Rabu, 13 April 2011

Pikukuh

PIKUKUH asal kata dari KUKUH, dalam kamus bahasa Sunda arti Kukuh adalah: “dibasakeun kana naon-naon nu geus di peruhkeun, teu bisa dilempengkeun deui atawa katetapan”. (sesuatu yang telah dirubah tidak bisa dirubah-rubah lagi). Sedangkan Pikukuh adalah: “pituduh nu teu bisa di eluk-eluk eun deui; jadi hartina lamun geus dicengkukeun teu bisa di lempengkeun deui”. (petunjuk yang tidak dapat dirubah lagi).

Jika ditelusuri sumber data Pikukuh saat ini dapat ditemukan dari dua sumber, yakni sumber tertulis, seperti dalam prasas ti dan naskah-naskah kuna. Kedua sumber lisan, berasal dari berita yang disampaikan secara turun temurun.Pikukuh yang menjadi sumber informasi tertulis banyak beredar didaerah Priangan, biasanya dimasukan dalam katagori sastra dan ca tatan sejarah, sedangkan sumber lisan banyak digunakan masyarakat Baduy, Kasepuhan, Kampung Naga dan kisah ki sah Pantun.

Pikukuh dimasa lalu memiliki sanksi seperti halnya yang masih dilakukan masyarakat Baduy. Ada sanksi bagi para pe langgar. Pikukuh digunakan sebagai sumber hukum adat dan acuan dalam mengenakan sanksi, seperti : “ngadek kudu sa clekna, Nerapkeun hukum ulah kancra kancas, ulah cuwet ka nu hideung, Ulah ponteng kanu koneng”. Adapun ciri-ciri dari hukum adat pada umumnya, hanya akan mengenakan sanksi jika mereka dianggap mengganggu keseimbangan adat.

Sumber Pikukuh Tertulis
Sumber pikukuh yang banyak dijadikan rujukan tentang kearifan masa lalu urang Sunda berasal dari Prasasti Kawali 2. Sekalipun demikian, pada masa lalu banyak juga yang me rujuk kedalam naskah Sanghiyang Siksa dan Sanghiyang Darma. Pikukuh di dalam Prasasti Kawali 2 disebut wasiat atau wangsit Prabu Raja Wastu yang dikenal dengan sebutan Wastu Kencana. Prasasti tersebut berisi tentang orang-orang yang hidup dikawali selanjutnya harus bersikap. Naskah dari prasasti Kawali 2, sebagai berikut :
Aya ma nu ngeusi bhari pakwan kereta bener pakeun nan jeur na juritan. (semoga ada mereka yang kemudi an mengisi negeri Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang)
Jika ditelusuri lebih lanjut, makna isi prasasti dimaksud terkait dengan ajaran yang dimuat dalam naskah Sanghyang Kandang Karesyan, tentang jalan kebahagiaan (pakena kreta bener) dan jalan keselamatan (pakena gawe rahayu) yang da pat diikuti oleh para penerusnya atau yang hidup setelah Wastu Kancana (ayama nu pandeuri). Kalimat ini mengan dung makna dan himbauan agar para penerusnya berperi laku benar dan menjaga lingkungannya dengan baik, sehingga tidak ada kerusakan. (bhaga neker bhaga angger bhaga nincak bhaga rempag). Dihimbau juga agar selalu berucap kata-kata yang benar (haywa dicawuh-cawuh), dan tidak merusak peningalan leluhur (haywa diponah-ponah), sebab perilaku tersebut akan merugikan diri sendiri (malindes ka diri sorangan - cilaka ku polah sorangan; ulah botoh bisi kakereh).

Ajaran Rahiyang Wastu sangat bertumpu pada harmoni sasi antara dirinya dengan alam dan lingkungannya. Hal ini ter cermin dalam karakter artefak-artefak Kawali dengan segenap aspek yang begitu mengimposisi kepada alam, sangat natural, dengan tanpa mengeksploitasi apapun yang diciptakan di dalam lingkungan alam dan tempat di mana seseorang berkebudayaan. Situs Kawali menyiratkan ajaran tentang inti persoalan seorang manusia di dalam merealisasikan harmoni tersebut, seperti dari kalimat Pakena keureuta bener pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana pakeun nanjeur na juritan. Untuk menuju kearah kesejahteraan (Pakena keureuta bener) dan kerahayuan (pakena gawe rahhayu), seseorang harus memperhitungkan langkah-langkah sebaik-baiknya, tidak berjudi dan berbuat yang menimbulkan kesengsaraan (ulah botoh bisi kakereh).

Uraian yang di maksud tentang pakena keureuta bener dan pakena gawe rahhayu diatas, secara konkrit harus dihu bungkan dengan naskah dalam Kropak 630, antara lain berisi sebagai berikut :
............ Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wiku teguh dalam tugas nya sebagai wiku, akan sejahtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya se bagai akhli gamelan, akan sejahtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejahtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.
Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byak ta warta manah, mana kretana bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.
(Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kan ke-nyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejah teralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan).


Wasiat diatas mengandung konsep tentang bagaimana ma nusia harus memiliki laku yang baik dan profesional dibi dang keahliannya. Tuntunan ini Lebih maju dari praktek ke negaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengu rusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum peda gang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebab kan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan. Pedoman yang sama masih kita temukan sampai saat ini. Seper ti dalam istilah: Jika suatu urusan diserahkan bukan kepada akhlinya, maka tunggulah kehancurannya. Namun pedoman dan tanda-tanda ini tidak sedemikian diacuhkan, sehingga pa ra pemimpin dibidangnya menjadi adharma.
Naskah Sanghiyang Siksa menulis pula tentang Darma Pitutur dalam bentuk siloka, sebagai berikut :
Talaga carita Hangsa
gajendra carita banem
matsyanem carita sagarem
puspanem carita bangharem bila ingin tahu tentang telaga bertanyalah kepada angsa
bila ingin tahu tentang hutan bertanyalah kepada gajah
bila ingin tahu tentang laut bertanyalah kepada ikan
bila ingin tahu bunga bertanyalah kepada kumbang

Naskah yang berisi tentang Pikukuh yang memiliki kemirip an atau hampir sama juga dimuat didalam Amanat Galung gung. Naskah ini diyakini sebagai ajaran yang disampaikan Rakeyan Darmasiksa. Naskah tersebut antara lain sebagai berikut :
Nanya Kanu Karolot
Mo teoh sabab na agama pun
Na sasana bawa kolot pun.
Pikukuh yang berhubungan dengan pembangunan Pendidi kan dan perlindungan terhadap Kabuyutan sebagai wilayah pelatihan kaum intelektual pada waktu itu, serta masyarakat yang mengelolanya, sudah lebih maju ketika masa Sri Baduga (Siliwangi) berkuasa. Dengan demikian, ketentuan negara untuk memberikan pehatian yang lebih besar terhadap sektor pendidikan bukan sesuatu yang baru. Pikukuh ini di tuliskan di dalam Prasasti Kabantenan atas perintah Sri Baduga Mahara ja, yang merupakan peringatan dari Rahyang niskala Wastu Kancana, kemudian diturunkan kepada Ra hyang Ningrat Kan cana, keduanya adalah kakek dan ayah mer tua Sri Baduga Maharaja, menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sun da Sembawa, agar ada yang mengelola.

Saat ini baru di temukan 4 buah Pikukuh yang tertera di dalam 5 lempeng tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan dan pembebasan pajak terhadap para penghuni serta pengelola Kabuyutan. Piku kuh dimaksud, sebagai berikut :

Prasasti 3 dan 4 :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan seka rang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibu kota di Jaya giri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas tim bang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan ke pada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa.
Prasasti 5 :
Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberi kan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau meng ganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.
Kabuyutan atau Dewasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku didalam prasasti 1 dise but lemah larangan, yakni daerah otonom atau semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam pra sasti 5 dikukuhkan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati.
Disekitar lemah larangan terdapat sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan (menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkin kan berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Larangan dan Sangga.
Di dalam prasasti 3 dan 4 diperintahkan agar penduduk di kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan petugas pajak disebut Pangurang. Ketentuan Pajak terse but sampai saat ini masih berlaku, seperti penarikan restribu si dan pungutan lainnya.
Pikukuh yang terkait dengan masalah pendidikan dan in telektual, dikukuhkan pula oleh Prabu Darmasiksa, kemudi an dikenal sebagai ajaran Sanghiyang Siksa. Pikukuh ini meneguhkan, bahwa : Raja yang tidak bisa mempertahankan kabu yutan diwilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit mu sang yang tercampak di tempat sampah. Demikian cuplikan dari Amanat Galunggung yang dikenal dengan sebu tan Amanat Prabu Darmasiksa (Kropak 632). Amanat ini disampai kan oleh Prabu Darmasiksa raja Saunggalah kepada Rajaputra yang kelak menggantikannya di Saunggalah, sebe lum Prabu Darmasiksa pindah ke Pakuan (1187) untuk menjadi raja Sunda yang ke-25. Kemudian diikuti oleh raja-raja peng gantinya. Tidak heran ketika itu Kabuyutan memili ki peranan yang sangat penting, disebut-sebut sebagai Dangiang Sunda, sehingga banyak raja-raja yang mempertaruhkan harga dirnya jika Kabuyutannya diganggu. Bagi masyarakat modern, ketentuan tentang perlunya melindungi sumber-sumber ilmu saat ini merupakan faktor yang sangat penting. Selain hal tersebut, konsep kabuyutan dapat pula digunakan untuk mengelola lingkungan sebagai sumber kehidupan.
Pikukuh yang terkait dengan masalah hubungan sosial banyak diatur didalam naskah sanghiyang siksa, dan di jelas kan di dalam Carita Parahyangan. Kedua naskah ini antara la in menetapkan seorang Istri (perempuan) yang diharamkan untuk dinikahi (Ekadjati – 2005 : hal.196), yaitu :
  1. Gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya dite rima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk me minang dan mengganggu
  2. Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat.
  3. Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut.
Pikukuh istri larangan banyak menelan korban keluarga Keraton Sunda di jaman Buhun, yakni Mandiminyak (Galuh); Dewa Niskala (Sunda); dan Ratu Sakti (Pajajaran); mungkin juga Geusa Ulun (Sumedang larang). Sanksi adat yang mereka terima dikucilkan dari lingkungan sosial, seperti pada kasus Mandiminyak, yang terpaksa harus pindah ke Kalingga, bahkan Sana anaknya menjadi tidak efektif sebagai raja Galuh dan menyulut pemberontakan Purbasora. Demikian pula terhadap Dewa Niskala dan Mandiminyak, mereka dipaksa turun dari tahtanya. Tentang Ratu Sakti ditulis dalam carita Parahyangan, dengan kalimat :
Aja tinut de sang kawuri pola sang nata (Janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian kela kuan raja ini).

Prasasti lainnya yang berisi pikukuh ditemukan di Ciba dak, disebut Prasasti Cibadak, dibuat oleh Sri Jaya Bupati. Isi nas kah yang penulis cuplik dari Buku Rintisan Penulusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (Jilid 3 Hal 12), antara lain terje maahannya, sebagai berikut :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnu murti Samarawijaya Sakalabuwa namandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramot tunggadewa membuat tanda di sebelah timur Sanghi yang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) me nangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hu lu sampai batas daerah kabuyutan sanhyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar. Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang diku kuhkan dengan seruan : kutuk serta sumpah oleh raja Sunda, antara lain sebagai berikut :

Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agatsya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur laut, zenith, nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, sernja, yaksa, raksasa, pisaca (sebangsa peri), su ra, garuda, buaya, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera dewata Pancaku sika, lembu tungga ngan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (dewa ular), Surindra, putra Hyang Kalamercu, gana (makhluk setengah de wa), buta (sebangsa raksasa), para arwah semo ga ikut, menjelma merasuki semua orang, kalian gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini.
 Pikukuh didalam prasasti Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati membuat tapak disebelah timur kabuyutan. Di bagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan terse but, siapa saja di larang menangkap ikan. Pada saat itu pen duduk disekitar prasasti sangat taat terhadap Pikukuh ini dan takut mendapat hukuman dari kekuatan gaib. Sama halnya dengan ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tan pa hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti Pikukuh tersebut.
Pikukuh Lisan. 
Pikukuh Karuhun dan amanat leluhur urang Baduy di wa riskan secara turun temurun kepada anak cucunya untuk di taati, sehingga sampai saat ini mereka mampu mempertahan kan adat istiadat, mentaati segala ketentuan yang di amanat kan leluhur. Pikukuh Karuhun tersebut (Asep Kurnia : 2010), sebagai berikut :

Bertapa Bagi kesejahteraan dan keselamatan Pusat Dunia dan Alam Semesta (Ngabarata Pakeun Nusa Telu Puluh Telu, Bangawan Sawi dak Lima, Pancer Salawe Nagara). 
  1. Ngareksakeun Sasaka Buana (Memelihara Sasaka Buana)
  2. Ngasuh Ratu Ngajak Menak (Mengasuh Ratu memelihara menak).
  3. Menghormati Guriang dan Melaknasanakan Muja di Sasa ka Domas.
  4. Melakukan Seba setiap setahun sekali.
  5. Ngukus Ngawalu Muja Ngalaksa (Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara Adat Ngalaksa.
  6. Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan Kawalu.
Menurut Ekadjati (1993) tugas hidup orang Baduy yang sangat perlu untuk dipatuhi warganya secara garis besar ter diri dari enam, yakni :
  1. Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana memelihara tempat pemujaan di Sasaka Pusaka Buana
  2.  Ngareksakeun Sasaka Domas memelihara tempat pemujaan di Sasaka Domas
  3.  Ngasuh Ratu ngajak Menak mengasuh penguasa dan mengemong pembesar negara
  4.  Ngabaratakeun Nusa Telu Puluh Telu, bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara mempertapakan nusa 33, sungai 65, dan pusat 25 negara
  5.  Kalanjakan kapundayan berburu dan menangkap ikan untuk keperluan upacara kawalu
  6.  Ngukus ngawalu muja ngalaksa membakar dupa sewaktu me-muja, melaksanakan upacara kawalu dan membuat laksa. Kultur Urang Baduy beranggapan hidup harus bersifat sosial, bermurah hati dan berbaik hati. Orang yang memiliki maka nan lebih dilarang memperjual belikan kelebihan makanan nya dan harus diberikan kepada yang memerlukan, karena makanan adalah kebutuhan orang banyak. Diantara maka nan yang tidak boleh diperjual belikan adalah beras, sayur dan buah-buahan. Namun di dalam keyakinan Sunda segala sesuatu mempunyai jiwa dan ada yang memiliki. Sehingga ke tika orang ingin memetik sesuatu maka harus terlebih dahu lu memintakan ijin. Pikukuh yang terkenal, sebagai berikut :
Mipit kudu amit, ngala kudu menta, Mun neukteuk kudu sateukna, Mun nilas kuda saplasna, Nu lain dilain keun, nu ulah di ulahkeun, nu enya dienyakeun, Ulah gorok ulah linyok. (memetik harus permisi, memotong harus pas, menebas harus setebasnya, menetak harus setepatnya, Yang bukan katakan bukan, yang dilarang katakan dilarang, yang benar katakan benar, Jangan menipu, jangan berbohong).
 
Masyarakat Baduy meyakini, sebagai keturunan Adam Tung gal harus dapat ngasuh ratu ngajak menak dan memegang buyut, nenek moyang dan kabuyutan. Mereka meyakini bah wa hidupnya ditugaskan untuk menjaga Kabuyutan. Untuk mengelola kabuyutan diperlukan pemimpin, yang disebut Puun. Para pemimpinnya harus memelihara apa yang dipe sankan dan di kehendaki oleh karuhun (leluhur), seperti Piku kuh dibawah ini :
 
Buyut nu dititipkeun ka puun, nagara satelung puluh telu, bagawan sawidak lima, pancer salawe nagara (bu yut yang dititipkan pada puun, lebih dari tigapuluh tiga negara, enam puluh lima bagawan, inti dari dua puluh lima nagara).
 
Pikukuh tersebut bukan hanya sekedar nasehat karuhun saja melainkan menjadi pedoman penting bagi kehidupan so sial, sehingga apa yang dilarang adalah buyut (terlarang) un tuk dilakukan oleh siapapun, seperti ungkapan dibawah ini :
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diru sak, larangan teu meunang di rempak, buyut teu meu nang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu menang disambung (gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dirubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disam bung)
Pemahaman buyut terhadap pikukuh diatas memberi kan tanda bahwa masyarakat Baduy seharusnya memegang te guh pikukuh dari karuhunnya. Dengan demikian, pikukuh karuhun akan mengandung etika, karena yang dijadikan piku kuh tersebut sebelumnya telah dijalankan oleh karuhun. Pi kukuh demikian nampak pula didalam sikap dan tindaka yang serba teu wasa, yang dipandu oleh :
Nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya ku du dienyakeun (yang bukan katakanlah bukan, yang jangan katakanlah jangan, yang benar katakanlah benar).
Urang sunda diluar Baduy, berlaku pula beberapa Pikukuh dan Pitutur, yang diyakini sebagai nilai hidup Kasundan, se bagai transformasi dari nilai-nilai kasundaan terhadap urang sunda yang beragama islam. Norma-norma ini dikembang kan oleh H. Hasan Mustafa (Sambas: 1996), sebagai berikut :
(1). Percaya kepada Tuhan (2) Menyadari asal kejadian nya (3) selalu ingat asal usulnya (4) meyakini bahwa orang tua lebih berpengalaman (5) menjunjung tinggi nasehat orang tua (6) mempunyai kemampuan menye suaikan diri (7) mempu nyai perhitungan matang (8) rajin berikhtiar (9) Rajin menuntut ilmu agama (10) mempercayai adanya pengaruh hidup seseorang dari keturunan (11) meyakini banyak anak lebih baik dari pada kekayaan melimpah (12) mempercayai adanya orang baik menurunkan keturunan yang tidak baik (13) bayi didalam kandungan mempengaruhi ibunya (14) Situasi dan kondisi ibu berpengaruh pada bayi (15) perilaku suami yang istrinya menegandung mempenga ruhi bayi yang dikandung (16) ada kewajiban orang mu da untuk mempercayai orang tuanya (17) orang yang suka duduk diambang pintu akan jauh jodohnya (18) larangan keluar atau masuk kerumah dengan cara me loncat (19) gadis dilarang ikut makan sirih dengan tamu, karena akan haid ketika malam pengantin (20) dilarang memakan daun sirih yang permukaannya rata karena nanti akan mempunyai anak sulung yang segera meninggal (21) dst .... sampai dengan (68) menganggap bahwa seakan-akan orang yang telah meninggal masih hidup sampai hari ketujuh, karena itu diperlukan upaca ra untuk menenangkannya.
Pikukuh yang berfungsi sebagai pedoman hidup, terdapat pula didalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kasepuhan yang berada disekitar Gunung Halimun. Didalam paradigma masyarakat Kasepuhan diyakini, bahwa pangawinan memili ki makna tempat mempersatukan hal-hal yang yang berhubu ngan antara dunia nyata dengan dunia gaib. Hal ini bertujuan agar dapat mencapai kehidupan yang harmonis dan menca pai rasa manunggal. Untuk mencapai rasa manunggal, masya rakat Kasepuhan mengembangkan konsep ajaran, dasar mo ral yang disebut ngaji diri. Bermanfaat untuk melawan sifat buruk dalam dirinya, seperti sirik, pidik, iren panastren (iri, benci). Agar dapat diperoleh kondisi selaras dan tertib, aman dan tentram dalam kehidupan manusia, maka ucap jeung lampah harus seirama, tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Hal ini tercermin didalam ungkapan :

Mipit kudu amit,
ngala kudu menta,
nganggo kudu suci,
dahar kudu halal,
kalawan ucap kudu sabenerna,
ucap kudu sabenerna,
mupakat kudu sarerea,
ngahulu ka hukum,
nyanghunjar ka nagara
 
Mipit kudu amit dan ngala kudu menta, mengandung arti bahwa setiap kali akan memetik atau menuai hasil panen, maka setiap warga kasepuhan harus memohon ijin dari para Karuhun dan Yang Maha Kuasa agar dilindungi dari berbagai bencana. Istilah nganggo kudu suci mengandung arti, bahwa tingkah laku itu harus jujur dan tidak boleh berbohong. Kali mat dahar kudu halal mengandung makna, bahwa apa yang dimakan atau cara memperoleh makanan harus dilakukan se suai dengan hukum adat kasepuhan. Kata-kata ucap kudu be ner artinya tidak boleh berbohong, sedangkan kalimat ngahu lu ka hukum dan ngahunjar ka nagara, mengandung makna, bahwa warga kasepuhan harus taat dan berpedoman pada hu kum serta berlindung pada negara. Pentaatan masyarakat ter hadap Pikukuh ini sesuai dengan ketaatan terhadap talari pa ranti Karuhun (tatacara nenek moyang). Pelanggaran ter hadap talari paranti Karuhun diyakini akan mendatangkan ben cana atau kabendon (kena marah), baik bagi diri sendiri mau pun seluruh warga Kasepuhan.
 
Masyarakat wiwitan menganggap pelaksanaan Pikukuh dan Pitutur dikatagorikan tapa. Pemahaman tapa bukan sebagai mana yang dipahami masyarakat saat ini. Bertapa dimaksud menjalankan tugas manusia sehari-hari atau bekerja, bahkan manusia sudah dapat menjalankan sejak berada didalam kandungan perut ibu. Kisah dan nasehat ini pernah dimuat di dalam Baduy, naskah ka 7 ‘Adat Lembaga’ th.1950, tulisan Surya Saputra, penulis sadur dari tulisan Roza Mintaredja (2006), seperti dalam pepatah :
 
Sabulan Ngaherang,
dua bulan Ngalenggang,
Tilu bulan Ngarupa,
Opat bulan Ngareka,
Lima bulan Malik Muter,
Genep bulan Tumpang pitu,
Tujuh bulan nunjuk ka sanghiyang manggung,
Dalapan bulan Lilimbungan di tanah payung,
Salapan bulan Matur ka Ambu,
Rek nyaba ka Buana Panca tengah,
Broll !!!
 
Bral geura ngambah sagara !
Mangkahade !
Ulah sadenge-dengana,
mun lain dengekeunana
Ulah sadeuleuna mun lain deuleueunnana
Ulah saomong-omongna, mun lain omongeunana
Ulah sacabak-cabakna, mun lain cabakeunana
Ulah samanh-manahna, mun lain manaheunana.
 
Bagi masyarakat Baduy bertapa adalah menjalankan tugas menjaga Mandala (Kabuyutan). Bagi masyarakat wiwitan warga nagara (diluar mandala), bertapa artinya menjalankan tugas sebagai warga negara. Pikukuh tentang tapa dimuat pu la dalam naskah Amanat Galunggung (kropak 632), sebagai berikut :

Carek na patikrama na urang lanang lanang-wadwan, iya twah na urang. Gwareng twah gwareng tapa, maja twah ma ja tapa ; apana urang ku twah mana beunghar, ku twahna mana waya tapa. (Menurut ajaran patikra ma, bagi kita, laki-laki dan wanita, amal itu sama deng an tapa. Itulah makna amal. Sedang amal, sedanglah tapa. Sempurna amal, sempurnalah tapa. Kan kita ini karena amal kita dapat menjadi kaya, karena amal pula kita berhasil dalam tapa).
Sanksi pelanggar Pikukuh
Pikukuh pada dasarnya berlaku sebagai hukum adat, yang berciri, yakni siapapun yang terkena sanksi adat adalah me reka pengganggu keseimbangan adat. Mungkin tidak salah tapi karena alasan tidak sesuai dengan hukum adat maka ha rus dikenakan sanksi. Peristiwa demikian dapat ditemukan ke tika para tetua adat Baduy mengijinkan Nyi Hujung Galuh untuk keluar dari lingkungan masyarakat Baduy jero, kemudian bermukim dan menjadi Baduy Kompol. Nyi Hujung Ga luh tidak disebutkan melanggar adat, namun tindak tanduk dan kelebihan yang dimilikinya dianggap meresahkan.
 
Pikukuh diantaranya berisi tentang kosmologi atau asal usul terjadinya Buana Pancatengah. Dalam keyakinan penga nut Sunda Wiwitan terdapat tiga alam, yakni : Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hyang Keresa; Buana Panca te ngah, alam manusia dan makhluk lainnya hidup; dan Buana Larang yakni neraka berada dilapisan alam paling bawah. Di dalam keyakinannya, Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh manusia telah se lesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Panca tengah, maka sukmanya harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma turunnya dari Kahyangan baik maka kembalinya pun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya suk ma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu ber ada di Buana Pancatengah.
 
Dari ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bah wa segala perilaku kehidupan manusia harus dapat diper-tanggung jawabkan secara lahiriah maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhi rat nanti. Mereka meyakini apa yang dilakukan baik buruk nya akan kembali pada dirinya, dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nunyidikeun Allah anu nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Keyakinan demikian menjadi spirit pen ting bagi ditaatinya Pikukuh dan Pitutur.
 
Sanksi terhadap pelanggar Pikukuh cukup berupa ancaman yang bersifat moral, seperti yang termaktub didalam Pra sasti Cibadak. Namun memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, mengingat masyarakat jaman dahulu meyakini, sekalipun da pat keluar dari sanksi didunia namun dia tak akan dapat me ngelak dari sanksi lainnya, baik berupa bencana dan kutu kan bagi diri san keturunannya, maupun diakhir nanti.
 
Ciri-ciri dan rasa takut terhadap adanya kutukan sema cam yang dinyatakan didalam Prasasti Cibadak masih diyakini di kalangan masyarakat Baduy. Mereka sangat takut adanya kutukan dari Sang Pencipta dan Guriang, leluhur mereka ser ta melanggar tatanan hukum adat. Kutukan ini lebih tertuju kepada para pelanggar Pikukuh Karuhun. Kutukan akan terja di kepada mereka yang melakukan pelanggaran atau melaku kan sumpah adat, tetapi ucapan tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Demikian pula didalam lingkungan Kasepuhan. Pada umumnya mereka meyakini dan mentaati Pikukuhnya, mengingat takutnya terkena musibah atau kabendon.
 
Kekuatan Pikukuh saat ini sudah barang tentu tidak se demikian efektif sebagaimana dimasa lalu. Mengingat rationa litas masyarakat terhadap hukum lebih banyak mengakui dan mentaati yang secara jelas-jelas dilarang dan dituliskan. Kare na melanggar hukum akan terkena sanksi, baik berupa kuru ngan maupun hukuman lainnya. Disisi lain masih ada masya rakat Sunda yang mematuhi Pikukuh, bahkan dika langan ma syarakat Baduy masih diakui sebagai sumber hukum adat.
 
Sumpah adat bagi masyarakat adat Baduy diartikan se bagai proses penegakan Hukum (Asep K: 2010) Pengujian kebenar an dilakukan sebagai langkah terakhir. Namun biasanya banyak dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan antar warga. Rasa takut terhadap kutukan melebihi rasa takut ter hadap hukuman mati. Masyarakat tradisional beranggapan bahwa hukuman mati hanya menimpa sipelaku, sedangkan kutukan berakibat terhadap keturunannya yang lain. Paradig ma demikian tentunya sangat berbeda dengan kondisi masya rakat yang ada sekarang, umumnya hanya berupaya agar da pat lolos dari hukuman dunia. Masyarakat Baduy sangat me yakini, bahwa hakim yang paling agung adalah Sang Maha Pencipta yang tidak pernah tidur, tidak buta, dan tidak tuli untuk mengikuti setiap detak dan delik perilaku makhluk nya. Keyakinan ini dapat melahirkan kesadaran yang tinggi bahwa manusia setiap saat tidak lepas dari pengawasannya.
 
Tentang maklumat dan materi sumpah Hukum adat Baduy, tidak perlu dilakukan secara tertulis, melainkan ada niat yang benar-benar keluar dari dalam hatinya dan di ucapkan secara jelas di depan tetua adat. Materi sumpah dimaksud, se bagai berikut :
 
Kami menta disaksian ku Guriang Tangtu Tilu Jaro Tu juh: Aing sumpah, lamun aing bohong, kaluhur ulah pu cukan, kahandap aing ulah akaran, gurulang gorolong karaca endog, lungkay lingkey kacara geureung diteng ah bajing cangkilungan.
 
Ulah diberean daya upaya ka Gusti anu nyidikeun, ka Allah anu nganyayajeun ka pangeran leuwih uninga anu nangtayu ngan kasakabeh umat.
 
Sakieu sumpah aing.
 Fungsi dan wibawa dari hukum saat ini dapat di tenggarai, sebagai berikut: Pertama, didalam Paradigma masyarakat mo dern, penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh ak tivitas hukum. Dimulai dari perencanaan hukum, pemben tukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Pene gakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-ke pentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat sebatas proses penerapan hukum, sebagaimana penda pat kaum legalistik. Namun prosesnya mempunyai dimensi lebih luas daripada pendapat tersebut. Dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemaha man tersebut maka dapat diketahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books.
 
Kedua, didalam pikiran para praktisi hukum, proses penega kan hukum dalam peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para pene gak hukum sehingga apa yang menjadi bunyi undang-un dang, itulah yang akan menjadi hukumnya. Kelemahan utama panda ngan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa kea dilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili, dalam kenyataannya bukanlah pro ses yuridis semata, atau hanya proses menerapkan pasal-pasal dan undang-undang melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struk tur sosial ter tentu. Suatu putusan hakim saat ini hanya pengesahan dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan me rupakan lembaga yang multi fungsi dan tempat untuk record keeping, site of administrative processing, ceremonial cha-nges of status, set tlement negotiation, mediations and arbi-tration, dan warfare. Produk pengadilan adalah putusan hakim, tentunya bersumber pada keadilan, bukan yang lain. Sumber keadilan itu sendiri harus memiliki tingkat universa litas dan berlaku di kalang an warga masyarakat. Dari sinilah awal dapat dibangunnya wi bawa hukum.
 
Bagi para penegak hukum, ada yang dapat kita hayati bersa ma. Tentang bagaimana harus bersikap dan menjalankan keadilan. Cuplikan dari Pikukuh yang masih dipercayai ma syarakat Baduy tertumpu pada keyakinan dan pengalaman yang berkembanhg dilingkungan masyarakatnya, bukan ber asal dari lingkungan atau Yuridprudensi masyarakat luar. Pi kukuh tersebut, sebagai berikut :
 
Nerapkeun hukum ulah kancra kancas
Ulang cuwet kanu hideung
Ulah ponteng kanu koneng
Ulah ngilik kanu putih
Ulah neuleu tandingan nenjo paroman
Ulah pandang bulu
Hukum ulah geleng catang
Ulah hukum piraus
Hukum aya kalana perlu ditegaskan
Hukum aya kalana perlu ditindakeun
Hukum oge aya kalana perlu dibijaksanakeun
Mun hukum kancra kancas
Matak romed cerewed
Pasini euweuh sisian
Padea euweuh hadena
Tunggul nyarug cohcor mantog
Badak galah jelema nyarak
Datang nu bogana reas. (asp)
 
Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejahtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biara wati, akan sejakh tera. Bila pendeta teguh dalam tugas nya sebagai pen deta, akan sejahtera. Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejahtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahte ra. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang je rat, akan sejahtera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya seba gai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tu gasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugas nya s bagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejahtera.
 
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina ke sejahteraan didunia, maka akan sejahtera lah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia). (Eddy S. Ekadjati: 2001 – naskah Sunda)

Selasa, 12 April 2011

Kosmologi Sunda

Definisi KOSMOLOGI menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cet. Kese puluh yang diterbitkan Balai Pustaka, berarti : (1) cabang astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur dan hubung an ruang dan waktu dari alam semesta (2) cabang dari meta fisiki yang menyelidiki alam semesta sebagai sistim yang be raturan, sedangkan Kosmografi, berarti: (1) pengetahuan ten tang seluruh susunan alam (2) penggambaran secara umum tentang jagat raya termasuk bumi.

Tulisan ini mengeksplorasi naskah-naskah Sunda buhun ten tang Jenis dan tingkatan alam di jagat raya menurut keper cayaan di masa lalu dan diberi judul Kosmologi, namun da lam tulisan disinggung Kosmografi, karena agak sulit memi sahkan keduanya ketika membahas salah satunya, mengingat sumbernya yang terpisah-pisah dan sulitnya mencari sumber keterangan yang utuh tentang kosmologi Sunda, kecuali dari naskah-naskah Sunda Kuna.

SUMBER INFORMASI
Kosmologi Sunda dalam bentuk naskah yang beredar secara umum baru diketahui dari Koropak 420. Oleh para peneliti kemudian dinamakan Kosmologi Sunda. Di dalam Pengantar Buku tersebut (2006) dijelaskan, bahwa semula para peneliti mengira ketiga naskah tersebut (kropak 420 dan 421 dan 422) berisi teks yang bertalian dengan ajaran agama Islam, karena dalam katalog naskahnya yang dibuat C.M. Pleyte awal abad 20 naskah koropak 420 berisi ajaran Sunan Gu nung Jati (lesjes Soenan Goenoeng Djati), adalah tokoh pe nyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tatar Sunda yang dipandang sebagai salah seorang wali dan Walisanga di Pulau Jawa. Namun, ternyata teks naskah koropak 420 tidak berisi tentang ajaran agama islam, melainkan uraian Kosmo logis Sunda Buhun.

Di dalam teks itu disebut Gunung Jati satu Kali, namun mak nanya menunjuk pada suatu tempat dalam sistem Kosmologi Sunda Pra Islam, dan tidak bertalian dengan nama tokoh Isla mi yakni Sunan Gunung Jati. Menurut para peneliti naskah, naskah dimaksud tidak perlu diragukan lagi kesahihannya, mengigat ditemukan di Kawali yang pernah menjadi ibu kota Sunda–Galuh pada abad 14–15 M. Pada masa itu pula Islam sudah mulai masuk kedaerah Galuh, bahkan Haji Purwagaluh berasal dari sini. Setelah Pakuan di bumi hanguskan oleh pa sukan Banten banyak para pembesar Pajajaran dan masyara kat Sunda yang masih “tuhu ka Pajajaran” mengung si ke Kawali. Demikian pula pemberi naskah dan penyimpan nas kah ini, yakni Bupati Galuh, R.A. Kusumadiningrat, adalah trah raja Sunda Pajajaran yang bertanggung jawab menyim pan benda-benda pusaka peninggalan Pajajaran. Inilah seja rah ditemukannya naskah Kosmologi Sunda.

Di dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi Kamis 2 Juni 2005, Edi S.Ekadjati menguraikan Kosmologi Sunda dan menghubungkan naskah Kosmologi Sunda (kropak 420) de ngan naskah Jatiraga (kropak 422). Menurut penjelasannya, berkaitan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan si fat kehidupan di bumi sakala. Sedangkan dalam Koropak 422 di kemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan menempatkan buana jati niskala diderajat yang paling tinggi. Dengan demikian, rasa nya kurang lengkap jika membaca naskah Kosmologi Sunda tanpa membaca Jatiraga.

Naskah-naskah yang berhubungan dengan Kosmologi Sunda, selain bersumber dari kedua naskah diatas, dapat ditemukan dari naskah lain. Naskah-naskah dimaksud, antara lain :
(1) Sewakadarma (dibuat tanpa tahun penulisan, namun menyebutkan naskah Jatiniskala) ;
(2) Serat Dewabuda (ditulis tahun 1435 dan tidak menye butkan naskah lain) ;
(3) Jatiniskala (ditulis tanpa tahun dan tidak menyebut nas kah lainnya) ;
(4) Kawih Paningkes (ditulis tanpa tahun, tidak menyebut naskah lain) ;
(5) Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesyan (ditulis pada tah un 1518, antara lain menyebut Sang Sewakadarma, nas kah ini lebih muda dari nakah Sewakadarma) ;
(6) Carita Parahyangan.(ditulis tahun 1580, antara lain me nyebutkan Sanghyang Siksa, naskah ini lebih muda dari naskah Sanghyang Siksa) ;
(7) Carita Purnawijaya, Kropak 413 dan 423. Kedua manus krip daun lontar ini dianggarkan berasal dari abad ke-17 Masehi dan disimpan diperpustakaan nasional.

Naskah-naskah diatas menjelaskan tentang perjalanan atma atau jiwa manusia yang telah lepas dari jasad (kurungan) atau mengenai kaleupasan-kalepasan, moksa. Naskah-naskah dimaksud membagai dua bagian pembahasannya, yakni per siapan ketika jiwa menghadapi maut dan peralihan jiwa kedu nia gaib, serta perjalanan jiwa sesudah meninggalkan jasad. Sedangkan naskah PURNAWIJAYA menjelaskan tentang alam naraka. Memang naskah seperti SEWAKADARMA menunjuk kan ada pengaruh aliran Trantayana yang berkembang di tatar Sunda waktu itu, menampilkan campuran aliran Siwa dhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa de ngan nama agama Buda Mahayana, bahkan penulis menemu kan kitab ini masih digunakan saudara-saudara kita di Bali. Namun unsur agama Pribumi (Sunda) sudah diguna kan, seperti nampak adanya istilah Hyang yang dibedakan dari istilah dewa.

NASKAH KAWIH PANINGKES atau Panikis memperlihatkan te lah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumanang gay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun, bahkan pada masa disusun nya naskah Kawih Paningkes, ageman Sunda Buhun sudah mendominasi ajaran-ajaran tersebut, seperti nampak dalam istilah, sebagai berikut :
Cuplikan dari 10 pembaktian ini secara lengkap, sebagai berikut :
Etika ini berhubungan pula dengan isi naskah selanjutnya, tentang kewajiban dan strata manusia dan para dewa, semua harus berbakti kepada Batara Niskala sebagai Yang Hak dan Yang Wujud, sebagaimana yang telah ditentukan sejak pengu asa alam menyempurnakan mayapada.
Isi naskah dimaksud sebagai berikut :
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Ba tara di dunia agar teguh menjadi "Permata di dalam sangkar", untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tun duk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.
Menurut buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Ja wa Barat (1983-1984) disebutkan: Dewa-dewa seperti Brah mana, Wisnu, Iswara, Siswa dan lain-lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala. Dialah penguasa alam, nu ngretakeun bumi niskala (yang mengatur dunia gaib). Jika saja disebut kan ada pengaruh agama Hindu didalam keyakinan urang Sunda, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa akhli, ada baiknya jika meninjau pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905). Keduanya menjelaskan, bahwa aga ma Hindu pada masa itu hanya berlaku (dianut) oleh lingku ngan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat keba nyakan, atau masyarakat Sunda buhun, tetap setia menganut agama ajaran leluhurnya. Hanya saja pada masa Pajajaran ra ja dan rakyat sudah berpadu, ngegem ajaran Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, yang diistilahkan Purbatisti-Purbajati. Tak he ran jika Pajajaran sangat membekas didalam paradigma ma syarakat Sunda sampai sekarang, dibandingkan dengan kera jaan lainnya.
JAGAT RAYA
Menurut Edi S. Ekadjati didalam Islam jagat raya terdiri dari lima alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam bar zah, dan alam akhirat. Didalam Islam alam roh dan alam ra him yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir kedunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam ga ib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami ke matian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menen tukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat. Kosmo logi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehi dupan manusia (dan makhluk lainnya).
Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), membagi ja-gat raya menjadi 3, yaitu :
1. SAKALA :
Dunia nyata dihuni oleh berbagai mahluk yang memiliki jas mani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuh an, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam.
2. NISKALA :
Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari,ruh-ruh netral atau syanu, BAYU (KEKUATAN), SABDA (SUARA) dan HE-DAP (ITIKAD). Semua memiliki tugas dineraka maupun di sorga. Apabila ruh netral bergabung dengan bayu, sabda dan hedap, maka gabungannya disebut sukma yang disebut syaku. Sukma yang terbuang kesasakala akan bergabung dengan anasir anasir fisikal sehingga ada yang menjelma menjadi ma nusia, hewan atau tumbuhan.
Hal ini menggambarkan bahwa sukma itu terpenjara oleh ja sad. Penjelmaan yang paling sempurna adalah manusia, oleh karena itu manusia harus berbuat baik agar dapat kembali ke kodrat sejati dikahiyangan atau disebut juga mencapai mok sa (tilem). Jika manusia terbawa angkara murka maka akan kembali kealam niskala sebagai penghuni neraka. Namun ji ka menurut aturan para dewa penjaga neraka mendapat keri nganan maka harus reinkarnasi kealam sakala.
Makhluk-makhluk tak berjasad tersebut diantaranya dewa-dewi dalam panteon Hindu dan Budha serta panteon Sunda Buhun. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam naskah PANI KIS, yang memperlihatkan telah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun.
Naskah Kosmologi Sunda menyebutkan, para panteon ini, seperti :
Pwah Batari Dewi Sri adalah penguasa alam tertinggi di Kahiyangan didampingi oleh Pwah Lekawati. Pwah Wiru Mananggay didampingi Danghyang Trusnawati, pen jaga bangunan suci Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra si Jatri Palasari di Gunung Jati yang disebut puncak angkasa. Sedangkan Sanghiyang Sri sebagai penjaga alam Kasorga an’.
Hal ini disebutkan pula didalam NASKAH SEWAKADARMA yang disusun oleh seorang pertapa perempuan, bernama BUYUT NI DAWIT, yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana Gunung Kumbang, diperkirakan di susun sebelum dibuatnya naskah Sanghyang Kandang Kare-syan (1518 M). Menurut Ayatrohaedi (2003) dalam tulisan Nganjang Kaka lenggangan, menyebutkan, bahwa :
  • Diatas Kahyangan kelima Dewata (Isora, Brahma, Maha dewa, Wisnu,Siwa) terdapat kahyangan Sari Dewata dengan Ni Dang Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang pada saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun karena ikrarnya itu karena kesedihan karenanya dia tidak dapat menempati surga tertinggi. Setingkat diatas kahiyangan Nuwati, terletak Kahyangan Bungawari, disitulah tempat tinggal Pwah Sanghyang Sri (Dewi Pa di), Pwah Naga Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewa Bulan). Disitulah batas kehidupan Surgawi.
Namun suatu hal yang perlu dipahami pula, bahwa yang di maksud kasorgaan ini bukanlah alam tertinggi (Kahyangan), melainkan alam NISKALA.
3. JATINISKALA
Alam Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal, dinamakan pula Sang Hyang Manon, atau Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijujatinistemen, pen cipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia berada dalam Dzat nya.
Alam Jatiniskala bukanlah alam kasorgaan sebagaimana yang disebutkan dalam naskah KOSMOLOGI SUNDA, atau alam Surgawi sebagaimana disebutkan dalam naskah SEWAKADARMA, dan batas kehidupan Surgawi bukan batas akhir dari jagat raya, karena bagi sang Atma yang mendapat gemblengan Sewakadarma tidak hanya berhenti sampai dibatas sorga, me lainkan mampu memasuki bumi kancana, karena disitulah terletak Jatiniskala, tempat kegaiban yang sejati, keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Disitulah tempat ke abadian, telah lepas melampaui semua kehidupan dan peng huni alam sakala dan niskala.
Urang Sunda Buhun sangat tegas membedakan antara Surga tempat bermukim para dewa dan Kahyangan tempat kebera daannya Hyang, sebagaimana yang ditulis didalam Sang-hyang Kandang Karesyan, masuk surga disebutnya munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa.
Naskah ini menuliskan, :
“...... Inilah keinginan manusia ...... ; yun munggah ada lah ingin surga, tidak mau menemui dunia, dan yun lu put adalah ingin mencapai moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah keinginan manu sia”. (.... Ini kahayang janma ...; yun munggah ma nga ranna hayang sorga, mumul munggah mumul mang gihkon bwana; yang luput ngaranna hayang mokta; mumul kabawa ku para sarga. Na mana sakitu kaha yang janma saenyana). (Ayatrohaedi, 2003).
Alam Jatniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, ke nyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati ba hagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, moksa lepas tanpa menge nal ulangan hidup.
Keterangan dari naskah Sewaka Darma diatas tidak jauh ber beda dengan keterangan dari naskah Sanghiyang Siksa Kan dang Karesiyan, terutama kaitannya dengan keinginan manu sia untuk memasuki niskala, yakni :
“Jika meninggal sukmanya akan menemui kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan , senang tanpa menderita, indah tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa, Itulah yang disebut parama lenyep (kesadaran utama)”.
TUTUR TINULAR
Susunan Jagat raya didalam Keyakinan Masyarakat Baduy tidak terlepas dari kisah perjalanan manusia melalui tiga bua na (alam), yakni : buana handap atau panca tengah, buana rarang dan berakhir dibuana ruhur (buana atas). Istilah bua na menunjukan ruang kehidupan sangat luas yang harus dila lui setiap manusia. Manusia dilahirkan kebuana panca tengah untuk mengembara (ngumbara), apakah akan menemukan kesenangan, bahagia atau sengsara dikelak kemudian hari.
Masyarakat Baduy menyebut juga dunia panca tengah deng an istilah sorga jeung naraka (surga dan neraka) lahir (Garna : 1988). Buana handap merupakan bagian dari buana ruhur dan buana rarang, termasuk tempat kehidupan makhluk dan tanaman.
Pandangan masyarakat Baduy merujuk kedalam pandangan terpusat, sehingga mengangap dunia terbagi dua bagian, yak ni masyarakat Baduy sebagai masyarakat sakral yang diberi tugas untuk mengelola Sasaka, serta masyarakat luar Baduy, sebagai masyarakat yang profan (tidak sakral, kudus atau tidak berhubungan dengan agama) mengelola nagara telung puluh telu, pancasalawe nagara.
Keyakinan ini nampak pula dalam ungkapan :
Satangkubeun langit
Langit nu nuruban
Satangkarak ning lemah
Dunya nu nangkarak Menelungkupnya langit
Langit yang menutupi
Membentangnya tanah
Dunia yang membentang
Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran Kahyang an terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :
(1) Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya Sang- Hyang keresa.
(2) Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
(3) Buana Larang atau neraka.

Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia. Tingkatan alam tersebut sebagai berikut:
1. Bumi Suci alam Padang.
2. Sang Hyang burung ribut.
3. Sang Hyang Sorong Kancana
4. Bumi cengcerengan.
5. Bumi Putih.
6. Bumi Hawuk.
7. Bumi koneng.
8. Bumi Hejo.
9. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek se ah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patap an Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul
DALAM TRADISI PERPANTUN BOGOR
Didalam tradisi para prepantun Bogor mengenal adanya pro ses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka ;
2. Mandala Parmana ;
3. Mandala Karna ;
4. Mandala Rasa ;
5. Mandala Seba ;
6. Mandala Suda ;
7. Jati Mandala ;
8. Mandala Samar ;
9. Mandala Agung.
Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah terma suk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (le luhur) yang sudah dapat turun kebumi serta menitis.
Tahapan Mandala ini dikisahkan, sebagai berikut :
  • Ari Panjangnya Jaman. Nurutkeun tahapan Mandala; jeung ti hiji mandala deui anggangna teh hanteu saruwa ... !. Kabehna Mandala saloba salapan !
  • Nahap Ngundak ti handap anu disebut Mandala Kasung ka. Laju nahap di Mandala Parmana. Laju nahap di Man dala Karna; Laju di Mandala Rasa .. unggah di Mandala Seba; unggah deui di Mandala Suda ... !
  • Dimandala Suda kumpul karuhun-karuhun anu meu nang pulang anting ka jagat ieu; di lebah perelu .... meu nang ngarupa cara manusa. Tapi ngan nyawarakeuna rasa manusa ........ ! atawa nyawara tanpa rupa !.
  • Anggeus Mandala Suda, laju: Mandala anu nahap kana alam kasucian; nyaeta anu disebut Mandala Padumu kan para Karuhun dina ngaran: Jati Mandala .... ! lain Mandala Jati .... tapi Jati Mandala ..... ! Nya didinya ayana Paseban Pangauban paranti kumpul para Karuhun anu geus diwenangkeun bisa turun deui ngalongok manusa ieu jagat bari ngarupa jeung nyawara. Nya tonggoheun eta paseban ayana: Papanggungan Bale Agung. Paranti Karuhun narang gowan giliran mudu Nitis ....!
  • Saruhureun Jati Mandala, nyaeta Mandala Samar tea ........ ! Tonggoheun enggon Karuhun aya tilu enggon anu sajajar. Nu ditengah: paranti Sanghiyang Guru ...... Hi yang Tunggal anu disebut Sanghiyang Guriang Tunggal. Anu dikenca paranti Sanghiyang Wenang. Enggon anu beulah katuhu paranti Sanghiyang Wening. Tonggo heun enggon tengah aya deui enggon paranti Sanghi yang Kala, nya Dewa nya Batara ..... !
  • Saruhureun eta kabeh Mandala tadi, aya deui Mandala anu ti Mandala samar bae, anggangna teh: Duwa Puluh Salapan Jaman Satengah .... ! nya eta Mandala anu dise but Mandala Agung tea ... ! nya di Dinya ayana: Sanghi yang Tunggal ... anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sa kabeh Jagat.
  • Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh manusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Pancatengah, maka sukma harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma dahulu turunnya da ri Kahyangan baik maka kembalinyapun harus baik pula, na mun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu berada di Buana Panca tengah.
Teks buhun umumnya mengabarkan cita-cita urang sunda bu hun jika meninggalkan alam dunya yakni balik ka Hyang lain ka Dewa. Namun yang menentukan tempat seseorang sesu- dah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatan selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran agama, maka akan kembali lagi kealam dunia dalam wujud yang lebih rendah derajatnya atau masuk kedalam siksa neraka. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik maka rohnya akan naik menuju alam nis kala yang menyenangkan (surga).
Alam ini diuraikan dalam Naskah Sewakadarma sebagaima na yang dijelaskan Ayatro haedi, intinya menguraikan persia pan menghadapi maut dengan cara yang indah serta bagaima na jiwa setelah meninggalkan raganya (kaleupasan).
Tentang bagaimana masa depan setelah mati ?, dalam hal ini Abdul Rojak didalam bukunya menjelaskan, bahwa dalam ke yakinan penganut Sunda Wiwitan, seperti Aliran Kepercaya an Perjalanan, sangat tabu untuk menjelaskannya, ‘Pamali, ulah Nganjang Kapageto’, karena hari esok adalah rahasia Tu han. Sedangkan menurut Masyarakat Baduy, masa depan ada lah : ‘itu adalah urusan Tuhan’.
Masyarakat Baduy berkeyakinan, Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh ma nusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupan nya di Buana Pancatengah, maka sukmanya harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma turunnya dari Kahyangan baik maka kembalinya pun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatannya sewaktu berada di Buana Pancatengah. Keenganan untuk menjelaskan alam pageto dimaksud bukan berarti ketiadaan konsepsi, karena beberapa tuntutan perilaku yang mereka ya kini kebenarannya menjelaskan pula tentang adanya neraka bagi atma yang ketika hidup didunia tidak mengindahkan tun tunan moral.
PENCIPTAAN BUMI
Didalam sejarah Baduy dijelaskan, pada mulanya atau bumi terbentuk dari yang ngenclong, suatu materi yang kental dan bening, lama kelamaan menjadi keras dan besar, dan ini ada lah awal mula dari bagian bumi. Yang disebut Sasaka Buana atau Padaageung. Titik mula adalah tonggak kabuyutan yang mengandung arti, itulah pusat dunia, awal dari kehidupan makhluk. Untuk memberikan kehidupan, kemudian Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara kedunia, dua Batara ditu runkan di Sasaka Buana dan Lima Batara mendirikan nagara telung puluh telu, panca salawe nagara, atau negara diluar Kanekes (Garna : 1988).
Proses pembentukan Bumi secara terperinci dijelaskan da lam Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Buku ini menjelaskan, bahwa pada awalnya bumi me nyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta ta hun kemudian asap gelap diseluruh muka bumi secara ber angsur-angsur dan terus menerus-menerus seluruhnya meng hilang. Bumi menjadi dingin. Walaupun demikian belum ada makhluk hidup. Kemudian permukaan bumi ini menjadi gu nung-gunung dan lautan.
Beberapa juta tahun kemudian muncullah tumbuh-tumbuh an kecil, lalu mucul makhluk hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup dilautan seperti ikan dan sejenisnya. Sete lah itu beberapa juta tahun kemudian muncul berjenis-jenis tumbuhan dan sementara itu muncul makhluk hewan raksa sa yang beraneka macam jenisnya; kemudian bermacam-ma cam makhluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti ba bi, kuda dan sejenisnya. Lalu berjuta-juta tahun kemudian muncullah makhluk hidup berwujud manusia tingkatan ren dah dan sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu-ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh manusia. Lama setelah itu muncul makhluk yang serupa manusia, lalu tingkat rendah dan akhirnya muncullah jenis makhluk yang sempurna.
Uraian tentang sejarah terciptannya bumi diatas ditemukan didalam naskah Pusta Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada parwa I sarga I, ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dan ka wan-kawan di Cirebon pada tahun 1677 Masehi (Rintisan Pe nelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, 1983–1984). Ada pun naskah dan bahasa aslinya, sebagai berikut :

Witan sargakala niking bhumitala. Bhumitala pinakgni dumi lah mwang uswa. Prayuta warca tumuli kukus petengrat bh umi tala canaih-canaih dhumana-rawata sirna. Bhumi ma hatis. Ya dastun mangkana tatan hana janggama. Ateher bhu manda la nikang dadi prawata lawan sagara.
 Prayuta warca tumuli dadi ta sthawarahalit, ateher dadi jang gama prakara satwa ; ateher satwekeng haneng sagara maka di mina mwang sarwwa mina. Rihuwus ika prayuta warca tumuli shatware kang nanawidha mwangring samang kana dadi ta janggama satwa raksa nung nanawidha prakara nya ; Ateher sarwwa jang gama satwa inuturun mwang satwa lenya waneh kadi waraha, turangga mwang lenya manih.
Ateher prayuta warca tumuluy dadi ta janggama manusa dharma lawan tatan purnna. Hana pwa purwwa janma purusa satwa, ateher lawas ira mewu iwu warca manih akrti saparwa satwa sa saparwa manusa. Lawas ri huwus ika dadi ta puru sakara, ateher manusadhhar ma mwang wekasan dadi ta purusa purnna.
Abdul Rozak (2005) didalam Buku Teologi Kebatinan Sunda memaparkan, bahwa sejarah bumi menurut penganut Aliran Kebathinan Perjalanan, berkaitan dengan kondisi dan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia, secara kodrati, dicipta kan untuk mengolah dan menjadikan dunia beserta isinya agar dapat di manfaatkan maksimal. Sebelum ada manu sia terlebih dahulu Tuhan menciptakan sarana dan prasarana bagi terselenggaranya nilai mulia manusia dari makhluk lain nya. Dengan demikian manusia diharapkan mampu mengo lah dan memanfaatkan dunia beserta isinya secara baik dan sempurna.

Tahap-tahap proses penciptaan makhluk di bumi, pertama berupa rasa panas, sebagai makhluk non fisik atau abstrak, tidak kasat mata namun dapat dirasakan. Panas kemudian mengkristal menjadi bahan bakar dunia, yakni api. Kemudian mengkristal dan membesar membentuk matahari.

Kedua, Matahari sebagai sumber selalu memancarkan rasa panas, namun terdapat sisi alam lainnya yang tak terjangkau, sehingga menimbulkan rasa dingin. Rasa dingin adalah makh luk kedua. Rasa dingin memiliki kemampuan untuk membe kukan semua benda yang terkena dayanya, kemudian meng kristal menjadi sumber bahan pendingin, yaitu air.

Ketiga, makhluk yang diciptakan Tuhan adalah angin, terjadi karena daya tarik menarik antara hawa panas dan hawa dingin, atau kondisi alam yang di timbulkan oleh daya saling mempengaruhi antara matahari dan air.

Keempat, makhluk yang diciptakan Tuhan adalah Bumi, seba gai perpaduan antara panas matahari dengan semilirnya angin, kemudian terjadi penguapan. Dari penguapan timbul rasa tetap, mengkristal menjadi bumi. Dari hukum Tuhan di atas, maka uap yang sangat ringan ini berterbangan di udara. Terbangnya uap di udara juga akbat hembusan angin. Uap tersebut tertahan oleh daratan yang lebih tinggi atau gunung gunung. Sementara gunung yang diciptakan Tuhan bersuhu sangat dingin dan menyebabkan uap mengkristal, berubah kembali menjadi butiran air hujan. Hujan menjadikan bumi menjadi subur. Dari adanya hujan yang berpadu dengan rasa panas menciptakan iklim, ditunjang dengan semilir angin muncullah tumbuhan, kemudian binatang. Selanjutnya mun cul manusia, sebagai ciptaan yang terakhir dan sempurna, yang di rencanakan Tuhan untuk menjadikan wakilnya da lam mengatur dunia sesuai dengan hukum Cakra Manggili ngan. Rangkaian penciptaan makhluk Tuhan memberikan pe ngert an, bahwa kehidupan manusia merupakan perpaduan harmo nis dan tak terpisahkan dari beberapa unsur saripati api, air, dingin dan bumi. Konsep tersebut di dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan dibahas dalam Panca Wuku. Jakob Sumardjo (2004) membahas dalam uraian tentang Mandala.

KONSEP NERAKA
 Dari ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bah wa segala perilaku kehidupan manusia harus dapat diper-tanggung jawabkan secara lahiriah maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhir at nanti. Mereka meyakini apa yang di lakukan baik buruk nya akan kembali pada dirinya, dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nu nyidikeun Allah anu nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Dalam hal ini mentaati Pikukuh dan Pitu tur karena merupakan pedoman yang sangat penting, disam ping kemampuan menjaga moral dan etika hidup.

Tentang perhitungan dihari akhir pada dasarnya diyakini di dalam setiap agama. Karena keyakinan akan adanya perhitu ngan dihari akhir akan membawa dan mampu mengendali kan perbuatan manusia kearah yang benar. Sekalipun dalam perkembangannya, sebagaimana yang dianut oleh banyak ka um sufi, kesadaran untuk mentaati segala perintah yang ber sifat ilahiyah dan menjauhi larangan-larangannya semata-ma ta karena kesadaran dan kecintaannya terhadap Sang Pencip ta, bukan karena takut terhadap neraka. Kecintaan terhadap Sang pencipta harus bisa mengalahkan rasa takut terhadap neraka, mengingat neraka adalah ciptaan (makhluk) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Penggambaran neraka didalam tradisi Sunda Buhun sudah di tuliskan pada dua manuskrip daun palem yang ditulis deng an aksara Sunda Kuna. Naskah tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau Perpustaka an Nasional; kropak 413 dan kropak 423. Kedua naskah diperkirakan berasal dari abad ke-17 Masehi.

Pleyte menyebutkan bahwa naskah yang tertua, yaitu kropak 413 ditulis oleh salah seorang siswa KYAI RAGA, ketua kabu yutan Kyai Raga terletak di lereng gunung Sri Manganti atau sekarang disebut dengan nama Cikuray, sebelah timur wila yah kebudayaan Sunda (tuntung Sunda). Naskah dimaksud mengisahkan perjalanan Purnawijaya, ke neraka. Purnawija ya diajarkan oleh sang Dewa Utama mengenai akibat dari perbuatan jahat. Purnawijaya diajak untuk datang ke neraka dan melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Dida lam perjalanannya Purnawijaya bertanya kepada Yamadipa ti, penjaga neraka tentang cara mengakhiri penyiksaan ini. Yamadipati menjelaskan bahwa keberadaan mereka para peng huni neraka karena perbuatan buruk mereka ketika hi dup, serta mereka bisa reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya.

Carita Purnawijaya merupakan sebuah gubahan teks Jawa Kuna yang berjudulkan Kuñjarakarna. Naskah ini mengisahkan seorang yaksa (sejenis raksasa) yang bertapa karena ingin menebus dosanya. Kisah didalam versi Sunda Kuna ini ber beda secara signifikan dari cerita Jawa Kuna. Versi Jawa Kuna terdiri dari dua bagian dan merupakan sebuah cerita yang bernafaskan agama Budha, karakter Budhis pada versi Sunda sudah hilang sama sekali. Dan hanya terdiri dari satu bagian saja. Cerita Kuñjarakarna (jawa) dibagi dua bagian, antara lain perjalanan Kuñjarakarna ke neraka.

Kuñjarakarna bertapa dan mendapatkan berkah dari Wairo cana atau sang Budha untuk bisa melihat neraka. Pertama-ta ma disuruhnya pergi ke neraka Yama untuk melihat langsung siksaan yang dialami orang-orang durhaka, dan menanyakan sebab musabab penderitaan lima lapis (pancagati). Disana melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa dan direbus didalam sebuah ketel besar. Kemudian melihat se buah ketel baru yang sedang disiapkan, ternyata ketel ini di peruntuk kan bagi Purnawijaya, sahabat karib Kuñjarakarna yang akan meninggal dalam waktu beberapa hari. Kuñjarakarna terke jut dan meminta kepada sang Buda, apakah bisa memperi ngatkan kawannya. Dan sang Buda memperbolehkannya, na mun Purnawijaya tetap tidak boleh menghindari hukuman. Meskipun begitu hukumannya diperpendek, dari 100 tahun menjadi sepuluh hari. Setelah masa berlalu, Purnawijaya di perkenankan kembali kebumi dan kembali kepada istrinya, Kusumagandhawati. Cerita berakhir dengan mengisahkan Kuñjara karna dan Purnawijaya bersama-sama bertapa dan menyucikan diri dengan laku yang amat berat, dilereng Maha meru. Maka setelah 12 tahun atas ijin Sang Raja mereka ber dua mendapatkan jalan kebahagiaan dijagat Yang Maha Tung gal (SIDDHLOKA). Didalam istilah lainnya disebut pula alam JATINISKALA.

Kisah dari naskah Sunda Kuna memiliki hubungan erat dengan teks Jawa Kuna Kuñjarakarna. Hal ini bukan suatu yang kebetulan. Naskah tertua Kuñjarakarna yang memuat teks Jawa, sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden sebagai Naskah Leiden Or 2266 diperkirakan oleh para pakar berasal dari Jawa Barat. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa teks Sunda ini berdasarkan teks Jawa Kuna. Pada beberapa fragmen, teks Sunda sangat mirip dengan teks Jawa, bahkan pada tingkat kata-katanya.

Contoh isi dari naskah dimaksud, se bagai berikut :
Setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuat an), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta. Orang-orang tua didaerah masih banyak yang menasehati anak-anaknya agar memiliki ucap, lampah dan te kad dalam kehidupan. Hal ini tentunya berasal dari istilah ke seimbangan bayu, sabda dan hedap. Manusia hendaknya mampu menyeimbangkan bayu, sabda, dan hedapnya masing masing melalui berbagai pengabdian lahir dan batin, agar kelak bisa kembali kealam Jatiniskala, alam keabadian sejati, yakni :
  • alam Suka tanpa balik duka wareg tanpa balik lapar hurip tanpa balik pati sorga tanpa balik papa hayu tan pa balik halano han tanpa balik wogan moksa tanpa ba lik wulan.
Kitu tah ceuk buku, ceuk kolot jeung ceuk naon nu ka pang gih kukuring. Pamugi aya nu ngaguar deui. Tabe (asp).

manggihkeun bumi patala, si dona désa ma (?), murub muncar pakatonan, dipareuman hanteu meunang, dora na leuwih sadeupa, jalanna sadeupa sisih, jalan kaku rung ku lembur, lembur kakuning ku jalan, pantona kowari beusi, di peun deut an ku tambaga, dilorongan ku salaka, kuncina heun teung homas, ... dikamrata ku tahina, tahi lembu kanéjaan ..... di tatanggaan maléla. Ditanjuran ku handong bang, katomas deung panéjaan, wa duri kembang jayanti, sekar siratu bancana, eukeur meujeuh branang siang, dihauran kembang ura, dija ... kembang pupo lodi, didupaan ruruhuman, dadi wangi haseup dupa, mrebuk aruhum … jalan kawit i sorgaan.


(Maka sampai di bumi bawah tujuannya adalah sebuah daerah, yang menyala dan berbara. Hal ini sulit dipa damkan. Gerbangnya lebih dari satu depa sedangkan jalannya masing-masing setengah depa dan dilingkari oleh pemukiman. Pemukiman ini melingkari jalan. Pin tunya berpanel besi dan ditutup dengan tembaga serta memiliki laci perak dan kunci emas ... [jalannya] dirata kan dengan tahi, tahi sapi muda dan diberi tangga baja.Ditanami dengan andong merah, katomas dan panéja an, bunga waduri dan bunga jayanti. Selain siratu banca na yang sedang berkembang indah. Selain ditebari pula dengan bunga tabur sepanjang pohon nagasari (?) yang dijadikan harum oleh bermacam-macam parfum. Se hingga menjadi terciumlah harumnya asap dupa ...... permulaan jalan ke sorga).
Makna Kosmologi Sunda yang terkandung didalam naskah maupun lisan intinya menjelaskan, bahwa: konsep kosmologi Sunda bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih dituju kan agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu mencapai kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan buana jatiniskala yang abadi.
Buana ruhur atau buana nyungcung diyakini tempat bersema yamnya Batara Tunggal, dan Batara Tunggal dapat tinggal di mana saja. Buana nyungcung dianggap tempat kembalinya roh manusia dan tempat tinggal yang abadi. Sedangkan bua na rarang tidak harus diketahui semua orang, kecuali orang yang bertugas dan menguburkan mayat, karena pada saat ke matian itulah disebut-sebut tentang eksistensi ambu dan ka ambuan.
Konsep Jatiniskala mungkin pula berbeda dengan ageman agama lain. Hal ini perlu ditelusuri perbedaannya, sangkan “ulah sasar hirup.”
baruk da sang wiku amun ka dewata leungit kawikwa na na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilangna kapan ditaan ja kassakeun katineung sarwa dingan trisna-trisna ba la swarangan. (katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata, hi lang lah kewikuannya. Jika pendeta bersemedi (me muja) de wata, hilanglah kependetaannya, karena per hatian dan kecintaannya tergeser oleh (kelakuannya) sendiri).
 “....... mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewa dan dewa tunduk kepada hiyang”. Naskah ini menempatkan Hiyang (keyakinan Sunda Buhun) ditempat yang paling tinggi dan diatas dewa.
Strata pembaktian menunjukan kondisi sosial urang Sunda yang memang sangat religius, tidak memisahkan kehidupan bermasyarakat, bernegara dengan keyakinannya. Dasa per bakti menunjukkan adanya tertib sosial dan keagamaan, atau tertib hidup dalam urusan masyarakat, mencakup masalah pribadi dan keluarga; profesional; spiritual. Pengaturan etika hidup masyarakat, atau keluarga sebagaimana nampak dari pembaktian anak; istri; dan suami. Pembaktian bagi kaum profesi nampak pada siswa; guru; petani; wado; mantri; nang ganan; mangkubumi; dan raja. Sedangkan didalam masalah spiritual menempatkan Hyang dipuncak perbaktian, bahkan raja dan dewapun tunduk pada Hyang.

Senin, 11 April 2011

Uga

Uga dikalangan masyarakat tradisional Sunda dipahami sebagai ramalan atau petuah dari leluhur, menyangkut kondisi sosial politik dan sosok pemimpin yang diharapkan. Uga termasuk tradisi lisan masyarakat Sunda yang disampaikan secara lisan, menggunakan bahasa siloka, atau simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Pencetus Uga adakalanya anonim, namun diyakini bersumber dari karuhun yang dianggap memiliki kelebihan, terutama dalam masalah spiritualitasnya. Contoh Uga :

Daréngékeun !
Jaman bakal ganti deui. Tapi engké, lamun Gunung Gedé ang eus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajaja gat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Ha dé deui sakabéhanana. Sana gara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.Tapi ratu saha ? Ti mana asal na éta ratu ? Engké ogé dia nyaraho. Ayeu na mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang! Dengarkan ! (jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab  berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asal nya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang!
Uga tersebut diyakini berasal dari Prabu Siliwangi. Saat ini bukan lagi merupakan rahasia, karena beredar di dunia maya dan maka banyak di perbincangkan di kalangan peminat mistis. Di sebutkan sebagai amanat dari Prabu Siliwangi sebelum ngahiyang (tilem), ditujukan kepada rakyatnya yang ikut mundur diserang musuh. Jika ditelaah lebih lanjut, terutama masalah waktu dikeluarkannya, memang membuahkan pertanyaan, karena jika yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga, maka Pajajaran sedang berada di puncak keemasan, sedangkan kekalahan Pajajaran masih berselang sekitar lima raja lagi, kecuali jika raja Pajajaran terakhir, yakni Ragamulya Suryakancana dianggap Prabu Siliwangi.

Uga lahir dan berkembang di masyarakat agraris tradisional. Saat ini hanya terbatas dikalangan orang-orang tua peminat masalah mistis-spiritual, atau dijadikan acuan bagi para politikus tradisional sebagai sumber informasi. Dalam tradisi masyarakat jawa tradisional dikenal juga ramalan Jayabaya, atau lajim dikenal Pralambang Jayabaya. Selain itu ada juga Ramalan Sabda Palon Naya genggong, intinya semacam ramalan dan ajaran yang disampai kan Sabda Palon kepada Brawijaya, raja Majapahit terakhir. Uga dan Pralambang Jayabaya sangat dibutuhkan ketika negara akan menghadapi perubahan kepemimpinan, disangkutkan dengan so sok pemimpin yang diharapkan dan ideal sesuai persepsinya, seperti masalah ratu adil, satria piningit (calon pemimpin) maupun kondisi sosial politiknya.

Contoh Uga
Uga diungkapkan dalam bentuk siloka atau simbol-simbol, dan menekankan pada unsur waktu peristiwa yang akan terjadi, seperti dalam istilah : Geus nepi kana ugana (sudah sampai pada uganya, atau sudah tiba waktunya sesuai yang diramalkan uga). Kata-kata tersebut menekankan tentang waktu ramalan itu akan terbukti. Seperti contoh dari Uga Prabu Siliwangi,: Tapi engké, la mun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung (tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung), menunjukan waktu ramalan uga akan tiba jika Gunung Gede meletus dan tujuh gunung lainnya, namun waktu meletusnya be lum pasti.

Di tatar pasundan lebih dari empat Uga yang diyakini kebera daannya, seperti :

Uga Kawasen
mengungkapkan, : ari nu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu jolna ti Gunung Surandil, bandera na karakas Cau (yang bakal menjadi ratu/raja atau pemimin negara, berbaju rombeng, menggunakan topi tempurung, yang datang dari Gunung Surandil [mungkin gunung serandil ?] berbendera daun pisang).

Uga Galunggung
menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung).

Uga Bandung
menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kembali lagi).

Uga Prabu Siliwinangi
mengungkapkan : Daréngékeun ! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé ang geus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. (Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati).

Uga Priangan
isinya menyangkut tentang ramalan akan adanya perubakan kondisi politik, dilengkapi dengan tanda-tandanya.
 
Menafsirkan Uga
Uga bisa ditafsirkan secara verbal dan kontekstual. Penafsiran verbal menitik beratkan kepada soal bahasa, pembendaharaan kata, tata bahasa, dan terjemahan yang tepat, sedangkan penafsiran konstekstual merupakan upaya untuk memahami arti ungkapan dengan melihat situasi di mana dan kapan ramalan ini ada, tentunya melalui cara memahami data histori di mana dan ada kondisi yang bagaimana ketika uga itu di buat (Nina H. Lubis : 2006).

Contoh dalam menafsirkan bagian akhir Uga Wangsit (wasiat) Prabu Siliwangi, seperti pada kalimat, sebagai berikut :

jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi se luruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang !

Dari kalimat jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi selu ruh bumi, mengandung siloka dan ramalan, bahwa : akan ada perubahan kondisi atau keadaan. Sedangkan Gunung Gede meletus. Ribut lagi seluruh bumi, dapat ditafsirkan akan muncul suasana yang mencemaskan, membuat masyarakat panik, bisa karena peristiwa alam, seperti bencana alam atau munculnya huru hara yang ditimbulkan oleh manusia, atau akibat dari kebijakan penguasa yang menimbulkan ketidak senangan rakyat dan memicu kerusuhan sosial. Dalam paradigma masyarakat Jawa tradisional disebut goro-goro.

Kesejarahan dari kondisi sebagaimana yang diramalkan di atas bukan hanya koridor dunia mistis-spiritual, melainkan suatu hal yang realistis jika menggunakan teori dialektikanya Hegel, di mana thesa (kondisi yang telah mapan) akan selalu berhadapan dengan antithesa (kondisi yang menginginkan perubahan) untuk kemudian melahirkan sintesa (kondisi baru). Dalam hal ini. Perlu ada kemampuan dan pengetahuan untuk mengetahui siloka-siloka yang terkandung di dalam kata-kata uga tersebut.

Kalimat selanjutnya : “Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali” dapat ditafsirkan, bahwa sehubungan dengan peristiwa diatas (adanya kepanikan, sebagaimana disilokakan dalam kalimat gunung gede meletus), maka orang Sunda akan dimintakan pertolongan (orang sunda dipanggil-panggil), baik untuk bersatu bersama-sama komponen warga bangsa lainnya, maupun karena kemampuannya menyelesaikan persoalan tersebut. Ketika orang Sunda memiliki kemauan untuk bersatu atau tampil sebagai penyelesai persoalan maka di tafsirkan sebagai sudah “memaafkan”, karena mungkin orang Sunda pernah disakiti atau kecewa. Jika hal ini terjadi “maka semua baik lagi dan negara bersatu kembali”.

Siloka dari ramalan ini tidak serta merta berjalan dengan sendirinya, melainkan masih diperlukan unsur kemampuan dan kemauan dari orang Sunda dalam menyelesaikan persoalan, seperti dari kalimat “Orang Sunda memaafkan” menunjukan pada sifatnya yang harus ada kemauan dari orang Sunda untuk memaafkan, sehingga menimbulkan empatinya untuk menyelesaikan kekacauan.

Siloka dari : “Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati”, mengandung makna : negara jaya kembali, sebab akan ada (lahir) ratu adil yang amanah, mengerti kemauan rakyat, pemimpin sejati, sesuai dengan keinginan masyarakat. Timbulnya ratu adil adalah hasil akhir dari tuntutan rakyat (sintesa). Tuntutan (antitesa) dimaksud berbentuk kerusuhan, unjuk rasa, huru hara yang mencemaskan masyarakat (siloka : Gunung Gede meletus).

Kemudian siloka dari kalimat : “Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung makna, bahwa ratu adil yang dimaksud masih dirahasiakan. Disinilah kemudian banyak ditafsirkan sebagai Satria Piningit seorang calon pemimpin atau Ratu Adil yang benar-benar telah ditempa sehingga mumpuni untuk menjadi pemimpin yang sejati, keberadaannya akan diketahui kemudian.

Selanjutnya dari siloka :” Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung siloka: adanya kewajiban warga sunda untuk mencari pemuda yang mengasuh atau mengayomi masyarakat. Mungkin menunjukan agar tepat memilih pemimpina. Si pemuda tersebut bukan berarti otomatis menjadi ratu adil, melainkan sebagai sarana yang akan menunjukan atau yang akan mengarahkan pene muan ratu adil. Sedangkan perintah dengan kalimat :” ingat jangan menoleh kebelakang”, mengandung siloka, agar tidak melihat ke masa lalu, karena mungkin dimasa lalu ada peristiwa yang menyakitkan, jika diingat-ingat akan menimbulkan dendam atau ketidak nyamanan.

Suatu data yang khas dari Uga ini adalah digambarkannya situasi sosial yang semrawut. Para pemimpin dan kepemimpinan silih berganti. Digambarkan ada keserakahan dari yang berkuasa. Timbulnya kondisi-kondisi yang menyengsarakan dan menakutkan orang Sunda, sehingga diakhir Uga dipesankan tentang akan adanya perubahan. Inilah suatu keniscayaan.

Sebagaimana penulis uraikan diatas, ramalan Uga seperti diatas bukan hanya dapat ditafsirkan melalui kerangka berpikir mistis-spiritual, melainkan dapat juga dutafsirkan berdasarkan koridol yang riil dan rational sesuai dengan keyakinan pemikiran masyarakat modern, bahkan dapat dibuat dan dirumuskan dalam bentuk rencana strategi, dengan menggunakan teori dialektikanya Hegel. Kondisi yang diramalkan dan di silokakan Uga diatas ada lah suatu keniscayaan. Hanya saja, siapa yang berperan aktif di dalam perubahan sosial tersebut. Jika menginginkan tampil sebagai pemimpin, maka perubahan itulah yang dapat menjadi kawah Candra Dimuka bagi sang Satria Piningit.

Contoh lainnya dari Uga Galunggung, menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung). Uga ini menurut hemat penulis mengandung siloka tentang pulung dari Galunggung. Istilah pulung didalan pemahaman orang Sunda sama dengan pungut. Namun nampaknya, sang ideolog atau pencipta uga ini ti dak bertujuan demikian, melainkan memahami istilah pulung seperti yang ada didalam paradigma masyarakat Jawa. Istilah puluh akan didengar ketika menghadapi pemilihan Presiden, atau pemimpin. Puluh dipersepsikan sebagai cahaya putih yang akan menuju kerumah atau kepada calon pemimpin tersebut. Bisa jadi istilah pulung yang dimaksud dalam Uga Galunggung sama deng an yang dimaksud masyarakat Jawa.

Istilah Galunggung tentunya tidak asing lagi bagi masyakat Tasikmalaya. Dalam kesejarahannya merupakan bagian atau pusat dari pemerintahan kerajaan yang bersifat Kabataraan, banyak peninggalan-peninggalan tentang ajaran kebajikan, serta menjadi Kabuyutan Sunda, dikenal sebagai pusat keagamaan. Kerajaan Galungung dimasa lalu berfungsi sebagai negara yang ngabiseka Galuh. Artinya raja-raja Galuh akan syah menjadi raja jika direstui kerajaan Galunggung. Banyak hal yang bisa dibuka dari Siloka Uga Galunggung, baik yang terkait dengan masalah fisik kenega raan, seperti tentang kewajiban mempertahankan Kabuyutan atau mempertahankan negrinya dari penguasaan asing, serta kewaji ban untuk mentaati Purbatisti-purbajati, atau nlai-nilai Kasundaan. Siloka dari Uga Galunggung dapat ditafsir kan : (1) Jika Ki Sunda mengetahui jatidirinya maka akan menemu kan kejayaannya ; (2) Jika Ki Sunda memiliki kebersihan hati dan selalu menjalan keten tuan yang telah digariskan Tuhan maka akan menemukan kejaya annya ; (3) Jika Ki Sunda di ridhoi Tuhan dalam kehidupannya, ma ka akan menemukan kejayaannya.

Uga Bandung menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pun dung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kem bali lagi). Uga ini menyiratkan adanya pihak yang merasa sakit hati sehingga meninggalkan Bandung dan menuju Cikapundung. Padahal Sungai Cikapundung berada di kota Bandung. Siloka ini menyiratkan, bahwa Orang Sunda akan jaya kembali jika orang yang sakit hati dan meninggalkan Bandung (kotanya) kem bali lagi dan mengelola negerinya.

Siloka dari Uga Bandung dapat pula ditafsirkan, bahwa ada pihak yang frustasi atau merajuk (pundung) akibat sesuatu, sehingga lantas menghanyutkan diri dalam kondisi yang ada, sehingga tidak perduli terhadap negerinya. Pihak yang hanyut itu harus di ingatkan dan diobati sakit hatinya, agar dapat bersama-sama mengolah dan memakmuran negeri. Dalam arti sempit da pat ditafsirkan, bahwa orang Bandung sudah tersingkirkan dari kotanya dan hanyut dalam kesemrawutan. Jika Kota Bandung ingin maju pesat, maka harus diurus oleh orang Bandung sendiri. Demikian. Hatur punten bilih aya kalepatan. Tabe Pun !!! (***).

 

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960