Jumat, 24 Oktober 2008

Wasiat Wastu Kencana

Niskala Wastu Kancana dikenal sebagai raja Kawali yang banyak meninggalkan pesan kebajikan. Niskala Wastu Kanca na putra dari Lingga Buana atau Prabu Maharaja. Pada saat peristiwa Bubat ia baru berumur sembilan tahun, sehingga tidak ikut rombongan Sunda ke Majapahit. Pasca gugurnya Prabu Maharaja Kawali dikuasakan kepada Sang Bunisora, pamannya yang terkenal ketaatannya terhadap agama, se-hingga Bunisora oleh penulis Carita Parahyangan diberi gelar Satmata, yakni gelar tingkat bathin kelima manusia dalam ke agamaan, sebagaimana yang dijelaskan didalam naskah Sang hiyang Siksa Kandang Karesiyan.
 
Tingkatan dimaksud, yakni acara; adigama; gurugama; tuha gama; satmata; suraloka; nirawerah. Satmata merupakan tingkat kelima, atau tingkat tertinggi manusia yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (Suraloka), maka manusia mulai sinis terhadap du- niawi, sedangkan pada tingkat ketujuh (nirawerah) padam lah seluruh hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya dipasrahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. (Yoseph : 2005)
 
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagamaan, sehingga ia tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. Niskala Was tu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana tunggadewata, dalam naskah yang paling muda disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
 
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudah nya diabadikan dalam prasasti yang terletak di Kawali. Pra sasti inilah yang sangat membantu generasi sesudahnya un tuk mengenal keberadaan Sunda di Kawali. Niskala Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya. Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, kemudian dikenal dengan sebutan Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana, kemudian ia pun dikenal dengan sebutan Prabu Wangisutah.
 
Prabu Niskala Wastu Kancana diceritakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
  • Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
  • Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
  • Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
  • Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi teng trem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamal keun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan teng trem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya kare welanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
  • Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
  • Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang lingga wesi, puasa, muja taya wates wangenna.
  • Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
  • Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, su gan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nu salarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
 
 
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudah nya diabadikan dalam bentuk prasasti yang terletak di Kawa li. Prasasti ini sangat membantu generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan Sunda di Kawali, serta meninggalkan wasiat, tentang kebajikan yang harus dijalankan, bahkan ada pula yang menyebutkan, bahwa Prasasti Kawali mengandung muatan tentang ajaran Sunda.
 
Isi dari Prasasti I dan II dimaksud, sebagai berikut :
 
PRASASTI I
  • (Jangan dimusnahkan–jangan semena-mena-ia dihor mati ia tetap –ia diinjak baga roboh).

 
 








PRASASTI II
  • Aya ma nu ngeusi kawali bani pakeuna keureuta be- ner pakeun nanjeur na juritna
  • (kepada yang mengisi tempat kawali berani menerap kan kebenaran agar bertahan dalam perjuangannya).
 
PRASASTI KAWALI III
Bati peuree tinggal nu atis-tina rasa aya ma nu ngeusi dayeuh baweu ulah botoh bisi kokoro (berani menahan kotoran tinggalah isi dari rasa, kepa da yang mengisi kehidupan wilayah janganlah berlebi han agar tidak menderita). 
***
 
PRASASTI I, II dan III diatas berisi ajaran yang disampaikan kepada para pengganti Wastu Kancana di Kawali untuk ber buat kebajikan dan kesejahteraan.
 
Ajaran tentang PAKENA GAWE RAHAYU dan PAKENA KRETA BENER, atau ajaran tentang berbuat kebajikan dan kesejahte raan sejati, merupakan inti pokok dari ajaran Urang Sunda Buhun, sebagaimana yang dimuat didalam naskah Amanat Galunggung (Koropak 632) dan Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan (630). Inti pokok dari ajaran tersebut terdapat didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesi-yan, Koropok 630 lembar 26 dan 27, sebagai berikut :
 
Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byak ta warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.
 
Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta; sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta; sang ameng pa geuh di kaamenganna, kreta; sang wasi pageuh dikawal kaanna, kreta; sang wong tani pageuh di katanianna, kreta; sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta; sang gusti pageuh di kagustianna, kreta; sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta; sang masang pageuh di kamasa nganna, kreta; sang tarahan pageuh di katarahanna, kre ta; sang disi pageuh di kadisianna, kreta; sang rama pa geuh di karamaanna, kreta; sang prebu pageuh di kapre buanna, kreta.
 
Nguni sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sa kasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.
 
Naskah Wastukencana diatas diterjemaahkan, sebagai berikut :
Teguhkeun, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kan kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejah teralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan.
 
Demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tu gasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bola wiku te guh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya se bagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya seba gai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhte ra. Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahte ra. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya se bagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh da lam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya seba gai menteri, akan sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya seba gai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang per amal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (pra bu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejakhtera.
 
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahtera lah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.
 
Ajaran ini mengandung konsep tentang bagaimana manusia harus memiliki laku yang baik, berpegang teguh pada kebena ran, dan professional dibidang keahliannya, dengan demikian maka akan tercapailah kesejahteraan sejati, yakni kesejah-teraan bathin karena tidak mengingkari kebenaran, dan kese jahteraan lahir karena menjalan tugas dengan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya.
 
Tuntunan ini Lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesejahteraan. Oleh karenanya, ma nusia sesudahnya (nu pandeuri) perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya, sesuai dengan bidang dan ke ahliannya, agar heubeul jaya di buana (lama berjaya didunia) dan agar nanjeur na juritan (tetap unggul dalam perang), ba-ik perang lahir maupun bathin. Bila konsep kreta (kesejahte-raan) benar-benar dilaksanakan maka akan tercapai pula ketahanan dalam kehidupan negara.
 
Manusia Indonesia saat ini mengenal juga idiom tentang : “bertanyalah kepada akhlinya”, atau “jika suatu urusan dise rahkan kepada yang bukan akhlinya, maka tunggulah kehan curannya”. Hal yang sama dijelaskan oleh Darma Pitutur, di dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan atau ko ropak 630 lembar ke-15, agar jangan keliru menempatkan orang dalam tugasnya. Naskah tersebut, sebagai berikut :
 
Tadaga carita hangsa –gajendra carita banem-Matya-nem carita sagarem-Puspanem carita bangbarem. (Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa, bi la ingin tahu tentang hutan bertanyalah kepada gajah, bila ingin tahu tentang laut bertanyalah kepada ikan, bila ingin tahu bunga bertanyalah kepada kumbang).
Ajaran diatas juga berhubungan dengan konsep kepemimpin an yang universal, bahkan jauh daripada sifat yang feodalis-tik. Oleh karenanya sangat sesuai dengan dengan sifat seo rang pemimpin yang ideal didalam cara-cara menerima kritik, yakni :
 
Kitu, lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih. Nya ma na kadyangganing galah cedek tinugelan teka. Upamana urang kudil, eta kangken cai pamandyan. Upa mana urang kurit kangken datang nu ngaminyakan. Upamana urang ponyo kangkn datang nu mere kejo. Upamana urang henaang kang ken (datang nu) mawa keun aro teun. Upamana urang handeu eul kangken (datang) nu mere seupaheun. Ya sinangguh pan ca pari suda ngara(n)na. Eta kangken galah cedek tinugelan.
 
Lamun maka suka rasa urang, kangken pare beurat sangga. Boa maka hurip na urang reya. Ya katemu wwit ning suka Ia wan enak. Salang nu ngupat, ala panyara man. Aya twah urang ma eureunan. Hanteu twah urang ma ungang ambu-bapa. Kalingana janma ngara(n)na. Ya sinangguh para-mar/ra/ta wisesa, ya kangken dewa mangjanma ngara(n)na.Nya sangpuma sarira,nya wwit ning hayu, ya puhun ning bener.
 
(Begitulah, kalau ada yang men cela (mengeritik) kepa da kita, terimalah kritik orang lain itu. Yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita se dang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian; ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit, bagaikan da tang orang yang meminyaki; ibarat kita sedang lapar, bagaikan datang yang memberi nasi; ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantar kan minuman; ibarat kita sedang kesal hati, bagaikan da tang orang yang memberi sirih pinang. Itulah yang di sebut panca parisuda (lima pena war); ibarat galah so dok diperpendek.
 
Bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi. pasti se jahteralah orang banyak, karena bertemu dengan sum ber kesenangan dan kenikmatan, (yaitu) tahan celaan dan mengambil (memperhatikan) nasihat orang lain. Bila sedang sibuk tundalah sementara, (lebih-lebih) bi la sedang tidak ada pe kerjaan, untuk menjenguk ibu -bapak. Itulah yang disebut manusia sejati; yang disebut keutamaan tertinggi: ibarat dewa berwujud manusia namanya; berperibadi sempurna. benih kebajikan dan pohon kebenaran).
 
Manusia harus siap dikritik oleh siapa saja. Kritik (pameda) harus diterima sebagaimana obat penawar, seperti diberi air mandi ketika sedang dekil; diberi minyak ketika dekil; diberi nasi ketika lapar; dan ibarat diberi sirih pinang (seupaheun) ketika kesal. Bila kita menerima semuanya, budi kita akan padat berisi “kangken pare beurat angsa” atau seperti padi yang berat merunduk karena berisi.
 
Kedua, mendengar nasehat leluhurnya (para pendahulunya); mentaati agama sebagai pegangan hidup; dan harus kukuh menerima ajaran kebajikan dari para pendahulunya. Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu me negakkan ajaran/agama ; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang/silaturahmi dengan se sama manusia. Itulah manusia yang mulia.
 
Ketiga, dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal/bekerja, yaitu apa yang kita kerjakan. Bu ruk amalnya ya buruk pula tapanya, sedang amalnya ya se dang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya ya sempur na tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil ta panya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.
 
Keempat, jika ajaran ini dilaksanakan maka raja akan tente ram dalam menjalankan tugasnya; keluarga/tokoh masyara kat akan lancar mengumpulkan bahan makanan; para ahli strategi akan unggul perangnya; pertanian akan subur; dan manusia panjang umur. Oleh karenanya RAMA (tokoh masya rakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; RESI (cer dik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; PRABU (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran peme rintahan. Mereka harus mengindarkan diri dari berebut kedu dukan; berebut penghasilan; berebut hadiah.
 
Kelima, suatu keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja. Tiru lah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang di laluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesem purnaan dan keindahan.
 
Demikianlah wasiat Wastu Kancana, semoga dapat ditaati oleh NU PANDEURI agar HEUBEUL JAYA DINA BUANA.(***)

Disarikan oleh : Agus Setia Permana
AMANAT GALUNGGUNG intinya merupakan ajaran atau visi yang harus dimilik setiap ‘Urang Sunda’, terutama dalam cara hirup kumbuhna. Sehingga dapat membentuk diri sebagai pri badi yang positif dan mencerminkan kebahagiaan. Ajaran ber asal dari Prabu Darmasiksa ini, Pertama, perlu diwaspadai kemungkinan direbutnya kemuliaan dan kejayaan bangsa sendiri oleh pihak asing, termasuk menjaga Kabuyutan (ta nah pusaka yang keramat, atau tanah air). Hal ini berhubung-an dengan wajibnya warga negara mempertahan kedaulatan dan tanah airnya. Untuk menjaga agar tidak terjadi perpecah an maka jangan merampas hak orang lain dan melanggar atu ran.
***
 
 
Prasasti selanjutnya baru ditemukan pada tahun 1995 oleh Juru Kunci Astana Gede. Prasasti ini berisi enam baris tulisan yang dipahat dan berbahasa Sunda Kuna. Materi dari Prasas-ti ini berhubungan dengan Prasasti I dan II. Oleh karenanya disebut Prasasti III. Prasasti ini belum banyak dibacarakan, baik oleh para akhli maupun masyarakat tradisional, namun sudah dapat dipasti-kan berisi tentang Wasiat Wastu Kancana yang berhubungan dengan Prasasti sebelumnya.
Hayua diponah-ponah - Hayua dicawuh-cawuh–Bhaga neker baga a(n)ger-Bhaga ni(n)cak baga rempag.
Bagian pinggir/tepian
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya didunia).
00 nihan tanpa kawali nu siya mulia tanpa bhagya pa rebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan Surawisesa nu margi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pa(n) deuri pakena gawe rahhay pakeun heubeul jaya dina buana 00.
Bagian Muka/depan :
PRASASTI I DAN II disebut-sebut sebagai tanda keberadaan Wastu Kancana di Kawali. Selain itu berisi tentang Wasiat Wastu Kancana kepada para penerusnya di Kawali untuk ber buat kesejahteraan (kreta) agar Kawali tetap jaya di Buana. Isi prasasti ini memancarkan ketulusan hati seorang pertapa dinagara yang telah mampu membawa kesejahteraan dan kesentausaan rakyat dan negaranya. Seperti himbauan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati (pakena kreta bener) adalah sumber kejayaan dan kesentausaan negara.
***
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan Wastu Kancana sebagai raja muda yang berpengalaman karena ia sangat men taati Satmata (Bunisora). Sikap dan kepemimpinnya menen tramkan semua lapisan masyarakat, kaum profesional dapat bekerja dan merasa terlindungi; taat beribadah dan menga- malkan ajaran kebajikan; bahkan karena keyakinannya dia melepaskan jabatannya.

Kamis, 23 Oktober 2008

Oto Iskandar Dinata

Kemarin di gunung pancar Eko cerita, dia lagi seneng baca Biografi orang-orang terkenal, dia bilang asyik dan menegangkan. Saking hanyutnya dia dalam bacaan-bacaan itu jadi nggak anekh jika mengidolakan tokoh Che Guevara. Orang Jember (mungkin Jember Utara), Keturunan Madura yang ngaku-ngaku orang Jogya ini menulis inisial atau gambar-gambar dan jargon-jargon dengan lambang Che Guevara. Tidak cukup sampai disitu, team futsal binaannyapun dia beri lambing Che Guevara. Saya pun mempunyai keyakinan, mungkin juga onderdil dalamnya ada lambang Che Guevara.

Mudah-mudahan dia tidak menyekutukan Tuhan atau Nabinya dengan Che Guevara. Karena kalo itu terjadi pastilah dia dikutuk temen-2 lainnya. … heheheheh. Mari kita doakan aja supaya dia tidak terjerumus lebih jauh lagi.

Nakh, sebagai temen tentunya perlu juga mendorong dia agar terus rajin belajar dan membaca buku, terutama buku-buku biografi tokoh-tokoh, mungkin juga biografi seleb juga dia baca. Untuk itu tak hadiahi ulasan Buku Otobiografi OTO ISKANDAR DINATA. Hal ini penting, mengingat saat ini Eko lagi ada dalam masa transisi, dari masyarakat proletar menuju masyarakat Kapitalis, dan agak borjuis, karena tidurnyapun sudah sangat teratur.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Didalam Kamus Mbah Wikie : Raden Oto Iskandar di Nata (Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897–Bandung, 20 Desember 1945) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mempunyai julukan si Jalak Harupat. Selain itu, ia adalah mantan ketua organisasi Paguyuban Pasundan dan anggota Volksraad (DPR pada masa Hindia Belanda).

Oto Iskandar Di Nata dilandih sebagai Si Jalak Harupat, tentunya mempunyai alasan yang unik, karena Oto Iskandar Di Nata di kenal Pejuang yang Non Kompromistis. Mungkin juga bisa dikatagorikan cepet marah, cepat naek darah, sehingga tak heran meninggalnya pun hampir sama dengan Tan Malaka dan Supriyadi, yang tidak diketahui siapa yang membunuhnya. Mayatnya sampai kini tidak pernah ditemukan.

Bagai anak saya, tokoh Oto Iskandar Di Nata hanya dikenal lewat nama sebuah jalan yang ada hampir diseluruh kota. Sedangkan peranannya hampir terlupakan. Sama halnya dengan peranan MH. Thamrin, tokoh masyarakat Betawi. Tidak ada film yang menceritakannya, seperti film “Janur Kuning” atau tokoh-tokoh pemberantasan PKI dalam Film Pemberontakan G 30 S/PKI. Oto Iskandar Di Nata adalah tokoh nasional, yang berjuang tidak hanya di daerah Jawa Barat, tapi lebih dikenang masyarakat Sunda. Inilah yang diceritakan . Iip D. Yahya dalam Oto Biografi Oto Iskandar Di Nata.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sijalak Harupat : Pejuang Etno - Nasionalais
Dari : Rubrik Politik Priangan tanpa Batas, Fakta tanpa Batas, Priangan Maya Priangan Nyata : Senin, 21 Juli 2008
Ditulis oleh : Prof. Dr. H.M. Ahman Sya
-------------------------------------------------------------------------------------------

SETIAP tanggal 31 Maret, keluarga besar Paguyuban Pasundan biasanya melakukan upacara ziarah di puncak sebuah bukit kecil yang diberi nama Pasir Pahlawan (Jalan Raya Bandung-Lembang). Tempat itu adalah lokasi simbolis dimakamkannya R. Oto Iskandar di Nata. Disebut simbolis, karena yang disemayamkan di situ (sejak 20 Desember 1952) hanyalah setumpuk pasir yang dibungkus dengan kain kafan, yang berasal dari pantai Mauk (Tangerang), tempat dimana R. Oto Iskandar di Nata dibunuh. Mayatnya sampai kini tidak pernah ditemukan.

Dalam acara ziarah, senantiasa dibacakan ikrar ziarah atau ikrar panyekar sebagai berikut:

Kalayan nyebat asmana Alloh Nu Mahawelas tur Mahaasih,
disakseni ku nu Mahauninga,
dinten ieu kaping 31 Maret,
para panyekar nu rajeg ngadeg di mumunggang Pasir Pahlawan,
nyungkemkeun sewu panghormat ka Bapa R. Oto Iskandar Di Nata (suargi),
rehing Bapa parantos mintonkeun yasa-yasa kanggo kawaluyaan Ki Sunda,
kalih bangsa sareng nagara Indonesia.
Panyekar nu rajeg ngadeg dina raraga neundeun katineung ka Bapa,
seja panceg dina adeg-adeg Ki Sunda nu parantos dicontokeun ku Bapa.
Tapak lacak, ketak sareng wawanen Bapa seja diteraskeun,
sangkan komara Ki Sunda ngagalura.
Panyekar misadar, hasil tohpati Bapa di bihari,
kedah diteraskeun ku rundayan nu kiwari.
Ku kituna, panyekar ngagemblengkeun tekad, sejak samiuk satangtung,
ngajungjung ajen-inajen perjuangan Bapa.
Paneja muga laksana.
(Dokumen Resmi PB Paguyuban Pasundan)


Kata-kata yang setiap tahun dibacakan itu, intinya berisikan pengakuan akan perjuangan Pa Oto, serta kesipan melanjutkan cita-citanya. Orang Sunda khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, memang seharusnya mitineung pada Pa Oto. Dia telah menunjukkan diri bagaimana seharusnya berfikir, bersikap, dan bertindak untuk membangun Indonesia sejahtera. Beliau telah berhasil mengubah pola dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun hankam dalam menciptakan fondasi yang kuat bagi kemerdekaan Indonesia.

Masyarakat Sunda dan budayanya dalam keyakinan Pa Oto, bukanlah masyarakat yang mengalah pada kebiadaban serta menyerah pada nasib. Dia adalah kelompok yang potensial, mampu bangkit dari segala kelemahan dan keterpurukan melalui pembangunan pendidikan dan ekonomi. Masyarakat ini juga bisa menjadi pelopor dan perekat dalam mewujudkan Indonesia yang multikultur.

Terbitnya buku Iip D. Yahya, saya berani menyatakan bahwa seluruh orang Sunda wajib hukumnya membaca buku itu. Alasannya agar tidak pareumeun obor. Tahu tentang apa, mengapa, dan bagaimana sepak terjang pejuang sekelas Pa Oto dalam membangun sebuah bangsa berdasar kesungguhan dan keikhlasan. Kini bangsa kita sudah komersil, materialistis, dan semakin menurun nasionalismenya.

Popularitas R. Oto Iskandar di Nata mencuat ke permukaan tatkala beliau memimpin organisasi Pagoeyoeban Pasoendan antara tahun 1929-1942 (tiga periode). Sebelumnya, organisasi ini dipimpin oleh D.K. Ardiwinata dan R. Oto Koesoema Soebrata.

Sebagai organisasi perjuangan, Pagoeyoeban Pasoendan didirikan pada tanggal 20 Juli 1913 di Batavia atas prakarsa D.K. Ardiwinata dan para mahasiswa HBS (Hogere Burger School), KWS (Koning Willem School) dan STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen) serta masyarakat Soenda yang ada di Batavia. Semenjak berdiri, falsafah organisasi ini adalah memberantas kemiskinan dan kebodohan, yang kini diperkuat dengan motto agar para anggotanya memiliki karakter yang (1) pengkuh agama Islam na, (2) jembar budaya Sunda na, dan (3) luhung elmu na.

Sebelum memimpin Pagoeyoeban Pasoendan, R. Oto Iskandar di Nata yang dilahirkan di Bojongsoang pada tanggal 31 Maret 1897, adalah anggota dan pengurus Boedi Oetomo yang memiliki kecerdasan yang brilian serta nasionalisme yang militan. Setelah menamatkan Kweekschool (sekolah guru rendah), beliau melanjutkan sekolah ke HKS (Hogere Kweekschool) sebagai sekolah pendidikan guru tertinggi untuk pribumi di Purworejo. Beliau tamat tahun 1920, dan selanjutnya mendapat tugas sebagai guru HIS (Hollands Inlandsche School) atau sekolah dasar 7 tahun yang berbahasa Belanda, di Banjarnegara.
Tahun 1921-1924 bertugas di Bandung, selanjutnya pindah lagi ke Pekalongan. Di tempat ini, beliau mulai terjun ke dunia politik praktis melalui organisasi Boedi Oetomo, dan terpilih menjadi anggota Dewan Kota.


II. PEMBELA RAKYAT SEJATI
Prestasi gemilang R. Oto Iskandar di Nata selama menjadi anggota Dewan Kota di Pekalongan diantaranya adalah:
1. Melawan tuan kontrak Wonopringgo yang bertindak memeras rakyat untuk kepentingan perusahaannya. Residen Pekalongan saat itu mengancamnya akan membuang Pa Oto ke Digul. Namun pada akhirnya Residen itu yang dimutasi.
2. Membongkar tindakan pimpinan kepolisian Pekalongan yang menyiksa rakyat tanpa perikemanusiaan.
3. Memberantas kejahatan rentenir.
4. Mendirikan sekolah Kartini.
Tahun 1928, pada saat beliau bertugas sebagai guru HIS Muhammadiyah di Jakarta, beliau menjadi anggota Pagoeyoeban Pasoendan. Di bawah kepemimpinan beliau, organisasi ini dibentuk menjadi partai politik, sehingga memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar. Disegani oleh kaum penjajah. Hasilnya, banyak diantara pengurus Pagoeyoeban Pasoendan yang terpilih menjadi anggota dewan daerah, yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat.

Pada tahun 1930, Pa Oto terpilih jadi anggota dewan rakyat (volksraad). Di sini pula peran beliau sangat menonjol, berani karena benar, membela rakyat tanpa pandang bulu. Tidaklah heran, bila kemudian beliau mendapat julukan Si Jalak Harupat atau Si Bima. Kalau diumpamakan pada ayam jantan Ciparage, garung suwung musuh, can asor di mana-mana, kuat ku teunggeul, asak dina ulin, tapi ana ngabintih, sakali meupeuh matak ngarumpuyuk musuh.

Musuh bebuyutan Pa Oto adalah penjajah Belanda. Tatkala Jepang datang, beliau memilih perjuangan kooperatif, meskipun sebenarnya ia bertolak belakang. Di jaman Jepang, Pa Oto mempunyai kedudukan sebagai:
1. Direksi warta harian “Tjahaya”
2. Pimpinan Jawa Hokokai
3. Pimpinan BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perang)
4. Anggota Tyuo Sangiin
5. Anggota Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
6. Pendiri PETA, yang kemudian menjadi ABRI dan selanjutnya TNI
7. Pencipta pekik “Merdeka” sambil mengangkat tangan kanan dimana semua jarinya terbuka.

Akhir kehidupan Pa Oto memang tidak disangka akan tragis. Orang Sunda dan bangsa Indonesia pada umumnya kehilangan sosok pejuang yang memahami betul perjuangan. Meskipun pada akhirnya ia diangkat sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No. 088/TK/1973 tanggal 6 Nopember 1973, namun kita sungguh kehilangan jejak.Beliau adalah teladan dan pejuang sejati. Melalui Pagoeyoeban Pasoendan, beliau berjuang demi Indonesia. Jadi tidaklah benar, organisasi ini bersifat kesukuan. Namun etno-nasionalis.

Sejak awal, ketuanya (Baca : Paguyuban Pasundan) adalah Daeng Kanduruan Ardiwinata, cucu raja Lombo dari Makassar. Isterinya orang Manonjaya, karena itu sekarang D.K. Ardiwinata disemayamkan di Manonjaya, Tasikmalaya. Daeng adalah nama atau gelar keturunan raja Makassar, sedangkan Kanduruan adalah gelar yang dianugerahkan Belanda kepada guru yang banyak jasanya.


III. PEWARISAN NILAI, JIWA DAN SEMANGAT JUANG
Buku otobiografi R. Oto Iskandar di Nata pernah ditulis diantaranya oleh Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo (1972), Sri Sutjiatiningsih (1983) dan Nina H. Lubis (2003). Kali ini, penulisnya adalah Iip D. Yahya, seorang jurnalis muda yang potensial. Gaya penulisannya pun lain dari yang lain. Mungkin boleh dikelompokkan pada tipe logico-hipotetico-verifikasi.

Pa Iip mencoba mengungkap terlebih dahulu peristiwa pembunuhan Pa Oto. Mencari tahu siapa pembunuhnya, apa alasannya dan bagaimana penyelesaiannya. Namun, layaknya sebuah penelitian ilmiah, buku ini juga diakhiri dengan ditemukannya masalah baru. Adakah muatan politis dalam semua peristiwa itu? Adakah hubungannya dengan ketokohannya dalam masyarakat Sunda? Bagaimanakah hubungannya dengan orang-orang di sekitar Bung Karno atau dengan peran Bung Karno sendiri, mengingat almarhum sangat dekat dengannya? Semua pertanayaan ini menantang untuk segera dicari tahu jawabannya.

Pa Oto sejak kecil, memang pemberani. Mungkin juga terlalu berani. Seorang guru Belanda nya ditantang untuk berkelahi karena melakukan kekeliruan fatal. Demikian pula dia berani mengeritik cara gurunya pakai dasi, yang waktu itu sangat terlarang bagi murid pribumi berbuat seperti itu. Guru Belanda nya kemudian bergumam, “Andaikata dia anak Belanda, ia pasti disebut anak pemberani dan suka terus terang”.

Menurut hemat saya, sepak terjang tokoh seperti Pa Oto, belum pernah muncul lagi di kalangan masyarakat Sunda, juga di Indonesia. Kini, banyak pemimpin yang serba ragu-ragu dan serba takut. Lebih banyak yang berani mengorbankan harga diri dan martabat bangsa, daripada harus melawan “penjajah baru”. Akibatnya, bangsa ini menjadi the beggar nation atau bangsa peminta-minta.
Proses nation and character building yang sejak sebelum kemerdekaan selalu menjadi prioritas, kini semakin pudar. Egosentrisme lebih mengemuka daripada nasionalisme. Idealisme dan patriotisme kebangsaan, juga melemah. Kita lebih didominasi oleh pragmatisme untuk kepentingan diri atau kelompok. Mungkin suatu saat, kemampuan bangsa ini untuk tetap eksis memasuki wilayah yang harus dipertanyakan.

Bangsa ini, adalah bangsa yang besar. Diperlukan upaya yang terus menerus dalam memelihara persatuan dan kesatuannya. Kita memiliki wilayah 7,5 juta kilometer persegi, 17.500 buah pulau, 525 suku bangsa, dan 250 bahasa daerah. Apabila idealisme, patriotisme, nasionalisme, persatuan dan kesatuan tidak lagi menjadi fokus pembangunan kesejahteraan dan keamanan, maka menurut seorang pengamat, tahun 2015 diduga akan memasuki puncak krisis. Dengan berguru pada perjalanan hidup Pa Oto, maka kita harus tetap berjuang dan memperjuangkan diri untuk maju. Jadi jangan ngakaya orang Sunda. Kita bisa bangkit membela diri dalam kerangka NKRI.

Pa Oto patutlah kiranya, jika kita semua meneladaninya. Sejak sekarang, diharapkan lahir Pa Oto-Pa Oto baru, yang mampu menjadi contoh dan perekat dalam ke-Indonesiaan. Pa Oto adalah sosok yang berani berkorban segalanya.

Beberapa hari setelah proklamasi beliau mengatakan: ”Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan itu (Taufik Abdullah dalam Nina H. Lubis, 2003:xxi).

Dalam siding PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Pa Oto juga lah yang mengusulkan Bung Karno dan Bung Hatta jadi presiden dan wakil presiden RI pertama. Terakhir, dia menjadi menteri Negara pertahanan dalam kabinet pertama RI.
Mungkin ada yang pro dan kontra dalam membicarakan kehidupan Pa Oto. Namun itu adalah sesuatu yang lumrah. Apalagi dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan yang senantiasa berbajukan politik. Waktu beliau masih jadi pelajar saja, selalu diawasi oleh gurunya karena senang membaca De Express pimpinan Douwes Dekker yang anti penjajahan. Tapi satu hal, Pa Oto adalah pemberani, jujur, serta peduli terhadap rakyat dan bangsanya.

Menjelang akhir hayatnya, isu tentang kooperatifnya Pa Oto dengan Jepang, nampaknya menjadi dasar munculnya pengkhianatan. Karenanya, tatkala NICA tiba di Bandung, Pa Oto dicurigai akan menjual Bandung satu bilyun kepada NICA.

Semenjak Pa Oto diculik tanggal 10 Desember 1945 sampai awal tahun 1952, segala sesuatu tentang dia tidak mendapat perhatian. Orang Sunda bangkit dan membelanya. Inilah bukti bahwa orang Sunda siap menjadi pewaris nilai, jiwa, dan semangat juang Pa Oto demi Indonesia Raya!
-----------------------------------------------------------------------

Disampaikan pada diskusi dan bedah buku Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories karya Iip D. Yahya (2008), yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) di kantor Redaksi Harian Umum Priangan (Grup Pikiran Rakyat).

Penulis adalah Rektor Univ. ARS Internasional, Bandung.
Wk. Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan, PB Paguyuban Pasundan, Bandung - Guru Besar UNSIL Tasikmalaya

Minggu, 19 Oktober 2008

Raden Alit


Konotasi Jampang di daerah Betawi diidentikan dengan seorang jagoan silat jaman dulu. Lebih terkenal lagi pada era 70 an ketika diangkat ke layar lebar. Dikisahkan Si Jampang Jago Betawi sangat anti ‘Kumpeni Belanda’. Perilaku Si Jampang diidentikan dengan Robin Hood dari hutan kayu Inggris. Konon termasuk manusia kebal. Ia berguru ke daerah Jampang Kulon. Mitos kehebatan Urang Jampang mungkin bermula dari kisah keberanian Laskar Jampang. Namun memang sulit dilacak pengaruh mitos Si Jampang Jago Betawi dengan perlawanan urang Jampang yang merambah ke Batavia.

Pada tahun 1705 M pemimpin tertinggi Kompeni Belanda di Batavia pernah di repotkan oleh sepasukan laskar yang berasal dari Jampang, dibawah pimpinan Raden Alit Haji Prawatasari. Ia menyerang berbagai posisi Kompeni di Tatar Pasundan, Tangerang dan sekitar Batavia, ketika itu Tangerang dan Batavia berada langsung dibawah kekuasaan Kompeni. Untuk menangkap Raden Alit pihak Belanda melakukan beberapa upaya, seperti membersihkan orang-orang yang pro Raden Alit serta mengadakan sayembara berhadiah.

Konon para sejarawan dan orang-orang tua banyak menceritakan tentang daerah Jampang sebagai daerah penggemblengan para jagabaya agar mahir ilmu beladiri dan peperangan. Mungkin pula sisa-sisa mitos itu yang menyisakan sebutan daerah Jampang sebagai salah satu pusat ilmu kanuragan di tatar sunda.

Daerah Jampang menyisakan kisah kepahlawanan seorang Menak, dikenal dengan sebutan Raden Alit atau Haji Prawatasari. Kisah ini tentunya masih membekas di hati rakyat, bahwa tidak seluruh menak ‘bariluk ka walanda’, bahkan pernah ada menak yang berani menyalakan api perlawanan.

Kondisi Tatar Sunda waktu itu
Ketika masa itu Cianjur sudah berada dibawah kekuasaan Kompeni Belanda, akibat dari perjanjian yang dibuat antara VOC dengan Mataram pada tahun 1677 di Jepara, terkait dengan masalah pemberontakan Trunojoyo. Sebagai balas jasa terhadap Belanda.maka Amangkurat II menyerahkan tatar sunda, termasuk Cianjur.

Mungkin yang menjadi pertanyaan : Mengapa Amangkurat II (raja Mataram) menyerahkan Tatar Pasundan ?. legalitas kesejarahan apa yang dimiliki Mataram sehingga Tatar Sunda sebagai souvenirnya kepada VOC ?.

Kisah Sumedang Larang menjadi bawahan Mataram sampai saat ini masih membuahkan beberapa pertanyaan, apakah sebagai akibat perjanjian Geusan Ulun dengan Sultan Agung, atau karena diserahkan oleh Suryawangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, kepada Mataram ?. Mengapa pula Sumedang Larang dirubah menjadi setingkat Kabupaten, sedangkan Cirebon dan Banten masih diakui sebagai kerajaan yang Mahardika ?. Faktor ini pula yang menjadi kabut hitam sejarah ‘Tatar Pasundan’.

Kekuasaan Mataram di Tatar Sunda efektif terjadi pada saat Rangga Gempol (1620 M). Pada masa itu status 'kerajaan' Sumedang dirubah menjadi 'kabupatian wedana' dibawah Mataram. Alasan Mataram mengubah status ini bertujuan untuk menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Banten dan Belanda.

VOC sebelum menguasai Cianjur terlebih dahulu menguasai Bogor. Pada tahun 1687 telah sampai didaerah sungai Ciliwung. Pembukaan kawasan ini dipimpin Scipio sampai muara Cisadane, di Samudra Hindia. Ekspedisi ke wilayah Bogor terkait erat dengan penemuan Scipio tentang sisa-sisa kerajaan Pajajaran, bahkan penemuan Scipio dijadikan rujukan penting dalam menyusun sejarah Bogor. Mungkin juga penemuan jejak puing Pajajaran tersebut diinspirasikan oleh Tanuwijaya, seorang Letnan Belanda. Konon kabar ia masih teureuh Pajajaran.

Kekuasaan Kompeni Belanda ke daerah pedalaman sudah sampai pula ke Daerah Cianjur. Ketika itu Cianjur berada dibawah pemerintahan Wiratanu I sudah menganggap VOC sebagai pelindung dan pendamping Mataram, yang ia pertuan. Maka terhitung sejak tahun 1691, Cianjur mulai menjadi kawula VOC.

Siapa Raden Alit ?
Raden Alit dikenal seorang menak sunda layaknya menak di Cianjur yang taat beragama. Ia dikenal pula dengan nama Haji Prawatasari. Istilah Alit dalam bahasa sunda bisa berarti kecil. Mungkin landihan Alit menandakan dari susunan keluarga, ia dianggap anak paling kecil. Bisa juga karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit”, maka ia disebut Raden Alit.

Raden alit memimpin kelompok rakyat, diperkirakan berjumlah hingga 3.000 orang yang berkedudukan di wilayah Jampang (Cianjur Selatan). Daerah tersebut dipilihnya karena disana telah ada pelarian orang Sukapura. Pertama ia melakukan perlawanan terhadap Bupati Cianjur pada bulan Maret tahun 1703 M. Perlawanan Raden Alit dilakukan melalui cara tidak melakukan kewajiban tanam paksa (kopi). Ia pun bersama rakyat merusak dan menggagalkan panen buah kopi yang sudah memasuki masa panen.

Raden Alit pada tanggal 12 Juli 1707 ditangkap Belanda didaerah Bagelen, kemudian di bawa ke Kartasura, Ibu Kota Mataram. Tentunya pula untuk menghindarkan adanya gangguan dari masyarakat tatar pasundan dan muncul kembali kerjasama para penguasa daerah dengan sisa-sisa pasukan Raden Alit. Sama halnya pelaksanaan penghukuman dalam kisah Dipati Ukur dan Suryawangsa

Kisah Perlawanan Raden Alit.
Kisah Kompeni di Indonesia mungkin dapat di pelajari dari sistim kolonialisasi dan kapitalisme tua barat di Negara-negara jajahan. Komoditi yang sangat laku di Eropa dari tatar sunda antara lain komoditi Kopi. Akibat kesungguhan Kompeni untuk menjaga stabilitas tatar sunda sebagai penghasil kopi menyebabkan ia perlu menggunakan kekuatan militernya. Hingga suatu ketika VOC tak lagi mampu membiayai ongkos untuk menjaga stabilitasnya. Pada tanggal 31 Desember 1799 M VOC dibubarkan, dan hutang-hutangnya diambil alih Kerajaan Belanda. Saat itu beralihlah penguasaan Indonesia dari VOC kepada Kerajaan Belanda.

Kisah perlawanan Raden Alit terkait dengan akumulasi penderitaan rakyat, antara lain akibat dari sistim persewaan tanah dan tanam paksa. Selain itu menyangkut pula adanya penyesalan rakyat karena Bupatinya menundukan diri terhadap daulat Kompeni.

Sistim sewa tanah diberlakukan oleh para Bupati di wilayahnya. Hasil persewaan tanah tersebut diperuntukan guna membiayai oprasional pemerintahan. Tentunya penundukan para Bupati kepada VOC tidak disertai dengan adanya biaya oprasional yang memadai, sehingga perlu mendayagunakan asset kabupaten yang dimiliki.

Tanah persewaan yang laku sewa bukan berada didaerah kosong yang jauh dari perkampungan. Para pemodal swasta tidak tertarik menyewa tanah-tanah yang tidak berpenduduk. Alasan ekonomis tentunya terkait dengan masalah tenaga kerja dan posisi tanah-tanah tersebut. Berdasarkan keinginan dari para penyewa, para pemilik modal dari Eropa dan warga keturunan Timur Asing, lebih memilih tanah-tanah persewaan yang berada didesa-desa yang telah berpenghuni.

Desakan kebutuhan untuk membiayai oprasional pemerintahan, para Bupati menyetujui lokasi tanah-tanah persewaan sesuai kemauan para pemodal. Pajak-pajak dari rakyat yang biasa dipungut oleh para Bupati juga menjadi bagian dari persewaan dan beralih ka pungutnya kepada para penywa. Masalahnya menjadi rumit ketika beban pajak dikenakan sagat memberatkan rakyat. Disisi lain secara hukum para Bupati tidak dapat mengontrol pengenaan biaya sewa kepada rakyatnya, karena semuanya telah menjadi hak penyewa.

Hal yang berkaitkan dengan masalah ini adalah kewajiban menanam komoditi sesuai dengan keinginan para tuan tanah. Seluruh tanah persewaan di wilayah Cianjur pada umumnya di wajibkan menanam kopi (di wilayah lain tanaman nila dan tebu), bahkan telah dimulai sistim kerja paksa (rodi).

Perlawanan rakyat terjadi ketika beban hidup sudah sangat memberatkan. Disisi lain para pejabat pribumi umumnya lebih senang bergaul dengan Belanda dan menjadi abdinya, lebih menikmati gaya-gaya feodal. Pada masa ini ‘Tatar Sunda’ memasuki masa kelam dalam perkembangan ekonomi dan budaya rakyat.

Kemarahan rakyat Cianjur di picu pula oleh tindakan Bupati Wiratanu II yang sudah mengakui VOC dan menjadi kawulanya. Penundukan ini sebagai warisan dari Bupati sebelumnya, Wiratanu I menganggap Kompeni sebagai protector dan mitra penting dari Mataram. Ketika itu Mataram sedang menguasai tatar sunda. Bara ini kemudian menjadi api ketika seorang menak menyalakan lentera perlawanan. Itulah Raden Alit.

Perlawanan Raden Alit
Raden Alit melarang rakyat Jampang untuk memanen kopi yang telah masuk masa panen, bahkan ia memerintahkan untuk merusak tanaman kopi. Untuk mengamankan kepentingan Kompeni Belanda merencakan mengirimkan pasukannya ketempat peristiwa. Namun sebelum berangkat kelokasi, Tanuwijaya, kepala Kampung Baru Bogor mengirimkan berita bahwa Raden Alit telah meninggal dunia. Di balik itu Tanuwijaya mengirim berita kepada Raden Alit tentang adanya rencana Belanda untuk menyerang Jampang, sehinga dengan segera Raden Alit memboyong semua warganya, berjumlah 1.354 jiwa, untuk meninggalkan Jampang. Serangan itu pun diurungkan VOC.

Mungkin berdasarkan penelitian intelijen VOC diketahui, bahwa Raden Alit belum meninggal. VOC segera menyerbu Jampang. Namun pasukan Raden Alit telah lebih dahulu memindahkan penduduk Jampang ke daerah Bayabang, di tepi Kali Citarum. Sayang jauhnya daerah baru itu sangat jauh, hanya sebagian yang bisa dipindahkan, karena ancaman kelaparan dan kelelahan. Sementara pasukan VOC di Jampang mendapatkan tempat kosong.

Pasca penyerangan tersebut Raden Alit seolah-olah ditelan bumi. VOC memperkirakan pemberontakan Raden Alit telah berakhir. Namun Kompeni di kejutkan dengan serangan pasukan Raden Alit di Priangan Timur, seperti di Galuh, Imbanagara dan Kawasen. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata pada tahun 1704 Raden Alit memindahkan markas pasukannya ke muara Cintaduy.

Untuk mencegah dan menangkap Raden Alit, Kompeni Belanda mengirimkan pasukan ke Ciamis, namun mereka menemukan daerah yang kosong, karena Raden Alit telah memindahkan pasukannya kembali ke Daerah Jampang. Demikian pula ketika menyerang Jampang, ternyata pasukan Raden Alit sudah tidak ada lagi, bahkan ia telah menyerang daerah sekitar Batavia. Kondisi ini sangat membingungkan Belanda.

Epos perlawanan Raden Alit sejaman dengan lalampahan Tanuwijaya, yang banyak memberikan bantuan untuk perjuangan Raden Alit. Padahal ketika itu Tanuwijaya sudah berpangkat Letnan Belanda dan dijadikan sebagai penguasai Bogor Baru. Tanuwijaya yang dianggap anak emas Belanda tersebut telah beberapa kali menyesatkan Belanda dalam upayanya menangkap Raden Alit. Seperti ketika merencanakan penyerangan ke daerah Jampang. Tanuwijaya menginformasikan kepada Belanda, bahwa Raden Alit telah meninggal terkena wabah penyakit. Namun dalam waktu yang sama ia pun mengirimkan berita kepada Raden Alit, tentang rencana Kompeni menyerang Raden Alit di Jampang. Tentunya tindakan yang dilakukan Tanuwijaya membutuhkan keberanian. Namun tidak heran jika mengetahui, bahwa Tanuwijaya masih ‘Teureuh Pajajaran’ yang memiliki kepentingan untuk memerdekakan tatar pasundan.

Dalam cerita lain memang ada kesan Tanuwijaya adalah antek Belanda, seperti di abadikan dalam lagu rakyat tentang ayang-ayang gung. sebagai berikut :

Ayang-ayang gung
Gung goong na rame
Menak kang Mas Tanu
Nu jadi wadana

Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba haru biru
Rucah jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagorengan
Nganteur Kang Jeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong.

Lagu itu sangat bertolak belakangan dengan catatan sejarah. Terutama ketika diketahui bahwa Tanuwijaya dibuang Belanda ke Tanjung Harapan. Tentunya sebagai konsekwensi dari pembangkangannya kepada Belanda.

Kisah selanjutnya tentang Raden Alit terjadi pada tahun 1705. Pasukan Raden Alit diketahui telah berada di Bogor dan menyerang posisi-posisi Belanda, kemudian menghilang tak diketahui rimbanya. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan kecurigaan Belanda. Hingga akhirnya berdasarkan laporan intelejen Belanda diketahui, bahwa ada kerjasama antara Raden Alit dengan Tanuwijaya. Langkah berikutnya tentu Belanda ‘mengamankan Tanuwijaya’. Ia menagkap Tanuwijaya dan dibuang ke Tanjung Harapan. Namun Tanuwijaya tak kunjung mau menceritakan kepada Belanda tentang posisi Raden Alit.

Penangkapan Tanuwijaya tidak menyurutkan epos perlawanan Raden Alit. Pada bulan maret 1705 pasukan Raden Alit muncul di Sumedang Selatan dan menyerang posisi-posisi strategis Belanda. Pasukan Raden Alit berhasil membunuh pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.

Kegagalan Intelejen Belanda dalam mendeteksi keberadaan pasukan raden Alit sangat mengkhawatirkan posisinya. Dengan politik adu dombanya Belanda mengadakan Sayembara, : Barang siapa yang mampu menangkap Raden Alit, hidup atau mati maka akan dihadiahi 300 ringgit. Namun rakyat lebih bersimpati kepada Raden Alit ketimbang tergiur hadiah 300 ringgit.

Belanda mengira adanya kerjasama antara Raden Alit dengan para penguasa daerah, seperti pada Tanuwijaya. Untuk menekan para penguasa daerah Belanda mengistruksikan kepada para Bupati untuk menangkap Raden Alit paling lambat enam bulan. Belanda mengancam pula, jika tidak berhasil para Bupati tersebut akan ditangkap dan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Raden Alit. Namun tidak satupun Bupati yang mengindahkan instruksi tersebut. Selain segan dan menaruh hormat terhadap Raden Alit merekapun ‘gimir’ melihat keberanian Raden Alit.

Sebagai rasa terima kasih dari Raden Alit dan menyelamatkan posisi para Bupati tersebut, pada tahun 1706 mengalihkan serangannya ke Wilayah Tangerang. Suatu wilayah yang berada dibawah pengawasan langsung Belanda. Namun Belanda hanya menemukan sisa-sisa penyerangan tanpa mengetahu jejak selanjutnya. Akibat serangan ini Belanda berkeyakinan, tidak ada hubungan antara para Bupati di tatar sunda dengan perlawanan Raden Alit.

Dihin pinasti kersaning Hyang Widi, niti wanci ninggang mangsa, hirup – pati – bagja jeung cilaka manusa rasiah Pangeran. Pada tahun 1707 Raden Alit memindahkan wilayah gerilyanya ke Banyumas, pada bulan april tahun yang sama Raden Alit berhasil mengalahkan pasukan Belanda di Banyumas. Kekalahan Raden Alit terjadi pada Juli 1707. Ketika ia menyerang posisi Belanda di Bagelen. Namun pasukan Belanda sudah mencium rencana Raden Alit. Maka pada tangal 12 Juli 1707 Raden Alit Haji Prawatasari tertangkap. Kemudian ia dibawa ke Kartasura ibu kota Mataram. Namun entah kabar selanjutnya, yang jelas Raden Alit tak pernah kembali ke tatar sunda. Cag Heula (***).

Rakean.

Minggu, 12 Oktober 2008

Sahadat Buhun


Masyarakat Sunda Tradisional mengenal adanya Sahadat atau Sadat Buhun, suatu istiah bagi sebutan kalimat sakral yang diyakini sebagai bagian dari tertib hidup Budaya Sunda Wiwitan. Namun ada juga yang menyebutnya Sahadat Baduy, karena sahadat ini banyak di gunakan oleh orang-orang Baduy penganut ajaran Sunda Wiwitan. Para Sastrawan Sunda menggolongkan Sahadat ini ke dalam kelompok Ajimantra atau puisi mantra, yang berasal dari dua daerah, yakni Ajimantra Baduy Banten dan Ajimantra Priangan.
Pengertian Sahadat Buhun berbeda dengan maksud Sahadat (Syahadat) yang dimaksud dalam agaman Islam. Didalam kamus bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti (1) pengakuan kesaksian (2) pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama. Didalam Wikipedia edisi Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat  mangrupakeun pernya taan kayakinan Islam. Dina basa Arab, hartina nyaksénan atawa méré kasaksian. Sahadat mangrupakeun pernyataan kapercayaan kana tunggalna Gusti (Allah dina basa Arab) sarta yén Nabi Muhammad minangka utusan pangahirna.
Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan. Seperti keterangan Ayah Mursid, tokoh masyarakat Cibeo :
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’a do’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya” (Saatnya Baduy Bicara, Hal. 90,  Asep Kurnia dkk – 2010).

Dari pendifinisian yang diberikan Ayah Mursid diatas, tentunya memiliki konsekwensi, bahwa jampe-jampe yang memenuhi syarat sebagaimana sahadat dapat dikatagorikan sebagai sahadat dalam pengertian Jampe, bukan dalam pemahaman sahadat dalam pengertian islam. demikian pula dari syariatnya, menurut Ayah Mursid , bahwa :
Dalam keyakinan Sunda Wiwitan kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudara sebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memiliki kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, maka agama Sunda Wiwitan hanya diperuntukan bagi masyarakat Baduy”.
Krama dari pengucapan sahadat dimaksud dilakukan sesuai waktu dan kegunaannya. Misalnya jika hendak menanam Padi, agar terhindar dari hama dan dapat menghasilkan padi yang lebih baik, maka mereka membacakan sahadat Sri. Karena yang diyaki ni menjaga dan mengurus pertanian adalah Dewi Sri, maka  mereka menitipkan kepada Dewi Sri. Sedangkan untuk perkawinan membacakan sahadat khusus untuk perkawinan.
Istilah dalam Sahadat
Mencari naskah atau keterangan asli tentang Sahadat diatas dari sumber asli Baduy atau para penganut Sunda Wiwitan lainnya agak sulit ditemukan, bahkan menurut Ekajati (2005), : “Kesulitan menemukan keterangan tentang Sunda Wiwitan akibat tertutup nya para penganut agama dimaksud. Namun menurut alasan dari Ayah Mursid, : “harus tepat penggunaannya dan diucapkan tidak sembarangan, karena ada kramanya”. Sangat masuk akal jika krama peng gunaan sahadat ini ngawengku pengetahuan orang luar untuk mengetahui sahadat ini.
Dalam kenyataannya banyak teks-teks sahadat dengan judul yang sama digunakan oleh masyarakat Baduy, namun berbeda dengan teks yang digunakan Urang Baduy. Perbedaan bahasa didalam sahadat ini sudah banyak diulas oleh para sastrawan Sunda, seperti Wahyu Wibisana (2000) bahkan mengkatagorikan sahadat kedalam dua wilayah, sesuai dengan asalnya, yakni aji mantra Baduy dan Banten, serta ajimantra Priangan.
Ajimantra dari daerah Baduy dan Banten, sebagai berikut :
Pohaci Sanghiyang Asri, Ulah geder ulah reuwas, Ja kami rek nitipkan, Titip ka nu boga bumi, Tema ka nu boga desa.
(Pohaci Sanghiyang Asri, Jangan kaget, kami hendak menitipkan, titip kepada pemilik bumi, juga kepada yang mpunya desa).
Sedangkan contoh dari daerah Priangan, sebagai berikut :
Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi angaricing. Nu Calik dina alam keueung. Ngacacang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad.
(Asyhadu Syahadat Sunda, Zama allah hanya satu. Keduanya para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Keempat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Menje lajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).
Perbedaan dari Sahadat tersebut sangat lugas, siapapun akan mengetahui mana yang lebih buhun. Hal ini bisa terjadi aki bat pengaruh perkembangan jaman dan penggunaan istilah-istilah yang merupakan eufimisme dari yang disebutkan dalam sahadat tersebut, bahkan orang Baduy menggunakan hal yang sama untuk menerangkannya kepada orang lain, sekalipun dalam bacaan ba-thinnya masih tetep menggunakan bahasa awalnya.
Penggunaan bahasa, seperti untuk menyebutkan nama Bata ra Cikal digantikan dengan sebutan Adam Tunggal, atau menyisip kan kata Slam (maksudnya Islam) kedalam istilah Sunda Wiwitan. Mungkin pula ciri khas dari keyakinan Sunda Wiwitan yang di katagorikan Sinkretis, sangat terbuka untuk menerima pengaruh agama manapun secara terbuka, bahkan ada yang menafsirkan sebagai adaptifnya keyakinan urang Sunda baheula.
Untuk memperkuat dan menggambarkan penafsiran dimaksud, dapat disimak keterangan Ayah Mursid, sebagai berikut :
Agama nu di agem ku masyarakat Baduy, ngarana Agama Slam Sunda kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu ngaboga an kitabna da ajar an neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur Baduy.
(agama yang diyakini orang Baduy namanya agama Slam Sunda awal. Nabinya Adam Tunggal. Dalam keyakinan Sunda awal, kami tidak kebagian perintah shalat seperti saudara-saudara sebab Wiwitan Adam tugasnya memelihara keseimbangan alam, tidak memiliki kitab suci karena ajarannya bersatu dengan alam, makanya agama Slam Sunda Wiwitan hanya diper-untukan bagi masya rakat Baduy).
Urang Baduy saat ini nampaknya menggunakan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat Sunda beragama Islam, tanpa merubah substansi dari keyakinannya sendiri. Mungkin pula untuk menghindari benturan yang tidak ada manfaatnya, karena mereka merasa yakin, bahwa tugasnya di bumi ini adalah untuk menjaga keseimbangan (harmoni) alam. Urang Baduy menyadari adanya desakan yang timbul dari perubahan jaman. Kesadaran demikian diakui oleh Ayah Mursid :
“Kami ti jauhna keneh geus waspada jeung sadar, yen zaman pasti rubah, tantangan keur masyarakat adat mingkin dieu mingkin beurat, ti berbagai sudut perkampu ngan perbatasan geus teu katadah ku kamajuan hirup, tapi kami tetep teguh patuh keur ngalaksanakeun ama nat wiwitan jeung kami tetep yakin Baduy tetep ayem tentrem nu penting ulah ngaganggu jeung diganggu jeung ulah ngarugikeun komo deui dirugikeun. Kami siap kerja sama jeung sasaha oge wae tapi nu aya mangpaatna kana kahiru pan balarea, kami mah patuh kana hukum jeung kaha yang alam nu diciptakeun kunu maha kawasa.
(Sejak awal kami sudah waspada dan menyadari bahwa zaman pasti berubah, tantangan buat masyarakat adat semakin hari semakin berat, dari berbagai perkampungan perbatasan sudah tidak terbendung lagi ada kemajuan pola dan gaya hidup tetapi kami tetap teguh patuh untuk melaksanakan amanat wiwitan dan kami meyakini bahwa baduy aman tentrem, yang penting jangan mengganggu atau diganggu dan jangan merugikan apalagi dirugikan. Kami siap bekerja sama dengan siapa saja, tetapi yang ada manfaatnya bagi keselamatan hidup semua manusia, kami tetap akan patuh mengikuti hukum dan kehendak alam yang sudah diciptakan oleh Yang maha Kuasa”.
Penggunaan istilah-istilah seperti asyhadu, allahuma, bismil lah didalam Sahadat buhun sering pula kita temukan. Mungkin sa ja ini terjadi sebagai adaptasi bahasa atau digunakan oleh para pe cinta budaya sunda yang sudah beragama di luar Sunda Wiwitan namun masih merasa nyaman menggunakan Sahadat Buhun.
Jenis-jenis Sahadat Buhun
Sahadat dari daerah Baduy yang pokok tidak kurang dari 20. Sahadat-sahadat dimaksud, antara lain sebagai berikut :
1.    Sahadat Pernikahan (Shadat Wiwitan, Sahadat Tunggal, Saha dat Samping, Sahadat Batin, Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad) ;
2.    Sahadat Bawa ;
3.    Sahadat Sunda ;
4.    Sahadat Iman ;
5.    Sahadat Bali ;
6.    Sahadat mesir ;
7.    Sahadat Banten ;
8.    Sahadat Santen ;
9.    Sahadat Sri ;
10. Sahadat Imam Mahdi ;
11. Shadat Umur ;
12. Sahadat Rahayu ;
13. Sahadat Rasa ;
14. Sahadat Pamuka alam ;
15. Sahadat Suson ;
16. Sahadat Bumi Alam.
Sebagaimana uraian diatas, penggunaan sahadat Baduy di sesuaikan dengan maksud dan keperluannya. Dalam upacara per kawinan, pembacaan sahadat dibacakan oleh Puun dari kedua belah pihak sejak acara seserahan atau seserenan. Jenis sahadat yang digunakan adalah : Sahadat Wiwitan ; Sahadat Tunggal ; Sahadat Samping ; Sahadat Batin dan sebagai pelengkap dibacakan pula Sahadat Kangjeng Nabi Muhammad. Perkawinan untuk masyarakat Baduy tidak ada perceraian. Dalam istilah sekarang cerai karena mati. Salah satu cara untuk memperkuat keyakinan tersebut, serta upaya agar perkawinan langgeng maka dibacakan Sahadat Bathin.
Selain sahadat dari Masyarakat Baduy, di Priangan terdapat ju ga beberapa jenis. Menurut Wahyu Wibisana (2010), antara lain sebagai berikut :
1.     Sahadat Islam ;
2.     Sahadat Sunda ;
3.     Sahadat jawa ;
4.     Sahadat Bawa ;
5.     Sahadat Taraju ;
6.     Sahadat Sayang ;
7.     Sahadat Sari ;
8.     Sahadat Adam ;
9.     Sahadat Barjah ;
10.  Sahadat Hayun ;
11.  Sahadat Siluman ;
12.  Sahadat Mustakarayun ;
13.  Sahadat Ganda.
Teks Sahadat Buhun
Sahadat menurut ajaran orang Baduy diartikan sebagai rang-kaian kalimat berisi doa–doa atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, diucapkan tidak sembarangan dan ada kramanya. Jika mencermati keterangan diatas tentu sangat sulit menemukan teks Sahadat Buhun yang asli, mengingat tabu di ucapkan sembarangan.
Dalam realitas sosial, sahadat Buhun dengan judul teks seba gaimana yang ada di kalangan masyarakat Baduy atau penganut Sunda Wiwitan di luar Baduy banyak di temukan dikalangan masyarakat maupun sastrawan. Namun telah mengalami trans-formasi makna dan bahasanya, dengan menyelipkan bahasa-ba hasa ageman baru. Padahal, untuk kepentingan Sastra atau Ilmi ah, tak perlu ada pengkoreksian atau penyesuaian bahasa, kare na dapat merubah originalitas dari kandungan dan maksud Saha dat Buhun itu sendiri.
Suatu contoh yang dikemukakan oleh Abdul Rojak di dalam bukunya : ‘Teologi Kebatinan Sunda’ (2005) menjelaskan, bahwa : “Orang Kanekes Baduy Dalam (Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo) juga mengenal istilah syahadat, yang disebut Syahadat Sunda”. Sahadat tersebut tentunya dengan mencantumkan kalimat dari ba hasa keyakinan yang telah disesuaikan.
Dalam kesempatan lainnya, Asep Kurnia (2010), menjelas kan sanggahan secara halus dari orang Baduy mengenai teks Sahadat yang beredar diluar Baduy. Dalam hal ini ada benarnya, bahwa sahadat yang beredar di luar masyara kat Baduy Kanekes bu kanlah Sahadat Buhun atau Sahadat Baduy, melaikan Sahadat Buhun yang telah mengalami transformasi dari bahasa ajaran yang dipakai para pemeluk ajaran Sunda Wiwitan di luar Baduy atau para Sastrawan. Sedangkan masyarakat Baduy dan penganut Sunda Wiwitan masih menggunakan bahasa aslinya, bahasa bathin yang memiliki makna khusus dalam hubungannya dengan Yang Maha Keresa, Tuhan Yang Esa dan alam dimana mereka hidup.
Teks-teks Sahadat dimaksud, sebagaimana dimuat dalam Sastra Lagu: Mencari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Li ma Abad Sastra Sunda - 2000, sebagai berikut :
Sahadat Sunda
Asyhadu syahadat Sunda, zama alloh ngan sorangan. Kaduana Gusti Rasul, katilu Nabi Muhammad, Kaopat umat Muhammad. Nu cicing di bumi ang garicing. Nu Calik dina alam keueung. Ngaca cang di alam mokaha. Salamet umat Muhammad.
(Asyhadu Syahadat Sunda, Zaman Allah hanya satu. Keduanya para Rasul. Ketiga Nabi Muhammad. Ke empat umat Muhammad. Yang tinggal di Bumi yang ramai. Yang duduk di alam takut. Men-jelajah alam nafsu. Selamat umat Muhammad).
Sadat Islam
Sadat islam aya dua,/Ngislamkeun badan kalawan nyawa, Dat hurip tanggal iman, Ngimankeun badan saku-jur, Hudang subuh banyu wulu/Parentah kang jeng Gusti, Nabi Adam pang nyampurna keun badan awaking. Sir suci, Sir Adam, Sir Muhammad, Muhammad Jaka lalana Nu aya di saluhuring alam.
(Sadat Islam ada dua mengislamkan badan serta nyawa.Dat hurip tanggal iman mengimankan seluruh tubuh,/bangun subuh dan berwudlu. Perintah dari Tuhan, Nabi Adam sempurnakanlah badan ku Sir Suci, Sir Adam, Sir Muhammad, Muhammad Jakalalana, Yang berada diatas alam).
Sahadat Jawa
Apa pengot surat Raden Angga Keling/Pangeran Angga Waru lang/ Ratu suluk ajitullah/Pengersa sa Nusa Jawa/Puputrane Ulis Akin/ Kajayak ngarurug Pajajaran/Tanggal ping opat welas/Nukila di kalimati sahadati/Isun weruh umat Allah dikang Selamat.
Sahadat Bawa
Ashadu Sahadat Bawa,/Iman jati lulungguhan pulo nyawa,/Roh nyawa intening hurip,/Hurip ieu keuna ku gingsir/Langgeng teu keuna ku owah,/Lailahileloh Muhamad Rasulullah
Sahadat Taraju
Ashadu sahadat taraju/Idin imatan warohmatan/Walidatan, wasira tan,/Titikaptan minha yah u/Ya Allah, ya Rasulullah.
Sahadat Sayang
Ashadu sahadat sayang,/Kuriling ka bale suci/Cat mancet ka jagat mulya,/Tetesen ditetes ku Allah/Ya hu, ya Allah, ya Rasulullah.
Sahadat sari
Ashadu sahadat sari,/Gegedah wadah humenggang,/Ngebur-ngebur lain ratu,/Ngebyar-ngebar cahyaning pangeran,/Payung tilu nungku-nungku,/Payung emas lingga jati,/Kakayon sabar darana,/-Teteras sekar cendana.
Sahadat Adam
Ashadu Sahadat Adam/Sah Adam/Ashadu nur putih alip tunggal/
Iman eling ka mulya kang kadim,/Lailahailaleloh Muhammad Rasululah.
Sahadat Barjah
Ashadu sahadat barjah,/Enggon Allah sapatemon,/Sang Mutiara Putih calik di iman,/Patala artu miski aja ningratullah,/Titpan ge- dong kencana,/Nama Allah Rasulullah,/Lailaha ilaloh.
Sahadat Hayun
Asahadu sahadat hayun,/Hayun-hayun hurip kang hurip,/Cicipta Gusti Kang waras,/Cicipta Allah cipta rosa kang kawasa,/Ceg ba dan wujuding Allah Rasulullah/Nanya badan, ceg badan wujuding manusa.
Sahadat Siluman
Heuah balung nangtung tulang/Tulang muntang. Colok rasa ku buana/Deg kimili rasa/Aing nyaho ratu sia/Anak sia ratu Siti,/Ambu sia ratu neluh ti Galunggung,/Bapa sia pangulu jin.
Sahadat Mustakarayunan
Asahadu mustakarayunan/Sahadat permana tunggal,/Selam lahir, selam bathin,/Selam pinarengin kersa,/Sing waspada kanu ngayu ga bumi alam/Aya nu saurang, aya nu sorangan,/Aing waspada kepada Allah,/Allah waspada ka kaula./Tenget gemereng-ereng ,/Raraga gemet ruhiat,/Terusning Allah terusning rasa/Pani-pani langgeng tetep,/Langgeng agama Islam.
Sahadat Ganda
Ashadu ganda ingsun,/Turun saking sawarega,/Ningal ganda ning sunan sampurna,/Ganda ningsunan handiri,/Kamar langit karaton.
Cag heula, mangga urang korehan deui  (***)

Sumber Bacaan pokok :

SASTRA LAGU : Mencarari Larak dan Lirik, Wahyu Wibasana, Dalam Lima Abad Sastra Sunda, Geger Sunten, 2000.


Saatnya Baduy Bicara : Asep Kurnia, dkk (2010).


MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960