kesejarahannya sebagai hadiah dari Suryawarman, raja Tarumanagara. Pada saat pendirian KENDAN, Tarumanagara ikut menyebarkan keberadaan Sang Manikmaya keseluruh negara daerah yang ada diwilayah tersebut.

Pembentukan KENDAN sama halnya dengan kisah Tarumanagara, semula berada di Wilayah Salakanagara, kemudian pendiri Tarumanagara, Sang Rajadirajaguru (Jayasingawarman) menikahi Minawati Iswati Tunggal Pertiwi, putri Dewawarman VIII. Sekalipun dalam perjalanannya selanjutnya, Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara, namun masih belum dapat diketahui, kecuali disebut-sebut Tarumanagara maju lebih pesat dibandibandingkan Salakanagara.

Mungkin juga jika Aki Tirem pada waktu itu jabatannya seorang raja, jalan cerita Salakanagara pun akan sama dengan cerita Tarumanagara dan Kendan. Karena Dewawarman I menikahi Dewi Pohaci, putri Aki Tirem, kemudian menjadi Raja dan Rajaresi di Wilayah yang ia terima sebagai hadiah dari raja yang sekaligus memproteksinya dari gangguan luar.

Suatu hal yang sulit dipahami jika pada periode selanjutnya KENDAN melepaskan diri dari Tarumanagara. Karena KENDAN tidak mungkin menjadi kerajaan yang utuh jika Suryawarman tidak menghadiahi Sang Manikmaya suatu daerah (KENDAN) lengkap dengan rakyat dan tentaranya

Pemberian hadiah ini bukan hanya sekedar warisan mertua kepada menantunya, melainkan suatu bentuk hadiah dari seorang sahabat dan orang yang dianggap berjasa menyebarkan agama di wilayah Tarumanagara. Suryawarman juga menganggap Sang Manikmaya adalah Brahmana ulung dan berjasa terhadap agama.

Para penerus Manikmaya
Setelah Sang Manikmaya meninggal, ia digantikan Sang Suralim, putranya pada tahun 490 Saka (568 M). Sang Suralim, lebih mahir berperang dan banyak waktunya diabdikan sebagai Senapati dan Panglima Tarumanagara, sehingga ia bergelar Baladhika ning widyabala. Sang Suralim berkuasa selama 29 tahun. Kemudian digantikan Sang Kandiawan, putranya.

Lain halnya dengan ayahnya, Sang Kandiawan lebih dikenal karena kehidupannya yang minandita, ia bergelar Rajaresi Dewaraja. Sebelum menggantikan ayahnya ia menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana, sehingga ia bergelar Rahyangta ri Medang Jati. Namun sebagai raja Kendan ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan tetap di Medang Jati. Hal ini dimungkinkan, mengingat di Kendan sudah dianggap terpengaruh oleh Siwaisme, sedangkan ia penyembah Wisnu, sehingga ia pun bergelar Batara Wisnu di Medang Jati.

Sang Kandiawan mempunyai lima orang putra, dan menjadikannya sebagai penguasa daerah yang berada diwilayah Kendan, yakni Mangukuhan di kuli-kuli ; Karungkalah di Surawulan ; Katungmaralah di Peles Awi ; Sandangreba di Rawunglangit ; dan Wretikandayun didaerah Menir.

Berbeda dengan kisah tersebut, didalam Naskah Carita Parahyangan, kelima anak Sang Kandiawan tersebut dibenakan karena profesinya, bukan karena diberikan daerah kekuasaan, yakni Mangukuhan menjadi peladang ; Karungkalah menjadi pemburu (panggerek) ; Katungmaralah menjadi penyadap ; Sandangreba menjadi pedagang ; sedangkan Wretikandayun menggantikan Sang Kandiawan menjadi penguasa KENDAN.

Sang Kandiawan menduduki tahta KENDAN selama 15 tahun, sejak tahun 597 Saka (612 M), kemudian ia mengundurkan diri untuk bertapa di Layuwatang (Kuningan), kemudian digantikan Wretikandayun, putra bungsunya.

Pertimbangan Sang Kandiawan menyerahkan kekuasaan KENDAN kepada Wretikandayun tentunya membuahkan pertanyaan besar, karena ia bukan anak pertama, dalam tradisi raja-raja dahulu dianggap pihak yang paling berhak mewarisi tahta ayahnya. Pewarisan demikian sebenarnya tidak bias “digebyah uyah”, mengingat setiap orang ataupun komunitas memiliki cirri khas yang mandiri dan berbeda dengan yang lainnya.

Bisa saja pemilihan Wretikandayun berdasarkan pada tradisi KENDAN karena ia lebih minandita dibandingkan dengan saudara-sudaranya lainnya yang lebih banyak memprioritaskan urusan yang bersifat keduniaan. Alasan ini dapat juga ditenggarai dari sejarah keberadaan KENDAN, yakni suatu wilayah Karesian yang dihadiahkan Suryawarman, raja Tarumanagara kepada Sangresi Manikmaya. Namun untuk sekedar alasan, mungkin jawabannya dapat diketahui dari Carita Parahyangan, tentang lomba menombak Kebowulan.

Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan. Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna numbakna, nya manehna piratueun.

Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh. Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur nyusu ka Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka Rahiangta di Medangjati.

Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.


Tradisi penurunan tahta kepada anak bungsu bukan sesuatu yang paling dilarang didalam tradisi KENDAN, karena Wretikandayun didalam episode Galuh – Kawali mewariskan tahtanya kepada Amara (Mandiminyak), putra bungsunya. Namun memang timbul peristiwa Purbasora dan Sanjaya generasi pasca Wretikandayun. Peristiwa inipun tidak berhenti hanya pada satu generasi, karena jika ditelaah berbuntut pada peristiwa Manarah, yang dikenal dalam sejarah lisan sebagai Ciung Wanara.

Penyerahan tahta kepada anak bungsu raja terjadi pula pasca Manarah, yakni dalam peristiwa Manistri, atau dikenal dalam cerita Lutung Kasarung. Manarah menyerahkan kekuasaannya kepada Purbasari, sedang Purbasari masih memiliki kakak perempuan lainnya, antara lain Purbalarang. Ceritapun berbuntut pada kisah rebutan kekuasaan. Berkat bantuan Sang Lutung (Manistri) akhirnya Purbasari dapat memperoleh kekuasaannya.



Bersambung Ke : Dari KENDAN ke GALUH .............................


Tidak ada komentar:

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960