Senin, 28 April 2008

SILIHWANGI

Mengisahkan sejarah Siliwangi seperti mudah namun agak rumit, meningingat banyak pesan-pesan para petutur (tradisi lisan) yang menyesuaikan dengan semangat nilai-nilai yang diyakininya benar. Suatu hal yang mungkin menyebabkan kerancuan, antara lain adanya perubahan "ageman" urang sunda, dari tradisi buhun menjadi pemeluk agama yang sekarang. Ageman yang dikenal dengan istilah "Sunda Wiwitan" tak diakui pula sebagai agama, sama nasibnya dengan agama asli Batak, Nias, Suku Ibu dan Kaharingan. Mungkin karena kecintaan dan rasa kagumnya, para petutur seolah-olah tidak ikhlas jika "Silihwangi" berbeda agama dengan para petuturnya. Selanjutnya dalam Islam dan Sunda dalam mitos.



Antara Mitos dan Kebenaran Sejarah

------------------------------------

Sejarah adalah sejarah, suatu cermin yang dapat memantulkan kearifan masa lalu. Kita bisa mengambil nilai-nilainya yang universal. tanpa harus merubah keyakinan yang kita miliki. Mungkin kita bisa mengambil himah dari pesan Galunggung : Hana nguni hana mangke - Tan hana nguni tan hana mangke - Aya ma baheula hanteu teu ayeuna - Henteu ma baheula henteu teu ayeuna - Hana tunggak hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna ..... Tiada masa kini tanpa ada masa lalu - masa kini adalah peninggalan masa lalu.


Kerancuan yang paling nyata dapat ditemukan dari cara pandang para pecinta supranatural. dalam hal ini Silihwangi menjadi sangat mistis. Saya masih sering mendengar cerita "urang sunda" nu ngumbara didaerah transmigrasi. Mereka merasa di jenguk Prabu Silihwangi ketika pagi hari melihat bekas tapak harimau. Memang nampaknya berlebihan, tapi inipun ada alasannya, menafsirkan dari uga : "Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna".


Sebagai rasa hormat dan kekaguman, nama Silihwangi banyak diabadikan didalam berbagai ragam, dari nama jalan raya, lapangan, gedung bahkan, kesatuan, komunitas dan lembaga pendidikan. Di Jawa Barat nama pasukan yang selalu membawa nama harum diberi nama Siliwangi. Konon kabar nama Siliwangi memberikan semangat bagi tentara yang terkenal pemberani dan pantang menyerah, bahkan dalam penumpasan pemberontakan dijaman orla, dapat memberikan posisi menang selangkah di banding lawan-lawannya ketika mendengar Pasukan Divisi Siliwangi. Jadi tidak heran jika Pasukan Elite Angkatan Darat yang sekarang dikenal dengan nama Kopasus lahir dari haribaan Divisi Siliwangi.


Dalam perkembangannya, keharuman Pasuka
n Siliwangi yang menyatu dengan semangat kebesaran Prabu Siliwangi sangat dimasygulkan masyarakat sunda. Bagi yang sedikit melek politik nama ini dimanfaatkan untuk ikut mendongkrak nama organisasi politik atau ormas. Karena nama Siliwangi memiliki daya magnet dan keagungan yang meniscayakan dihormati masyarakat sunda, Jadi cukup beralasan jika nama Silihwangi digunakan pula sebagai Jargon pemersatu dan pemikatnya.


Organisasi yang menggunakan nama Siliwangi didalam Barisan Muda Jawa Barat, seperti Angkatan Muda Siliwangi (AMS) ; Gabungan Inisiatif Anak Siliwangi (GIBAS), namun sebenarnya agak kurang sreg jika nama Siliwangi digunakan hanya untuk gagah-gagahan atau menakuti-nakuti rakyat untuk mendukung salah satu organisasi politik ataupun organisasi masa. Karena Siliwangi milik semua lapisan masyarakat, tanpa mengenal golongan atau kelompok manapun. Sehingga dikhawatirkan nama Siliwangi menjadi tidak seharum asal mula gelar Silihwangi itu sendiri.


Situs "Silihwangi"


Para mahasiswa Jawa Barat dari resimen Mahawarman sebelum dilikwidasi jadi Menwa dan berubah menjadi baret ungu (semula biru) sangat bangga ketika dilengan kanannya masih berlambangkan Siliwangi. Seolah-olah menjadi jaga baya dari Negara Indonesia, dari sisi sebagai pengamal Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun sebagai Cadnas yang trampil dan sigap dalam olah fisik dan keprajuritan, banyak yang mendapat piagam "Bintang Seroja" karena cacat ketika turut dalam pasukan membebaskan timor timur. Semangat tersebut memiliki, yakni : "Widya Castrena Dharma Sidha: : “Dengan ilmu dan senjata kita sempurnakan kearah yang lebih baik”.



Siapa "Prabu Siliwangi ?"

Gelar Siliwangi didalam paradigma rakyat kebanyakan yang "taram-taram" dalam mengkaji sejarah diberikan kepada seluruh raja-raja Pajajaran. Namun ada yang memberikan Gelar Prabu Silihwangi kepada tiga raja Pajajaran, yakni: Rakean Mundinglaya - Siliwangi I ; Rakean Mundingwangi - Siliwangi II ; Rakean Mungingsari/ mundingkawati - Siliwangi III. Karena ketiganya memiliki gelar Sri Baduga (Sri Paduka) dan menguasai Sunda dan Galuh.

Berdasarkan analisa catatan sejarah resmi, yang patut dan tepat bernama Prabu Silihwangi adalah Sri Baduga (Prasasti Batutulis). Ketika masih kecil bernama Pamanahrasa, kemudian setelah menjadi Raja di Galuh bernama Jayadewata. Ia cucu dari Prabu Wastukancana (Prabu Wangisuta). Sedangkan Wastukancana putra dari Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur pada peristiwa Bubat.

Menurut Naskah Wangsakerta : Gelar Prabu Maharaja Lingga Buana sebagai "Prabu Wangi" diberikan karena kemasyhuran dan keadilannya selama memimpin negara. Selain itu ia dianggap sangat berprinsip ketika menghadapi peristiwa bubat.

Dalam Kidung Sundayana ia mengikrarkan sumpah bubat, yang isinya : “Nihan ta wuwusna rudiarana iking bhubat sabha,naming ksatrya sunda tan atemahan ring nagara pada jaya mami.”“ (Najan banjir getih, bedah di palagan Bubat, cadu ksatrya Sunda ancur ajen diri di lemahcai sorangan). Sama halnya dengan Lingga Buana, Jaya Dewata atau Sri Baduga sangat dicintai rakyatnya, membawa Negara pada kondisi yang adil dan makmur, maka iapun diberi gelar Silihwangi. “Silih” berarti pengganti (dari Prabu Wangi).

Nama Siliwangi sebenarnya sudah ada dalam cerita pantun ketika Sri Baduga masih jumeneng, ditulis dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Cerita ini banyak menceritakan tentang Siliwangi menjadi raja di Pajajaran. Menurut para akhli sejarah sunda hal ini menunjukan Sri Baduga mempunyai kekuasaan dan kemasyhuran yang sama dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi. Jika dihubungkan dengan tradisi sunda lama, rakyat sangat segan atau ada semacam larangan untuk menyebut raja yang sebenarnya,. Dalam tradisi “menak” sunda, memanggil nama orang yang dihormati dengan sebutan namanya langsung dianggap tidak sopan – “belegug”. Jadi wajar jika para juru pantun menggantikan dengan sebutan Silihwangi. Nama Siliwangi kemudian menjadi sangat populer ditelinga "Urang Sunda".

Tafsiran diatas sejalan dengan pendapat yang tertulis dalam Naskah Wangsakerta, yang menyebutkan : Urang Sunda dan Urang Cirebon serta urang jawa kulon (barat) menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Cerita lainnya dapat dihubungkan dengan Carita Parahiyangan, : Niskala Wastu Kancana adalah "seuweu" Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga dalam bahasa aslinya : ......... putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun. Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.


Masalah lainnya, : mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dan mertuanya yaitu susuk tunggal tidak diberi gelar Sri Baduga ?. Hemat saya dimungkinkan karena Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, demikian pula Susuk Tunggal hanya menguasai Sunda, namun Jayadewata menguasai Sunda dan Galuh, sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kancana. Jadi wajar jika Sri Baduga dianggap "silih" (pengganti) dari Prabu Wastu Kancana dan raja di tataran sunda.

Didalam prasasti batutulis menyebutkan Sri Baduga dinobatkan dua kali, pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala), bergelar Prabu Guru Dewapranata. Kedua ketika menerima Tahta Kerajaan Sunda Susuktunggal (mertuanya). Dengan peristiwa statusnya sebagai penguasa Sunda dan Galuh (sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kencana), maka dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.


Prasasti Batu Tulis


Menurut Saleh Danasasmita yang saya copas dari buku “Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi” yang diterbitkan tahun 2003, Bandung, Kiblat Buku Utama, prasasti Batu tulis menceritakan, sbb :


1. 0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu

2. diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri

3. baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-

4. wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-

5. kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu

6. ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-

7. la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga

8. rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-

9. wa '(m)ban bumi 0 0


Prasasti Batutulis menyebutkan pula bahwa Sri Baduga Maharaja dilantik menjadi raja dua kali. Pertama kali pada tahun 1420 M di Karaton Kawali Karajaan Galuh, menggantikan ayahnya dan diberi gelar Prabu Dewataprana. Keduanya dilakukan di Pakuan ibu kota karajaan Sunda, menggantikan Prabu Susuk Tunggal, Dewa Niskala mertuanya. Dengan demikian Sri Baduga Maharaja yang ditafsirkan sebagai Prabu Siliwangi menjadi raja dari dua Negara sekaligus, sehingga wajar jika ia sangat kuat membenam dibenak masyarakat sunda sebagai raja sunda.


Didalam cerita lainnya, ketika masih kecil dikenal dengan sebutan Sang Pamanahrasa kemudian menjadi Pangeran Jayadewata, ketika dinobatkan sebagai raja bergelar Sri Baduga Maharaja. Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja pada tahun 1404 Saka atau 1482 M. dan meninggal dunia pada tahun 1445 Saka atau 1521 M. Konon kabar dikebumikan di daerah Rancamaya, yang saat ini dijadikan pemukiman rumah mewah. Selanjutnya digantikan oleh Surawisesa.



Siliwangi dalam Naskah

---------------------------------

Kemudian dalam naskah sejarah yang pertama menyebut-nyebut Siliwangi ditemukan dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) dan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) yang disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, menerangkan bahwa Prabu Siliwangi adalah putra Prabu Anggalarang dari Galuh yang pernah mendiami Keraton Surawisesa.


Berita besar yang menceritakan kemasyhuran Siliwangi terdapat juga dalam catatan portugis yang dibuat Tome Pires. Mereka menuliskan bahwa Kerajaan Sunda diperintah secara adil dan masyarakatnya dikenal santun dan jujur. Kegiatan perdagangan Pajajaran dengan Malaka pada waktu itu dapat menembus hingga ke Maladewa. Prabu Siliwangi memimpin Pakuan Pajajaran selama 39 tahun.


Kebijakan lainnya yang dilakukan Sri Baduga yang dianggap paling popular saat itu yakni membebaskan rakyat dari pajak dan menetapkan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya, suatu daerah yang dianggap suci, sama halnya dengan sebutan desa perdikan (Baca : Kolom Kabuyutan). Hal ini tercantum didalam Piagam-piagam Sri Baduga yang "piteket" – perintah langsung.


Dari kisah diatas ada beberapa yang bisa disimpulkan, terutama yang terkait dengan cita-cita akhir dari BK untuk dapat dimakamkan di daerah Bogor bahkan istananyapun diberi nama “Hing Puri Sang Bimasakti”, yang artinya hampir sama dengan nama keraton Sri Baduga Maharaja di Bogor, yakni Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.


Konon kabar pula, istilah Pajajaran bukan hanya berasal dari nama pohon paku yang berjajar, namun ditafsirkan dari adanya sikap raja Pajajaran yang sangat egaliter - sajajar teu mandang darajat - kalawan teun ngabeda-bedakeun somah jeung menak, dan tidak dikenal adanya kasta dalam kehidupan masyarakat Pajajaran. Jika saja di wilayah ini dikenal adanya tingkatan "darajat manusa", hal tersebut setelah runtuhnya Pajajaran dan kasilihnya Raja Sumedang menjadi hanya Kabupaten dari Mataram.


Mangga urang lenyepan kalawan dipedar langkung tebih deui. (***)







Selasa, 22 April 2008

WASTU KENCANA


Wastu Kencana dikenal raja yang adil dan minandita. Didalam Carita Parahyangan Ia sangat dipuji-puji melebihi dari raja manapun, dan ia putra dari Prabu Wangi yang gugur didalam peristiwa bubat. Didalam Naskah Parahyangan di uraikan sebagai berikut : Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata,nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.


Ketika terjadi peristiwa Bubat yang menewaskan Prabu Linggabuana (1357 M) Wastu Kencana baru berusia 9 tahun dan untuk mengisi kekosongan pemerintah Pajajaran di isi oleh pamannya, yakni Sang Bunisora yang bergelar Prabu Batara Guru Pangdiparamarta Jayadewabrata atau sering juga disebut Batara Guru di Jampang atau Kuda Lalean.


Wastu Kencana dibawah asuhan pamannya tekun mendalami agama (Bunisora dikenal juga sebagai satmata, pemilik tingkat batin kelima dalam pendalaman agama). Iapun dididik ketatanegaraan. Kemudian naik tahta pada usia 23 tahun menggantikan Bunisora dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kencana atau Praburesi Buanatunggaldewata. Dalam naskah selanjutnya disebut juga Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.


Menurut sumber sejarah Jawa Barat, Wastu Kencana memerintah selama 103 tahun lebih 6 bulan dan 15 hari. Dalam Carita Parahyangan disebutkan: Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.


Ketika jaman kekuasaanya Wastu Kencana menyaksikan dan mengalami beberapa peristiwa (1) menyaksikan Kerajaan Majapahit dilanda perang paregreg – perebutan tahta (1453 – 1456), selama peristiwa tersebut Majapahit tidak mempunyai raja, namun Wastu Kencana tak terpikat untuk membalas dendam peristiwa Bubat, karena ia lebih memilih pemerintahannya yang tentram dan damai. Ia pun rajin beribadat. (2) Kedatangan Laksamana Cheng H0 dan Ulama Islam yang kemudian mendirikan Pesantren di Karawang.


Tanda keberadaan Wastu Kencana terdapat pada dua buah prasasti batu di Astana Gede. Prasati yang kedua dikenal dengan sebuat Wangsit (wasiat) Prabu Raja Wastu kepada para penerusnya tentang Tuntutan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan yang sejati (pakena kereta bener) yang merupakan sumber kejayaan dan kesentausaan negara.



Prasasti Kawali


Tulisan ini saya copas dari Sejarah jawa Barat - Cuplikan Wasiat Wastu Kencana dari naskah Sanghyang siksakanda (Koropak 630), sbb :


Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byakta warta manah, mana kret
a na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.

Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta ;

sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta ;

sang ameng pageuh di kaamenganna, kreta ;

sang wasi pageuh dikawalkaanna, kreta ;

sang wong tani pageuh di katanianna, kreta ;

sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta ;

sang gusti pageuh di kagustianna, kreta ;

sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta ;

sang masang pageuh di kamasanganna, kreta ;

sang tarahan pageuh di katarahanna, kreta ;

sang disi pageuh di kadisianna, kreta ;

sang rama pageuh di karamaanna, kreta ;

sang prebu pageuh di kaprebuanna, kreta.


Ngun sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.


(Teguhan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuhi kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejahteralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan.


Demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wiku teguh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejakhtera.


Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia).



Wasiat ini mengandung pula konsep tentang bagaimana manusia harus focus dan professional dibidang keahliannya. Lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan.


Konsep dan tipe kondisi yang diharapkan pernah dikemukakan BK dalam bentuk partai tunggal, yang mengharapkan bukan pada banyaknya partai yang ada tapi menghimpunan seluruh kepentingan profesi, seperti keompok tani, buruh, cendekiawan, agama dll. Banyaknya partai hanya menyiptakan satu golongan yang kuat, yakni politikus. Ia sangat tidak inheren dengan kelompok lainnya diluar politikus, seperti kaum tani dan buruh. Para politikus lebih berorienasti pada bagaimana mempertahankan kekuasaannya, adakalanya mengenyampingkan amanah mengapa ia harus ada. Namun memang bentuk partai tunggal dari kacamata demokrasi barat dianggap sangat bertentangan dengan kebebasan individu warga dan dianggap anti demokrasi. Ditambah waktu itu, BK tidak mau tunduk pada kuasanya asing.


Demokrasi yang “western oriented” mengandalkan pada dasar persamaan hak individu, namun bisa berjalan sukses jika ada kesetaraan dalam mentatai aturan, sebagai cara untuk membatasi terganggunya hak seseorang dari orang yang lainnya. Disamping itu perlu ada penghormatan terhadap hak-hak lain. Disini tidak perlu ada dominasi dari satu individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Masalahnya, kebebasan individu memberikan legitimasi terjadinya "free ficht competition", mensyahkan jika yang kuat akan semakin kuat dan lemah menjadi tertindas. Karena negara tidak boleh turut campur, termasuk memberikan proteksi, sekalipun kepada yang lemah.


Wujud dari cita-cita demikian pernah ada pada konsep lanjutan sebagaimana pada cita-cita awal dan dasar didirikannya Golongan Karya, yang menginginkan seluruh warga bangsa dapat menghimpun kekuatan didalam wujud profesinya. Namun godaan untuk bermain politik praktis dan kekuasaan, serta adanya pengaruh asing yang sangat eksis dalam menentukan kebijakan politik dan ekonomi ternyata menjadi penghancur yang sangat dahsyat didalam perkumbuhan social bangsa, bahkan menjadikan Indonesia mandiri didalam ekonomi, tidak berdaulat didalam berpolitik dan tidak memiliki kepribadian didalam budaya.


Mungkin kita perlu renungkan kembali tentang nilai-nilai luhur, melalui Wasiat dari Galunggung, leluhur raja-raja Galuh :


Hana nguni hana mangke –

Tan hana nguni tan hana mangke -

Aya ma baheula hanteu teu ayeuna -

Henteu ma baheula henteu teu ayeuna -

Hana tunggak hana watang -

Hana ma tunggulna aya tu catangna.



(ada dahulu ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini. Bila tidak ada masa silam maka tiada masa kini. Ada tonggak tentu ada batang. Bila tak ada tonggak tentu tidak ada batang. Bila ada tunggulnya tentu ada catangnya).


Saya pikir pesan itu sangat jelas, bahwa masa kini merupakan akumulasi dari masa lalu, tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu. Dengan demikian jika dikatikan dengan masalah perkumbuhan bangsa dapat ditarik benang merahnya, bahwa sejarah suatu bangsa tidak akan selalu sama dengan bangsa lainnya. Dan dari kesejarahannya masing-masing dapat ditarik dan dijadikan cermin tentang nilai-nilai mana yang cocok dan sangat tepat.


Marilah kita bertindak profesional dan menyerahkan suatu persoalan kepada ahlinya masing-masing. Masalah agama bertanyalah kepada ahli agama – masalah perniagaan bertanyalah kepada ahli niaga – masalah kenegaraan bertanyaan kepada negarawan. Jangan ahli agama turut campur memaksakan kehendaknya untuk mengurus Negara - tukang dagang ikut-ikutan ngurusin Negara, karena semua itu bukan bidangnya.


Demikian seharusnya ahli agama dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahteralah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.


Cag Heula (****)






Minggu, 20 April 2008

Puing Kerajaan Pajajaran

Mencari jejak kerajaan Pajajaran memang harus dilakukan melalui cara melingkar, atau mengabungkan dalam bentuk puzel. Secara resmi daerah yang dikonotasikan bekas peninggalan ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru ditemukan Scipio seabad kemudian. Selain itu para sejarawan sering menarik benang merah dari naskah-naskah kuno, seperti carita Parahyangan, Naskah Wangsakerta dan Serat Banten. Upaya lain yang ditemukan dilakukan melalui penulusuran sejarah lisan yang disampaikan turun temurun, seperti cerita pantuan atau keterangan para juru kunci. Namun dari alur ini adakalanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural, sehingga penemuan sejarah malah menjadi kabur.

Mermang sulit menemukan titik pusat kota pajajaran (pakuan), selain kota Bogor telah padat dihuni penduduk dan aktifitas ekonominya, juga masih kurangnya prioritas terhadap sejarah. Seperti di buatnya Real Estate di lokasi situs Rancamaya, padahal ketika itu sudah diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Hal tersebut juga sama ketika para ahli menemukan lokasi percandian di daerah Batujaya, yang diyakini sebagai peninggalan masa Tarumanagara, lebih tua dari candi manapun di Indonesia, saat ini sudah dipastikan terdapat 26 candi, namun sayangnya masalah pemugarannya masih terkendala, dengan alasan belum ada biaya.

Masalah yang mungkin menghambat terkait dengan penemuan jejak Pajajaran adalah adanya keyakinan yang terkait dengan masalah relijius atau keengganan untuk menguak kebenaran dari kesejarahan Pajajaran. Mungkin ada benarnya Uga Prabu Siliwangi yang mengabarkan kepada para pengikutnya :
  • Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”.
Didalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
  • Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".
Sejalan dengan naskah tersebut, didalam serat Banten diceritakan pula tentang keberangkatan pasukan Banten ketika melakukan penyerangan ke Pakuan dengan pupuh Kinanti, terjemaahaannya :

  • "Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Banyak para ahli sejarah yang mencari musabab dapat direbutnya Pakuan, sekalipun telah ditinggalkan 12 tahun oleh rajanya, benteng Pakuan yang di bangun pada Sri Baduga tersebut masih berdiri kokoh. Namun untuk saat ini kisah yang dimuat dalam Serat Banten menjadi masuk akal. Konon kabar perisiwa ini hampir sama dengan cerita “kuda troya”.

Pakuan dapat mudah dibobol setelah terjadinya penghianatan yang dilakukan oleh Komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Secara kebetukan Sang Komandan saudara dari Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Ketika malam tiba, sang komandan membuka pintu benteng dari dalam, ia  mempersilahkan pasukan Banten masuk, sehingga tanpa disadari para penghuni Pakuan, pasukan Banten sudah berada ditengah-tengah mereka.

Memang dalam catatan sejarah banyak rangkaian yang menyebabkan runtuhnya Pajajaran. bermula dari masalah intern Kadatuan Pajajaran sampai dengan adanya alasan Cirebon, Demak dan Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Selain hal tersebut, ada beberapa akhli yang menilik lebih jauh, bahwa kejatuhan Pakuan tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu Demak, Banten dan Cireon. Yang jelas hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari adanya infasi perdagangan para Saudagar Islam di wilayah Pasundan.

Dari rangkaian peristiwa ini Pajajaran Sirna Hing Bumi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, suatu batu yang kerap dijadikan singgasana raja-raja Pajajaran ketika dinobatkan. Batu tersebut diboyong oleh pasukan Panembahan Yusuf ke Surasowan - Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut bertujuan politis agar tidak ada lagi raja pajajaran yang dilantik. Dilain sisi memberikan legitimasi kepada Maulana Yusuf sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena Maulana Yusup juga masih dianggap “teureuh” Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten lama. Orang Banten menyebutnya watu gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan “sriman”.

Perihal batu Palangka Sriman Sriwacana dikisahkan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sang Susuktunggal inyana
nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana
Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal beliau - yang membuat tahta Sriman Sriwacana - (untuk) Sri Baduga Maharaja - ratu penguasa di Pakuan Pajajaran - yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, - yaitu istana Sanghiyang - Sri Ratu Dewata).

Istilah "palangka" berarti tempat duduk atau "tahta". Dalam tradisi Pajajaran digunakan pada upacara penobatan. Di atas batu palangka para calon raja diwastu atau diberkati oleh Purohita. Letak palangka berada di kabuyutan kerajaan dan tidak di berada dalam istana. Batu palangka terbuat befrbentuk yang digosok menjadfi halus dan mengkilap. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat sunda menyebutnya batu pangcalikan atau batu ranjang. Sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang - Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan batu ranjang ditemukan di Desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang (ditengah sawah).

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nila kendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Didalam kisah lainnya, atribut dan mahkota raja Pajajaran tersebut diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya, sedangkan Sang Ragamulya memerintah tanpa mahkota, karena iapun memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.Bagi Jayaperkosa dan adik-adiknya, diboyongnya batu Palangka bukan berarti berakhirnya trah raja-raja Pajajaran untuk berkuasa di tatar Sunda, sebab ia masih sempat memboyong atribut (pakaian) raja Pajajaran ke Sumedang Larang. Dikelak kemudian hari Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris syah raja Pajajaran, ia juga dipercaya sebagai pemegang 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul. Namun sayang Pangeran Arya Suriadiwangsa, putranya (ada juga yang menyebutkan putra titinya) menyerahkan Sumedang kepada Sultan Agung Mataram, tanpa syarat apapun, sehingga tatar Sunda menjadi Vasaal Mataram.

Puing Kerajaan
Perkiraan bekas Kadatuan Pajajaran ditemukannya kembali selang satu abad kemudian, oleh ekspedisi Scipio (1 September 1687), dalam bentuk puing yang diselimuti oleh hutan tua. Dalam laporan Gubernur Belanda dijelaskan, bahwa : istana tersebut terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah dimungkinkan munculnya mitos, bahwa pasukan atau yentara pajajaran berganti wujud menjadi harimau.

Ketika melakukan penelitian tersebut Scipio diantar Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri, mereka kemudian diakui sebagai peziarah pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singgasana raja.

Hal yang berkaitan tentang sakralnya singgasana tersebut diceritakan pula oleh Abraham van Riebeeck (1703), dia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Sehingga ditafsirkan pula sejak ditemukan kembali oleh Scipio masyarakat merasakan menemukan kembali Pajajaran yang telah hilang.

Kemudian pada tahun 1709, Van Riebeeck melihat adanya ladang baru pada lereng Cipakancilan. Disini menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebut akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan. Dengan demikian orang belanda telah mengetahui jauh-jauh hari nama Pakuan, Pajajaran dan Siliwangi dua abad sebelum nama Pakuan Pajajaran diketahu lewat pembacaan prasasti batu tulis oleh Friederich pada tahun 1853.

Pakuan bagi sebagaian besar masyarakat Sunda bukan hanya sekedar lokasi kerajaan, melainkan menyimpan berjuta kenangan tentang kejayaan Pajajaran di masa lalu yang lengkap dengan tingginya kebudayaan, bahkan masih banyak masyarakat Sunda yang menganggap bahwa sebenarnya Kerajaan Pajajaran tidak runtuh, tapi tilem. Namun apapun masalahnya, mungkin ada kata-kata bijak yang diyakini sebagai Uga Wangsit Silihwangi, tentang sikap yang harus dilakukan masyarakat Sunda, unina :
  • Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, - najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! - Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, - ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. - Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, - supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, - bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! - Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, - nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih !
Cag Heula ……. Urang sampeur jaga.(Rakean)


Disarikan dari berbagai sumber.

Selasa, 15 April 2008

URANG SASAK RAWAYAN


Sebelum meletusnya reformasi saya bertemu dengan Pu'un di Bandung dan diceritakannya beberapa masalah yang sedang mereka hadapi. Dan kemarin saya mendapat e-mail gambar-gambar "urang baduy" berikut foto lokasinya hasil copas. Tapi bagus juga dan menimbulkan ide untuk sedikit bercerita tentang "Urang Sunda Asli" ini.


Banyak istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut suatu komunitas masyarakat adat Sunda yang tinggal di di kaki pegunungan Kendeng, seperti “Urang Pajajaran”, “Urang Sunda Buhun” “Urang Sasak Rawayan”, dan “Urang Baduy, namun sebutan “Baduy” paling sering digunakan untuk komunitas ini. Istilah Pertama kali disebutkan oleh para peneliti Belanda, mempersamakan dengan Suku Badawi (Bedouin) Arab yang masih nomaden atau berpindah-pindah. Banyak ragam pemikiran masyarakat kita dalam menafsirkan siapa "Orang Baduy" ini, terutama ketika mempersepsi tentang agama (ageman) mereka. Tak jarang diucapkan secara sinis, seolah melihat masyarakat yang tidak beradab dan tidak beragama. Tapi apapun tanggapan dan persepsi masyarakat kita, Urang Baduy atau Urang Rawayan adalah pemilik asli negara ini, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita.


Disisi lain ada keresahan masyarakat sana tentang status dan daerah pemukimannya yang semakin hari diranjah rame-rame orang kota, dengan alasan untuk memodernkan suku Baduy. Pada waktu itu saya ada di Bandung, pernah kedatangan seorang pu'un dari Baduy Dalam. Pu'un menceritakan bagaimana masyarakat kota "ngaranjah Leuweung Larangan" mereka. Saya hanya sempat mengantar mereka kerumah ULI Sigar Rusadi yang sangat rajin dengan Pasukan Garuda Nusantara-nya melakukan reboisasi si daerah Baduy.


Hebatnya, aparat malah mendiamkan dan menangguk keuntungan dari ranjahan "pembalakan hutan" tersebut. Pu'un hanya ingin meminta bantuan saya agar bisa menyuarakan ke Menteri Lingkungan Hidup, karena daerah tersebut termasuk Wilayah Cagar Alam. Namun sampai sekarang tak pernah ada penyelesaian serius dari Pemerintahan. Termasuk tentang perusakan baduy yang makin meluas. Bahkan kegiatan didaerah tersebut saat ini telah berkembang, dari alasan untuk mengangkat derajat Urang Baduy sampai ada team penyebar

an agama, namun semuanya menurut Pu'un hanya mencari uang dari keberadaan Urang Baduy.


Perkumbuhan

Jika diteliti lebih dalam lagi, memang ada semacam komunitas yang hampir mirip dengan Urang Baduy, seperti Urang Baduy Luar dan Komunitasnya Abah Anom dari Kampung Ciptarasa – Ciptagelar. Komunitas ini tidak sekeras Baduy Dalam dalam cara mempertahankan adat dan tradisinya, bahkan yang agak longgar menerima budaya dari luar komunitasnya. Urang Baduy luar cenderung menerima adat Baduy Dalam, karena mereka berasal dari Baduy Dalam, namun keberadaanya ada juga yang dianggap melanggar adat sehingga perlu dikeluarkan dari Baduy Dalam. Urang Baduy luar sesekali menerima sweeping dari Baduy Dalam, terutama jika urang luar ini dianggapterlalu jauh menyimpang dari Tradisi Baduy Dalam, seperti piring tidak boleh berwarana, dll-nya.


Kelompok Urang Baduy pada umumnya terdiri dari tiga komunitas, yakni Baduy Dalam , Baduy Luar dan Baduy Dangka. Baduy Dalam atau kelompok “tangtu” adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka berpakaian putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar disebut juga masayarakat “panamping”. Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan “Baduy Dangka” tinggal diluar wilayah paling luar dari Baduy Luar. Fungsi dari masing-masing komunitas diyakini sebagai “papancen”, yaitu Baduy Luar menjaga dan membantu “tapa” (semedi) Urang Baduy Dalam. Sedangkan Urang Baduy Dangka bertugas semacam penyangga pengaruh dari luar.

Bertapa yang dimaksudkan bukan sebagaimana “tapa” yang kita kenal saat ini, yaiktu berpuasa makan, minum atau melek, namun menurut mereka, tapa yang benar itu adalah harus menjaga seluruh alam, meneguhkan, menetapkan cara penggunaan tugasnya, disamping itu dilarang melakukan pengrusakan dan merubah “titipan”, seperti kalestarian alam. Maka dari itu di Baduy Baduy Dalam dilarang membuat rumah menggunakan paku dan tidak boleh meratakan tanah, semua harus alami. Pengisi rumah dilarang memakai perhiasan emas dan dilarang menyalakan lampu minyak tanah. Sebab minyak tanah berasal dari alam dan cara menambangnya merusak alam dan lingkungan. Namun gunakanlah lampu berbahan baker minyak picung (sejenis buah-buahan) atau minyak kelapa. Mata pencaharian Urang Baduy yaitu “ngahuma”, namun tanahnya tida boleh dicangkul,

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy di Kanekes adalah "puun" yang bertempat tinggal di tiga kampung Baduy Dalam, berdasarkan pada kemampuannya, tidak dibatas waktu (umur atau periode masa kerja). Mereka menerima jabatan tersebut turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.



Asal Mula

Berdasarkan keterangan Pu'un mereka mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya mempunyai tugas untuk menjaga adat - harmoni dunia. Namun sejarah ini diperoleh dari cara tutur tinular, tanpa adanya peninggalan-peninggalan tertulis yang sangat diyakini kesahihannya oleh para peneliti.


Pendapat asal mula Urang Baduy menurut Urang Baduy asli berbeda dengan pendapat ahli sejarah. Para ahli sejarah banyak menggunakan pendapatnya rujukan dari prasasti dan catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok. Selain dari catatan tersebut sering juga diambil dari catatan budaya (cerita rakyat) di Tatar Sunda, namun catatan ini sangat sedikit sehingga sering menimbulkan kontradiksi dengan cerita yang berasal dari Urang Baduy” sendiri.


Dilihat dari perjalanan budaya Urang Budaya tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan masyarakat Sunda yang pernah berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor). Ada sebagian ahli sejarah yang menyebutkan bahwa Urang Baduy adalah penduduk setempat yang daerahnya dijadikan kawasan suci (mandala) oleh Raja Rakeyan Darmasiksa. Jika dilihat dari Carita Parahyangan, Rakeyan Darmasiksa memerintah selama 150 tahun, tetapi menurut Naskah-naskah Wangsakerta disebutkan selama 122 tahun (1097 – 1219 Saka) atau 1175 s/d 1297 Masehi.


Ada juga yang mengaitkan asal mula Urang Baduy dengan sejarah perdagangan di Banten. Konon kabar Urang Baduy adalah tentara kerajaan Sunda yang sangat terlatih yang ditugaskan untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. pada waktu itu sungai Ciujung dapat dilayari dan dijadikan wilayah perdagangan. Berbeda dengan pendapat Van Tricht, pernah melakukan riset pada tahun 1928, menurutnya Urang Baduy penduduk asli daerah tersebut yang diberikan tugas untuk menjaga tradisi luar, namun mereka menolak jika disebut berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran.


Ageman

Di sekolah yang tidak mempelajarai masyarakat Baduy secara spesifik pada umumnya menyebutkan Urang Baduy beragama Hindu, bahkan ada juga yang menyebutkan agama Budha. Memang pendapat ini tidak dapat disalahkan jika mengambil alur cerita bahwa hancurnya Pajajaran karena dikalahkan pasukan Islam yang bertujuan mengislamkannya. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri jika memang ada pengaruh dari agama-agama dari luar Sunda, mengingat banyak raja-raja pada waktu itu yang menganut agama Hindu atau Budha. Namun pertanyaannya : apakah agama resmi negara harus pasti dianut masyaraktnya ?.

Urang Baduy menyebut agemannya Sunda Wiwitan. Sedangkan prinsip hidup yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu : pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang dipotong (pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong). Kehidupan Urang Baduy diyakini titipan dari Nabi Adam (Tunggal) yang merek sebut juga Wiwitan (asal muasal) yang harus dijaga sampai kapanpun. Urang Baduy memiliki komitmen untuk mendirikan, membangun dan meneguhkan titipan dari wiwitan yang diperintahkan Adam Tunggal. Namun mereka juga meyakini perlu adanya bantuan dari pihak pemerintahan.

Mengenai wiwitan yang perlu dipegang teguh, yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” perlu juga disertai dengan perilaku - Mipit kudu amit - Ngala kudu menta - Ngagedag kudu bewara - Ngali cikur kudu matur - Ulah gorah, ulah linyok (bohong) - Ngadek kudu sacekna (nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun) - Ulah sirik, ulah pidik - Ulah ngarusak bangsa jeung nagara - Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak.

Bagi saya dengan keteguhan Urang Baduy dalam menjaga tradisi dan adat leluhur ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Hindu, Budha dan Islam. Dengan tidak adanya strata sosial, benda yang mereka sembah sebagai perantara Tuhan dan meyakini Gusti Nu Maha Suci atau tuhan yang maha suci meneguhkan bahwa masyarakat Baduy adalah monoteisme. Tetapi saya pun mengakui tidak adanya bukti tulisan, sehingga para peneliti sejarah sering salah mengklasifikasikan ageman dan tradisi Urang Baduy.


Cag Heula ................ (***)




MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960