Selasa, 20 Mei 2008

PURNAWARMAN

Purnawarman bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaprakarma Suryamahapurusa Jagatpati – Pembangun Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvajabuthena (panji segala raja), atau sering disebut Maharaja Purnawarman. Ia berkuasa pada tahun 395-434 M. Dan meningal pada 356 Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang Lumah ing Tarumadi.


Sebutan sebagai panji segala raja dimuat didalam Prasasti Tugu dan prasasti Cidangiang. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang sangat terkenal dibandingkan raja-raja Tarumanagara lainnya. Ia membangun beberapa sungai sebagai sarana perekonomian ; menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang belum mau tunduk terhadap Tarumanagara. Ia dijuluki bhimaparakramoraja. Lawan-lawannya menjuluki Wyahghra ning Tarumanagara (Harimau dari Tarumanagara ; ia banyak dikisahkan didalam prasasti-prsasasti Tarumanagara dan Naskah-naskah sejararah, sebagai raja yang gemar memberikan hadiah.


Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan tentang Purnawarman sebagai raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang 6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang ; sebagai raja perkasa yang selalu menang perang dan ditakuti musuh-musuhnya ; Ia senang menganugrahkan hadiah ; tunggangannya seekor gajah yang bernama Airawata.


Dari prasasti maupun naskah Wangsakerta menerangkan, Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Seperti prasasti Munjul (Pandeglang) yang menjelaskan wilayah kekuasaan Tarumanagara semasa Purnawarman mencakup pantai Selat Sunda. Dimungkinkan wilayah ini sama dengan ketika dipimpin kakek dan ayahnya.


Perluasan daerah kekuasaan Tarumanagara melalui jalan perang maupun jalan damai berakibat wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin Rajadirajaguru dan Raja Resi. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Hal yang sama dapat ditenggarai dari masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.


Membangun Wilayah Tarumanagara

Kisah Purnawarman secara terperinci diuraikan didalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah pertama yang dilakukannya, ia memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398 sampai 399 M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.


Pada tahun 410 M ia memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon, termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.


Pada tahun 334 Saka (412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yang mengalir hingga istana raja.


Tahun 335 Saka (413 M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa (Cimanuk).


Tahun 339 Saka (417 M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru, kakeknya.


Tahun 341 Saka (419), memperdalam kali Citarum yang merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.


Proses dan hasil pembangunan yang dilakukannya menghasilkan beberapa implikasi bagi Tarumanagara, yakni Purnawarman dapat memperteguh daerah-daerah yang dibangunnya sebagai daerah dibawah kekuasaanya. Kedua, pembangunan tersebut dapat membangkitkan perekonomian pertain dan pedagang. Ketika, membangun rasa kebersamaan melalui karya bhakti. Karena setiap daerah yang dibangunnya selalu melibatkan para petani disekitarnya. Ia pun tidak lupa untuk menghadiahi mereka yang melakukan Karya Bhakti dan menyumbang para Brahmana.


Purnawarman pun menyusun berbagai macam Pustaka yang berisi undang-undang kerajaa, peraturan ketentaraan, siasat perang, masalah daerah di Jawa Barat, serta sirsilah keluarga Warman dan maklumat kerajaan.


Politik dan Keamanan Wilayah

Sejak pra Aki Tirem wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya Dewawarman I berkenalan dengan masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula kemudian masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.


Konon kabar ketika masa Salakanagara, pemberantasan perompak memang dianggap sulit bahkan menurut cerita rakyat, ketujuh putra Dewawarman terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau perompak. Para perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan, sehingga unhtuk keperluan ini, Dewawarman membuka jalur diplomatic dengan Cina dan India.


Demikian pula ketika jaman Purnawarman, wilayah laut jawa sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal selalu diganggu atau dirampas, bahkan berhasil menyandera dan membunuh seorang menteri kerajaan Tarumanagara dan para pengikutnya.


Untuk menghancurkan perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah tersebut menjadi aman, karena Purnawan akan menghukum mati setiap perompak yang tertangkap.


Untuk meneguhkan hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yang menikah dengan keluarga raja lain. Purnawarman memiliki permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-istri lainnya dari Sumatra, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.


Dari permaisuri ini kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama diberinama Wisnuwarman, kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera terdapat raja besar yang bernama Sri Jayanasa, ia adalah keturunan Purnawarman.


Agama di Tarumanagara pada masa Purnawarman

Purnawarman dikenal sebagai pemuja Wisnu, sebagaimana yang dikenal didalam prasastinya. Namun ia dikenal juga sebagai pemuja Indra apabila ia hendak pergi berperang, sehingga dijuluki Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng). Gelar purundara merupakan dsalah satu gelar Dewa Indra sebagai Dewa Perang.


Walaupun demikian, para penduduk Tarumanagara ada juga yang memuja Syiwa dan Brahma, serta sedikit yang beragama Budha, kecuali di Sumatera. Namun bagi masyarakat pribumi kebanyakan menganut agama nenek moyangnya, sama dengan ketika ayahnya masih berkuasa. (***)




File terkait : Tarumanagara.




Kamis, 15 Mei 2008

SALAKANAGARA

Oleh : Agus Setiya Permana


Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.


Sumber berita yang sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu, sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.


Berita Cina bukan satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku ‘Geographia’, ditulis + tahun 150 M. Ptolomeus menyebutkan diujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.


Didalam sejarah lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang. Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak (Mungkin Caringin Kurung) dan Gunung Padang Cianjur. Tapi tokoh Betawi, Ridwan Saidi dalam bukunya “Babad Tanah Betawi” mengkalim Salakanagara terletak di Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk, bahkan menyebut-nyebut Aki Tirem sebagai leluluh orang Betawi.


Kegamangan menentukan letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya. Dimungkinkan pula kegamangan ini karena tidak diperhitungkannya perubahan alam, seperti telah meletusnya Gunung Krakatau pada abad ke-17, dikenal dengan nama Nusa Api.


Menurut hemat saya, penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat atau petutur sejarah lisan. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan Tarumanagara. Konon Kabar kerajaan ini merupakan ‘tuturus’ dari Salakanagara.


Dalam cerita lisan Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin abu saca). Yang satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, namun memang seolah-olah ada cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sebagai paneling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang ceritanya hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak “ka girangna”. Namun didalam sejarah Jawa Barat disebutkan pertanda adanya sentuhan budaya dari India.


Arti Salakanagara

Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kotaperak atau Argyre (ptolomeus).


Konon kabar Salakanagara sampai dengan masa Aki Tirem baru bebentuk suatu komunitas masyarakat yang tinggal di Wilayah tersebut, bahkan namanya pun belum disebut Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu, Salakanagara resmi menjadi kerajaan ketika masa Dewawarman I, menantu Aki Tirem yang menikahi putri Aki Tirem, bernama Pwahaci Larasati (urang sunda menyebut Dewi Pohaci).


Jauh-jauh hari sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.


Muasal Aki Tirem

Aki Tirem sangat kuat untuk diperkenalkan sebagai cikal bakal Salakanagara. Dijamannya hanya berpredikat setingkat penghulu, bukan berpangkat raja. Aki Tirem dalam cerita rakyat Pandeglang dikenal juga dengan landihan Aki Luhurmulya, atau Angling Dharma (Hindu) dan naman Wali Jangkung (Islam). Namun penyebutan tokoh dengan nama tersebut sering terdapat perbedaan, karena masyarakat ada juga yang menyebut nama Prabu Angling Dharma atau Wali Jangkung kepada Dewawarman. Bahkan Angling Dharma juga diakui berada di wilayah lain, bukan Salakanagara.


Kemasygulan masyakarat terhadap tokoh Aki Tirem menyebabkan bertambah gelar-gelar yang ia terima. Nama Angling Dharma misalnya, hemat saya lebih tepat jika dilarapkan kepada Dewawarman, mengingat Prabu Angling Dharma dalam ceritanya digambarkan sebagai Raja, bukan penghulu. Demikian pula sosok Wali Jangkung, mengingat para pendatang dari India lebih memiliki sosok yang lebih tinggi dari para penduduk yang datang sebelumnya atau pribumi.


Menurut Naskah Wangsakerta Aki Tirem adalah putera Ki Srengga, Ki Srengga Putera Nyai Sariti Warawiri, Nyai Sariti Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel, Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul dari Swarnabhumi bagian selatan kemudian berdiam di Jawa Barat sebelah Barat, Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer, Ki Pawang Sawer Putera Datuk Pawang Marga, Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang berdiam di swarnabhumi sebelah utara, Ki Bagang putera Datuk Waling yang berdiam di Pulau Hujung Mendini, Datuk Waling putera Datuk Banda, ia berdiam di dukuh tepi sungai, Datuk Banda putera Nesan, yang berasal dari Langkasungka. Sedangkan Nenek moyangnya berasal dari negeri Yawana sebelah barat.


Jika dipelajari lebih jauh lagi, naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M menceritakan, bahwa pendatang dari Yawana dan Syangka yang termasuk kedalam kelompok manusia purba tengahan (janma purwwamadhya) tiba kira-kira tahun 1.600 sebelum saka. Kaum pendatang yang tiba di Pulau Jawa kira-kira antara 300 sampai dengan 100 tahun sebelum saka. Mereka telah memiliki ilmu yang tinggi (widyanipuna) dan telah melakukan perdagangan serbaneka barang. Para pendatang ini menyebar ke pulau-pulau Nusantara.


Wangaskerta menjelaskan pula, : oleh para mahakawi yang terlibat dalam penyusunan naskah Wangsakerta disebut jaman besi (wesiyuga), karena mereka dianggap telah mampu membuat berbagai macam barang dan senjata dari besi, yang lebih penting, mereka telah mengenal penggunaan emas dan perak.


Sebenarnya bukan hanya berdagang, tetapi merekapun merasuk kedesa-desa, seolah-olah semuanya milik mereka. Pribumi yang tidak mau menurut atau menghadangnya segera dikalahkan. Merekapun harus menjadi orang bawahan yang harus tunduk pada keinginan mereka. Antara tahun 100 sebelum saka sampai awal tahun Saka masih banyak kaum pendatang yang tiba dinusantara dari negeri-negeri sebelah timu India yang juga telah memiliki pengetahuan yang tinggi.


Dari kisah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa pengambilan nama Salakanagara, atau Kotaperak, atau argyre memang wajar dan sangat terkait dengan jaman tersebut, yang kisahkan oleh para Mahakawi sebagai jaman besi (wesiyuga), jaman manusia di Nusantara telah mengenal penggunaan besi dan perak sebagai perkakas. Sedangkan kaum pendatang, seperti Dewawarman dari India datang ketempat tersebut dimungkinkan untuk berdagang dan mencari perak.


Raja-raja Salakanagara

Raja raja Salakanagara menggunakan nama Dewawarman sesuai nama raja pertamanya, yaitu Dewawarman I., menurut sejarah merupakan salah seorang Pangeran dari Palawi, India selatan, sebelum menjadi menantu aki ia adalah duta negaranya di Pulau Jawa. Dewawarman.


Pertemuan klan Aki Tirem dengan Dewawarman semula berazaskan pada kepentingan saling melindungi. Aki Tirem ketika itu sebagai penghulu diwilayah Salakanagara, sedangkan Dewawarman duta dari Palawa. Konon kabar menurut Naskah Wangsakerta, Dewawarman selalu melindungi penduduk Salakanagara dari rongrongan para perompak.


Kerjasama yang paling mengesankan bagi kedua belah pihak ketika Pasukan Dewawarman dengan Aki Tirem menregap rombongan perompak yang turun ke Salakanagara. Serta merta mereka dapat dilumpuhkan. Sejak saat itu pasukan Dewawarman sering turun ke Salakanagara, hingga suatu saat Dewawarman terpikat oleh putri Aki Tirem, kemudian menikah. Demikian juga seluruh pasukan dan kerluarganya, merekapun mengikuti jejak Dewawarman menikai putri-putri Salakanagara.


Ketika Aki Tirem sakit ia sudah berpesan agar jika suatu saat meninggal maka Dewawarman yang diharapkan menggantikan kedudukannya. Hingga tibalah Aki Tirem Wafat. Ada juga yang mengisahkan Akti Tirem ketika digantikan Dewawarman belum wafat, namun ia sengaja mengundurkan diri dari keramaian dunia dan pergi bertapa. Dewawarman kemudian dinobatkan menjadi raja pertama Salakanagara, dengan gelar Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara, Sedangkan Dewi Pohaci diberi gelar Dwi Dwani Rahayu.


Penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M. Dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan Sunda yang dikenal dengan sebutan Saka Sunda.


Dewawarman I berkuasa selama waktu 38 tahun sejak dinobatkan pada tahun 52 Saka atau 130 M. selama masa pemerintahan ia pun mengutus adiknya yang merangkap Senapati, bernama Bahadur Harigana Jayasakti untuk menjadi raja daerah di Mandala Ujung Kulon. Sedangkan adiknya yang lain, bernama Sweta Liman Sakti dijadikan raja daerah Tanjung Kidul dengan ibukotanya Agrabhintapura. Nama Agrabhinta dimungkinkan terkait dengan nama daerah berada didaerah Cianjur selatan, sekarang menjadi daerah perkebunan Agrabhinta, hanya karena sulit diakses, daerah tersebut seperti menjadi daerah tertinggal.


Klan Dewawarman menjadi raja Salakanagara secara turun menurun. Seperti Dewawarman II anak Dewawarman dari perkawinan dengan Pohaci Larasati. Dalam catatan sejarah, raja-raja Salakanagara yang menggunakan nawa Dewawarman sampai pada Dewawarman IX. Hanya saja setelah Dewawarman VIII, atau pada tahun 362 pusat pemerintahan dari Rajatapura dialihkan keTarumanagara. Sedangkan Salakanagara pada akhirnya menjadi raja bawahan Tarumanagara.


Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Salakanagara meliputi Banten, Jawa Barat bagian barat dan pulau-pulau didalam Wilayahnya. Sepanjang pantai Salakanagara dijaga Pasukan Dewawarman, termasuk pesisir Jawa Barat, Nusa Mandala atau Puilau Sangiang, Nusa Api dan pesisir Sumatra Bagian selatan. Bertujuan untuk menjaga keamanan dari gangguan perampok. Sebagai imbalannya, para pelaut tersebut diwajibkan membayar upeti.


Selama kejayaan Salakanagara memang gangguan yang sangat serius datangnya dari para perompak. Hingga pernah kedatangan perompak Cina. Namun berkat keuletan Dewawarman dengan membuka hubungan diplomatik dengan Cina dan India pada akhirnya Salakanagara dapat hidup damai dan sentausa.


Peninggalan Salakanagara

Selain adanya perkiraan jejak peninggalan Salakanagara, seperti batu menhir,. Dolmen dan batu magnet yang terletak di daerah Banten, berdasarkan penelitian juga ditemukan bahwa penanggalan sunda atau Kala Sunda dinyatakan ada sejak jaman Aki Tirem. Penanggalan tersebut kemudian dinamakan Caka Sunda. Perhitungan Kala Saka mendasarkan pada Matahari 365 hari) dan Bulan (354 hari). Masing-masing tahun mengenal taun pendek dan panjang.


Cikal Bakal Tarumanagara

Konon kabar pada tahun 270 Saka atau 348 Jayasinghawarman, seorang Maharesi dari Salankayana India, ia mengungsi karena daerahnya ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Daerah pengungsuiannya terletak di Wilayah dekat Citarum. Daerah tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Dewawarman VIII. Maharesi tersebut kemudian menjadi menantu Dewawarman VIII.


Setelah berselang lama, banyak penduduk berdatangan dan menetap disana. Lama kelamaan daerah tersebut menjadi Nagara (kota). Kemudian Jayasingawarman pun memperbesar kotanya hingga menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Tarumanagara.

Jayasingawarman selain menjadikan sebuah kerajaan iapun kemudian menjadi rajadirajaguru yang memerintah kerajaan. Ia pun kemudian bergelar Jayasingawarman Gurudarmapurusa.


Cag Heula. (***).


Mudah mudahan tulisan ini ada yang dapat melakukan koreksi. Harur Nuhun.


Kamis, 08 Mei 2008

BALANGANTRANG (MASA MANARAH)


Sebagaimana dijelaskan sebe lumnya, Balangantrang dikenal juga dengan nama Bimaraksa, dalam cerita rakyat dikenal dalam kisah Ciung Wanara sebagai pasangan nini aki Balangantrang yang menemukan bayi Ciung Wanara, bayi itu ia beri nama Ciung Wanara.


Tersebutlah sepasang aki dan nini Balangantrang yang tinggal di Geger Sunten, suatu wilayah yang tidak memiliki tetangga. Karena kesepiannya si nini merindukan kehadiran anak yang konon tak kunjung tiba. Hingga pada suatu malam, si nini bermimpi kejatuhan bulan, si aki pun menafsirkan bahwa sebentar lagi ia akan mendapat rejeki.


Karena profesi aki Balangantrang sebagai penangkap ikan, pada malam itu juga aki membawa “kecrik” ke kali Cintanduy. Namun tanpa diduga duga, tiba-tiba melihat ranjang bayi yang gemerlap di tepi sungai, "lir ibarat emasng singaling". ia pun lantas mengambil dan memeriksanya. Betapa terkejutnya ketika dibuka nampak sesosok bayi mungil yang masih hidup. Disebelah bayi tergeletak sebutir telor ayam.


Konon menurut yang empunya cerita, bayi itu lantas di “rorok” dengan penuh kasih hingga dewasa, sedangkan telur ayamnya di tetaskan hingga menjadi seekor ayam jantan. Konon pula, kelak ayam itu menjadi ayam aduan yang tangguh dan berhasil mempersembahkan mahkota.


Aki Balangantrang kemudian mendapat kabar, bayi yang ia pelihara itu ternyata anak raja. Aki dan Nini pun kemudian membekali pengetahuan secukupnya. Mereka pun menceritakan kepada Ciung Wanara, bahwa mereka sebenarnya bukan orang tuanya. Dan orang tua Ciung Wanara adalah seorang raja. Cerita selanjutnya dikisahkan, bagaimana Ciung Wanara memenangkan taruhan adu ayam, hingga kemudian ia menjadi raja di Galuh.


Situs Tempat Sabung Ayam


Dalam cerita lisan ini memang tidak disebutkan adanya pemisahan batas kekuasaan Manarah dengan Haryang Banga sebagaimana yang dikenal dalam catatan sejarah resmi. Namun ada persamaan mengenai batas wilayahkekuasaanya, yakni di batasi Kali Citarum.


Manarah dan Balangantrang

Dalam catatan sejarah, Ciung Wanara dikenal dengan nama Manarah, putra Permana Dikusumah – seorang raja “nu minandita” dari Pohaci Naganingrum, putri Balangantrang. Permana Dikusumah lebih dikenal karena sikapnya yang minandita. Permana Dikusumah lebih senang bertapa ketimbang mengurus tahtanya. Dari sifatnya yang alim, Permana Dikusumah diberi nama Bagawan Sijalajala atau Ki Ajar Resi. Dengan demikian Manarah adalah cucu dari Bimaraksa.


Tentang Permana Dikusumah, biasanya cerita lisan sering “pacaruk” dengan cerita Mundiinglaya Dikusumah (Surawisesa), mungkin cerita ini terbaur karena memliki nama yang sama, yakni Dikusumah, agak sulit dibedakan. Sehingga epos Sunda (Sundapura) dengan Galuh menjadi cair.


Permana Dikusumah sebenarnya bukan keturunan Mandiminyak yang mendapat amanah menggantikan Wretikandayun, ayahnya. Ia anak Patih Wijaya Kusumah, Putra Prbasora. Memang sepintas menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan serius bagi para akhli sejarah :”kenapa Sanjaya memilih Permana Dikusumah sebagai pemegang pemerintahan di Galuh dan Sanjaya malah tinggal di ibukota sunda ?.


Para akhli sejarah mencari jawaban ini dari Carita Parhyangan. Konon kabar setelah mengalahkan Purbasora, kemudian ia mengutus patih menemui Sempakwaja. Ia meminta agar Demuwan (adik Purbasora dan anak Sempakwaja) direstui untuk memegang pemerintahan di Galuh.


Karena Sanjaya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia berkeinginan untuk menyudahi perang saudara. Sanjaya pun meminta restu ini karena menghormati orang-orang tua di Galuh sesuai dengan pesan Sena (ayah Sanjaya).


Sempakwaja patut mencurigai permintaan ini dan berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan sundapura pembunuh Purbasora. Sedang ia pun masih teringat perjuangan Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.


Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara.


Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai berikut :


Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,

carek Dangiang Guru:

"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,

Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,

aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.

Da beunang ku aing kabawah.

Turut kana ucapan aing.

Da aing wenang ngelehkeun,

hanteu kasoran. Da aing anak dewata."


Sebagai orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta (Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.


Kekalahan Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja menunjuk Permana Dikusumah untuk memegang pemerintahan di Galuh, dan Sanjaya pun menyetujuinya.


Ending yang sama namun disajikan dengan alasan yang berbeda, dikemukakan dalam Naskah Wangsakerta, isinya mengabarkan : Sanjaya menjadi Raja Galuh Pakuan (sunda dan galuh) tetapi kerabatnya, yakni Sempakwaja dan Demuwan merasa tidak senang melihat Sanjaya menjadi penguasa sekitar Galuh, terutama melihat Galuh berada dibawah Kerajaan Sunda. Karena itu ia tinggal di ibukota sunda. Oleh karenanya Galuh dikuasakan kepada Prabu Permana Dikusumah sebagai raja bawahan sunda. Untuk mengontrol kekuasaan Permana dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di Purasaba Galuh.


Peristiwa Dewi Pangrenyep

Telah diuraikan diatas, Permana Dikusumah sangat terkenal dengan kepanditaannya, iapun pernah menjadi raja dibawah kekuasaan Mandiminyak. Bahkan julukan resi ia terima sejak masih muda.


Permana Dikusumah juga menantu Bimaraksa. Dari Naganingrum kemudian ia dikaruni anak yang diberi nama Surotama atau Manarah. Ada juga petutur yang memberinya nama Ciung Manarah, sedangkan dalam tradisi lisan (pantun), Manarah dikenall dengan sebutan Ciung Wanara. Ia sangat disayang, kakeknya, Bimaraksa. Dari Manarah terkumpul darah keturunan Wretikandayun tulen, yakni Sempakwaja dan Jantaka.


Pada periode kepemimpinan di Galuh, Permana Dikusumah di jodohkan dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada, patih Sundapura. Umurnya jauh lebih muda dari Permana Dikusumah. Konon kabar karena beda umur ini dan hobinya Permana Dikusumah menyebabkan Pangrenyep menjadi kesepian. Dalam cerita lain, seringnya Permana Dikusumah pergi bertapa disebabkan keengganannya mengabdi kepada Sanjaya, pembunuh kakeknya. Namun semua itu ia lakukan sesuai permintaan Sempakwaja, kakek buyutnya.


Selama ditinggalkan bertapa Pangrenyep sering bertemu dengan Tamperan, patih yang masih muda dan gagah perkasa, terjadilah perselingkuhan. Hal inipun tidak diketahui Sanjaya, mengingat Sanjaya masih terus melakukan ekspansi kenegara lain. Hubungan gelap Tamperan kemudian melahirkan seorang anak, yang diberi nama Banga. Permana beranggapan, Manarah tidak akan pernah menjadi Raja Galuh, karena siapapun yang dilahirkan Pangrenyep, secara resmi masih istri Permana, dinisacayakan menjadi raja di Galuh.


Sampai cerita ini, banyak sejarah nu pagaliwota, paling tidak penafsiran Manarah satu ayah dengan Banga, dan menganggap Permana Dikusumah telah meninggal, sehingga perseteruan Manarah dengan Banga dianggap perebutan tahta adik dan kakak.


Peristiwa memalukan ini kemudian diketahui Sanjaya. Untuk menutup aib Sanjaya menyingkirkan Tamperan ke Pakuan. Setelah penaklukan Jawa Madha dan Jawa Pawathan, Sanjaya memutuskan untuk tinggal di Galuh. Namun tidak berlansung lama, karena pada suatu ketika Sena meminta sanjaya menggantikannya, menjadi raja di Mataram.

Permintaan ayahnya tersebut menyebabkan Senjaya sangat sulit untuk menentukan pengganti yang dapat mejadi wakilnya di Galuh. Sementara itu, Permana Dikusumah pun telah berketetapan untuk menjadi pertapa dan meninggalkan kesibukan dunia. Pada akhirnya Senjaya menunjukan Tamperan sebagai penguasa Galuh.


Balangantrang manggung deui

Sebenarnya cinta terlarang tamperan dengan Pangrenyep tidak akan menumpahkan darah jika Tamperan tidak membunuh Permana Dikusumah dipertapannya. Pembunuhan terjadi ketika Tamperan menggantikan posisi Sanjaya di Galuh, namun ia belum memiliki permaisuri. Ia sebenarnya memilih pangrenyep untuk menjadi istrinya. Sayangnya Pangrenyep masih istri resmi dari Permana Dikusumah, hingga iapun perlu terlebih dahulu melenyapkan Permana Dikusumah.


Setelah suruhannya berhasil membunuh Permana Dikusumah kemudian iapun sekaligus menikahi Pangranyep dan Naganingrum. Iapun memperlakukan Manarah seperti anaknya sendiri. Mungkin peristiwa inilah yang ditafsirkan Manarah dan Banga adik kakak satu ayah. Bahkan dalam cerita rakyat nama ayah keduanya disebut-sebut Prabu Brama Wijayakusumah, hampir sama dengan nama Tamperan Barmawijaya.


Skandal yang sebelumnya menjadi rahasia Tamperan pada akhirnya tercium luas di lingkungan Galuh, terdengar pula oleh Bimaraksa di Geger Sunten, pada waktu itu sedang aktif menghimpun kekuatan dengan nama Aki Balangntrang. Ia pun mendapat dukungan dari raja-raja sekitar Galuh yang berhasil ditaklukan Sanjaya. Tugas ini tidak begitu sulit dilakukan, karena sebelumnya ia dikenal sebagai senapati dan Patih Galuh yang tangguh, serta masih terhitung cucu dari Wretikandayun.


Geger Sunten

Untuk mematangkan soliditas perlawanan, Balangantrang merasa perlu menarik Manarah dipihaknya. Memang agak sulit, karena Tamperan mengakui dan memperlakukan Manarah sebagai anaknya sendiri, berakibat Manarah agak sulit didekati. Namun bagi gerakan Balangantrang, Manarah adalah simbol perlawanan Galuh, karena ia anak Permana Dikusumah yang dibunuh Tamperan. Pada akhirnya Manarah dapat diyakinkan, hingga iapun sering secara diam-diam menemui kakeknya di Geger Sunten.


Penyerbuan Manarah dan pasukan Balangantrang untuk menguasai Galuh diatur dengan seksama. Bagi mereka masalah penguasaan teritorial kota Galuh tidak sulit dilakukan, mengingat kesehariannya Ia hidup dilingkungan Galuh. Balangantrang merencanakan untuk melakukan penyerbuan pada siang hari, dengan cara langsung menguasai istana, sedangkan Manarah melakukannya ditempat sabung ayam, ia akan terlibat sebagai peserta sabung ayam. Biasanya pada acara itu di hadiri pada saat para pembesar istana (termasuk Tamperan). Sehingga dengan taktik ini Balangantrang akan sangat mudah menguasai istana. Namun dalam sejarah lisan, masyarakat Galuh lebih banyak menceritakan kisah sabung ayamnya, ketimbang penguasaan keraton oleh pasukan Balangantrang.


Upaya merebut tahta Galuh itu dilakukan pada tahun 723, dan berhasil dengan gemilang. Jika Sanjaya dahulu merebut tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pada malam hari, namun Manarah dengan Balangantrang melakukannya pada siang hari.


Persitiwa ini diceritakan didalam Carita Parahyangan, cuplikannya sebagai berikut :


Sang manarah males pati.

Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,

ku Sang Manarah.

Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.

Rahiang Banga datang bari ceurik,

sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.

Kanyahoan ku Sang Manarah,

tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna

Rahiang Banga ku Sang Manarah.

Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa,

mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa,

Rahiang Tamperan

lilana ngadeg raja tujuh taun,

lantaran polahna resep

ngarusak nu tapa,

mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh

taun, lantaran tabeatna hade.


Perjanjian Galuh

Sanjaya mendengar berita kematian anaknya, iapun dengan pasukan besarnya menyerang purasaba Galuh. Tapi Manarah telah mempersiapkan diri menyongsong serangan,dibantu oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang kerajaannya telah dibumi hanguskan Sanjaya, disampng itu ia pun dibantu raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukan Sanjaya. Pengulangan perang saudara tidak berlangsung lama karena dapat dilerai oleh Resi Demuwan. yang memaksa mereka untuk berunding.


Dari perundingan kemudian disepakati, : menyudahi permusuhan ; tidak boleh saling menyerang ; penyelesaian masalah harus dengan musyawarah ; hubungan kekerabatan tidak boleh terputus ; harus saling menghormati hak ahli waris yang syah, yakni negeri sunda dari daerah Citarum ke barat dipimpin oleh Banga sedangkan Negeri Galuh dari Sungai Citarum ke timur dipimpin oleh Manarah.


Citarum Purba


Memang patut disayangkan, bekas kerajaan Tarumanagara yang berhasil disatukan oleh Sanjaya (723 – 739) terpaksa harus terpisah kembali. Namun ketika jaman Pajajaran (Kawali dan Pakuan) wilayah ini untuk yang kedua kalinya dapat dipersatukan. Dalama babak berikutnya Galuh diserahkan kepada Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, sedangkan Sunda diserahkan kepada Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya. Perundingan itupun menetapkan status Banga menjadi raja bawahan Galuh. Namun Banga menerima keputusan ini, karena ia merasa masih bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.


Sama dengan tradisi raja-raja dahulu yang kerap dilakukan, adalah mengikat pertalian saudara melalui perkawinan. Untuk lebih mempererat persaudaraan dan menyatukan kembali keturunan Wretikandayun, keduanya dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dijodohkan dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari, adik Kancanawangi. Dari perkawinan dengan Kancanasari, manarah mempunyai beberapa orang putri, iapun kemudian diganti oleh menantunya, Manisri, suami dari Puspasari. Karena tidak diketahui asal-usulnya, maka didalam Cerita Lutung Kasarung, Manisri dianggap sebagai Putra Sunan Ambu, sedangkan Puspasari bernama Purbasari.


Rupanya keturunan Manarah sangat sulit memperoleh anak laki-laki dan keturunan, karena ketika Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeryan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya


Lainnya halnya dengan Banga, ia berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, untuk kemudian iapun melepaskan dari Galuh dan menjadi negara merdeka. Hingga Sunda menjadi sederajat dengan Galuh. Iapun dikarunia keturunan yang tidak terputus, bahkan cicit Banga , yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon, yang menjadi Raja Sunda ke-8. Diserahi menjadi raja Galuh, karena Lingga Bumi, keturunan Manarah tidak mempunyai keturunan.


Karang Kamulyan


Panutup

Setelah perjanjian dilaksanakan, dan Balangantrang berhasil mengantar Manarah, cucunya menjadi raja di Galuh, Balangantrang kembali ke Geger Sunten. Tentunya sekarang tidak lagi perlu bersembunyi seperti ketika ia bergerilya. Tinggalah Manarah yang dibantu anak-anak muda, melanjutkan tugasnya untuk mengemban hidup dan kehidupan. Aki Balangantrang masih hidup dengan para juru pantun, sekalipun raganya sudah tak lagi ada.


Bangus lampahna Ki Balangantrang,

mipir pasir nataratas jalan kahuma,

nyukcruk cai reretan jalan nu tas kaliwat,

pancen jadi pangbagea,

kabalarea nu mapag jeung kabungah hirup.

Cag nepi kadieu,

Sampeurun keur engke jaga (***).









Dari berbagai sumber.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960