Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Maret 2011

Tri Tangtu

Sejarah kebudayaan masyarakat Sunda di masa lalu menun jukan kepada sifatnya yang mistis-spiritual, dikatagorikan kedalam masyarakat religius. Masyarakat religius sangat berbeda dengan masyarakat modern-sekuler yang memberikan jarak distansi an tara dia dan diluar dirinya, antara subyek dengan obyek, sehingga wajar jika manusia modern-sekuler lebih mementingkan dirinya di bandingkan orang lain yang berposisi diluar dirinya. Didalam pa radigma yang religius, manusia harus partisipatif aktif terhadap lingkungan dan alam semesta. Mereka menyadari bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam semesta, memerlukan manusia lain nya ; sangat tergantung terhadap alam, yang tak dapat dikuasai, sehingga manusia religius akan selalu menjaga harmoni hidupnya dengan alam dan lingkungan.


Kebudayaan religius atau mistis-spiritial membagi sumber pe ngetahuan kedalam tiga tahap (Sumardjo : 2006, hal.22). Pertama, subyek manusia berhadapan dan berjarak dengan obyek pe ngetahuan, atau antara dirinya dengan obyek pengetahuan ada jaraknya sama halnya dengan yang dipahami masyarakat modern. Sehngga manusia selalu berupaya untuk menggapai pengetahuan tersebut. Pada akhirnya manusia yang mistis–spritual atau religius mengenal pula pengetahuan atau ilmu, seperti ilmu obat-obatan, bertani dan lainnya. Kedua, antara subyek (dirinya) dengan obyek (pengetahuan) tidak ada jarak, atau partisipatif. Seperti dapat dilihat dari pepatah tepo sliro, tenggang rasa ; ngaragap angen sorangan ; tat twan asi, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.


Paradigma demikian bersumber pada faham totalitas dan menjadi pemikiran penting didalam kebudayaan mistis-spiritual. Pengetahuan dengan dirinya menjadi tidak ada batasnya, seperti didalam kisah, legenda danmitos-mitos, bahwa manusia bisa berbicara dengan hewan (Angling Dharma) ; manusia berubah jadi harimau (mitos Kean Santang : dan kerbau putih berubah menjadi Dewa. Contoh lain dari faham totalitas yang tidak membatasi antara masyarakat ma nusia dengan masyarakat di dalam bumi, seperti kisah Purnama Alam, Mundinglaya Dikusumah dan kisah-kisah keajaiban lainnya. Kisah-kisah diatas saat ini tidak dapat dikatagorikan sebagai hal yang rasional, namun tetap disebut rasional dalam katagori penge tahuan Sunda pramodern. Fenomena ini lajim disebut sebagai totalitas.Ketiga, batas pengetahuan dari kebudayaan mistis–spiritual adalah pengetahuan dan pengalaman yang di dalamnya tidak ada lagi subyek dan obyek. Hal ini disebut puncak mistisme, seperti pengetahuan suwung awang uwung, awang awang uwung uwung, kosong dalam kosong adalah isi yang sejati-jatinya. Puncak pengalaman mistisisme ini tidak semua manusia mampu dan memiliki pengetahuan ini.


Dilihat dari cara berpikir masyarakat modern seperti saat ini, pada umumnya hanya berhenti pada tahap pertama, tidak mengenal lagi cara berpikir tahap kedua dan ketiga, sehingga miskin dalam pengetahuan spiritual dan moralitas, memandang persoalan secara homogen (tunggal), padahal makna ruang dan waktu tidak tunggal, homogen.


Pola Budaya masyarakat agraris pada umumnya homogen. Diantaranya memiliki Pola Budaya Tiga, seperti dalam kehidupan masyarakat adat Bugis, Batak, Dayak, Minangkabau dan Sunda. Pola Budaya Tiga nampak dari struktur Kampung Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Perkampungan Cipta Gelar terdiri dari kelom pok kampung besar yang berangota tiga kampung. Masing-masing kampung memiliki peranan yang berbeda. Masyarakat Minangkabau menyebutnya Tigo Tungku Sajarangan atau Pola Nan Tigo. Pola Tigo Tungku Sajarangan merupakan satu kesatuan antara Ninik Mamak (kepala ada) ; Alim Ulama (pemuka agama) ; dan Cerdik Pandai (tokoh masyarakat). Selain dari wujud dan fung si para tokoh, nampak pula dari kampungannya (nagari). Basis budaya Minang dulu diakui berpuncak pada luhak nan tigo, yakni tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, dengan adagium adat ; adat manurun, syara mandaki, maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan perkembangan syara dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan puncak buda yanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung.


Pola Budaya
Sunda Pola Budaya Sunda termasuk pada pola budaya tiga dalam sistem budaya primordial. Masyarakat tradisional Sunda menyebut Pola Tri Tangtu; pola Nu Tilu ; Tilu Sapamalu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda. Pola tiga telah di dokumentasikan sejak tahun 1440 (Saka) atau 1518 M, dalam Koropak 630 yang dikenal dengan Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan. Intinya satu kesatuan dari fungsi ratu ; rama ; dan resi. Naskah tersebut jika di hubungan dengan naskah Kosmologi Sunda menguraikan tentang tiga fungsi diatas, yakni bayu, sabda, dan hedap. Menurut naskah tersebut : setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta, agar kelak bisa kembali ke kodratnya.


Pengertian mengenai tugas dan fungsi yang terkandung di dalam Tri Tangtu merupakan tiga ketentuan di dunia yang disebut peneguh dunia. Naskah Sanghyang Siksa nangtukeun (menegas kan) : Ini tri tangtu di bumi. Bayu kita pinahka prebu, sabda kita pinah ka rama. hedap kita pinahka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaran na.Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tri tangtu pineguh ning bwana. Tri warga hurip ning jagat. Ya sinangguh tri tangtu di nu reya ngaranya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Ke sentosaan kita ibarat raja ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehi dupan di dunia. Ya disebut tri tangtu pada orang banyak namanya. Tugas dan fungsi Tri Tangtu saat ini masih dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy, tentang mengelola perkampungan nya dan melaksanakan enam fungsi pokoknya. Tri Tangtu terdiri atas Resi, Rama, Ratu. Ketiga komponen tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tapi dalam jajaran yang setara. Fungsi Resi : mikukuhkeun agama Sunda ; ngabaratakeun nusa telung puluh telu ; bagawan sawidak lima ; panca salawe nagara, atau na paan. Tapi tapi yang dimaksud adalah menanungi, mengayomi, memelihara, mengelola dan sebagainya yang produktif untuk ke langsungan fungsinya. Fungsi Rama : ngasuh ratu ngajak menak dalam arti menjadi penasehat pihak eksekutif. Fungsi Ratu : Nga heuyeuk dayeuh ; ngolah nagara, atau sebagai pelaksana peme rintahan. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jika telah berpadu maka dapat memperteguh dunia.Tri Tangtu ditemukan dalam ungkapan masyarakat tradisio nal Sunda, antara lain dalam tradisi masyarakat Cipta Gelar, Suka bumi Selatan, yakni : Tilu Sapamalu - Dua Sakarupa - Hiji eta-eta keneh. Bilangan tersebut terbalik, dari tiga, dua kemudian satu, me-ngandung arti dari banyak menjadi atau menuju (yang) satu, yakni asal usul terjadinya keberadaan yaitu dari yang satu, atau mengembalikan kepada yang satu.


Dikatakan tiga sapamalu, ka rena yang tiga itu kesatuan dan yang satu itu selalu berhubungan dengan tiga (Sumardjo : 2006).Mitologi Sunda Buhun membicarakan eksistensi tiga dunia, yakni Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Itulah Tilu Sa pamalu. Pola tiga berasal dari dua sakarupa, artinya banyak (plu ral), namun substansi dari banyak adalah dua (karena lebih dari satu), yakni : pasangan atau kembar dan saling berlawanan, seperti ada laki-laki dan ada perempuan. Fenomen ruang juga ada dua, yakni ada siang dan ada malam ; ada bumi dan ada langit, namun menjadi tiga, seperti adanya manusia karena ada kedua orang tuanya (ayah dan ibu) ; adanya angin karena ada udara pa nas dan udara dingin. Namun yang dua pasangan itu, berasal dari yang satu, atau hiji eta-eta kenah. Itulah Hyang Tunggal.Tuntunan Kepemimpinan.Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yakni : Rama ; Resi ; dan Prabu. Rama adalah pendiri kampung yang menjadi pemim pin masyarakat dan keturunannya serta yang mewarisi Prabu ada lah raja, pemegang kekuasaan. Setiap manusia dianjurkan agar selalu berusaha memiliki bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja) ; sabda pinaka rama (ucapan seorang rama) ; dan hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Ketiga tokoh tersebut kesehariannya memiliki tugas, yakni :Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palang ka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerinta han menjadi tanggung jawab raja sebagai pemegang kekuasaan).Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitan-nya, pada muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karenanya, diantara ketiganya : haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang saka beh, tuha kalawan anwam. jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda) Pola kepemimpinan dimaksud saat ini masih dilaksanakan di Kanekes.


Masyarakat Baduy menyebut Tangtu Telu, nampak dari fungsi ketiga orang Puun, yakni posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Ketiga Puun kesehariannya berkuasa penuh di daerah masing-masing. Dalam hal menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu di-berlakukan secara umum .SpiritualitasPola Tri Tangtu tercermin di dalam kosmologi masyarakat tra disional Sunda, yakni (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sanghyang Kersa, yang letaknya paling atas ; (2) Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah ; dan (3) Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Masyarakat Baduy meyakini ada tiga pasang kata, semua saling melengkapi fungsinya dan ada hubungan dengan tugasnya seba gai pengemban wiwitan di Buana Panca Tengah. 


Pikukuh menurut Urang Baduy, sebagai berikut : Antara wiwitan jeung nu rek ngabangun nagara waktu babagi disawargaloka dibere atawa dibekelan tugas masing-masing, nya eta (1) di wiwitan aya carek, diluar wiwitan aya coret ; (2) diwiwitan aya lisan, di luar wiwitan aya tulisan (3) di wiwitan aya khabar, di luar wiwitan aya gambar. (Asep Kurnia : 2010). Antara wiwitan dengan yang akan membangun negara ketika di sorga diberikan ata dibekali tugs masing-masing, yaitu : (1) di wiwit an ada larangan diluar wiwitan ada tanda ; (2) di wiwitan ada lisan di luar wiwitan ada lisan ; (3) di wiwitan ada kabar diluar wiwitan ada gambar. 


Masyarakat Baduy sangat yakin jika masing-masing manusia telah diberikan tugas sejak belum lahir kedunia, yakni yang meng-abdi (menjaga) wiwitan dan mengabdi (mengabdi) negara. Tugas dimaksud berkaitan dengan keseimbangan hidup dalam menjaga masalah spiritual dan keduniaan. Fungsinya ada tiga yang disebut Tiga Sapamalu ; dua jenis tugas disebut dua saka rupa, sama-sa ma memikul tugas kehidupan ; semuanya berasal dari satu sema ngat, yakni menjalankan tugas dari pencipta.Contoh lannya ditemukan di dalam trasi masyarakat Naga, yang masyarakat tradisional Sunda yang berada di daerah Tasik, penganut agama Islam. Selain melaksankan syariat agama islam juga melaksanakan tradisi yang biasa dilakukan pendahulunya. Diantara tradisi yang menyangkut masalah spiritual yakni melaku kan nyepi namun berbeda dengan nyepi yang dilakukan oleh ma syarakat Bali. 


Masyarakat Naga melakukan nyepi tiga kali dalam satu minggu. Bertujuan mengembalikan dan memusatkan kekua tan-kekuatan yang hilang dalam diri dan jiwa yang kotor dan ber usaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. Namun kenapa harus tiga kali dalam seminggu?. mungkin inilah pemaknaan dari Tri Tangtu dan menyeimbangkan unsur bayu ; sabda dan hedap.LingkunganPola Tri Tangtu Sunda ditemukan pula didalam Sistim penge lolaan Kabuyutan, seperti yang disebut di dalam Amanat Galung gung dan Prasasti Kabantenan. Pola di Kabuyutan Sunda tercer min dari fungsi Resi (pemuka agama/Wiku); ratu (raja Sunda); dan Rama (tetua kampung atau yang dituakan). 


Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang, fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).


Perkampungannya ditentukan dari bobot dari kemandalaannya, yakni Tangtu ; Panamping ; Dangka. Wilayah Tangtu termasuk yang terkuat Kemandalaannya. Selain terletak di daerah yang paling dalam juga tugasnya untuk menjaga wiwitan. Perkampungan mayarakat Naga memiliki tiga elemen Pola Pembagian Lahan, yakni Kawasan Suci; Kawasan Bersih ; dan Ka wasan Kotor. Fungsi lahan dimaksud, sebagai berikut :(1) Kawasan Suci :Lokasi yang disebut kawasan suci terdapat tiga tempat, yakni leuweung larangan ; leuweung tutupan ; dan pekuburan masya rakat Naga. Disebut kawasan suci karena tidak boleh dikunju ngi sembarang orang, harus dijaga kesucian, kelestarian dari pengaruh luar, serta diawasi setiap saat. Leuweung larangan, ditumbuhi pohon-pohon besar, dilarang untuk dikunjungi sembarang orang da, banyak tabu. Di tempat ini leluhur mereka dimakamkan.


Leuweung tutupan atau leuweung biuk. Ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Leuweung ini sangat mempengaruhi iklim sekitar perkampungan Naga, bahkan dijadikan sebagai sumber kehidupan.Pemakaman Masyarakat Naga, tempat dimana mereka di-makamkan ketika saatnya tiba, terletak ditempat yang lebih tinggi dari pemukiman, namun dekat leuweung larangan.(2) Kawasan Bersih :Kawasan ini terletak dipemukiman Kampung Naga. Terdapat rumah-rumah dengan arsitek Sunda lama. Di kawasan bersih terdapat leuit ; Bale patemon ; Bumi Ageung.Leuit adalah lumbung padi, tempat penyimpan padi atau gabah hasil panen.Bale Patemon atau balai pertemuan, digunakan pada saat melakukan musyawarah atau digunakan pula untuk menerima kunjungan tamu. Bangunan ini terletak di dekat bangunan Masjid.


Bumi Ageung atau bangunan besar, merupakan bangunan tanpa jendela. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan ba rang-barang pusaka. Bangunan ini dikelilingi Pager Jaga dan ti dak boleh dimasuki sembarangan orang, kecuali seijin Kuncen (juru kunci). (3) Kawasan Kotor :Terletak disebelah Sungai Ciwulan, sekaligus batas wilayah Kampung Naga. Kawasan ini digunakan untuk kegiatan sehari-hari penduduk kampung naga. 


Menurut naskah Sanghyang Siksa, kawasan kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbu- ang.Inilah gambaran umum tentang Tilu Sapamalu ; Tri Tangtu ; Nu Tilu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda, ber ikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Trilogi Sunda menun jukan adanya harmoni dalam kehidupan kosmos. Fungsi dari Tri Tangtu sebagai peneguh dunia, dilambangkan dengan raja seba gai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (agus setia permana)


Sumber bacaan :

Sumardjo, Jakob

2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.

Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

Rabu, 03 Juni 2009

Sjrh Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda sebagai bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan–bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa Jawa, Konon kabar sejak abad 17 (Jatuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.




Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.


Bahasa Sunda manggung deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara resmi


Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.


Perihal hubungan Budaya dan Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :


“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”


Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya..


Untuk lebih mengetahui sejarah singkatnya, saya sadur tulisan dibawah ini.


Selamat membaca.



Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.


Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).


Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.


Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.


Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:


(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).


Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.


Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.


Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.


Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.


Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.


Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.


Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.


Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.


Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan
sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.



Disadur dari Sumber :

Ensiklopedia Sunda - Pustaka Jaya

Disadur dari http : reno overwoker.com


Negara, Agama dan KTP


Oleh : Agus Sopian


Ada tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?

Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka. Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari "eks tapol".

Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak bisa mengetuk pintu-pintu lainnya. Semua kebebasan sipilnya tertutup, kecuali derita panjang. Terkadang derita itu menjalar sampai ke anak-cucunya. Dan sekarang, perlukah Ruswana dikontrol sebegitu rupa sehingga ruang kebebasan sipilnya juga harus ditutup, semua atau sebagian? Saya mengenal Ruswana cukup lama. Dan rasa-rasanya dia tak memadai untuk dikerangkeng dalam definisi orang berbahaya. Dia suami dari seorang istri, Tuti Ekawati, seorang ibu rumah tangga yang ramah. Ruswana bapak dari tiga anak, yang kesemuanya tak pernah punya pertalian dengan kasus-kasus yang dapat dianggap membahayakan negara.

Ruswana yang saya kenal adalah seorang planolog lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1983, dan kini bekerja sebagai konsultan ahli sistem perencanaan pembangunan pada Local Governance Support Program (LGSP), sebuah lembaga kontraktor untuk United States Agency for International Development (Usaid).

Saya baru tahu di belakang hari kalau KTP strip itu ternyata penanda buat seorang penghayat aliran kepercayaan. Ruswana memang pemeluk Agama Buhun, suatu aliran kepercayaan yang bersumber dari ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Di Indonesia, penganut Agama Buhun tak sedikit. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan populasi 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia. Dikatakan terbesar lantaran angka itu adalah 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, total jenderal penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Semua penghayat umumnya mendapat KTP strip. Negara menggolongkan mereka sebagai pemeluk "agama lain-lain" dan praktis segolongan dengan penganut Konghucu, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, Kaharingan, Pahkampetan, Bolim, Basora, Tonaas Walian dan banyak lagi.

Sebagai penganut "agama lain-lain", banyak dari mereka yang harus berurusan dengan ranjau-ranjau birokrasi yang cenderung diskriminatif itu. Bukan hanya dijatah KTP strip, adakalanya bisa lebih menyakitkan lagi: mereka dipersetankan untuk punya KTP. Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon belakangan ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya dikenal juga sebagai Agama Cigugur.

"Saya sudah mendapatkan KTP sekarang," kata Dewi Kanti, awal Maret lalu. Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan birokrasi catatan sipil. Agustus 2005, dia baru mendapatkan KTP, atau setelah birokrasi menggantungnya tiga tahun.

Pahit yang dirasakan Dewi Kanti dimulai dari upacara pernikahannya dengan Okky Satrio yang berlatar adat Sunda Wiwitan. Birokrasi sipil tak terima. Pasangan itu gagal memeroleh Akta Nikah. Orang tahu, Akta Nikah adalah bahan baku untuk Kartu Keluarga, dan Kartu Keluarga bahan baku untuk KTP.

Gara-gara tak punya KTP, Dewi Kanti kehilangan hak asuransi dari suaminya, saat bekerja pada suatu perusahaan sekuritas. Kepahitan telah berlalu, KTP sudah di tangan Dewi Kanti, tapi suaminya tak lagi jadi karyawan swasta. Kini dia jadi petani.

***

Di kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).

Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata "agama" menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk "ada" dan gamana untuk "aturan atau jalan". Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai "ada aturan atau jalan (lebih baik)" dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.

Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar persamaan. Kebangsaan berdasar karakter dan nation building.

Apa boleh buat, negara melarang apa yang diyakini Ruswana sebagai agama. Larangan ini ada aturan yuridisnya: UU No. 1/1965, yang kemudian diikuti Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/1969. Kombinasi aturan ini dipagari Ketetapan MPR No IV/1978 yang menggariskan bahwa "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama." Sebuah frasa aneh, dan nyaris tak memiliki logika. Pertanyaannya, apakah ketidakpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama?

Apapun, demi aturan main dan loyalitas pada negara, para pemeluk ajaran Mei Kartawinata menamai agama mereka Aliran Kepercayaan Perjalanan, biasa disingkat AKP, sebuah nama yang kemudian dijadikan nama organisasi bagi salah satu sekte penghayat ajaran Mei Kartawinata. Siapa Kartawinata?

Nama itu pernah dikenal dalam jagat politik Indonesia tahun 1950-an. Dia pendiri Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Pada pemilihan umum 1955, Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Kartawinata juga pernah menjadi nama penting dalam jagat seni. Dia menjadi figur sentral dibalik pendirian Pebadi (Paguyuban Dalang Indonesia). Kartawinata suka wayang. Melalui wayang, dia memompakan ajaran-ajarannya.

Peneliti Abdul Rozak - sehari-harinya menjabat dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Sunan Gunung Djati, Bandung - banyak memberikan informasi seputar riwayat hidup Mei Kartawina melalui bukunya itu. Di luar pendekatannya terhadap teologi Agama Buhun, Engkus Ruswana mengafirmasi kebenaran fakta di dalam buku itu. Tokoh-tokoh Agama Buhun lainnya seperti Aa Suara Adinegara, Usup Sudarsa, Suparman, atau Endang Rasidi, menyatakan sependapat.

Menurut Abdul Rozak, Kartawinata lahir 1 Mei 1897 atau 1898 di Bandung. Dia mendapatkan pendidikan dari sekolah rakyat. Usia remajanya dihabiskan di lingkungan kediaman Sultan Kanoman Cirebon.

Pada 1929, dia pergi ke Subang dan bekerja di sebuah percetakan. Di sini Kartawinata tertarik pada dunia pergerakan, dan setahun kemudian dia mendirikan organisasi Perjalanan. Kartawinata mulai mengembangkan ajarannya, hasil kontemplasinya pada laku air.

Dia sering memperhatikan Sungai Cileuleuy. Pikirnya, dalam perjalanan menuju lautan, air sungai itu memberi kesejahteraan pada lingkungannya. Pada pepohonan. Pada binatang. Pada manusia. "Sungguh suatu perbuatan yang sangat mulia dan sangat luar biasa."

Kartawinata ingin dirinya seperti air.
Dia tak sendirian dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Kartawinata dibantu dua sahabatnya, M. Rasyid dan Sumitra. Rasyid berasal dari Bandung, anak keluarga kaya di kawasan Pasar Baru. Sedangkan Sumitra seorang yang berasal dari Garut. Mereka sering bersama-sama menerima wangsit, suara dari suatu sumber tanpa wujud dan rupa. Adakalanya, wangsit datang hanya pada Kartawinata seorang, terutama saat sedang merenung di pinggir Sungai Cileuleuy.

Ajaran Mei Kartawinata didengar orang. Dari hari ke hari, pengikutnya makin bertambah. Tak hanya orang-orang yang sebelumnya sama sekali tak beragama, tapi juga mereka yang sudah memeluk agama tertentu.

Kolonial Belanda menganggap Kartawinata menggangu ketertiban umum. Maka, seperti juga nasib yang menimpa Pangeran Madrais, Kartawinata jadi korban katastrofi politik represif kolonial Belanda. Tahun 1937, Kartawinata ditangkap dan dipenjara di Bandung. Di masa pendudukan militer Jepang, lagi-lagi Kartawinata dipenjara. Itu tahun 1943. Lalu, ketika Belanda datang lagi, pada 1947, Kartawinata masuk bui Cirebon. Dua tahun kemudian, Kartawinata jadi penghuni penjara Glodok di Jakarta.

***

Ada banyak nama untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Perjalanan atau Agama Buhun, orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Yakin Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya. Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring". Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi libel "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.

Cap semau gue telah lama menancap, sekurang-kurangnya sejak Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Ruswana menerangkan esensi itu. Katanya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.

Di bawah keyakinannya akan "kitab suci" itu, Ruswana menimbang bahwa agama yang dianutnya bukanlah berasal dari sinkretisme antara Islam dan budaya Sunda. Ini sekaligus tanggapannya untuk pendapat-pendapat yang terus berkembang, yang pada pokoknya menyatakan ajaran-ajaran Mei Kartawinata berasal dari sinkretisme itu, bahkan sinkretisme adat Sunda dengan aneka macam agama: Islam, Kristen, Hindu. Pendapat ini berlatar pada riwayat hidup Mei Kartawinata, yang diketahui sempat bergumul dengan macam-macam teologi ketuhanan dari rupa-rupa agama.

Abdul Rozak mengungkapkan bahwa di masa kecil, Kartawinata mengenal teologi Kristen dari sekolahnya, HIS Zendingschool. Semasa remaja, dia masuk pesantren-pesantren dan diduga belajar kitab kuning. Kemudian, Kraton Cirebon mengenalkan dia pada pada ajaran-ajaran kebatinan.

Kraton Cirebon dalam sejarahnya memang masyhur sebagai salah satu tempat pertumbuhan ajaran-ajaran kebatinan. Yang terkenal adalah Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat, kadang disebut juga Ngelmu Makrifat. Kaum santri menyebutnya Ngelmu Engkik atau Ngelmu Garingan -- kontra "ilmu basah" yakni ilmu-ilmu yang didapatkan para santri, yang selalu bersinggungan dengan air, baik untuk mandi maupun wudhu.

Mei Kartawinata diduga mendalami Ngelmu Sajati itu. Dasar argumentasinya adalah bahwa Kartawinata pandai membaca kitab kuning, suatu kunci yang bisa membuka gerbang teologi Murjiah, yang nyata-nyata mendukung pemikiran kebatinan itu.

Ngelmu Sejati sendiri, dalam pandangan Abdul Rozak, berasal dari tulisan-tulisan yang disebut Primbon. Sumbernya, penjabaran ajaran tasawuf Wihdah al-Wujud gagasan Ibnu Arabi. Bisa dipahami kalau dalam ajaran Ngelmu Sejati terdapat istilah-istilah dalam ajaran tasawuf tadi, seperti alam Ahadiat, alam Wahdat, Wahdaniyat, alam Arwah, alam Mitsal, alam Ajsam, atau al-Insan al-Kamil.

Ruswana menolak pendekatan itu. Menurutnya, penggunaan istilah-istilah tadi -- yang antara lain terekam dalam kitab Budi Daya, buku panduan bagi penghayat ajaran-ajaran Mei Kartawinata -- lebih bermuara pada situasi dan kondisi masa-masa awal penyebaran ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Dulu, tutur Ruswana, banyak penganut ajaran Mei Kartawinata yang berasal dari kalangan Islam. Mereka, salah satunya Haji Sujai, menuntut Kartawinata menjelaskan inti ajaran dalam istilah yang mereka pahami. Kartawinata manut. Di belakang hari, Kartawinata bahkan menggunakan pula istilah-istilah dalam bahasa Belanda, semata untuk melayani komunitas pengguna bahasa Belanda. Juga istilah-istilah dalam bahasa Cina untuk keperluan yang sama.

***

Bagaimana dengan pengaruh Hindu? Kemungkinan pengaruh itu selalu ada. Hindu dan Budha, menurut catatan sejarah, masuk ke Indonesia dalam kurun abad ke-2 hingga ke-4. Lebih dari cukup buat kedua agama itu untuk menjangkarkan pengaruh religiusitasnya, baik melalui penetrasi maupun akultrasi, ke dalam masyarakat Indonesia sejak masa silam. Apalagi keduanya masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai melalui hubungan dagang.

Fakta berikutnya, sebelum Islam datang, hampir seluruh kerajaan di Indonesia, mulai nama kerajaan hingga rajanya sendiri, menggunakan nama-nama Hindu atau Budha. Di Kalimantan, raja-raja Kutai, yang dianggap sebagai raja-raja tertua di Indonesia menggunakan nama-nama Hindu sejak Kundungga digantikan keturunannya mulai Devawarman, Aswawarman hingga Mulawarman.

Di Sumatra, kerajaan tertua Kanto Li - nama Cina untuk kerajaan Sriwijaya awal di Palembang - juga diperintah oleh raja-raja bernama Hindu atau Budha. I Tsing, musafir dari Cina, yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M, memberi kesaksian bahwa Sriwijaya adalah pusat penelitian agama Budha dan mempunyai banyak sarjana filsafat termasyhur seperti Sakyakirti, Dharmapala dan Vajabudhi.

Di tanah Priangan, naskah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon -- naskah yang dianggap tertua dan kini sedang dalam pengajian para ahli sejarah -- mengindikasikan kalau raja-raja Sunda di masa awal telah menggunakan nama-nama Hindu sejak abad ke-4 Masehi, termasuk kemudian Tarumanagara.

Sudah jamak dalam suatu sistem sosial prademokrasi, rakyat diminta loyal dan taat dari hulu sampai hilir pada raja-rajanya, tak terkecuali dalam keyakinan. Konsep keyakinan, kepercayaan pada Tuhan, iman, pada akhirnya menjadi suatu konsep "langage" - istilah yang digunakan pemikir Islam Ulil Abshar-Abdalla untuk merumuskan bentuk dan wujud iman.

Dalam takrif itu, berangkat dari filsafat Saussurean yang melandasinya, kepercayaan kepada Tuhan menjadi serba pasti, positivistis, dan dapat menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial. Iman ditentukan oleh penguasa. Seorang penguasa beragama A, rakyatnya akan ikut A.

Ajip Rosidi, sejarawan cum budayawan yang memahami dengan baik kosmologi kesundaan, menerangkan bahwa memang tak tertutup kemungkinan ada pengaruh Hindu dalam Agama Sunda Wiwitan, yang ditandai oleh adanya kosakata-kosakata yang berasal dari Hindu tadi.
Dalam seri Sundalana tentang "Islam dalam Kesenian Sunda", contoh-contoh yang diberikan Ajip Rosidi lebih teologis, seperti Batara Tunggal, Batara Jagat hingga Batara Seda Niskala. Hanya saja, menurut Ajip Rosidi, semua batara tadi tempatnya berada di bawah Sanghiang Keresa (Yang Maha Kuasa).

"Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan," kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.

Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa. Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.

Dalam Agama Buhun, alam didefinisikan secara luas, mulai pohon-pohon, sungai, air, langit dan sebagainya - yang mereka sebut Nyakra Manggilingan (konsep keteraturan alam) - sementara dalam Agama Sunda Wiwitan, alam lebih mengerucut lagi ke dalam definisi pohon-pohonan, dan terutama padi, yang dianggap sebagai simbol Dewi Sri. Tercela bagi pemeluk Agama Buhun dan Sunda Wiwitan untuk merusak alam.

Alam semesta, tutur Engkus Ruswana, adalah tempat kita bisa belajar dan menghayati. Seluruhnya berjalan secara teratur. Dalam keteraturan ini, gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin, telah enjalankan kodratnya, memberikan kehidupan pada seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan. Semuanya telah menjalankan kodratnya, yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.

"Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya, melaksanakan kemanusiaannya," Ruswana bertanya retoris.

***

Debat teologis di sekitar Agama Buhun belum lagi usai, seperti juga debat eksistensialnya. Agama Buhun masih tetap berada dalam lingkaran yuridis aliran kepercayaan, di saat Konghucu yang selama ini sejajar dalam daftar "agama lain-lain" mulai mendapat angin dari negara untuk didaulat sebagai agama yang ajeg.

"Disebut agama maupun tidak, negara harus menjadi pengayom semua," kata Mujtaba Hamdi, seorang aktivis lintas agama dari Jakarta, yang kerap menyuarakan perlunya toleransi dan pemahaman pluralisme. Taba, demikian panggilan akrab buatnya, mengatakan bahwa tugas negara adalah melindungi eksistensi semua masyarakat. Tak boleh pilih-pilih: dilindungi yang satu, digencet yang lain.

Ketidakadilan yang dilakukan negara selama ini, kata Taba, bersumber dari definisi yang bias. "Dalam definisi resmi negara kita, yang disebut sebagai agama adalah sistem kepercayaan yang, di antaranya, memiliki kitab suci dan nabi. Definisi ini menurut dia, terlalu bias 'agama samawi', bahkan terlalu bias Islam.

Dikatakan bias Islam, sebab menurut dia, posisi sentral kitab suci dalam Islam, sangat beda dengan posisi kitab suci di Kristianitas, misalnya. Di Kristianitas, Injil adalah sabda Yesus, dan jika Yesus diposisikan sebagai Nabi maka -- kalau mau disepadankan dengan Islam -- Injil itu setara dengan hadis.

"Tapi, yang disebut orang Islam kitab suci bukanlah hadis, melainkan al-Quran. Jadi, kalau mau di-strict-kan di sini, apa itu agama, yang dimaksud tak lain adalah Islam. " Dengan kata lain, definisi ini sudah mengandung 'kuasa', bahwa Islam-lah yang paling otoritatif, yang paling sah untuk disebut agama. Yang lain-lain, baru bisa masuk sebagai agama hanya jika mau disepadankan posisi 'kitab suci' dan 'nabi' dengan posisinya dalam Islam.

"Apakah dengan posisi demikian, saya tidak lagi loyal sama Islam? Saya yakin tidak. Saya justru sangat loyal dengan Islam. Di Islam, patokan agama dengan kategori-kategori seperti yang dimiliki di negeri kita, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada. Bahkan kalau 'agama' itu merupakan terjemahan kata din dalam bahasa Arab, pengertiannya justru sangat berbeda dari pengertian resmi kita," ujar Taba, pendiri Syir'ah itu, sebuah majalah dengan slogan "Menenggang Beda."

Agama dalam pandangan Taba adalah ad-diin nashihah. Nasihat. Maksudnya, agama adalah jika si pemeluk memiliki perhatian untuk saling memperhatikan sesama, memperingatkan mereka jika melakukan kesalahan, membantu mereka jika memperjuangkan kebenaran, menolong mereka jika tak mampu.

Lalu, dalam Islam juga dikenal ad-diin mu'aamalah. Agama itu interaktif dengan masyarakat. Intinya, agama adalah jika si pemeluk agama berkomitmen untuk mencipta hubungan yang baik dengan masyarakat, berbagi, saling bantu, baik masyarakat itu muslim atau nonmuslim.

Bagaimana kriteria suatu kepercayaan menjadi agama?
Menurut Taba, pertanyaan itu menyiratkan bahwa sebuah "aliran kepercayaan" berposisi subordinat di bawah agama: bahwa untuk bisa diakui, sebuah kepercayaan harus menjadi "agama". Ini tidak fair. Definisi agama hanya digunakan untuk 'menaklukkan' dan 'mendelegitimasikan' kepercayaan. Taba tak keberatan jika suatu aliran kepercayaan disebut agama jika mereka sendiri menyebutnya begitu.

Sebuah pertanyaan retoris lagi-lagi muncul, dan kali ini dari Taba: "Saya ingin Islam, dan umat Islam, bersikap adil, bahkan sejak dalam pikiran, dalam konteks ini, sejak dalam definisi agama. Dan bukankah sikap adil lebih dekat pada takwa, seperti kata al-Quran."

Sikap adil juga seharusnya menjadi landasan negara dalam memandang pluralisme agama dalam masyarakat. "Negara harus sadar bahwa masyarakat negeri ini tidak tunggal. Negara harus mengakui dengan tegas bahwa negeri ini memang "bhineka", bermacam ragam, dan semua harus dilindungi."

Sebagai awal, Taba meminta negara untuk mulai menghapus kolom agama di KTP. "Inilah biang segala ketidakadilan."

Ada bahaya lain di ujung perkara KTP bertanda strip pada kolom agamanya. Siapa yang bisa menjamin seluruh rakyat Indonesia paham "bahasa KTP"? Salah-salah mereka yang memiliki KTP strip didiskreditkan atheis. Dan atheisme tak pernah punya tempat di negeri ini.

Ada masa-masa rapuh yang lahir dari rahim prasangka atheisme. Kita bisa belajar dari peristiwa hitam yang terjadi di tahun-tahun rusuh, saat massa memburu mereka yang dianggap atheis.

Hari penuh kebencian itu berlangsung pada tahun 1954, di Kampung Paku Tandang, Ciparay, Bandung, kiblat bagi penghayat Agama Buhun. Kampung ini dibakar. Parang-parang berhenti menyabit rumput, lalu berganti fungsi jadi alat penyabit leher. Tiga orang yang berusaha meloloskan diri dari amuk massa, akhirnya meregang ajal. Di belakang jasad mereka, sebanyak 22 orang yang mempertahankan rumah ibadat Pasewakan, tewas terbunuh. Terbakar atau diparang.

Sejarah tak pernah mengenang mereka yang mati hari itu.

Disadur dari :
Majalah Playboy Indonesia, edisi I, April 2006.

Sejarah Sunda Terkuak


Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan - temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yang
selama ini masih gelap.

Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2). Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.

Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan, kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundan dan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.

Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal dengan Dewa Raja.

Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana, ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah). Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. ‘Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda dan Jawa. Yang pasti, Carita Parahiyangan yang berisi tentang cerita raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.

Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.

Dua abad hilang
Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang mendekati pasti."Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya berabad-abad," tandasnya. Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun 90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara, yaitu antara abad ke V - VII.

Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi yang bernama Rakai Juru Pangambat.

Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja Jaya Bupati. ‘Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,’ tegasnya. (top)



Disadur dari :
KOMPAS, Selasa, 21-02-1995. Hal. 16

PUSAT INFORMASI KOMPAS
Judul asli : Sejarah Sunda mulai terkuak

Manusia Karts Pawon

Oleh : Nanang Saptono (Balai Arkeologi Bandung)
Judul asli : Mengungkap Kehidupan Karts Pawon


Kawasan Karst Pawon secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Dalam dunia arkeologi, kawasan karst pawon menjadi perhatian sejak ditemukannya jejak-jejak kehidupan manusia di Gua Pawon. Selama ini perhatian terhadap kawasan karst pawon baru sebatas pada temuan rangka manusia di Gua Pawon. Dengan ditemukannya bukti kehadiran manusia tersebut memunculkan pertanyaan sejauh mana kawasan jelajah Manusia Pawon dalam memenuhi kehidupannya. Berdasarkan pengamatan terhadap kawasan karst pawon diketahui bahwa di kawasan itu terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang merupakan jejak-jejak kehidupan manusia beserta budayanya yang berlangsung pada masa lampau. Tinggalan arkeologis tersebut berasal dari berbagai masa sejak zaman prasejarah hingga sekitar abad XVII.

Penelitian arkeologis yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung yang kemudian juga melakukan kerjasama dengan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan dan Nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat telah berhasil mengungkap keberadaan Manusia Pawon. Ekskavasi yang pernah dilakukan mendapatkan gambaran bahwa Gua Pawon di masa lalu pernah digunakan sebagai tempat hunian dan penguburan.

Bentuk hunian yang pernah berlangsung merupakan hunian tertutup yang memanfaatkan gua sebagai tempat bermukim. Berdasarkan bentuk tengkorak yang ditemukan, dapat diketahui bahwa Manusia Pawon berasal dari kelompok ras mongoloid. Berdasarkan hasil analisis C-14 menunjukkan umur Manusia Pawon antara 5660±170 BP sampai 9520±200 BP.

Di sekitar Gua Pawon, jejak-jejak kehidupan manusia ditemukan di puncak Pasir Pawon dan di lembah sekitar aliran Cibukur. Di puncak Pasir Pawon, di mana terdapat stone garden dapat dijumpai sebaran artefak berupa fragmen tembikar dan keramik. Selain itu juga terdapat beberapa batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa unsur bangunan.

Fragmen tembikar yang ditemukan ada yang menunjukkan pada tingkat teknologi sederhana ada pula yang sudah agak maju. Tembikar dengan teknologi sederhana merupakan ciri teknologi masa prasejarah. Fragmen tembikar yang menunjukkan berasal dari tingkat teknologi lebih maju mempunyai ciri yang sama dengan tembikar Buni yang berkembang di daerah pantai Karawang hingga Pamanukan. Diperkirakan tembikar Buni berkembang sejak abad ke-2 SM hingga pada masa Kerajaan Sunda dan awal Islam (Abad ke-17).

Fragmen keramik yang ditemukan berasal dari Cina. Keramik tertua dari zaman dinasti T’ang (abad VII – X). Secara tipologis, keramik ini berasal dari bentuk guci. Keramik yang lebih muda lagi dari zaman dinasti Song (abad X – XIII). berglasir warna hijau seladon, berasal dari bentuk mangkuk. Keramik dari zaman dinasti Yuan (abad XIII – XIV) juga ditemukan di puncak Pasir Pawon. Keramik ini pada bagian dalam berglasir warna abu-abu. Secara tipologis berasal dari bentuk mangkuk tanpa kaki.

Beberapa batuan beku yang ditemukan di puncak Pasir Pawon, sekarang dalam kondisi tersebar. Salah satu batu berbentuk bulat panjang. Berdasarkan bentuknya mungkin merupakan bekas struktur bangunan berundak yang lazim berkembang pada masyarakat pendukung tradisi megalitik. Bangunan tersebut merupakan sarana dalam ritual pengagungan arwah nenek moyang. Batu berbentuk bulat panjang mungkin merupakan menhir.

Di sebelah utara Gunung Masigit berjarak sekitar 40 m terdapat aliran sungai Cibukur. Di sungai tersebut telah ditemukan alat batu berupa kapak perimbas monofacial dari bahan batu gamping. Alat batu semacam ini termasuk dalam kategori paleolitik yang digunakan oleh manusia prasejarah.

Selain tinggalan arkeologis, pada masyarakat di sekitar kawasan karst pawon terdapat tradisi yang menempatkan Pasir Pawon sebagai wilayah yang sakral. Pasir Pawon dipercaya sebagai lokasi petilasan para karuhun. Beberapa nama yang diketahui adalah Rama Agung, Embah Kalapa, Eyang Haji Putih Jagareksa, Krincing Wesi, Centring Manik, Manik Maya, Embah Purbakawasa, Embah Gatot Jalasutra, dan Embah Basar.

Petilasan tersebut ada yang di dalam Gua Pawon, di puncak pasir, dan di pinggir persawahan sebelah utara Gunung Masigit. Di puncak Pasir Pawon terdapat “makam” yang dibangun oleh seseorang yang kesampaian keinginannya. Lokasi tersebut sebenarnya bukan makam tetapi petilasan Embah Purbakawasa. Di dalam Gua Pawon, pada salah satu ruangan merupakan petilasan para karuhun.

Di pinggir persawahan sebelah utara Gunung Masigit terdapat “makam” yang sebenarnya adalah petilasan Embah Basar. Tokoh ini dipercaya sebagai kepercayaan Sunan Gunungjati dari Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di kampung itu. Embah Basar merupakan tokoh asli setempat.



Disampaikan dalam Workshop Integrasi Aspek Kegeologian Dalam Pembangunan Daerah
(Distamben Jabar - 8 Maret 2006.

Disadur Oleh : Balangantrang.blogspot.com

Selasa, 26 Agustus 2008

Lokasi Pakuan


A. Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. KarenaInggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC (East India Company), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.

Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai lokasi bekas istana Kerajaan Pajajaran, VOC mengirimkan tiga tim ekspedisi yang masing-masing dipimpin oleh :
1. Scipio (1687)
2. Adolf Winkler (1690)
3. Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik Unitex sekarang. Catatannya adalah sbb.: Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni. Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit.

Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran. Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan kesan wajah kerajaan hanyalah Situs Batutulis.

Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja Jawa maksudnya Sunda Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.

Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut: Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen.

Hal ini tidak bertentangan. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak (dediepe dwarsgragt van Pakowang) yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks Unitex itu pada jaman Pajajaran merupakan Kebun Kerajaan. Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti tanam, tanaman atau kebun. Tajur Agung sama artinya dengan Kebon Gede atau Kebun Raya. Sebagai kebun kerajaan.

Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya. Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku Tulus Rejo, sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke Sekip dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.

Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan 7 batang pohon beringin. Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca (Purwa Galih), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh Gang Amil.

Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Balen Kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh Bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali. Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jl. Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan benteng batu yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasast (sisi utara).

Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang. Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa Istana Pakuan itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 81/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasan tanda penutup). Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata stond (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak bubar/hancur oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri (masih tetap pada posisi semula).

Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat 3 buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara Kabuyutan Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.

Menurut babad ini, Pohon Campaka Warna (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

B. BERITA DARI NASKAH TUA
Dalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan.
 
Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa jeung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
 
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Cipakancilan. Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernam Cipakancilan.

Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata kancil memang berarti peucang.

C. HASIL PENELITIAN
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan cetakan tangan untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada 4 orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
 
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisan Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor), Pleyte menjelaskan Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjarans koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas Dalem Kitha (Jero kuta) dan Jawi Kitha (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah kota dalam dan kota luar. Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jl. Siliwangi dengan Jl. Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang oleh data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa Leuwi Sipatahunan yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ciliwung dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi oleh puteri-puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari Leuwi Sipatahunan itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen Cakrabirawa (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama Mila Kencana. Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini Kuta Maneuh.

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata paseban dengan 7 batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas balay yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti porte brisee, bewaakte in-en uitgang (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jl.Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng. Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jl. Siliwangi - Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.

Sumber: Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor.
 
 

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960