Legenda Sangkuriang berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul. Dari legenda ini para ahli Geologi dapat menentukan umur Kisunda yang hidup didaerah Bandung berdasarkan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup didataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya hanya merupakan tradisi li-san, atau dongeng anak sebelum tidur, bahkan banyak meng anggap cerita tahayul yang tidak masuk akal. Ada juga yang menafsirkan kisah ini sebagaimana mempersepsi tentang Kisah Si Malin Kundang, bahkan ada pula yang nyinyir menye butkan urang sunda sebagai keturunan Si Tumang. Namun beberapa ahli menelusuri kisah ini, dan menghubungkan dengan kondisi Geologi, dimana kisah ini di ceritakan. Pada ahir nya kisah ini menemukan tentang sejarah awal daerah Bandung, bahwa pada masa lalu bandung adalah sebuah danau purba, dan cekungannya sampai saat ini masih nampak dari ketinggian pinggiran kota Bandung.
Legenda Sangkuriang memiliki kesesuaian dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Pa rahu. Dari penelitian geologis menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering pada 16.000 tahun yang lalu. Data lainnya menun jukkan, bahwa memang telah terjadi dua letusan GUNUNG SUNDA purba dengan tipe letusan Plinian, masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba se-hingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Bu rangrang, disebut juga Gunung Sunda, dan Gunung Bukittung gul.
Data ini pun dapat meyakinkan bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah ba rat Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda pur ba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Rujukan tertulis mengenai legenda Sangkuriang tercantum didalam naskah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun lontar oleh seorang Pangeran Pajajaran pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertamakali menuliskan nama tem pat legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun
Datang ka Bukit Patenggeng
Sakakala Sang Kuriang
Masa dek nyitu Citarum
Burung tembey kasiangan Aku berjalan ke arah barat
datang ke Gunung Patenggeng
tempat legenda Sang Kuriang
Waktu akan membendung Citarum
tapi gagal karena kesiangan
Legenda Sangkuriang dipersepsi manusia saat ini untuk ke perluan :
(1) Mengetahui peristiwa Geologi yang terkait dengan penge-tahuan tentang asal muasal wilayah Bandung. Selain itu saat ini sudah berkembang mengenai penelitian Cekung an Bandung ;
(2) Mengetahui falsafah Ki Sunda Buhun yang terkait dida-lam Legenda Sangkuriang. Karena tentunya, legenda Sang kuriang ini ada dibuat untuk menyampaikan pesan kepa da generasi sesudahnya.
***
Legenda Sangkuriang secara singkat, yang penulis ambil dari Sangkuriang (Legenda: http://id.wikipedia.org/wiki/Sangku riang_legenda, tanggal 18 Juli 2012), sebagai berikut : Diki-sahkan di kahyangan hiduplah sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka di kutuk turun kebumi dalam wujud hewan. Sang dewi beru bah menjadi babi hutan (celeng) bernama CELENG WAYUNG HYANG, sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing berna ma SI TUMANG. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hu kuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat kemba li ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
Di Marcapada Raja Sungging Perbangkara tengah pergi ber buru. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang ter tampung dalam daun ''caring'' (keladi hutan), dalam versi la in disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian tanpa sengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang ti dak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI ALIAS RARASATI. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang di- terima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesama nya.
Dayang Sumbi mengasingkan diri kesebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik me nenun kain, torompong (torak) yang tengah digunakan ber tenun kain terjatuh ke ba wah bale-bale. Dayang Sumbi kare na merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang meng ambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan sau darinya. Si Tumang mengam bilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat per kataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh persum pahan dan janjinya, maka ia pun harus menikahi si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hu tan untuk hidup hanya dite mani si Tumang. Pada malam bu lan purnama, si Tumang dapat kembali kewujud aslinya seba gai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama SANGKURIANG. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan, maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu kehutan. Setelah sekian lama Sang kuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan seekor pun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tu-mang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Ce-leng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wa yung Hyang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri maka si Tumang tidak menurut. Karena kesal Sangkuriang mena kut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak senga ja anak panah terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk anak panah. Sangkuriang bingung, lalu karena tak dapat he wan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Hati si Tumang oleh Sangku riang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan di makannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun memuncak serta-merta kepala Sangku riang dipukul dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Da yang Sumbi yang menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke hutan memohonnya untuk segera pulang, akan tetapi Sang kuriang telah pergi. Dayang Sumbi sangat sedih dan memo hon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalan kan tapa dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sa yuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi mengem bara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bo cah lagi, tetapi telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tan pa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah ber sandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangku riang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sang kuriang adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi. Walau demikian Sang kuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersia sat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin di penuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuri ang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gu nung Bukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah ba rat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), bendungan pun hampir selesai di kerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sanghyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sum bi menebarkan helai kain ''boeh rarang'' (kain putih hasil te nunannya), maka kain putih itu bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Para guriang makhluk ha lus anak buah Sangkuriang ketakutan karena mengira hari mulai pagi, maka merekapun lari menghilang bersembunyi di dalam ta nah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuri ang menjadi gusar dan mengamuk. Di puncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro di jebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Ban dung pun menjadi surut kembali. Perahu yang di kerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan ber ubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang lari meng-hindari kejaran anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tung gal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun ber ubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
***
LEGENDA SANGKURIANG mengandung falsafah yang tinggi, menurut HIDAYAT SURYALAGA, pada orasi Ilmiah Hari Wisu-da Mahasiswa ITENAS, yang diberi judul Kajian Hermeneuti ka terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban parahu dengan segala aspeknya (Bandung, 28 Mei 2005), menye butkan bahwa legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksud kan sebagai cahaya pencerahan (SUNGGING PERBANGKARA) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan mene-mukan jatidiri ke manusiannya (WAYUNG YANG). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (DAYANG SUMBI, RARASATI). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadar an penuh (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan diga gahi oleh rasa ke bimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (SANGKURIANG). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi me makan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang haki ki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang di pukul). Kesombongannya pula yang meme ngaruhi Sang Ego Rasio untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang ber lelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pe ngembaraannya di dunia (menuju kearah Timur). Pada akhir nya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemu an Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Da yang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan so sial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam pera ngainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai ke turunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datang dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatu nya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir ha yat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhir nya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada diri nya. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah se onggok manusia transendental tertelungkup meratapi kema langan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkuban parahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa pena saran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dam baan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan di alami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangku han rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah salur an proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: ''Hade ku omong goreng ku omong''). Dan dengan cermat dijaga be nar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.
***
PARADIFGMA FALSAFAH SUNDA, sebagaiamana yang di uraikan Hidayat Suryalaga diatas bukan satu-satunya tafsir falsafah. Seperti ada yang menafsirkan Sangkuriang berasal dari kecap Sang Kuring atau Ingsun – aku. Keberadaan Sang kuriang di dunia berasal dari hasil perkawinan dua unsur, yakni laki-laki dan perempuan, karena alasan jatuhnya Toto pong (topi yang dibuat dari kulit bam bu). Totopong dapat diartian sebagai pelindung (topi) dari cu aca panas maupun hujan, atau dari kondisi apapun. Jatuhnya totopong artinya menjadi tidak adanya yang melindungi kepala, atau ketia daannya yang melindungi pikiran manusia, sehingga perbuat an apa pun menjadi halal. Ada pula yang menyebutkan ‘toro pong’, alat pembesar pengli hatan, ada juga yang menyebut kan Taropong, adalah alat untuk melihat agar lebih jelas, teli ti dan fokus.
Engkus Ruswana, salah seorang tokoh aliran keparcayaan ‘Perjalanan’ menguraikan falsafah ini, melalui merinci nama-nama dan kebendaan dalam kisah Sangkuriang, seperti isti lah : TUMANG, merupakan seekor anjing hitam namun ba ngus dan buntutnya berwarna Kuning. Hal ini mengandung falsa fah, bahwa warna HITAM perlambang bumi atau lemah yang memiliki sifat teguh, abadi, sedangkan KUNING mengan dung arti, bahwa kisah seperti ini bersifat urusan duniawi, sarta keberadaannya merupakan takdir dari Tuhan. Istilah TUMANG berasal dari bahasa kawi, artinya awu – hawu, yang mengandung hawa panas, atau ditafsirkan mengandung ha wa nafsu, sedangkan DAYANG adalah sebutan untuk perem puan. Arti lainnya berasal dari kata DANGIANG (DAH-YANG), atau bangsa lelembut atawa halus. DAYANG bisa berasal dari kata DANG (= DANG DANG) dam HYANG (=SUCI=DÉWA). SUMBI yaitu tajamnya pertimbangan. Sedangkan jika dipenggal me ngandung arti WUJUD DIRI (SUM= SUMSUM = ACINING; BI = AWÉ WÉ = IBU PERTIWI = BUMI). Jadi Dayang Sumbi ngandung arti pertimbangan yang tajam, harus teliti, sabar, telaten di dalam mencari pengetahuan, perlu memahami bahwa wujud diri pada hakekatnya suci, berasal dari ACINING (SARIPATI) IBU PERTIWI/BUMI yang mengandung napsu (Dayang Sumbi kawin dengan si Tumang).
Dayang Sumbi tetep cantik dan awet jaya, menggambarkan bahwa wujud manusia sampai dengan masa kini tetap cantik, tidak ada yang berubah strukturnya, manusia tidak dapat merubah wujudnya, sekalipun sudah tua dimakan usia, lajim nya tidak ada manusia yang menginginkan meninggalkan ja sadnya, malahan tetap dicintai dan disayangi, oleh Kuring nya. Dalam falsafah atau kepercayaan Sunda menandakan Sang Kuring atau Ingsung bukan sifat ragawi/lahir, juga bu kan rohani/batin, tapi dilahirkan bersama dalam batinnya. Ingsun (kuring) merupakan dzat suci yang berasal dari Tu han yang Maha Suci yang tetap ada selama manusia menyatu dengan kuringnya.
Lahirnya Ingsun keduania melewati musabab ibu dengan bapak. Dalam hal ini Dayang Sumbi adalah ibu dan si Tumang adalah Bapak. Di dunya, Ingsun yang berada didalam jasad yang berasal dari saripati dunia (dayang Sumbi). Oleh ka renanya hawa nafsu akan selalu menyertai Sangkuriang (Si Tumang selalu mengikuti kemanapun). Jika tidak memiliki hawa nafsu yang menyertai jasad (raga), dipastikan tidak akan ada kehidupan didunia dan tidak akan ada Ingsun lahir kedunia. Sebab ketika si Tumang di bunuh maka Dayang Sum bi sangat marah, berarti, jika hawa nafsu dibunuh tentunya kepentingan jasad (raga) akan terlantar, akibatnya akan hi lang kehidupan manusia didunia. Mungkin bisa dibayangkan jika manusia tidak memiliki keinginan untuk makan, minum, bekerja, birahi, dan nafsu lainnya), oleh karenya didalam il mu Ki Sunda tidak mengenal ajaran membunuh nafsu, hanya memang harus dikendalikan, dan manusa sunda tidak diper bolehkan mengasingkan diri meninggalkan urusan dunia. Sa ma artinya dengan melepaskan diri dari tanggung jawab sosial dan kehidupan.
Hidup Ingsun didunia harus memiliki ilmu, hasil belajar dan olah pikir yang kreatif. Dalam legenda ini disimbolkan kepala Sangkuriang dipukul kepalanya hingga terluka. Sang Kuriang memaksa untuk menikahi Dayang Sumbi ngandung arti, bah wa Ingsun berasal dari Tuhan hakekatnya suci, tentunya me miliki rasa dan tanggung jawab untuk menyelamatkan diri (raga) asal dari dunia yang ditempatinya agar selamat, kukuh dan tidak mengingkari jalan kemanusiaan, melalui jalan me manunggalkan kuring (ingsun) dengan kurungnya (raganya) dalam satu perahu yang sehaluan sepanjang waktu mengem bara dunya (parahu untuk berlayar di telaga). Didalam mewu judkan niatnya, Sang Kuriang dibantu Guriang Tujuh (= Guru hyang tujuh), maksudnya tujuh penguasa suci yang ada dida lam diri manusia, yakni : kekuasaan/gerak-langkah, kehen dak/kemauan hidup, pendengar, pengucap, pencium, yang menjadi guru sejati manusia untuk mengetahui, merasakan, menyaksikan keadaan dunia dan isinya, bukan katanya atau berita, tapi dapat dirasakan diri sendiri secara totalitas.
***
LEGENDA SANGKURIANG mengandung kisah tentang peristi wa Geologi yang terkait dengan pengetahuan tentang asal muasal wilayah Bandung. Selain itu saat ini sudah berkem bang mengenai penelitian Cekungan Bandung. Dapat dipasti kan bahwa Sangkuriang yang dikisahkan dalam legenda ada lah penduduk Bandung Purba.
Bandung yang dimaksud adalah wilayah yang sekarang men jadi wilayah administratif Kabupaten Bandung dan sekitar nya, termasuk Kabupaten Bandung. Sebagian besar wilayah itu merupakan bekas danau raksasa yang kemudian disebut DANAU BANDUNG PURBA. Berdasarkan hasil penelitian ar keologi dan geologi, wilayah ini mulai dihuni oleh manusia, paling tidak sejak zaman neolitikum. Hal itu ditunjukkan oleh penemuan artefak kapak persegi (kapak batu obsidian) di da taran tinggi Bandung, ter utama dikawasan Bandung utara (Dago Pakar), kawasan Bandung selatan, khususnya Soreang. Diduga daerah sebaran kapak itu merupakan pemukiman manusia zaman prasejarah (neolitikum).
Disekitar danau Purba (Bandung), pada sekitar 6.000 tahun yang lalu telah ada masyarakat yang menetap seperti manu sia sekarang. Penelitian tersebut dilakukan oleh GHR von Koenigs wald, AC de Jong, dan W. Rothpletc pada tahun 1945 dan menemukan benda budaya prasejarah dalam jumlah ba nyak, berupa alat-alat neolitik, seperti alat mikrolit, batu ob sidan, alat serut, alat serpih dan lainnya. Benda-benda terse but ditemukan di dua puluh tiga lokasi. Diperkirakan pada masa tersebut berada di tepian danau purba, seperti Dago Pakar, Ujungberung, Majalaya, Cililin, Soreang, bahkan menu rut Arkeologi Nasional (1978), situs Dago Pakar berfungsi sebagai bengkel alat-alat neolitik.
Teori lainnya menyebutkan lebih awal lagi, yakni jaman PA LEOLITIKUM, masyarakat yang hidup di daerah ini tergantung kepada alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka memanfaatkan segala sesuatu yang tersedia dialam. Mereka hidup sebagai pengumpul makanan (good gathering). Seperti berburu binatang, memetik daun, bunga, buah, serta men cungkil umbi-umbian. Memang fosil atau kerangka manusia yang berasal dari jaman neolitik belum ditemukan di Indone sia, akan tetapi mendasarkan pada perbandingan dengan ma nusia pendukung kebudayaan bercocok tanam di Muangthai, Vietnam, Malaysia, dapat diperkirakan manusia yang hidup di tatar Sunda adalah ras Mongoloid. Ras ini bersama ras Aus tralomelanesid berada di Indonesia sejak awal masa Holosen, 10.000 tahun lalu, memiliki ciri fisik sesuai dengan penduduk Indonesia dewasa ini. (Ekadjati : 2005).
Teori tentang manusia purba dengan peradabannya yang tinggi bisa ditemukan di GUA PAWON atau KARTS PAWON Ban dung. Dari perkakas dan bahan bakunya sangat beragam, mu lai dari batuan obsidian yang hanya bisa ditemukan di Na-grek, Garut atau Sukabumi. Jika ditelaah lebih seksama dari ketinggian, wilayah Gua Pawon dan Nagrek (Cicalengka) di mungkin dahulunya sebagai daerah yang berada ditepian Da nau Purba Bandung. Memang wilayah yang disebutkan terse but terletak lebih tinggi dari cekungan Bandung.
KAWASAN KARST PAWON secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Dalam du nia arkeologi, kawasan karst pawon menjadi perhatian sejak ditemukannya jejak-jejak kehidupan manusia di Gua Pawon. Selama ini perhatian terhadap kawasan karst pawon baru sebatas pada temuan rangka manusia di Gua Pawon. Dengan ditemukannya bukti kehadiran manusia tersebut memuncul kan pertanyaan sejauh mana kawasan jelajah Manusia Pa won dalam memenuhi kehidupannya. Berdasarkan pengama tan terhadap kawasan karst pawon diketahui bahwa di ka wasan itu terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang me rupakan jejak-jejak kehidupan manusia beserta budayanya yang berlangsung pada masa lampau. Tinggalan arkeologis tersebut berasal dari berbagai masa sejak zaman prasejarah hingga sekitar abad ke-17.
Penelitian arkeologis yang dilakukan Balai Arkeologi Ban dung yang kemudian juga melakukan kerjasama dengan Ba lai Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan dan Nilai Tradi sional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat telah berhasil mengungkap keberadaan Manusia Pawon. Ekskavasi yang pernah dilakukan mendapatkan gambaran bahwa Gua Pawon di masa lalu pernah digunakan sebagai tempat hunian dan penguburan.
Bentuk hunian yang pernah berlangsung merupakan hunian tertutup yang memanfaatkan gua sebagai tempat bermukim. Berdasarkan bentuk tengkorak yang ditemukan, dapat dike tahui bahwa Manusia Pawon berasal dari kelompok ras mo ngoloid. Berdasarkan hasil analisis C-14 menunjukkan umur Manusia Pawon antara 5.660 ±170 BP sampai 9.520 ±200 BP.
Di sekitar Gua Pawon, jejak-jejak kehidupan manusia ditemu kan di puncak Pasir Pawon dan di lembah sekitar aliran Ci bukur. Di puncak Pasir Pawon, di mana terdapat stone gar den dapat dijumpai sebaran artefak berupa fragmen tembi kar dan keramik. Selain itu juga terdapat beberapa batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa unsur bangunan.
Fragmen tembikar yang ditemukan ada yang menunjukkan pada tingkat teknologi sederhana ada pula yang sudah agak maju. Tembikar dengan teknologi sederhana merupakan ciri teknologi masa prasejarah. Fragmen tembikar yang menun jukkan berasal dari tingkat teknologi lebih maju mempunyai ciri yang sama dengan tembikar Buni yang berkembang di daerah pantai Karawang hingga Pamanukan. Diperkirakan tembikar Buni berkembang sejak abad ke-2 SM hingga pada masa Kerajaan Sunda dan awal Islam (Abad ke-17).
Fragmen keramik yang ditemukan berasal dari Cina. Keramik tertua dari zaman dinasti T’ang (abad VII – X). Secara tipo logis, keramik ini berasal dari bentuk guci. Keramik yang le bih muda lagi dari zaman dinasti Song (abad X – XIII). Bergla sir warna hijau seladon, berasal dari bentuk mangkuk. Kera mik dari zaman dinasti Yuan (abad XIII – XIV) juga ditemukan di puncak Pasir Pawon. Keramik ini pada bagian dalam berglasir warna abu-abu. Secara tipologis berasal dari ben tuk mangkuk tanpa kaki.
Beberapa batuan beku yang ditemukan di puncak Pasir Pa won, sekarang dalam kondisi tersebar. Salah satu batu ber bentuk bulat panjang. Berdasarkan bentuknya mungkin me rupakan bekas struktur bangunan berundak yang lazim ber kembang pada masyarakat pendukung tradisi megalitik.
Di sebelah utara Gunung Masigit berjarak sekitar 40 m ter dapat aliran sungai Cibukur. Di sungai tersebut telah ditemu kan alat batu berupa kapak perimbas monofacial dari bahan batu gamping. Alat batu semacam ini termasuk dalam kate gori paleolitik yang digunakan oleh manusia prasejarah.
Selain tinggalan arkeologis, pada masyarakat di sekitar kawa san karst pawon terdapat tradisi yang menempatkan Pasir Pawon sebagai wilayah yang sakral. Pasir Pawon dipercaya sebagai lokasi petilasan para karuhun. Beberapa nama yang diketahui adalah Rama Agung, Embah Kalapa, Eyang Haji Putih Jagareksa, Krincing Wesi, Centring Manik, Manik Maya, Embah Purbakawasa, Embah Gatot Jalasutra, dan Embah Basar. Cag heula (***)