Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Agustus 2008

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda

Oleh ENGKUS RUSWANA K.


BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Islam.


Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya. Menurut pengetahuan penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung. Banyak sekali masyarakat yang memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani mengungkapkan keyakinannya.


Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.


Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut Hindu-Buddha atau agama/kepercayaan asli Sunda.


Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah agama/ kepercayaan asli Sunda. Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang Saptono dalam tulisan berjudul “Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan” yang dimuat dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, “Dalam Carita Parahyangan juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli”.


Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita, yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.


Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi nusantara yang subur makmur loh jinawi. Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.


Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.


Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.


Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung). Dalam hal ini hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.


Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan. Bukan hal yang tidak mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J. Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan). Apalagi Belanda menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.


Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka), kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu. Akibatnya, kepercayaan leluhur kita yang sebetulnya cukup arif –kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibu-bapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal penamaan sampai tujuh turunan)–, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME. Jadi wajar apabila kita menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai bentuk penghormatan.


Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya. Hal itu diwujudkan dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta). Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali), begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.


Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?


Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air, udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita. Selain itu, setiap zat di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya, sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada batinnya). Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.


Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah).


Migrasi Manusia

HAL yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara, sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.


Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.


Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal dengan sebutan “Java Man” (Misteri “Java Man” oleh Bintoro Gunadi dalam HU Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua). Bukti sejarah apa yang dapat memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu pengkajian kembali.


Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan, menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya, kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing. Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah, mari kita renungkan bersama.


Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan (Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda) dalam Pikiran Rakyat tanggal 26 Maret 2003.


Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum seluruhnya dapat terungkapkan.


Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan, hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam penerapan tata cara adat budaya. Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran (komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan misinya).


Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab, semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar adanya. Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta berlaku untuk semua umat-Nya.


Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.


Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” oleh para pengikutnya adalah sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun gender, serta daripadanya kita bisa belajar. Tidak ada seorang pun yang akan mampu menamatkan belajar “Kitab Suci Tuhan” dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur kedalaman maupun luasnya isi “Kitab Tuhan” ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya.


Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham chauvinisme.


Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita, bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.


Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” adalah sama sekali tidak benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat). Selain itu, banyak pemikiran-pemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi ajaran.


Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri “nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal”.


Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin (halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring), aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir).


Itulah sebabnya timbul istilah “agama kuring” yang sebetulnya sebutan yang bersifat melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri. Penulis mengira kasus yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya sebagai “Agama Jawa-Sunda”. Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran mengenai kebangsaan dan “nation building”. Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibuatnya.


Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan. Pengikut Mei Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis, kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.


Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan nasional kita.***



Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 14 Juni 2003.

Copas dari : http://sundaislam.wordpress.com

Ditulis pada oleh Ki Santri

Kamis, 07 Agustus 2008

Mencari Sejarah Sunda dengan dua Perahu

Oleh: Dr. Edi S. Ekadjati
KOMPAS, Selasa, 01-02-1994

SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang bijaksana. Betulkah?

Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam percaturan sejarah nasional. “Yang diajarkan di sekolah, paling hanya tiga kalimat,” kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah yang sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.

Padahal, kerajaan dengan corak animistis dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan dengan prasasti-prasasti di masa itu.

Memang peninggalan karya tulis berupa naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai “Ensiklopedi Sunda”.

Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan lainnya.

NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.

Kedua naskah tersebut ditulis dengan bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskah Carita Waruga Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an, pembuatan naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentuk penyalinan.

Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem. Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau atau daun kelapa.

Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan alat yang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing. Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta. Sebagian naskah-naskah itu ada yang tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi sebagian besar lainnya disimpan di rumah penduduk atau tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah dianggap sebagai barang sakral. Pemegangnya juga orang tertentu saja.

Karena cara penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, adakalanya naskah rusak berat sehingga tidak bisa terbaca lagi. Naskah di Lengkong, Kuningan misalnya, tahun 1982 masih bisa dibaca. “Tetapi ketika saya datang lagi ke sana pada tahun 1987, naskah sudah tidak bisa direkontruksi lagi,” keluh Ekadjati.

Tetapi ada juga naskah-naskah yang sudah tidak disimpan dengan baik karena ahli warisnya merasa tidak mempunyai kepentingan lagi. Di Banjaran, sebuah daerah yang letaknya di Bandung Selatan, naskah yang mereka miliki disimpan di kandang ayam karena rumah sedang dibongkar. Atau ada pula yang menyimpannya di atas langit-langit dapur, sehingga warnanya menjadi kuning kehitam-hitaman.

Dengan cara penyimpanan seperti itu, apalagi berasal dari bahan-bahan yang mudah lapuk, dalam beberapa tahun saja tidak mustahil naskah-naskah tersebut tidak akan berbekas lagi, sebelum diteliti. Setelah terlambat, baru kemudian kita menyadari telah kehilangan sejarah atau kekayaan budaya.

Sebelum pengalaman pahit ini terjadi, Edi S Ekadjati dengan bantuan Toyota Foundation kemudian mengabadikannya dalam bentuk mikro film. Sekarang, sekitar 2000 naskah dari mikro film tersebut dimasukkan ke komputer sehingga suatu saat, bisa dibuat katalog yang lebih lengkap. Ini melengkapi katalog naskah Sunda yang sudah ada sekarang, yang memuat 1904 naskah.

DARI sejumlah naskah tersebut, 95 naskah ditulis dalam huruf Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144 naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.

Dilihat dari jenis karangannya, naskah sejarah hanyalah sekitar 9 persen dan naskah sastra sejarah 12 persen. Sebagian besar lainnya, 25 persen berupa naskah sastra, dan naskah agama 15 persen. Sayang, walaupun jumlahnya banyak, baru sedikit sekali yang diteliti. Eddi S. Ekadjati memperkirakan baru sekitar 100-125 judul saja yang diteliti. Ini berarti, tantangan untuk para peneliti dalam meneliti sejarah Sunda masih sangat besar.

Penelitian tersebut, menurut Edi S. Ekajati, idealnya dilakukan dulu secara filologis karena ilmu yang menggarap naskah itu ialah filologi. Baru kemudian hasil suntingan filolog tersebut dijadikan obyek atau bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai dengan jenis isi naskahnya. Sulitnya, sangat sedikit filolog yang tertarik terhadap naskah Sunda.

Belum lagi, lebih sedikit lagi yang bisa membaca huruf Sunda Kuno — itupun sebagian diantaranya berasal dari disiplin lain. Atja dan Saleh Danasasmita misalnya, keduanya sudah meninggal. Sedangkan lainnya Ayatrohaedi dan Hasan Djafar (arkeologi) lalu Kalsum dan Undang A Darsa. Edi S Ekadjati sebenarnya berlatar belakang sejarah. Tetapi karena minatnya yang besar terhadap sejarah Sunda, akhirnya mengharuskan ia mendalami filologi, sehingga dia acapkali dijuluki “berada di dua perahu”. Dia mengakui, karena terbatasnya filolog yang berminat, maka jika seseorang ingin mengetahui sejarah Sunda maka ia harus berada “di dua perahu”.

SEJARAH Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno sedangkan yang sudah dikerjakan barulah tujuh naskah.

Tetapi dari sedikit naskah itu, menurut Edi S. Ekadjati, ternyata sudah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap sejarah Sunda. Baik mengenai daftar raja yang memerintah dan masa pemerintahannya serta peristiwa-peristiwa sekitar yang terjadi pada saat itu, sehingga walaupun belum secara lengkap sudah bisa disusun raja-raja Sunda yang memerintah selama kurang lebih 800 tahun.

Yakni, sejak Sanjaya yang memerintah pada abad ke-8 sampai Raja Sunda terakhir pada tahun 1579. Bahkan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian yang ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja, diketahui beberapa aspek kebudayaan Sunda saat itu. Sri Baduga Maharaja, dalam cerita rakyat diidentikkan dengan Prabu Siliwangi.

Jalan untuk menyingkap tabir sejarah Sunda masih panjang. Di Perpustakaan Nasional saja, masih 82 naskah lagi yang belum digarap. Walau demikian, Edi S Ekadjati optimis, suatu saat sejarah Sunda bisa disusun lebih lengkap dan jelas. Salah satu harapannya diletakkan pada jerih payah Ali Sastramidjaja atau Abah Ali, seorang peminat sejarah Sunda, yang kini sedang menggarap naskah Ciburuy bersama teman-temannya. (Her Suganda)

Selasa, 05 Agustus 2008

Islam dan Sunda Dalam Mitos

Oleh : JAKOB SUMARDJO

PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.

Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.

"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama.

Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup ini.

**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam sejarah Sunda. Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?.

Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary. Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).

Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda.

Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.

**

MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.

Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung. Meskipun ia dihormati, tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo, bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama.

Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara "tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.

Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik, Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.

Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.

Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.

Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan.

Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda), Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam.

Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam.

Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.

Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun masjid di Mekkah.

Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.

**

SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurni-murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan raja Hindu-Budha.

Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan system kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang lain.

Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane dan Bapak Ambary. Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.


Dikutip sesuai dengan aslinya dari :
[kisunda] PR: Islam dan Sunda Dalam Mitos
KUMICIR
Sat, 14 May 2005 21:36:42 -0700 (Sabtu, 14 Mei 2005)

Minggu, 20 April 2008

Puing Kerajaan Pajajaran

Mencari jejak kerajaan Pajajaran memang harus dilakukan melalui cara melingkar, atau mengabungkan dalam bentuk puzel. Secara resmi daerah yang dikonotasikan bekas peninggalan ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru ditemukan Scipio seabad kemudian. Selain itu para sejarawan sering menarik benang merah dari naskah-naskah kuno, seperti carita Parahyangan, Naskah Wangsakerta dan Serat Banten. Upaya lain yang ditemukan dilakukan melalui penulusuran sejarah lisan yang disampaikan turun temurun, seperti cerita pantuan atau keterangan para juru kunci. Namun dari alur ini adakalanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural, sehingga penemuan sejarah malah menjadi kabur.

Mermang sulit menemukan titik pusat kota pajajaran (pakuan), selain kota Bogor telah padat dihuni penduduk dan aktifitas ekonominya, juga masih kurangnya prioritas terhadap sejarah. Seperti di buatnya Real Estate di lokasi situs Rancamaya, padahal ketika itu sudah diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Hal tersebut juga sama ketika para ahli menemukan lokasi percandian di daerah Batujaya, yang diyakini sebagai peninggalan masa Tarumanagara, lebih tua dari candi manapun di Indonesia, saat ini sudah dipastikan terdapat 26 candi, namun sayangnya masalah pemugarannya masih terkendala, dengan alasan belum ada biaya.

Masalah yang mungkin menghambat terkait dengan penemuan jejak Pajajaran adalah adanya keyakinan yang terkait dengan masalah relijius atau keengganan untuk menguak kebenaran dari kesejarahan Pajajaran. Mungkin ada benarnya Uga Prabu Siliwangi yang mengabarkan kepada para pengikutnya :
  • Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”.
Didalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
  • Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".
Sejalan dengan naskah tersebut, didalam serat Banten diceritakan pula tentang keberangkatan pasukan Banten ketika melakukan penyerangan ke Pakuan dengan pupuh Kinanti, terjemaahaannya :

  • "Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".
Banyak para ahli sejarah yang mencari musabab dapat direbutnya Pakuan, sekalipun telah ditinggalkan 12 tahun oleh rajanya, benteng Pakuan yang di bangun pada Sri Baduga tersebut masih berdiri kokoh. Namun untuk saat ini kisah yang dimuat dalam Serat Banten menjadi masuk akal. Konon kabar perisiwa ini hampir sama dengan cerita “kuda troya”.

Pakuan dapat mudah dibobol setelah terjadinya penghianatan yang dilakukan oleh Komandan kawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Secara kebetukan Sang Komandan saudara dari Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Ketika malam tiba, sang komandan membuka pintu benteng dari dalam, ia  mempersilahkan pasukan Banten masuk, sehingga tanpa disadari para penghuni Pakuan, pasukan Banten sudah berada ditengah-tengah mereka.

Memang dalam catatan sejarah banyak rangkaian yang menyebabkan runtuhnya Pajajaran. bermula dari masalah intern Kadatuan Pajajaran sampai dengan adanya alasan Cirebon, Demak dan Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Selain hal tersebut, ada beberapa akhli yang menilik lebih jauh, bahwa kejatuhan Pakuan tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu Demak, Banten dan Cireon. Yang jelas hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari adanya infasi perdagangan para Saudagar Islam di wilayah Pasundan.

Dari rangkaian peristiwa ini Pajajaran Sirna Hing Bumi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, suatu batu yang kerap dijadikan singgasana raja-raja Pajajaran ketika dinobatkan. Batu tersebut diboyong oleh pasukan Panembahan Yusuf ke Surasowan - Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut bertujuan politis agar tidak ada lagi raja pajajaran yang dilantik. Dilain sisi memberikan legitimasi kepada Maulana Yusuf sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena Maulana Yusup juga masih dianggap “teureuh” Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten lama. Orang Banten menyebutnya watu gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan “sriman”.

Perihal batu Palangka Sriman Sriwacana dikisahkan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sang Susuktunggal inyana
nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana
Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
(Sang Susuktunggal beliau - yang membuat tahta Sriman Sriwacana - (untuk) Sri Baduga Maharaja - ratu penguasa di Pakuan Pajajaran - yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, - yaitu istana Sanghiyang - Sri Ratu Dewata).

Istilah "palangka" berarti tempat duduk atau "tahta". Dalam tradisi Pajajaran digunakan pada upacara penobatan. Di atas batu palangka para calon raja diwastu atau diberkati oleh Purohita. Letak palangka berada di kabuyutan kerajaan dan tidak di berada dalam istana. Batu palangka terbuat befrbentuk yang digosok menjadfi halus dan mengkilap. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat sunda menyebutnya batu pangcalikan atau batu ranjang. Sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang - Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan batu ranjang ditemukan di Desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang (ditengah sawah).

Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nila kendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Didalam kisah lainnya, atribut dan mahkota raja Pajajaran tersebut diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya, sedangkan Sang Ragamulya memerintah tanpa mahkota, karena iapun memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.Bagi Jayaperkosa dan adik-adiknya, diboyongnya batu Palangka bukan berarti berakhirnya trah raja-raja Pajajaran untuk berkuasa di tatar Sunda, sebab ia masih sempat memboyong atribut (pakaian) raja Pajajaran ke Sumedang Larang. Dikelak kemudian hari Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris syah raja Pajajaran, ia juga dipercaya sebagai pemegang 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul. Namun sayang Pangeran Arya Suriadiwangsa, putranya (ada juga yang menyebutkan putra titinya) menyerahkan Sumedang kepada Sultan Agung Mataram, tanpa syarat apapun, sehingga tatar Sunda menjadi Vasaal Mataram.

Puing Kerajaan
Perkiraan bekas Kadatuan Pajajaran ditemukannya kembali selang satu abad kemudian, oleh ekspedisi Scipio (1 September 1687), dalam bentuk puing yang diselimuti oleh hutan tua. Dalam laporan Gubernur Belanda dijelaskan, bahwa : istana tersebut terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah dimungkinkan munculnya mitos, bahwa pasukan atau yentara pajajaran berganti wujud menjadi harimau.

Ketika melakukan penelitian tersebut Scipio diantar Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri, mereka kemudian diakui sebagai peziarah pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singgasana raja.

Hal yang berkaitan tentang sakralnya singgasana tersebut diceritakan pula oleh Abraham van Riebeeck (1703), dia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Sehingga ditafsirkan pula sejak ditemukan kembali oleh Scipio masyarakat merasakan menemukan kembali Pajajaran yang telah hilang.

Kemudian pada tahun 1709, Van Riebeeck melihat adanya ladang baru pada lereng Cipakancilan. Disini menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebut akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan. Dengan demikian orang belanda telah mengetahui jauh-jauh hari nama Pakuan, Pajajaran dan Siliwangi dua abad sebelum nama Pakuan Pajajaran diketahu lewat pembacaan prasasti batu tulis oleh Friederich pada tahun 1853.

Pakuan bagi sebagaian besar masyarakat Sunda bukan hanya sekedar lokasi kerajaan, melainkan menyimpan berjuta kenangan tentang kejayaan Pajajaran di masa lalu yang lengkap dengan tingginya kebudayaan, bahkan masih banyak masyarakat Sunda yang menganggap bahwa sebenarnya Kerajaan Pajajaran tidak runtuh, tapi tilem. Namun apapun masalahnya, mungkin ada kata-kata bijak yang diyakini sebagai Uga Wangsit Silihwangi, tentang sikap yang harus dilakukan masyarakat Sunda, unina :
  • Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, - najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! - Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, - ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. - Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, - supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, - bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! - Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, - nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih !
Cag Heula ……. Urang sampeur jaga.(Rakean)


Disarikan dari berbagai sumber.

Selasa, 15 April 2008

URANG SASAK RAWAYAN


Sebelum meletusnya reformasi saya bertemu dengan Pu'un di Bandung dan diceritakannya beberapa masalah yang sedang mereka hadapi. Dan kemarin saya mendapat e-mail gambar-gambar "urang baduy" berikut foto lokasinya hasil copas. Tapi bagus juga dan menimbulkan ide untuk sedikit bercerita tentang "Urang Sunda Asli" ini.


Banyak istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut suatu komunitas masyarakat adat Sunda yang tinggal di di kaki pegunungan Kendeng, seperti “Urang Pajajaran”, “Urang Sunda Buhun” “Urang Sasak Rawayan”, dan “Urang Baduy, namun sebutan “Baduy” paling sering digunakan untuk komunitas ini. Istilah Pertama kali disebutkan oleh para peneliti Belanda, mempersamakan dengan Suku Badawi (Bedouin) Arab yang masih nomaden atau berpindah-pindah. Banyak ragam pemikiran masyarakat kita dalam menafsirkan siapa "Orang Baduy" ini, terutama ketika mempersepsi tentang agama (ageman) mereka. Tak jarang diucapkan secara sinis, seolah melihat masyarakat yang tidak beradab dan tidak beragama. Tapi apapun tanggapan dan persepsi masyarakat kita, Urang Baduy atau Urang Rawayan adalah pemilik asli negara ini, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita.


Disisi lain ada keresahan masyarakat sana tentang status dan daerah pemukimannya yang semakin hari diranjah rame-rame orang kota, dengan alasan untuk memodernkan suku Baduy. Pada waktu itu saya ada di Bandung, pernah kedatangan seorang pu'un dari Baduy Dalam. Pu'un menceritakan bagaimana masyarakat kota "ngaranjah Leuweung Larangan" mereka. Saya hanya sempat mengantar mereka kerumah ULI Sigar Rusadi yang sangat rajin dengan Pasukan Garuda Nusantara-nya melakukan reboisasi si daerah Baduy.


Hebatnya, aparat malah mendiamkan dan menangguk keuntungan dari ranjahan "pembalakan hutan" tersebut. Pu'un hanya ingin meminta bantuan saya agar bisa menyuarakan ke Menteri Lingkungan Hidup, karena daerah tersebut termasuk Wilayah Cagar Alam. Namun sampai sekarang tak pernah ada penyelesaian serius dari Pemerintahan. Termasuk tentang perusakan baduy yang makin meluas. Bahkan kegiatan didaerah tersebut saat ini telah berkembang, dari alasan untuk mengangkat derajat Urang Baduy sampai ada team penyebar

an agama, namun semuanya menurut Pu'un hanya mencari uang dari keberadaan Urang Baduy.


Perkumbuhan

Jika diteliti lebih dalam lagi, memang ada semacam komunitas yang hampir mirip dengan Urang Baduy, seperti Urang Baduy Luar dan Komunitasnya Abah Anom dari Kampung Ciptarasa – Ciptagelar. Komunitas ini tidak sekeras Baduy Dalam dalam cara mempertahankan adat dan tradisinya, bahkan yang agak longgar menerima budaya dari luar komunitasnya. Urang Baduy luar cenderung menerima adat Baduy Dalam, karena mereka berasal dari Baduy Dalam, namun keberadaanya ada juga yang dianggap melanggar adat sehingga perlu dikeluarkan dari Baduy Dalam. Urang Baduy luar sesekali menerima sweeping dari Baduy Dalam, terutama jika urang luar ini dianggapterlalu jauh menyimpang dari Tradisi Baduy Dalam, seperti piring tidak boleh berwarana, dll-nya.


Kelompok Urang Baduy pada umumnya terdiri dari tiga komunitas, yakni Baduy Dalam , Baduy Luar dan Baduy Dangka. Baduy Dalam atau kelompok “tangtu” adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat. Mereka berpakaian putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Baduy Luar disebut juga masayarakat “panamping”. Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Sedangkan “Baduy Dangka” tinggal diluar wilayah paling luar dari Baduy Luar. Fungsi dari masing-masing komunitas diyakini sebagai “papancen”, yaitu Baduy Luar menjaga dan membantu “tapa” (semedi) Urang Baduy Dalam. Sedangkan Urang Baduy Dangka bertugas semacam penyangga pengaruh dari luar.

Bertapa yang dimaksudkan bukan sebagaimana “tapa” yang kita kenal saat ini, yaiktu berpuasa makan, minum atau melek, namun menurut mereka, tapa yang benar itu adalah harus menjaga seluruh alam, meneguhkan, menetapkan cara penggunaan tugasnya, disamping itu dilarang melakukan pengrusakan dan merubah “titipan”, seperti kalestarian alam. Maka dari itu di Baduy Baduy Dalam dilarang membuat rumah menggunakan paku dan tidak boleh meratakan tanah, semua harus alami. Pengisi rumah dilarang memakai perhiasan emas dan dilarang menyalakan lampu minyak tanah. Sebab minyak tanah berasal dari alam dan cara menambangnya merusak alam dan lingkungan. Namun gunakanlah lampu berbahan baker minyak picung (sejenis buah-buahan) atau minyak kelapa. Mata pencaharian Urang Baduy yaitu “ngahuma”, namun tanahnya tida boleh dicangkul,

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy di Kanekes adalah "puun" yang bertempat tinggal di tiga kampung Baduy Dalam, berdasarkan pada kemampuannya, tidak dibatas waktu (umur atau periode masa kerja). Mereka menerima jabatan tersebut turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.



Asal Mula

Berdasarkan keterangan Pu'un mereka mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya mempunyai tugas untuk menjaga adat - harmoni dunia. Namun sejarah ini diperoleh dari cara tutur tinular, tanpa adanya peninggalan-peninggalan tertulis yang sangat diyakini kesahihannya oleh para peneliti.


Pendapat asal mula Urang Baduy menurut Urang Baduy asli berbeda dengan pendapat ahli sejarah. Para ahli sejarah banyak menggunakan pendapatnya rujukan dari prasasti dan catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok. Selain dari catatan tersebut sering juga diambil dari catatan budaya (cerita rakyat) di Tatar Sunda, namun catatan ini sangat sedikit sehingga sering menimbulkan kontradiksi dengan cerita yang berasal dari Urang Baduy” sendiri.


Dilihat dari perjalanan budaya Urang Budaya tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan masyarakat Sunda yang pernah berpusat di Pakuan Pajajaran (Bogor). Ada sebagian ahli sejarah yang menyebutkan bahwa Urang Baduy adalah penduduk setempat yang daerahnya dijadikan kawasan suci (mandala) oleh Raja Rakeyan Darmasiksa. Jika dilihat dari Carita Parahyangan, Rakeyan Darmasiksa memerintah selama 150 tahun, tetapi menurut Naskah-naskah Wangsakerta disebutkan selama 122 tahun (1097 – 1219 Saka) atau 1175 s/d 1297 Masehi.


Ada juga yang mengaitkan asal mula Urang Baduy dengan sejarah perdagangan di Banten. Konon kabar Urang Baduy adalah tentara kerajaan Sunda yang sangat terlatih yang ditugaskan untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. pada waktu itu sungai Ciujung dapat dilayari dan dijadikan wilayah perdagangan. Berbeda dengan pendapat Van Tricht, pernah melakukan riset pada tahun 1928, menurutnya Urang Baduy penduduk asli daerah tersebut yang diberikan tugas untuk menjaga tradisi luar, namun mereka menolak jika disebut berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran.


Ageman

Di sekolah yang tidak mempelajarai masyarakat Baduy secara spesifik pada umumnya menyebutkan Urang Baduy beragama Hindu, bahkan ada juga yang menyebutkan agama Budha. Memang pendapat ini tidak dapat disalahkan jika mengambil alur cerita bahwa hancurnya Pajajaran karena dikalahkan pasukan Islam yang bertujuan mengislamkannya. Sekalipun demikian memang tidak dapat dipungkiri jika memang ada pengaruh dari agama-agama dari luar Sunda, mengingat banyak raja-raja pada waktu itu yang menganut agama Hindu atau Budha. Namun pertanyaannya : apakah agama resmi negara harus pasti dianut masyaraktnya ?.

Urang Baduy menyebut agemannya Sunda Wiwitan. Sedangkan prinsip hidup yang harus dilakukan sehari-hari, yaitu : pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang dipotong (pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong). Kehidupan Urang Baduy diyakini titipan dari Nabi Adam (Tunggal) yang merek sebut juga Wiwitan (asal muasal) yang harus dijaga sampai kapanpun. Urang Baduy memiliki komitmen untuk mendirikan, membangun dan meneguhkan titipan dari wiwitan yang diperintahkan Adam Tunggal. Namun mereka juga meyakini perlu adanya bantuan dari pihak pemerintahan.

Mengenai wiwitan yang perlu dipegang teguh, yaitu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” perlu juga disertai dengan perilaku - Mipit kudu amit - Ngala kudu menta - Ngagedag kudu bewara - Ngali cikur kudu matur - Ulah gorah, ulah linyok (bohong) - Ngadek kudu sacekna (nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun) - Ulah sirik, ulah pidik - Ulah ngarusak bangsa jeung nagara - Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak.

Bagi saya dengan keteguhan Urang Baduy dalam menjaga tradisi dan adat leluhur ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Hindu, Budha dan Islam. Dengan tidak adanya strata sosial, benda yang mereka sembah sebagai perantara Tuhan dan meyakini Gusti Nu Maha Suci atau tuhan yang maha suci meneguhkan bahwa masyarakat Baduy adalah monoteisme. Tetapi saya pun mengakui tidak adanya bukti tulisan, sehingga para peneliti sejarah sering salah mengklasifikasikan ageman dan tradisi Urang Baduy.


Cag Heula ................ (***)




MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960