Tampilkan postingan dengan label Dari masa lalu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dari masa lalu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Oktober 2008

Warisan Nilai Budaya Pajajaran


Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.


Negara yang banyak penduduknya disebut negara yang GEMAH RIPAH. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan LOH JINAWI. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk SUNGAI GANGGA di India. Jadi arti utuh dari GEMAH-RIPAH LOH JINAWI adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.


Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "NILAI BUDAYA".


Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut SISKANDANG KARESIAN DAN KUNDANGEUN URANG REYA (untuk pegangan hidup orang banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR SAGARA WULAN (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.


Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:
1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)
2. Tapa di Nagara
3. Panca parisuda
4. Hidup yang penuh berkah
5. Parigeuing dan dasa pasanta
6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)

Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa).


Dituturkan umpamnya (artinya saja) :


"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya".


[Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila]



2. Tapa di Nagara

Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang dan lain-lain. Lalu dijelaskan :


"Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara terancam musuh



3. Panca parisuda

Panca parisuda mengandung arti LIMA OBAT PENAWAR. Ini kaitannya dengan sikap menerima CELAAN atau KRITIK. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih" (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu) Anggaplah:

  • · ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
  • · ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
  • · ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
  • · ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
  • · ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (seupaheun)


Dengan sikap seperti itu dikatakannya :


"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"

  • (sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing) Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan tajam. "lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga" (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)


4. Hidup yang penuh berkah

Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga harus :

· cermat (emet)

· teliti (imeut) rajin (rajeun)

· tekun (leukeun)

· cukup sandang

· (paka predana)

· bersemangat (morogol-rogol)

· berpribadi pahlawan (purusa ningsa)

· bijaksana (widagda)

· berani berkurban (hapitan)

· dermawan (waleya)

· gesit (cangcingan)

· cekatan (langsitan)

Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.


"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba
ponyo, ulah urang kajongjonan"


(Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita berlebihan)


5. Parigeuing dan dasa pasanta

Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri geuing), yaitu GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.


Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan" (bisa makan dan minum dalam kesenangan) Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana" (bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)


Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana anteu surah nu dipiwarang" (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)

Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu
1. bijaksana (guna)
2. ramah (rama)
3. sayang (hook)
4. memikat (pesok)
5. kasih (asih)
6. iba hati (karunya)
7. membujuk (mupreruk)
8. memuji (ngulas)
9. membesarkan hati (nyecep)
10. mengambil hati (ngala angen)


Tujuan dari hal di atas adalah :


"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang" (agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)


Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.


6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu :

· RAMA (pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang mewarisi jabatan itu),

· RESI (Ulama atau pendeta)

· PRABU (raja, pemegang kekuasaan)


Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)


Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan :


"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).


Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya :


"haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam" (jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)


Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di KANEKES. Orang BADUY menyebutnya TANGTU TELU (tritangtu). Ketiga orang PUUN di Kanekes masing-masing menempati posisi Resi (Puun CIKERTAWANA), Rama (Puun CIKEUSIK) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.


Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai "perudang-undangan" pada jamannya.


Bagian akhir naskah Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur :


"hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan)


Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oleh penulis Carita Parahiyangan :


"Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini)


Itulah beberapa warisan nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarangpun tampaknya masih bisa dimanfaatkan sebagai SEUWEU-SIWI SILIWANGI (***)


Disadur dari : http://pasundan.homestead.com.

Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor.

Disadur oleh : catatan Balangantrang :

http://tuturussangrakean.blogspot.com


Bahasa dan Budaya Sunda Pasca Pajajaran

Pasca keruntuhan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 16 mengakibatkan di tatar sunda kehilangan sentra kebudayaan dan kekuasaan. Memang Banten dan Cirebon dalam sirsilahnya masih bisa dianggap tuturus raja-raja Sunda, namun tidak cukup kuat untuk dapat dikatakan mewakili entitas Pajajaran. Padahal didalam babad-babad lain, Banten dan Cirebon dianggap sekutu dan sejajar dengan Mataram.

Untuk menjadikan diri sebagai sentra kekuasaan di tatar sunda paling tidak telah dilakukan Banten dan Cirebon dengan memboyong simbol-simbol Pajajaran. Misalnya Banten memboyong batu batu “Palangka Sriman Sriwacana” ke Sorasowan, demikian pula Cirebon. Namun para penguasa Parahyangan lebih memilih Sumedanglarang.

Simbol pusat budaya pasundan beralih ke Sumedanglarang. ketika Jayaperkasa dan tiga saudaranya, para veteran prajurit Pajajaran menyerahkan Kandage Lante (simbol kekuasaan Raja Pajajaran) yang sempat diselamatkannya kepada Prabu Geusan Ulun (saat ini disimpan di museum Geusan Ulun). Dengan diserahkannya Kandage Lante Pajajaran maka praktis Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Karena mewarisi sisa wilayah Pajajaran. Mungkin yang menjadi tanda Tanya sekarang, mengapa kandage Lante tersebut tidak diserahkan kepada Pangeran Santri, ayah dari Geusan Ulun. Dan mengapa Jayaperkasa dan saudara-saudaranya memilih Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran.

Mengenai luas wilayah Geusan Ulun pasca penyerahan Kandage Lante tersebut banyak diacu dari sumber surat Pangeran Rangga Gempol III kepada Gubernur Jendral Belanda pada tanggal 4 Desember 1690 M, dicatat dalam buku harian VOC pada tanggal 31 Januari 1691 M. Isi surat tersebut menjelaskan, bahwa Sumedang pada masa Geusan Ulun membawahkan 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandage Lante dan 18 Umbul-umbul.
Pustaka Kertabhumi ½ memberitakan :

“Geusan Ulun nyakrawartti manadala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedanglarang” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang). “Rakyan Sumanteng Parahyangan managstungkara ring sirna Pangeran Geusan Ulun” (para penguasa di Parahyangan merestui Pangweran Geusan Ulun).

Ketika penobatan Geusan Ulun telah terasa adanya nuansa keislaman. Seperti memilih hari penibatannya yang dilakukan pada tanggal 18 Nopember 1580, bertepatan dengan hari jum’at legi tanggal 10 Syawal 1580 Hijriyah. Peristiwa penobatan ini sangat penting, mengingat bukan sekedar penobatan biasa, tetapi bertujuan pula untuk memproklamirkan kebebasan Sumedang sebagai Negara yang sejajar dengan Banten dan Cirebon, serta mengesahkan Sumedang sebagai penerus dan kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Sedangkan Mahkota dan atribut kerajaan Pajajaran merupakan bukti dan legalitas bahwa Sumedang penerus Pajajaran.

Dari Raja menjadi Bupati Wedana
Tentang data penyerahan Sumedang menjadi bawahan Mataram memang ada beberapa versi, yakni karena perlunya Geusal Ulun berkoalisi untuk menghadapi Belanda serta Cirebon dan Banten, atau karena Suryadiwangsa (putra ? Geusan Ulun dari Harisbaya) menyerah tanpa perang kepada Mataram terkait peristiwa Madura.

Jika saja menganut versi yang pertama, tentunya sangat sulit dipahami, mengingat sampai dengan wafatnya Geusan Ulun, pada 5 November 1608 M (1530 S) ia masih bertindak sebagai Raja yang merdeka, bahkan dalam peristiwa Harisbaya, Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu, Sultan Cirebon untuk menghentikan perang dengan Geusan Ulun.

Didalam buku Sejarah Jawa Barat (1984) banyak diceritakan tentang pengganti Geusan Ulun yang menyerahkan Sumedang kepada Mataram tanpa sarat. Hal ini berkaitan dengan posisi Suryadiwangsa sebagai putra Harisbaya. Suryadiwangsa dikenal sebagai penakluk Sampang secara damai. Karena posisinya sebagai putra Ratu Harsibaya yang masih berdarah Madura. Didala Babad Pajajaran Suryadiwangsa dikenal pula sebagai Pangeran Seda (ing) Mataram.
Naskah lain yang mungkin terkait adalah “Rucatan Sajarah Sumedang”. Naskah ini menceritakan, Suryadiwangsa saking gembiranya menaklukan Sampang melalui jalan kekeluargaan, ia sempat berseloroh kepada Ranggagede, bahwa : “sanggup menundukan Mataram”. Ceritanya ini didengar oleh Wangsanata, lantas dilaporkannya kepada Sultan Agung. Akibatnya Suryadiwangsa di jatuhi hukuman mati. Sehingga masa penaklukan Sampang dengan wafatnya Suryadiwangsa sama, yakni tahun 1546 Saka. Namun ada juga kisah lainnya. Suryadiwangsa dianggap menolak penyerbuan Sampang, karena tidak rela Harus berhadapan dengan keluarga ibunya. Dari penolakannya kemudian dijatuhi hukuman mati.

Sumedang menjadi dibawah kekuasaan Mataram efektif terjadi pada saat Rangga Gempol (1620 M). Pada masa itu statusnya 'kerajaan' Sumedang dirubah menjadi 'kabupatian wedana'. Memang alasan Mataram bertujuan untuk menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Banten dan Belanda. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol, putra Geusan Ulun dari istri pertamanya, yakni Nyi Gedeng Waru beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, yakni Dipati Rangga Gede.

Budaya dan Bahasa Sunda Pasca Pajajaran
Sejak abad ke 16 sebagaimana yang diuraikan diatas, masyarakat Sunda praktris kehilangan pusat kebudayaan, baru bangkit sebentar, sebagaimana yang dilegitimasikan kepada Geusan Ulun, namun ibarat bunga Wijaya Kusumah, kuncup dan sebentar mekar lalu layu kembali. Kemudian masa pun berganti, tatar suda berada dibawah Mataram, Wajar jika Urang Sunda sangat terpengaruh kebudayaan Jawa.

Pengaruh ini tidak hanya pada tataran kesenian, tapi juga administrasi pemerintahan dan bahasanya. Bahasa tulisan resmi menggunakan bahasa Jawa sedangkan bahasa lisan menggunakan bahasa Sunda. Tidak pula dapat dipungkiri, pengaruh budaya terhadap basa sunda masih kental mewarnai sampai saat ini, seperti adanya tingkatan penggunaan bahasa.
Perubahan demikian ditegaskan pula oleh Widle, menurut Wilde (1829) bahasa yang dipakai ulama di Jawa Barat adalah bahasa lokal, bahkan banyak pula pemimpin lokal yang menggunakan aksara arab. Hal yang sama disampaikan oleh Edi S. Ekadjati , menurutnya (jaman itu) ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimulai pada abad ke-17.

Pengaruh Mataram terhadap budaya Sunda sangat nampak, misalnya dalam kesustraan Sunda yang berkembang sesuai estetika Jawa. Seperti bentuk sajak dalam wilayah penuturan bahasa Sunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang-tembang macapat. Disisi lain, sekalipun pusat pemerintahan berpindah ke kabupaten-kabupaten, tetapi masyarakat diluar tradisi menak – priyayi Sunda, masih mengembangkan tradisi yang tidak ada didalam komunitas lain di Nusantara, seperti reportoar pantun – sajak bersuku kata delapan, yang telah ada sejak dulu sampai sekarang.Pantun biasa didendangkan dan dituturkan oleh para petutur pantun,. Selain Pantuan juga ada tradisi tulis pada daun lontar yang sudah lama berkembang di daerah ini.

Sejak kedatangannya pada abad ke-17 ke Hindia Belanda, orang Belanda sangat sedikit yang mengetahui jika Sunda memiliki Budaya sendiri. Paradigma semacam ini berlanjut hingga pada abad ke 19. Sebelumnya pada tahun 1811-1816, Raffles, Gubernur Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam buku History of Java, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri, bahkan menyatakan bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa. Bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.

Sunda Etnitas Mandiri
Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri. Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda, Madura – masing-masing dengan bahasa mereka sendiri. Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.

Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai berikut :

Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan. Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai aksara Jawa.

Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.

Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :

“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”

Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya..

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedanhkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde. Kemudian Roorda membuat pernyataan :

Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat, khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ; bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia Timur.

Berdasarkan khasanah naskah Sunda yang berhasil di data Edi S. Ekadjati dkk (1988), dikemukakan, Pada abad ke 19 merupakan masa peralihan kehidupan naskah Sunda, yaitu dari masa transisi antara lain ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimuali pada abad ke-17 kemasa baru yang ditandai lahirnya naskah-naskah Sunda dengan menggunakan aksara cacarakan, Pegon, dan Latin yang dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pada Masa itu telah ada pula penulis dan pengarang Sunda terkenal, seperti Raden Haji Muhamad Saleh dan Raden Haji Muhamad Musa. Tentunya Muhamad Musa terkenal dengan Karyanya “Panji Wulung”. Bagaimana dengan sekarang ?.

Catatan aki Balangantrang
Sumber :
  1. rintisan peneliusuran masa silam Jawa Barat 1984
  2. Semangat Baru Miukihiro Moriyama - 2002

Senin, 29 September 2008

Bujangga Manik


Pengantar

Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah yang ditulis dalam bahasa Sunda, dengan bentuk Puisi, ditulis pada 29 lembar daun nipah. Naskah ini sering dijadikan rujukan oleh para penulis sejarah Sunda, terutama ketika memerlukan data suatu daerah. Namun entah bagaimana, naskah tersebut saat ini berada di Perpustakaan Bodlein di Oxford sejak 1627 M.


Naskah Bujangga Manik mengisahkan perjalanan Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, yang memilih hidup menjadi seorang resi dan pengelana. Ketika perjalanan dimuai, ia berada di Bogor yang menjadi pusat pemerintahan Pajajaran.


Bujangga Manik menceritakan perjalanannya secara mendetail. Ia mencatat semua daerah yang dilalui, tak kurang dari 450 daerah. Layaknya seperti membuat topografi pulo Jawa pada abad ke-15. ia menyebut pegunungan dan sungai-sungai yang ia lalui. Konon saat ini, daerah-daerah tersebut masih ada.


Perjalanan dilakukan dengan menyusuri tempat-tempat suci keagamaan di pulau Jawa dan Bali. Ditempuh dalam masa dua kali perjalanan. Perjalanan di mulai dari Bogor, pusat pemerintahan Pajajaran. Ia berjalan melewati Puncak. Kawasan pegunungan yang berada di wilayah Gunung Gede. Daerah ini ia sebut sebagai Wilayah kerajaan Pajajarang yang paling tinggi.


Dari Puncak ia meneruskan pengembaraanya ke wilayah Sungai Ci-Pamali (Brebes), Kemudian ia menyebrangi Ci-Pamali dan sampailah di wilayah Jawa. Kemudian ia melanjutkan perjalanan kearah timur, melewati wilayah Majapahit, Demak. Kemudian setelah berkeliling jauh kearah timur, iapun kembali ke Bogor. Perjalanan pun pada akhirnya ia hentikan, kemudian ia pergi bertapa sampai akhir hayatnya.


Ringkasan Cerita
Menurut Wikipedia edisi basa Sunda diceritakan, sebagai berikut :

“………. meuntas Cipamali (ayeuna mindeng disebut Kali Brebes ) pikeun asup ka wewengkon Jawa. Di wewengkon Jawa anjeunna mapay-mapay patempatan anu kawengku ku Majapait. Patempatan anu kawengku ku karajaan Demak (alas Demak) ogé kaliwatan. Sadatang di Pamalang, Bujangga Manik nineung ka ambuna (rumpaka 89) sarta buleud haté pikeun balik. Tapi dina mangsa ieu, anjeunna leuwih milih jalan laut nyaéta naék kapal anu datang ti Malaka. Kasultanan Malaka mimiti pertengahan abad ke-15 nepi ka ditalukkeunna ku Portugis ngawasa perdagangan di laut.

Miangna kapal ti darmaga digambarkeun kawas upacara ''pésta'' (rumpaka 96-120): bedil ditémbakkeun tujuh kali, pakakas musik ditabeuh, sawatara lagu ditembangkeun kalayan tarik ku awak kapal; bahan-bahan anu nyusun kapal ogé diwincik ku Bujangga Manik; aya awi gombong jeung awi nyowana. Bahan tina hoé ogé aya rupa-rupa, hoé muka, hoé omas jeung hoé walatung. Tihang kapal dijieun tina kai laka. Bujangga Manik ogé helok ningali awak kapal anu asalna ti réa sélér.

Lalampahan ti Pamalang ka Sunda Kalapa, palabuhan Karajaan Sunda, dilayaran sajero waktu satengah bulan. (rumpaka 121), anu méré gambaran yén kapal anu ditumpakan téh nyimpang ka sababaraha patempatan nu aya diantara Pamalang jeung Kalapa. Tina palayaran kasebut, Bujangga Manik nyieun ngaran landihan séjénna nyaéta Ameng Layaran.

Ti Sunda Kalapa, Bujangga Manik ngaliwatan Pabéyaan sarta neruskeun lalampahan ka karaton di Pakuan, di bagian kidul dayeuh Bogor kiwari (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik asup ka Pakancilan (rumpaka 145), terus asup ka balé réncéng (paviliun) anu diréka-réka (didekorasi) sarta tuluy diuk di dinya. Bujanga Manik nempo ambuna keur ninun (cara ninunna dijelaskeun dina rumpaka 160-164). Ambuna kagét jeung bungah nempo anakna mulang. Anjeunna geura-giru ninggalkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyingkabkeun sawatara kasang carita (hordéng) nu aya rarawisanna, sarta unggah kana ranjang. Ambuna Bujangga Manik nyiapkeun pangbagéa ka anakna, nyokot sabaki seupaheun, mérésan rambut, sarta maké kaén mahal. Anjeunna terus turun tina ranjang, kaluar ti imah, nuju ka balé réncéng sarta ngabagéakeun anakna. Bujangga Manik nampa seupaheun anu disuguhkeun ku ambuna.


Dina bagian saterusna, dicaritakeun ngeunaan putri Ajung Larang Sakéan Kilat Bancana. Emban Jompong Larang ninggalkeun kadaton, meuntasan Cipakancilan sarta datang ka karaton Bujangga Manik. Di karaton kasebut Jompong Larang paamprok jeung Bujangga Manik. Jompong Larang kataji pisan ku Bujangga Manik (rumpaka 267-273).


Samulangna ka kadaton, Jompong Larang manggihan putri Ajung Larang anu pareng keur riweuh ninun. Sang putri ngabogaan ebun Cina beunang ngimpor ti mancanagara (rumpaka 284-290), nempo Jompong Larang anu geura-giru, naék ka manggung sarta saterusna diuk di gigireun sang putri. Putri nanyakeun talatah naon anu dibawana; Jompong Larang ngomong yén manéhna nempo lalaki anu pohara kasép, sabanding pikeun putri Ajung Larang. Manéhna nyaritakeun yén Ameng Layaran leuwih kasép batan Banyak Catra atawa Silih Wangi, atawa ponakan sang putri (rumpaka 321), atawa saha waé. Leuwih ti éta, lalaki éta singer nyieun karya sastra dina daun nipah sarta bisa basa Jawa (rumpaka 327). Putri Ajung Larang langsung ngarasa kapentang asmara. Anjeunna saterusna ngeureunkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyiapkeun hadiah pikeun Bujangga Manik ti mimiti seupaheun jeung perhiasan sarta barang nu éndah lianna kalayan ati-ati. Putri ogé ngahadiahkeun rupa-rupa parfum ti mancanagara anu pohara mahalna, baju katut keris anu éndah.


Ambuna Bujangga Manik ngadesek anakna pikeun nampa hadiah ti putri Ajung Larang, saterusna ngagambarkeun kageulisan putri sarta pujian séjénna. Ambuna Bujangga Manik ogé nyarita yén putri bakal sumerah diri ka Bujangga Manik. Saterusna anjeunna ngedalkeun kecap-kecap anu henteu kungsi ditepikeun ku putri Ajung Larang ‘Kuring baris sumerah diri. Kuring baris nyamber kawas heulang, ngerekeb kawas maung, ménta ditarima jadi kikindeuwan’ (rumpaka 530-534). Ameng Layaran reuwas ngadéngé uucapan ambuna sarta nyebutkeun yén éta téh ucapan larangan (''carek larangan'') sarta buleud haté pikeun nampik hadiah kasebut (rumpaka 548-650). Manéhna ménta ambuna marengan Jompong Larang pikeun mulangkeun hadiah kasebut sarta ngupahan ka putri Ajung Larang. Manéhna leuwih resep hirup nyorangan sarta ngajaga ajaran anu katarima salila lalampahanana ka Jawa, di hiji pasantrén di lamping Gunung Merbabu (anu ku manéhna disebut Gunung Damalung sarta Pamrihan). Pikeun éta pisan Bujangga Manik kapaksa kudu ninggalkeun deui ambuna. (jajar 649-650).


Bujangga Manik nyokot kantong anu eusina buku gedé ‘apus ageung’ sarta ‘siksaguru’, ogé iteuk hoé sarta pecut. Manéhna saterusna ngomong yén baris indit deui ka wétan, ka tungtung wétan pulo Jawa pikeun néangan patempatan pikeun jaga manéhna dikuburkan, pikeun néangan ‘laut pikeun palid, hiji tempat pikeun pupusna, hiji tempat pikeun ngagolérkeun awakna" (663-666). Kalayan kecap-kecap anu dramatis ieu anjeunna ninggalkeun karaton sarta mitembeyan pangumbaraan panjangna, sarta henteu kungsi balik deui.


Bujangga Manik neruskeun lalampahanana ka wétan, nuliskeun réa pisan ngaran patempatan anu sawaréh masih dipaké nepi ka kiwari”.

Sumber bacaan : Wikipedia Edisi Basa Sunda.


Selanjutnya baca Naskah Bujangga Manik di :

Bujangga Manik



Senin, 04 Agustus 2008

Kabuyutan

Didalam tradisi Sunda buhun dikenal adanya istri larangan, suatu larangan atau tabu bagi seorang laki-laki untuk menikahinya. Larangan ini bukan hanya di tujukan kepada ma syarakat biasa, melainkan juga untuk lingkungan keraton dan para raja di tatar Sunda. Demikian pula sanksi yang diberikan, bisa berupa sanksi sosial atau dipaksa untuk meleta kan jabatan, seperti pada kasus Dewa Niskala (Kawali) dan Ratu Sakti (Pajajaran).

Naskah Carita Parahyangan dan Siksa Kandang, menetapkan perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, atau Estri Larangan (Ekadjati – 2005 : hal.196), yaitu :
  1. Gadis atau wanita yang telah dilamar oleh seorang pria, dan lamarannya diterima oleh si gadis, maka terlarang bagi pria lain untuk meminang dan mengganggu ;
  2. Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda. Larangan tersebut berlatar-belakang ada nya peristiwa Bubat ;
  3. Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikah dengan wanita tersebut.
Larangan yang pertama dengan ketiga sampai saat ini masih tetap kukuh dihindari untuk tidak dilakukan. Selain menyangkut moral dan etika, juga terkait dengan larangan agama. Sedangkan larangan yang kedua sudah mulai luntur. Generasi muda Sunda sekarang sudah banyak yang tidak mengenal tabu demikian atau ahistoris terhadap munculnya tabu tersebut. Sudah banyak laki-laki Sunda yang kawin dengan perempuan Jawa, juga sebaliknya. Bahkan jarang yang mengenal sejarah peristiwa bubat. Yang pasti adanya proses dan kesadaran yang mempersatukan Sunda dengan Jawa di dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan sendirinya mencairkan mitos tersebut.

Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan dengan tegas melarang aturan-aturan istri larangan. Naskah ini meru pakan artefak penting dari adanya ketentuan istri larangan. Bahkan dapat menginformasikan kepada generasi yang akan datang tentang universalitas nilai Kasundaan. Kisah para pelanggaran diceritakan pula didalam naskah Carita Parahyangan, sehingga naskah Sanghiyang Siksa dengan Carita Parahyangan sering dianggap acuan dari ketentuan istri larangan. Naskah Sanghiyang Siksa Kandang menjelaskan, sebagai berikut :

Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun nahaloan. Ulah ngeri(ng)keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowangtangan, sapanglung guhan di catang, di bale, patu tunggalan, haloan si panglungguhan ngaranna. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patu¬tunggalan, haloan sipanahtaran ngara(n)na. (Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan. Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rarahu lanjar agar tidak terkena godaan diperjalanan. Demikian pula memegang tangan (nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut goda an di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya).

Tabu mengganggu istri / tunangan orang
Etika atau Pikukuh yang paling keras adalah tidak boleh mengganggu istri orang, bahkan wanita yang sudah dilamar tabu untuk diganggu. Larangan demikian sampai sekarang masih berlaku, namun untuk yang sudah bertunangan masih ada sedikit perdebatan, atau boleh dikatakan masih ada kelonggaran. Terutama adanya idiom tentang “satu menit pun (sebelum nikah) masih milik umum”, alias masih bisa beralih lagi. Karena syahnya hubungan pernikahan setelah ‘ijab kabul’, maka inilah yang tidak boleh di ganggu.

Tabu sebagaimana yang dianut orang Sunda buhun tidak hanya mempertimbangkan pada nilai-nilai yang bersifat formal, atau hanya mengacu keabsyahan pasangan dari sya rat yang ditentukan oleh suatu lembaga perkawinan yang syah menurut hukum negara, melainkan mempertimbangkan juga perasaan dan hubungan dengan sesama manusia lain nya, terutama terhadap pihak lain yang merasa terganggu atas peristiwa ini. Karena hakikatnya, bagus atau tidak suatu hubungan tidak ditentukan oleh formalitas, atau adanya suatu perjanjian, melainkan timbul dari saling percaya dan saling menghormati. Inilah yang mungkin mendasarkan munculnya tabu yang melarang seorang perempuan yang sudah bertuna ngan dilarang diganggu.

Alasan lain menurut hemat penulis terkait erat dengan tahap dan proses berpikir manusia Sunda dahulu. Antara dia (pribadi) dengan orang lain (subyek) tidak terbatas oleh apapun. Faham ini disebut Totalitas. Manusia harus mampu merasakan apa yang orang lain rasakan. Sama halnya dengan idi om ‘ngaragap angen sorangan’ atau ‘teposliro tenggang rasa’, atau ‘tat twan asi’, aku adalah kamu dan kamu adalah aku !. Dengan demikian manusia akan merasakan sakit bila orang lain merasakannya. Sama ketika seseorang merasakan sakit hati jika tunangannya di ganggu orang atau lelaki lain.

Pemahaman lainnya berkaitan dengan sanksi yang akan diterima jika di melakukan perbuatan tersebut. Manusia Sun da buhun sangat yakin, jika kesalahan yang dibuat didunia ha rus di pertanggung jawabkan. Suatu contoh dari penerapan sanksi di kalangan masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy akan lebih takut terhadap kutukan dari pada sanksi di dunia. Kutukan dianggap berlaku terus bagi para keturunannya, sedangkan sanksi di dunia cukup bagi pribadi (seorang) yang melakukan kesalahan tersebut.

Ada juga yang mencontohkan dari peristiwa Harisbaya, istri Panembahan Ratu (Cirebon) yang kemudian iiwat dan di nikahi oleh Prabu Geusan Ulun (Sumedanglarang). Untuk me nebus talaknya dan mencegah peperanhan antara Sumedang larang dengan Cirebon maka Sumedanglarang harus melepas kan wilayah Sindangkasih kepada Cirebon. Mungkin pula aki batnya dirasakan oleh generasi berikutnya. Pengganti Geusan Ulun ternyata tidak mampu mempertahan Sumedang sebagai negara yang berdaulat penuh, bahkan raja-raja Sunda menjadi kehilangan penerusnya.

Hal yang sama dialami oleh trah Galuh, akibat smarakar ya Mandiminyak dengan Pwah Rababu, istri Sempakwaja, kakak kandung Mandiminyak, sehingga melahirkan.Sena Penulis Carita Parahyangan, menggambarkan sebagai berikut :

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungu keuneun nana, tatabeuhan di Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel. Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta ateh ?" "Bejana nu ngigel di buruan ageung!" "Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tang gungan aing. Geuwat bawa sacara paksa!" Patih indit kaburuan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonnanya lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena
Sena dianggap Sang Salah, padahal bukan Sena yang berbuat. Sena kemudian menggantikan Mandiminyak sebagai penguasa Galuh. Sena pun dianggap orang yang saleh, meng hormati tetua Galuh dan para tokoh agama, serta perilakunya bertolak belakang dengan Mandiminyak, namun tetap dikucil kan oleh kera bat lainnya. Peristiwa ini pun memicu rebutan tahta Galuh. Dikenal dengan Pisuna Galuh yang dipimpin Purbasora, putra Rababu dari Sempakwaja.

Peristiwa lain yang menimpa keturunan mandiminyak yakni kasus Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Di goda Rahiyang Tamperan, untuk kemudian Tamperan membu nuh Permana Dikusumah. Tamperan akhirnya dibunuh Sang Manarah. Kisah ini ditulis didalam Carita Parahyangan, sebagai berkut :

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.

Dua pelanggaran
Peristiwa lain yang termasuk katagori mengganggu tunangan orang menimpa Dewa Niskala, putra Niskala Wastu Kencana. Ketika itu Maja pahit dipimpin Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, pada tahun 1478 kalah perang dari Demak dan Girindra wardana, banyak keluarga keraton Majapahit mengungsi kedaerah Galuh dan Kawali, pimpin oleh Raden Baribin, mereka disambut dengan senang hati oleh Dewa Niskala. Namun Dewa Niskala jatuh cinta kepada salah satu anggota rombong an. Wanita tersebut telah bertunangan. Carita Parahyangan menjelaskan, sebagai berikut :

Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah twah bogoh ka éstri larangan ti kaluaran. (Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran).
Carita Parahyangan menyebutkan pelanggaran yang di rumpak Dewa Niskala adalah bogoh ka éstri larangan ti kalua ran. Artinya dapat ditafsirkan adanya dua pelanggaran, yakni (1) melanggar istri larangan ; dan (2) istri tikaluaran. Kalimat dimaksud dapat ditafsirkan, yakni istri yang telah bertunangan dan berasal dari Majapahit. Kasus ini pada akhirnya memaksa Dewa Niskala untuk turun dari tahtanya.

Pelanggaran yang dilakukan Dewa Niskala memang masih menjadi perdebatan dikalangan penyusun sejarah Sunda, bahkan ada yang menafsirkan hanya melanggaran ketentuan untuk tidak menikahi perempuan yang telah bertunangan. Namun pendapat lainnya tidak bisa dikesampingkan. Mengingat peristiwa Bubat masih membekas dibenak dan hati masyara kat Sunda pada masa itu. Adanya tabu menikahi wanita yang berasal dari Majapahit (istri tikaluaran) menjadi beralasan. Maka wajar jika Dewa Niskala di anggap melanggar dua lara ngan sekaligus.

Tabu menikahi ibu tiri atau bekas istri bapak.
Ratu Sakti, putra Ratu Dewata raja Pajajaran, berkuasa pada tahun 1543 sampai dengan 1551 masehi. Ratu Sakti sangat berlainan sifatnya dengan para pendahulunya, sering ngarumpak larangan (tabu), tak peduli dengan etika dan moral sebagaimana layaknya raja Sunda yang memegang Purba satiti–Purbajati, yang paling parah melanggar Istri larangan, yakni menikahi istri ayahnya (ibu titinya).

Penulis Carita Parahyangan menanggapi perilaku Ratu Sakti, sebagai berikut :
Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan ta hun, kenana ratu twahna kabancana ku estri, larangan tika luaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, nga rampas, tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha, asampé ring sang pandita. Aja tinut dé sang kawuri, polah sang nata. Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.
Kisah penurunan Ratu Sakti diduga dilakukan dengan cara dipaksa. Mengingat, dilihat dari periakunya, suatu hal yang mustahil jika mau dengan ikhlas turun sendiri, sebagaimana dilakukan Dewa Niskala. Pada akhirnya Carita Parahyangan menegaskan, : Aja tinut de sang kawuri pola sang nata (Janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian kelakuan raja ini).

Sumber-sumber larangan bagi ketentuan Istri Larangan tersebut berasal, atau di tulis didalam Carita Parahyangan dan Naskah Sanghyang Sika Kandang Karesyan. Didalam naskah Sanghiyang Siksa menyebut para pelanggar itu sebagai orang pandir yang turun dari alam gaib, tidak menemukan jalan kedewata an dan ingin cepat menjelma. Perbuatan ini di samakan dengan derajat orang yang tidak setia ; cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan; main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak; merasai wanita yang bukan istrinya. Menegaskan :

Kitu urang janma ini. Ha(ng) ger turun ti niskala hanteu ka temu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug ting kahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. Aya ka pitwah ta nu mo satya, nutan yogya: lumekas mang gawe hala: papanji ngan, bubu nyan, kapiadi, kapilan ceuk. Nya mana wadon nga rasa lalaki lain salakina, tan yogya ngarana. Lalaki ngarasa wadon lain eusi imahna, tan yogya ngarana. Wenang ditibakeun kana kawah si mrega wijaya. Jan ma ngawisesakeun nu salah. (Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuan nya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui. Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menye linap kerumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bukan suaminya, tidak layak namanya. Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, tidak layak namanya. Boleh di jerumuskan kedalam neraka simregawijaya. (sebagai) manusia yang mengutamakan per-buatan salah.)

Konsep istri larangan yang berlaku pada masa Karuhun Urang Sunda menunjukan, bahwa dimasa lalu orang Sunda sangat memegang teguh moral dan etika. Hemat penulis, selain perintah agama disebabkan pula pada pertimbangan menjaga hubungan dengan laki-laki yang istrinya dinikahi. Bagi orang Sunda di masa lalu, istri merupakan benteng akhir dari harga diri seorang laki-aki. Negara bisa saja melakukan peperangan hanya karena persoalan istri yang dibawa atau diganggu oleh raja lainnya.

Kewajaran sikap demikian tentunya bukan hanya mengandalkan rational itas dan pertimbangan politis, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Harisbaya. Pada masa itu, talaknya ditukar dengan wilayah Sindangkasih. Sumedang mendapatkan Harisbaya sebagai permaisuri Geusan Ulun, dan Cirebon memiliki wilayah baru, yaitu Sindangkasih. Kewajaran demikian juga mengandalkan pada rasa manusa dan kamunasaannana. Hubungan suami dengan istri; kekasih dengan tunangannya di dalam paradigma apapun dikendalikan oleh rasa, bukan sekedar perjanjian perdata. Yaitu rasa cinta; kasih sayang; saling mengharapkan dan saling memberi harapan untuk hidup bersama, lebih dari sekedar perjanjian sosial atau perhitungan material. Rasa ini akan berbuah baik dan menjadikan ketentraman serta kesentausaan hidup jika segenap warga memahami dengan baik. Namun jika sulit dipahami maka harus diberlakukan suatu hukum, dan menambahkan sanksi agar bisa ditaati. Inilah universalitasnya Budaya Sunda sebagai kearifan dari masa lalu. (asp).

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960