PIKUKUH asal kata dari KUKUH, dalam kamus bahasa Sunda arti Kukuh adalah: “dibasakeun kana naon-naon nu geus di peruhkeun, teu bisa dilempengkeun deui atawa katetapan”. (sesuatu yang telah dirubah tidak bisa dirubah-rubah lagi). Sedangkan Pikukuh adalah: “pituduh nu teu bisa di eluk-eluk eun deui; jadi hartina lamun geus dicengkukeun teu bisa di lempengkeun deui”. (petunjuk yang tidak dapat dirubah lagi).
Jika ditelusuri sumber data Pikukuh saat ini dapat ditemukan dari dua sumber, yakni sumber tertulis, seperti dalam prasas ti dan naskah-naskah kuna. Kedua sumber lisan, berasal dari berita yang disampaikan secara turun temurun.Pikukuh yang menjadi sumber informasi tertulis banyak beredar didaerah Priangan, biasanya dimasukan dalam katagori sastra dan ca tatan sejarah, sedangkan sumber lisan banyak digunakan masyarakat Baduy, Kasepuhan, Kampung Naga dan kisah ki sah Pantun.
Pikukuh dimasa lalu memiliki sanksi seperti halnya yang masih dilakukan masyarakat Baduy. Ada sanksi bagi para pe langgar. Pikukuh digunakan sebagai sumber hukum adat dan acuan dalam mengenakan sanksi, seperti : “ngadek kudu sa clekna, Nerapkeun hukum ulah kancra kancas, ulah cuwet ka nu hideung, Ulah ponteng kanu koneng”. Adapun ciri-ciri dari hukum adat pada umumnya, hanya akan mengenakan sanksi jika mereka dianggap mengganggu keseimbangan adat.
Sumber Pikukuh Tertulis
Sumber pikukuh yang banyak dijadikan rujukan tentang kearifan masa lalu urang Sunda berasal dari Prasasti Kawali 2. Sekalipun demikian, pada masa lalu banyak juga yang me rujuk kedalam naskah Sanghiyang Siksa dan Sanghiyang Darma. Pikukuh di dalam Prasasti Kawali 2 disebut wasiat atau wangsit Prabu Raja Wastu yang dikenal dengan sebutan Wastu Kencana. Prasasti tersebut berisi tentang orang-orang yang hidup dikawali selanjutnya harus bersikap. Naskah dari prasasti Kawali 2, sebagai berikut :
Aya ma nu ngeusi bhari pakwan kereta bener pakeun nan jeur na juritan. (semoga ada mereka yang kemudi an mengisi negeri Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang)
Jika ditelusuri lebih lanjut, makna isi prasasti dimaksud terkait dengan ajaran yang dimuat dalam naskah Sanghyang Kandang Karesyan, tentang jalan kebahagiaan (pakena kreta bener) dan jalan keselamatan (pakena gawe rahayu) yang da pat diikuti oleh para penerusnya atau yang hidup setelah Wastu Kancana (ayama nu pandeuri). Kalimat ini mengan dung makna dan himbauan agar para penerusnya berperi laku benar dan menjaga lingkungannya dengan baik, sehingga tidak ada kerusakan. (bhaga neker bhaga angger bhaga nincak bhaga rempag). Dihimbau juga agar selalu berucap kata-kata yang benar (haywa dicawuh-cawuh), dan tidak merusak peningalan leluhur (haywa diponah-ponah), sebab perilaku tersebut akan merugikan diri sendiri (malindes ka diri sorangan - cilaka ku polah sorangan; ulah botoh bisi kakereh).
Ajaran Rahiyang Wastu sangat bertumpu pada harmoni sasi antara dirinya dengan alam dan lingkungannya. Hal ini ter cermin dalam karakter artefak-artefak Kawali dengan segenap aspek yang begitu mengimposisi kepada alam, sangat natural, dengan tanpa mengeksploitasi apapun yang diciptakan di dalam lingkungan alam dan tempat di mana seseorang berkebudayaan. Situs Kawali menyiratkan ajaran tentang inti persoalan seorang manusia di dalam merealisasikan harmoni tersebut, seperti dari kalimat Pakena keureuta bener pakena gawe rahhayu pakeun heubeul jaya dina buana pakeun nanjeur na juritan. Untuk menuju kearah kesejahteraan (Pakena keureuta bener) dan kerahayuan (pakena gawe rahhayu), seseorang harus memperhitungkan langkah-langkah sebaik-baiknya, tidak berjudi dan berbuat yang menimbulkan kesengsaraan (ulah botoh bisi kakereh).
Uraian yang di maksud tentang pakena keureuta bener dan pakena gawe rahhayu diatas, secara konkrit harus dihu bungkan dengan naskah dalam Kropak 630, antara lain berisi sebagai berikut :
............ Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wiku teguh dalam tugas nya sebagai wiku, akan sejahtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya se bagai akhli gamelan, akan sejahtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya sebagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejahtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejahtera.Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byak ta warta manah, mana kretana bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.(Teguhkan, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kan ke-nyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejah teralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan).
Wasiat diatas mengandung konsep tentang bagaimana ma nusia harus memiliki laku yang baik dan profesional dibi dang keahliannya. Tuntunan ini Lebih maju dari praktek ke negaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengu rusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum peda gang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebab kan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesentosaan. Pedoman yang sama masih kita temukan sampai saat ini. Seper ti dalam istilah: Jika suatu urusan diserahkan bukan kepada akhlinya, maka tunggulah kehancurannya. Namun pedoman dan tanda-tanda ini tidak sedemikian diacuhkan, sehingga pa ra pemimpin dibidangnya menjadi adharma.
Naskah Sanghiyang Siksa menulis pula tentang Darma Pitutur dalam bentuk siloka, sebagai berikut :
Talaga carita Hangsa
gajendra carita banem
matsyanem carita sagarem
puspanem carita bangharem bila ingin tahu tentang telaga bertanyalah kepada angsa
bila ingin tahu tentang hutan bertanyalah kepada gajah
bila ingin tahu tentang laut bertanyalah kepada ikan
bila ingin tahu bunga bertanyalah kepada kumbang
Naskah yang berisi tentang Pikukuh yang memiliki kemirip an atau hampir sama juga dimuat didalam Amanat Galung gung. Naskah ini diyakini sebagai ajaran yang disampaikan Rakeyan Darmasiksa. Naskah tersebut antara lain sebagai berikut :
Nanya Kanu Karolot
Mo teoh sabab na agama pun
Na sasana bawa kolot pun.
Pikukuh yang berhubungan dengan pembangunan Pendidi kan dan perlindungan terhadap Kabuyutan sebagai wilayah pelatihan kaum intelektual pada waktu itu, serta masyarakat yang mengelolanya, sudah lebih maju ketika masa Sri Baduga (Siliwangi) berkuasa. Dengan demikian, ketentuan negara untuk memberikan pehatian yang lebih besar terhadap sektor pendidikan bukan sesuatu yang baru. Pikukuh ini di tuliskan di dalam Prasasti Kabantenan atas perintah Sri Baduga Mahara ja, yang merupakan peringatan dari Rahyang niskala Wastu Kancana, kemudian diturunkan kepada Ra hyang Ningrat Kan cana, keduanya adalah kakek dan ayah mer tua Sri Baduga Maharaja, menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sun da Sembawa, agar ada yang mengelola.
Saat ini baru di temukan 4 buah Pikukuh yang tertera di dalam 5 lempeng tembaga. Keputusan tersebut menyangkut masalah penentuan batas Kabuyutan dan pembebasan pajak terhadap para penghuni serta pengelola Kabuyutan. Piku kuh dimaksud, sebagai berikut :
Prasasti 3 dan 4 :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan seka rang di Pakuan Pajajaran. Menitipkan ibu kota di Jaya giri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya.
Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas tim bang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan ke pada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran agama. Mereka yang teguh mengamalkan hukum-hukum dewa.
Prasasti 5 :
Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberi kan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapus atau meng ganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjaknya daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar di bunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.
Kabuyutan atau Dewasasana dikelola oleh kelompok wiku, mereka mengurus keagamaan, kesejahteraan raja, negara dan penduduk. Wilayah para wiku didalam prasasti 1 dise but lemah larangan, yakni daerah otonom atau semacam perdikan, dikepalai oleh Lurah Kawikwan (Kawikuan). Dalam pra sasti 5 dikukuhkan pula bahwa siapapun yang memasuki lemah larangan tanpa ijin akan dijatuhi hukuman mati.
Disekitar lemah larangan terdapat sangga, yaitu penduduk yang mendukung keberadaan dan ngabayuan (menghidupi) Kabuyutan. Sangga dimaksud dalam prasasti ini dimungkin kan berada di dalam wilayah Sunda Sembawa dan Jayagiri. Dengan demikian di Jayagiri dan Sunda Sembawa terdapat Lemah Larangan dan Sangga.
Di dalam prasasti 3 dan 4 diperintahkan agar penduduk di kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul) upeti dan pare dongdang (padi 1 gotongan). Urutan pajak tersebut didalam kropak 630 adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma, sedangkan petugas pajak disebut Pangurang. Ketentuan Pajak terse but sampai saat ini masih berlaku, seperti penarikan restribu si dan pungutan lainnya.
Pikukuh yang terkait dengan masalah pendidikan dan in telektual, dikukuhkan pula oleh Prabu Darmasiksa, kemudi an dikenal sebagai ajaran Sanghiyang Siksa. Pikukuh ini meneguhkan, bahwa : Raja yang tidak bisa mempertahankan kabu yutan diwilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit mu sang yang tercampak di tempat sampah. Demikian cuplikan dari Amanat Galunggung yang dikenal dengan sebu tan Amanat Prabu Darmasiksa (Kropak 632). Amanat ini disampai kan oleh Prabu Darmasiksa raja Saunggalah kepada Rajaputra yang kelak menggantikannya di Saunggalah, sebe lum Prabu Darmasiksa pindah ke Pakuan (1187) untuk menjadi raja Sunda yang ke-25. Kemudian diikuti oleh raja-raja peng gantinya. Tidak heran ketika itu Kabuyutan memili ki peranan yang sangat penting, disebut-sebut sebagai Dangiang Sunda, sehingga banyak raja-raja yang mempertaruhkan harga dirnya jika Kabuyutannya diganggu. Bagi masyarakat modern, ketentuan tentang perlunya melindungi sumber-sumber ilmu saat ini merupakan faktor yang sangat penting. Selain hal tersebut, konsep kabuyutan dapat pula digunakan untuk mengelola lingkungan sebagai sumber kehidupan.
Pikukuh yang terkait dengan masalah hubungan sosial banyak diatur didalam naskah sanghiyang siksa, dan di jelas kan di dalam Carita Parahyangan. Kedua naskah ini antara la in menetapkan seorang Istri (perempuan) yang diharamkan untuk dinikahi (Ekadjati – 2005 : hal.196), yaitu :
- Gadis atau wanita yang telah dilamar dan lamarannya dite rima, gadis atau wanita terlarang bagi pria lain untuk me minang dan mengganggu
- Wanita yang berasal dari Tanah Jawa, terlarang dikawin oleh pria Sunda dan larangan tersebut dilatar belakangi peristiwa Bubat.
- Ibu tiri yang tidak boleh dinikahi oleh pria yang ayahnya pernah menikahi wanita tersebut.
Pikukuh istri larangan banyak menelan korban keluarga Keraton Sunda di jaman Buhun, yakni Mandiminyak (Galuh); Dewa Niskala (Sunda); dan Ratu Sakti (Pajajaran); mungkin juga Geusa Ulun (Sumedang larang). Sanksi adat yang mereka terima dikucilkan dari lingkungan sosial, seperti pada kasus Mandiminyak, yang terpaksa harus pindah ke Kalingga, bahkan Sana anaknya menjadi tidak efektif sebagai raja Galuh dan menyulut pemberontakan Purbasora. Demikian pula terhadap Dewa Niskala dan Mandiminyak, mereka dipaksa turun dari tahtanya. Tentang Ratu Sakti ditulis dalam carita Parahyangan, dengan kalimat :
Aja tinut de sang kawuri pola sang nata (Janganlah ditiru oleh mereka yang kemudian kela kuan raja ini).
Prasasti lainnya yang berisi pikukuh ditemukan di Ciba dak, disebut Prasasti Cibadak, dibuat oleh Sri Jaya Bupati. Isi nas kah yang penulis cuplik dari Buku Rintisan Penulusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (Jilid 3 Hal 12), antara lain terje maahannya, sebagai berikut :
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnu murti Samarawijaya Sakalabuwa namandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramot tunggadewa membuat tanda di sebelah timur Sanghi yang Tapak.
Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) me nangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hu lu sampai batas daerah kabuyutan sanhyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar. Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang diku kuhkan dengan seruan : kutuk serta sumpah oleh raja Sunda, antara lain sebagai berikut :
Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agatsya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur laut, zenith, nadir, matahari, bulan, bumi, air, angin, sernja, yaksa, raksasa, pisaca (sebangsa peri), su ra, garuda, buaya, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera dewata Pancaku sika, lembu tungga ngan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (dewa ular), Surindra, putra Hyang Kalamercu, gana (makhluk setengah de wa), buta (sebangsa raksasa), para arwah semo ga ikut, menjelma merasuki semua orang, kalian gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini.
Pikukuh didalam prasasti Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati membuat tapak disebelah timur kabuyutan. Di bagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan terse but, siapa saja di larang menangkap ikan. Pada saat itu pen duduk disekitar prasasti sangat taat terhadap Pikukuh ini dan takut mendapat hukuman dari kekuatan gaib. Sama halnya dengan ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tan pa hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti Pikukuh tersebut.
Pikukuh Lisan.
Pikukuh Karuhun dan amanat leluhur urang Baduy di wa riskan secara turun temurun kepada anak cucunya untuk di taati, sehingga sampai saat ini mereka mampu mempertahan kan adat istiadat, mentaati segala ketentuan yang di amanat kan leluhur. Pikukuh Karuhun tersebut (Asep Kurnia : 2010), sebagai berikut :
Bertapa Bagi kesejahteraan dan keselamatan Pusat Dunia dan Alam Semesta (Ngabarata Pakeun Nusa Telu Puluh Telu, Bangawan Sawi dak Lima, Pancer Salawe Nagara).
- Ngareksakeun Sasaka Buana (Memelihara Sasaka Buana)
- Ngasuh Ratu Ngajak Menak (Mengasuh Ratu memelihara menak).
- Menghormati Guriang dan Melaknasanakan Muja di Sasa ka Domas.
- Melakukan Seba setiap setahun sekali.
- Ngukus Ngawalu Muja Ngalaksa (Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara Adat Ngalaksa.
- Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan Kawalu.
Menurut Ekadjati (1993) tugas hidup orang Baduy yang sangat perlu untuk dipatuhi warganya secara garis besar ter diri dari enam, yakni :
- Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana memelihara tempat pemujaan di Sasaka Pusaka Buana
- Ngareksakeun Sasaka Domas memelihara tempat pemujaan di Sasaka Domas
- Ngasuh Ratu ngajak Menak mengasuh penguasa dan mengemong pembesar negara
- Ngabaratakeun Nusa Telu Puluh Telu, bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara mempertapakan nusa 33, sungai 65, dan pusat 25 negara
- Kalanjakan kapundayan berburu dan menangkap ikan untuk keperluan upacara kawalu
- Ngukus ngawalu muja ngalaksa membakar dupa sewaktu me-muja, melaksanakan upacara kawalu dan membuat laksa. Kultur Urang Baduy beranggapan hidup harus bersifat sosial, bermurah hati dan berbaik hati. Orang yang memiliki maka nan lebih dilarang memperjual belikan kelebihan makanan nya dan harus diberikan kepada yang memerlukan, karena makanan adalah kebutuhan orang banyak. Diantara maka nan yang tidak boleh diperjual belikan adalah beras, sayur dan buah-buahan. Namun di dalam keyakinan Sunda segala sesuatu mempunyai jiwa dan ada yang memiliki. Sehingga ke tika orang ingin memetik sesuatu maka harus terlebih dahu lu memintakan ijin. Pikukuh yang terkenal, sebagai berikut :
Mipit kudu amit, ngala kudu menta, Mun neukteuk kudu sateukna, Mun nilas kuda saplasna, Nu lain dilain keun, nu ulah di ulahkeun, nu enya dienyakeun, Ulah gorok ulah linyok. (memetik harus permisi, memotong harus pas, menebas harus setebasnya, menetak harus setepatnya, Yang bukan katakan bukan, yang dilarang katakan dilarang, yang benar katakan benar, Jangan menipu, jangan berbohong).
Masyarakat Baduy meyakini, sebagai keturunan Adam Tung gal harus dapat ngasuh ratu ngajak menak dan memegang buyut, nenek moyang dan kabuyutan. Mereka meyakini bah wa hidupnya ditugaskan untuk menjaga Kabuyutan. Untuk mengelola kabuyutan diperlukan pemimpin, yang disebut Puun. Para pemimpinnya harus memelihara apa yang dipe sankan dan di kehendaki oleh karuhun (leluhur), seperti Piku kuh dibawah ini :
Buyut nu dititipkeun ka puun, nagara satelung puluh telu, bagawan sawidak lima, pancer salawe nagara (bu yut yang dititipkan pada puun, lebih dari tigapuluh tiga negara, enam puluh lima bagawan, inti dari dua puluh lima nagara).
Pikukuh tersebut bukan hanya sekedar nasehat karuhun saja melainkan menjadi pedoman penting bagi kehidupan so sial, sehingga apa yang dilarang adalah buyut (terlarang) un tuk dilakukan oleh siapapun, seperti ungkapan dibawah ini :
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diru sak, larangan teu meunang di rempak, buyut teu meu nang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu menang disambung (gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dirubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disam bung)
Pemahaman buyut terhadap pikukuh diatas memberi kan tanda bahwa masyarakat Baduy seharusnya memegang te guh pikukuh dari karuhunnya. Dengan demikian, pikukuh karuhun akan mengandung etika, karena yang dijadikan piku kuh tersebut sebelumnya telah dijalankan oleh karuhun. Pi kukuh demikian nampak pula didalam sikap dan tindaka yang serba teu wasa, yang dipandu oleh :
Nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya ku du dienyakeun (yang bukan katakanlah bukan, yang jangan katakanlah jangan, yang benar katakanlah benar).
Urang sunda diluar Baduy, berlaku pula beberapa Pikukuh dan Pitutur, yang diyakini sebagai nilai hidup Kasundan, se bagai transformasi dari nilai-nilai kasundaan terhadap urang sunda yang beragama islam. Norma-norma ini dikembang kan oleh H. Hasan Mustafa (Sambas: 1996), sebagai berikut :
(1). Percaya kepada Tuhan (2) Menyadari asal kejadian nya (3) selalu ingat asal usulnya (4) meyakini bahwa orang tua lebih berpengalaman (5) menjunjung tinggi nasehat orang tua (6) mempunyai kemampuan menye suaikan diri (7) mempu nyai perhitungan matang (8) rajin berikhtiar (9) Rajin menuntut ilmu agama (10) mempercayai adanya pengaruh hidup seseorang dari keturunan (11) meyakini banyak anak lebih baik dari pada kekayaan melimpah (12) mempercayai adanya orang baik menurunkan keturunan yang tidak baik (13) bayi didalam kandungan mempengaruhi ibunya (14) Situasi dan kondisi ibu berpengaruh pada bayi (15) perilaku suami yang istrinya menegandung mempenga ruhi bayi yang dikandung (16) ada kewajiban orang mu da untuk mempercayai orang tuanya (17) orang yang suka duduk diambang pintu akan jauh jodohnya (18) larangan keluar atau masuk kerumah dengan cara me loncat (19) gadis dilarang ikut makan sirih dengan tamu, karena akan haid ketika malam pengantin (20) dilarang memakan daun sirih yang permukaannya rata karena nanti akan mempunyai anak sulung yang segera meninggal (21) dst .... sampai dengan (68) menganggap bahwa seakan-akan orang yang telah meninggal masih hidup sampai hari ketujuh, karena itu diperlukan upaca ra untuk menenangkannya.
Pikukuh yang berfungsi sebagai pedoman hidup, terdapat pula didalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kasepuhan yang berada disekitar Gunung Halimun. Didalam paradigma masyarakat Kasepuhan diyakini, bahwa pangawinan memili ki makna tempat mempersatukan hal-hal yang yang berhubu ngan antara dunia nyata dengan dunia gaib. Hal ini bertujuan agar dapat mencapai kehidupan yang harmonis dan menca pai rasa manunggal. Untuk mencapai rasa manunggal, masya rakat Kasepuhan mengembangkan konsep ajaran, dasar mo ral yang disebut ngaji diri. Bermanfaat untuk melawan sifat buruk dalam dirinya, seperti sirik, pidik, iren panastren (iri, benci). Agar dapat diperoleh kondisi selaras dan tertib, aman dan tentram dalam kehidupan manusia, maka ucap jeung lampah harus seirama, tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Hal ini tercermin didalam ungkapan :
Mipit kudu amit,
ngala kudu menta,
nganggo kudu suci,
dahar kudu halal,
kalawan ucap kudu sabenerna,
ucap kudu sabenerna,
mupakat kudu sarerea,
ngahulu ka hukum,
nyanghunjar ka nagara
Mipit kudu amit dan ngala kudu menta, mengandung arti bahwa setiap kali akan memetik atau menuai hasil panen, maka setiap warga kasepuhan harus memohon ijin dari para Karuhun dan Yang Maha Kuasa agar dilindungi dari berbagai bencana. Istilah nganggo kudu suci mengandung arti, bahwa tingkah laku itu harus jujur dan tidak boleh berbohong. Kali mat dahar kudu halal mengandung makna, bahwa apa yang dimakan atau cara memperoleh makanan harus dilakukan se suai dengan hukum adat kasepuhan. Kata-kata ucap kudu be ner artinya tidak boleh berbohong, sedangkan kalimat ngahu lu ka hukum dan ngahunjar ka nagara, mengandung makna, bahwa warga kasepuhan harus taat dan berpedoman pada hu kum serta berlindung pada negara. Pentaatan masyarakat ter hadap Pikukuh ini sesuai dengan ketaatan terhadap talari pa ranti Karuhun (tatacara nenek moyang). Pelanggaran ter hadap talari paranti Karuhun diyakini akan mendatangkan ben cana atau kabendon (kena marah), baik bagi diri sendiri mau pun seluruh warga Kasepuhan.
Masyarakat wiwitan menganggap pelaksanaan Pikukuh dan Pitutur dikatagorikan tapa. Pemahaman tapa bukan sebagai mana yang dipahami masyarakat saat ini. Bertapa dimaksud menjalankan tugas manusia sehari-hari atau bekerja, bahkan manusia sudah dapat menjalankan sejak berada didalam kandungan perut ibu. Kisah dan nasehat ini pernah dimuat di dalam Baduy, naskah ka 7 ‘Adat Lembaga’ th.1950, tulisan Surya Saputra, penulis sadur dari tulisan Roza Mintaredja (2006), seperti dalam pepatah :
Sabulan Ngaherang,
dua bulan Ngalenggang,
Tilu bulan Ngarupa,
Opat bulan Ngareka,
Lima bulan Malik Muter,
Genep bulan Tumpang pitu,
Tujuh bulan nunjuk ka sanghiyang manggung,
Dalapan bulan Lilimbungan di tanah payung,
Salapan bulan Matur ka Ambu,
Rek nyaba ka Buana Panca tengah,
Broll !!!
Bral geura ngambah sagara !
Mangkahade !
Ulah sadenge-dengana,
mun lain dengekeunana
Ulah sadeuleuna mun lain deuleueunnana
Ulah saomong-omongna, mun lain omongeunana
Ulah sacabak-cabakna, mun lain cabakeunana
Ulah samanh-manahna, mun lain manaheunana.
Bagi masyarakat Baduy bertapa adalah menjalankan tugas menjaga Mandala (Kabuyutan). Bagi masyarakat wiwitan warga nagara (diluar mandala), bertapa artinya menjalankan tugas sebagai warga negara. Pikukuh tentang tapa dimuat pu la dalam naskah Amanat Galunggung (kropak 632), sebagai berikut :
Carek na patikrama na urang lanang lanang-wadwan, iya twah na urang. Gwareng twah gwareng tapa, maja twah ma ja tapa ; apana urang ku twah mana beunghar, ku twahna mana waya tapa. (Menurut ajaran patikra ma, bagi kita, laki-laki dan wanita, amal itu sama deng an tapa. Itulah makna amal. Sedang amal, sedanglah tapa. Sempurna amal, sempurnalah tapa. Kan kita ini karena amal kita dapat menjadi kaya, karena amal pula kita berhasil dalam tapa).
Sanksi pelanggar Pikukuh
Pikukuh pada dasarnya berlaku sebagai hukum adat, yang berciri, yakni siapapun yang terkena sanksi adat adalah me reka pengganggu keseimbangan adat. Mungkin tidak salah tapi karena alasan tidak sesuai dengan hukum adat maka ha rus dikenakan sanksi. Peristiwa demikian dapat ditemukan ke tika para tetua adat Baduy mengijinkan Nyi Hujung Galuh untuk keluar dari lingkungan masyarakat Baduy jero, kemudian bermukim dan menjadi Baduy Kompol. Nyi Hujung Ga luh tidak disebutkan melanggar adat, namun tindak tanduk dan kelebihan yang dimilikinya dianggap meresahkan.
Pikukuh diantaranya berisi tentang kosmologi atau asal usul terjadinya Buana Pancatengah. Dalam keyakinan penga nut Sunda Wiwitan terdapat tiga alam, yakni : Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hyang Keresa; Buana Panca te ngah, alam manusia dan makhluk lainnya hidup; dan Buana Larang yakni neraka berada dilapisan alam paling bawah. Di dalam keyakinannya, Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung atau Kahyangan. Jika roh manusia telah se lesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Panca tengah, maka sukmanya harus kembali ke Kahyangan. Jika sukma turunnya dari Kahyangan baik maka kembalinya pun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya suk ma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu ber ada di Buana Pancatengah.
Dari ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bah wa segala perilaku kehidupan manusia harus dapat diper-tanggung jawabkan secara lahiriah maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhi rat nanti. Mereka meyakini apa yang dilakukan baik buruk nya akan kembali pada dirinya, dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nunyidikeun Allah anu nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Keyakinan demikian menjadi spirit pen ting bagi ditaatinya Pikukuh dan Pitutur.
Sanksi terhadap pelanggar Pikukuh cukup berupa ancaman yang bersifat moral, seperti yang termaktub didalam Pra sasti Cibadak. Namun memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, mengingat masyarakat jaman dahulu meyakini, sekalipun da pat keluar dari sanksi didunia namun dia tak akan dapat me ngelak dari sanksi lainnya, baik berupa bencana dan kutu kan bagi diri san keturunannya, maupun diakhir nanti.
Ciri-ciri dan rasa takut terhadap adanya kutukan sema cam yang dinyatakan didalam Prasasti Cibadak masih diyakini di kalangan masyarakat Baduy. Mereka sangat takut adanya kutukan dari Sang Pencipta dan Guriang, leluhur mereka ser ta melanggar tatanan hukum adat. Kutukan ini lebih tertuju kepada para pelanggar Pikukuh Karuhun. Kutukan akan terja di kepada mereka yang melakukan pelanggaran atau melaku kan sumpah adat, tetapi ucapan tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Demikian pula didalam lingkungan Kasepuhan. Pada umumnya mereka meyakini dan mentaati Pikukuhnya, mengingat takutnya terkena musibah atau kabendon.
Kekuatan Pikukuh saat ini sudah barang tentu tidak se demikian efektif sebagaimana dimasa lalu. Mengingat rationa litas masyarakat terhadap hukum lebih banyak mengakui dan mentaati yang secara jelas-jelas dilarang dan dituliskan. Kare na melanggar hukum akan terkena sanksi, baik berupa kuru ngan maupun hukuman lainnya. Disisi lain masih ada masya rakat Sunda yang mematuhi Pikukuh, bahkan dika langan ma syarakat Baduy masih diakui sebagai sumber hukum adat.
Sumpah adat bagi masyarakat adat Baduy diartikan se bagai proses penegakan Hukum (Asep K: 2010) Pengujian kebenar an dilakukan sebagai langkah terakhir. Namun biasanya banyak dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan antar warga. Rasa takut terhadap kutukan melebihi rasa takut ter hadap hukuman mati. Masyarakat tradisional beranggapan bahwa hukuman mati hanya menimpa sipelaku, sedangkan kutukan berakibat terhadap keturunannya yang lain. Paradig ma demikian tentunya sangat berbeda dengan kondisi masya rakat yang ada sekarang, umumnya hanya berupaya agar da pat lolos dari hukuman dunia. Masyarakat Baduy sangat me yakini, bahwa hakim yang paling agung adalah Sang Maha Pencipta yang tidak pernah tidur, tidak buta, dan tidak tuli untuk mengikuti setiap detak dan delik perilaku makhluk nya. Keyakinan ini dapat melahirkan kesadaran yang tinggi bahwa manusia setiap saat tidak lepas dari pengawasannya.
Tentang maklumat dan materi sumpah Hukum adat Baduy, tidak perlu dilakukan secara tertulis, melainkan ada niat yang benar-benar keluar dari dalam hatinya dan di ucapkan secara jelas di depan tetua adat. Materi sumpah dimaksud, se bagai berikut :
Kami menta disaksian ku Guriang Tangtu Tilu Jaro Tu juh: Aing sumpah, lamun aing bohong, kaluhur ulah pu cukan, kahandap aing ulah akaran, gurulang gorolong karaca endog, lungkay lingkey kacara geureung diteng ah bajing cangkilungan.
Ulah diberean daya upaya ka Gusti anu nyidikeun, ka Allah anu nganyayajeun ka pangeran leuwih uninga anu nangtayu ngan kasakabeh umat.
Sakieu sumpah aing.
Fungsi dan wibawa dari hukum saat ini dapat di tenggarai, sebagai berikut: Pertama, didalam Paradigma masyarakat mo dern, penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh ak tivitas hukum. Dimulai dari perencanaan hukum, pemben tukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Pene gakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-ke pentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat sebatas proses penerapan hukum, sebagaimana penda pat kaum legalistik. Namun prosesnya mempunyai dimensi lebih luas daripada pendapat tersebut. Dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemaha man tersebut maka dapat diketahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema law in action bukan pada law in the books.
Kedua, didalam pikiran para praktisi hukum, proses penega kan hukum dalam peradilan sering hanya diterjemahkan sebagai suatu proses memeriksa dan mengadili secara penuh dengan berdasarkan hukum positif semata-mata. Pandangan yang formal legistis ini mendominasi pemikiran para pene gak hukum sehingga apa yang menjadi bunyi undang-un dang, itulah yang akan menjadi hukumnya. Kelemahan utama panda ngan ini adalah terjadinya penegakan hukum yang kaku, tidak diskresi dan cenderung mengabaikan rasa kea dilan masyarakat karena lebih mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili, dalam kenyataannya bukanlah pro ses yuridis semata, atau hanya proses menerapkan pasal-pasal dan undang-undang melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struk tur sosial ter tentu. Suatu putusan hakim saat ini hanya pengesahan dari kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak. Dalam perspektif sosiologis, lembaga pengadilan me rupakan lembaga yang multi fungsi dan tempat untuk record keeping, site of administrative processing, ceremonial cha-nges of status, set tlement negotiation, mediations and arbi-tration, dan warfare. Produk pengadilan adalah putusan hakim, tentunya bersumber pada keadilan, bukan yang lain. Sumber keadilan itu sendiri harus memiliki tingkat universa litas dan berlaku di kalang an warga masyarakat. Dari sinilah awal dapat dibangunnya wi bawa hukum.
Bagi para penegak hukum, ada yang dapat kita hayati bersa ma. Tentang bagaimana harus bersikap dan menjalankan keadilan. Cuplikan dari Pikukuh yang masih dipercayai ma syarakat Baduy tertumpu pada keyakinan dan pengalaman yang berkembanhg dilingkungan masyarakatnya, bukan ber asal dari lingkungan atau Yuridprudensi masyarakat luar. Pi kukuh tersebut, sebagai berikut :
Nerapkeun hukum ulah kancra kancas
Ulang cuwet kanu hideung
Ulah ponteng kanu koneng
Ulah ngilik kanu putih
Ulah neuleu tandingan nenjo paroman
Ulah pandang bulu
Hukum ulah geleng catang
Ulah hukum piraus
Hukum aya kalana perlu ditegaskan
Hukum aya kalana perlu ditindakeun
Hukum oge aya kalana perlu dibijaksanakeun
Mun hukum kancra kancas
Matak romed cerewed
Pasini euweuh sisian
Padea euweuh hadena
Tunggul nyarug cohcor mantog
Badak galah jelema nyarak
Datang nu bogana reas. (asp)
Bila wasi teguh dalam tugasnya sebagai santi, akan sejahtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biara wati, akan sejakh tera. Bila pendeta teguh dalam tugas nya sebagai pen deta, akan sejahtera. Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahtera. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejahtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh dalam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya sebagai menteri, akan sejahte ra. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang je rat, akan sejahtera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya seba gai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tu gasnya sebagai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang peramal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugas nya s bagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (prabu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejahtera.
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina ke sejahteraan didunia, maka akan sejahtera lah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia). (Eddy S. Ekadjati: 2001 – naskah Sunda)