Senin, 11 April 2011

Uga

Uga dikalangan masyarakat tradisional Sunda dipahami sebagai ramalan atau petuah dari leluhur, menyangkut kondisi sosial politik dan sosok pemimpin yang diharapkan. Uga termasuk tradisi lisan masyarakat Sunda yang disampaikan secara lisan, menggunakan bahasa siloka, atau simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Pencetus Uga adakalanya anonim, namun diyakini bersumber dari karuhun yang dianggap memiliki kelebihan, terutama dalam masalah spiritualitasnya. Contoh Uga :

Daréngékeun !
Jaman bakal ganti deui. Tapi engké, lamun Gunung Gedé ang eus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajaja gat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Ha dé deui sakabéhanana. Sana gara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.Tapi ratu saha ? Ti mana asal na éta ratu ? Engké ogé dia nyaraho. Ayeu na mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang! Dengarkan ! (jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab  berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asal nya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang!
Uga tersebut diyakini berasal dari Prabu Siliwangi. Saat ini bukan lagi merupakan rahasia, karena beredar di dunia maya dan maka banyak di perbincangkan di kalangan peminat mistis. Di sebutkan sebagai amanat dari Prabu Siliwangi sebelum ngahiyang (tilem), ditujukan kepada rakyatnya yang ikut mundur diserang musuh. Jika ditelaah lebih lanjut, terutama masalah waktu dikeluarkannya, memang membuahkan pertanyaan, karena jika yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga, maka Pajajaran sedang berada di puncak keemasan, sedangkan kekalahan Pajajaran masih berselang sekitar lima raja lagi, kecuali jika raja Pajajaran terakhir, yakni Ragamulya Suryakancana dianggap Prabu Siliwangi.

Uga lahir dan berkembang di masyarakat agraris tradisional. Saat ini hanya terbatas dikalangan orang-orang tua peminat masalah mistis-spiritual, atau dijadikan acuan bagi para politikus tradisional sebagai sumber informasi. Dalam tradisi masyarakat jawa tradisional dikenal juga ramalan Jayabaya, atau lajim dikenal Pralambang Jayabaya. Selain itu ada juga Ramalan Sabda Palon Naya genggong, intinya semacam ramalan dan ajaran yang disampai kan Sabda Palon kepada Brawijaya, raja Majapahit terakhir. Uga dan Pralambang Jayabaya sangat dibutuhkan ketika negara akan menghadapi perubahan kepemimpinan, disangkutkan dengan so sok pemimpin yang diharapkan dan ideal sesuai persepsinya, seperti masalah ratu adil, satria piningit (calon pemimpin) maupun kondisi sosial politiknya.

Contoh Uga
Uga diungkapkan dalam bentuk siloka atau simbol-simbol, dan menekankan pada unsur waktu peristiwa yang akan terjadi, seperti dalam istilah : Geus nepi kana ugana (sudah sampai pada uganya, atau sudah tiba waktunya sesuai yang diramalkan uga). Kata-kata tersebut menekankan tentang waktu ramalan itu akan terbukti. Seperti contoh dari Uga Prabu Siliwangi,: Tapi engké, la mun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung (tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung), menunjukan waktu ramalan uga akan tiba jika Gunung Gede meletus dan tujuh gunung lainnya, namun waktu meletusnya be lum pasti.

Di tatar pasundan lebih dari empat Uga yang diyakini kebera daannya, seperti :

Uga Kawasen
mengungkapkan, : ari nu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu jolna ti Gunung Surandil, bandera na karakas Cau (yang bakal menjadi ratu/raja atau pemimin negara, berbaju rombeng, menggunakan topi tempurung, yang datang dari Gunung Surandil [mungkin gunung serandil ?] berbendera daun pisang).

Uga Galunggung
menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung).

Uga Bandung
menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kembali lagi).

Uga Prabu Siliwinangi
mengungkapkan : Daréngékeun ! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé ang geus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. (Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati).

Uga Priangan
isinya menyangkut tentang ramalan akan adanya perubakan kondisi politik, dilengkapi dengan tanda-tandanya.
 
Menafsirkan Uga
Uga bisa ditafsirkan secara verbal dan kontekstual. Penafsiran verbal menitik beratkan kepada soal bahasa, pembendaharaan kata, tata bahasa, dan terjemahan yang tepat, sedangkan penafsiran konstekstual merupakan upaya untuk memahami arti ungkapan dengan melihat situasi di mana dan kapan ramalan ini ada, tentunya melalui cara memahami data histori di mana dan ada kondisi yang bagaimana ketika uga itu di buat (Nina H. Lubis : 2006).

Contoh dalam menafsirkan bagian akhir Uga Wangsit (wasiat) Prabu Siliwangi, seperti pada kalimat, sebagai berikut :

jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi se luruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang !

Dari kalimat jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi selu ruh bumi, mengandung siloka dan ramalan, bahwa : akan ada perubahan kondisi atau keadaan. Sedangkan Gunung Gede meletus. Ribut lagi seluruh bumi, dapat ditafsirkan akan muncul suasana yang mencemaskan, membuat masyarakat panik, bisa karena peristiwa alam, seperti bencana alam atau munculnya huru hara yang ditimbulkan oleh manusia, atau akibat dari kebijakan penguasa yang menimbulkan ketidak senangan rakyat dan memicu kerusuhan sosial. Dalam paradigma masyarakat Jawa tradisional disebut goro-goro.

Kesejarahan dari kondisi sebagaimana yang diramalkan di atas bukan hanya koridor dunia mistis-spiritual, melainkan suatu hal yang realistis jika menggunakan teori dialektikanya Hegel, di mana thesa (kondisi yang telah mapan) akan selalu berhadapan dengan antithesa (kondisi yang menginginkan perubahan) untuk kemudian melahirkan sintesa (kondisi baru). Dalam hal ini. Perlu ada kemampuan dan pengetahuan untuk mengetahui siloka-siloka yang terkandung di dalam kata-kata uga tersebut.

Kalimat selanjutnya : “Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali” dapat ditafsirkan, bahwa sehubungan dengan peristiwa diatas (adanya kepanikan, sebagaimana disilokakan dalam kalimat gunung gede meletus), maka orang Sunda akan dimintakan pertolongan (orang sunda dipanggil-panggil), baik untuk bersatu bersama-sama komponen warga bangsa lainnya, maupun karena kemampuannya menyelesaikan persoalan tersebut. Ketika orang Sunda memiliki kemauan untuk bersatu atau tampil sebagai penyelesai persoalan maka di tafsirkan sebagai sudah “memaafkan”, karena mungkin orang Sunda pernah disakiti atau kecewa. Jika hal ini terjadi “maka semua baik lagi dan negara bersatu kembali”.

Siloka dari ramalan ini tidak serta merta berjalan dengan sendirinya, melainkan masih diperlukan unsur kemampuan dan kemauan dari orang Sunda dalam menyelesaikan persoalan, seperti dari kalimat “Orang Sunda memaafkan” menunjukan pada sifatnya yang harus ada kemauan dari orang Sunda untuk memaafkan, sehingga menimbulkan empatinya untuk menyelesaikan kekacauan.

Siloka dari : “Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati”, mengandung makna : negara jaya kembali, sebab akan ada (lahir) ratu adil yang amanah, mengerti kemauan rakyat, pemimpin sejati, sesuai dengan keinginan masyarakat. Timbulnya ratu adil adalah hasil akhir dari tuntutan rakyat (sintesa). Tuntutan (antitesa) dimaksud berbentuk kerusuhan, unjuk rasa, huru hara yang mencemaskan masyarakat (siloka : Gunung Gede meletus).

Kemudian siloka dari kalimat : “Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung makna, bahwa ratu adil yang dimaksud masih dirahasiakan. Disinilah kemudian banyak ditafsirkan sebagai Satria Piningit seorang calon pemimpin atau Ratu Adil yang benar-benar telah ditempa sehingga mumpuni untuk menjadi pemimpin yang sejati, keberadaannya akan diketahui kemudian.

Selanjutnya dari siloka :” Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung siloka: adanya kewajiban warga sunda untuk mencari pemuda yang mengasuh atau mengayomi masyarakat. Mungkin menunjukan agar tepat memilih pemimpina. Si pemuda tersebut bukan berarti otomatis menjadi ratu adil, melainkan sebagai sarana yang akan menunjukan atau yang akan mengarahkan pene muan ratu adil. Sedangkan perintah dengan kalimat :” ingat jangan menoleh kebelakang”, mengandung siloka, agar tidak melihat ke masa lalu, karena mungkin dimasa lalu ada peristiwa yang menyakitkan, jika diingat-ingat akan menimbulkan dendam atau ketidak nyamanan.

Suatu data yang khas dari Uga ini adalah digambarkannya situasi sosial yang semrawut. Para pemimpin dan kepemimpinan silih berganti. Digambarkan ada keserakahan dari yang berkuasa. Timbulnya kondisi-kondisi yang menyengsarakan dan menakutkan orang Sunda, sehingga diakhir Uga dipesankan tentang akan adanya perubahan. Inilah suatu keniscayaan.

Sebagaimana penulis uraikan diatas, ramalan Uga seperti diatas bukan hanya dapat ditafsirkan melalui kerangka berpikir mistis-spiritual, melainkan dapat juga dutafsirkan berdasarkan koridol yang riil dan rational sesuai dengan keyakinan pemikiran masyarakat modern, bahkan dapat dibuat dan dirumuskan dalam bentuk rencana strategi, dengan menggunakan teori dialektikanya Hegel. Kondisi yang diramalkan dan di silokakan Uga diatas ada lah suatu keniscayaan. Hanya saja, siapa yang berperan aktif di dalam perubahan sosial tersebut. Jika menginginkan tampil sebagai pemimpin, maka perubahan itulah yang dapat menjadi kawah Candra Dimuka bagi sang Satria Piningit.

Contoh lainnya dari Uga Galunggung, menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung). Uga ini menurut hemat penulis mengandung siloka tentang pulung dari Galunggung. Istilah pulung didalan pemahaman orang Sunda sama dengan pungut. Namun nampaknya, sang ideolog atau pencipta uga ini ti dak bertujuan demikian, melainkan memahami istilah pulung seperti yang ada didalam paradigma masyarakat Jawa. Istilah puluh akan didengar ketika menghadapi pemilihan Presiden, atau pemimpin. Puluh dipersepsikan sebagai cahaya putih yang akan menuju kerumah atau kepada calon pemimpin tersebut. Bisa jadi istilah pulung yang dimaksud dalam Uga Galunggung sama deng an yang dimaksud masyarakat Jawa.

Istilah Galunggung tentunya tidak asing lagi bagi masyakat Tasikmalaya. Dalam kesejarahannya merupakan bagian atau pusat dari pemerintahan kerajaan yang bersifat Kabataraan, banyak peninggalan-peninggalan tentang ajaran kebajikan, serta menjadi Kabuyutan Sunda, dikenal sebagai pusat keagamaan. Kerajaan Galungung dimasa lalu berfungsi sebagai negara yang ngabiseka Galuh. Artinya raja-raja Galuh akan syah menjadi raja jika direstui kerajaan Galunggung. Banyak hal yang bisa dibuka dari Siloka Uga Galunggung, baik yang terkait dengan masalah fisik kenega raan, seperti tentang kewajiban mempertahankan Kabuyutan atau mempertahankan negrinya dari penguasaan asing, serta kewaji ban untuk mentaati Purbatisti-purbajati, atau nlai-nilai Kasundaan. Siloka dari Uga Galunggung dapat ditafsir kan : (1) Jika Ki Sunda mengetahui jatidirinya maka akan menemu kan kejayaannya ; (2) Jika Ki Sunda memiliki kebersihan hati dan selalu menjalan keten tuan yang telah digariskan Tuhan maka akan menemukan kejaya annya ; (3) Jika Ki Sunda di ridhoi Tuhan dalam kehidupannya, ma ka akan menemukan kejayaannya.

Uga Bandung menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pun dung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kem bali lagi). Uga ini menyiratkan adanya pihak yang merasa sakit hati sehingga meninggalkan Bandung dan menuju Cikapundung. Padahal Sungai Cikapundung berada di kota Bandung. Siloka ini menyiratkan, bahwa Orang Sunda akan jaya kembali jika orang yang sakit hati dan meninggalkan Bandung (kotanya) kem bali lagi dan mengelola negerinya.

Siloka dari Uga Bandung dapat pula ditafsirkan, bahwa ada pihak yang frustasi atau merajuk (pundung) akibat sesuatu, sehingga lantas menghanyutkan diri dalam kondisi yang ada, sehingga tidak perduli terhadap negerinya. Pihak yang hanyut itu harus di ingatkan dan diobati sakit hatinya, agar dapat bersama-sama mengolah dan memakmuran negeri. Dalam arti sempit da pat ditafsirkan, bahwa orang Bandung sudah tersingkirkan dari kotanya dan hanyut dalam kesemrawutan. Jika Kota Bandung ingin maju pesat, maka harus diurus oleh orang Bandung sendiri. Demikian. Hatur punten bilih aya kalepatan. Tabe Pun !!! (***).

 

Seni Pantun

Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop, namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi cerita-cerita Pantun, kecuali perubahan instru-men, seperti masuknya tarawangsa atau rebab, berubahnya alat musik kecapi, yang semula bedawai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang digunakan untuk mengiringi kacapi tersebut adalah pe log, selanjutnya banyak menggunakan laras salendro.
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melain makna dari kisah yang dituturkan tukang mantun (petutur pantun). Pantun Sunda sama halnya de ngan teater tutur di wilayah Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyumas, warahan di Lampung, ding- dong di Gayo, sinrili di Sulawesi Selatan, bakaba di Minangkabau.
Pertunjukan pantun dilakukan pada malam hari. Oleh Jakob Sumardjo diistilah di luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara ngaruwat (ruatan), biasanya dimulai te ngah malam sampai hampir terbitnya matahari. Seni Pantun disa jikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual ngaruat (ruatan). Cerita untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pan tun, sedangkan untuk acara ritual (ngaruat), sama halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.
Ngaruat
Ngaruat asal kata dari ruat. Menurut kamus bahasa Sunda (Danadibrata : 2006), berarti menyelamatkan barang baru atau ma nusia agar bermanfaat, panjang umur, singkatnya agar selamat du nia dan ahirat. (Kecap pagawean kariaan nyalametkeun barang anyar atawa Jelema supaya awet kapakena, genah dipibanda, panjang umurna, pendekna supaya salamet dunia aherat).
Kisah yang biasanya digunakan untuk acara ngaruat adalah cerita Batara Kala, Kama Salah atau Murwakala. Biasanya yang di ruat adalah :
1.       anak tunggal,
2.       nanggung bugang (anak yang adik dan kakaknya meninggal),
3.       kulah dihapit kupancuran (anak pe rempuan yang adik dan kakaknya laki -laki),
4.       pancuran di hapit ku kulah (anak laki-laki yang kakak dan adiknya pe rempuan),
5.       pandawa lima (anak laki-laki lima orang).
6.       rumah sujen (tanah yang sekelilingnya rata namun tengahnya menjorok)
7.       lmah gunting (tanah yang bentuknya seperti gunting).
Sumber Kisah Batara kala berasa dari lisan dan tulisan. Sum ber dari berita lisan berasal dari cerita Pantun, Wayang dan Beluk, sedangkan tulisan sumber tertulis dari naskah Sunda Kuna, yang beraksara Budha atau aksara Gunung, diperkarakan seumur dengan naskah Kidung Subrata. Naskah ini pemberian dari Friedirich, pemerihati kebudayaan Jawa dan Bali. Secara bertahap diserahkan pada bulan Mei sampai dengan April 1869. Saat ini disimpan di perpustakaan pusat, bernomor lontar 506 atau naskah Kala Purbaka. Naskah tersebut antara lain menyebutkan nama lain dari Batara Kala, sebagai berikut :
Mari haran siya :
Sang bangbang
Sang kama salah
Sang keteriti
Sang Buta Tuwa
Sedangkan tempat tinggal Batara kala disebutkan :
Cicing hanaking
Ditu kwata manuk
Lemah/pedek hingseup-ingseup
Garanggangan-garunggungan,
Lenging landak panggung ning warak
Kayu geutah, kayu getih,
Oyod kumedang-kumedung,
Rangdu kepuh karameyan,
Catang nonggang catang nonggeng
Tinggalah anakku,
Disanalah kota manuk,
Tanah padat dan pengap,
Tanah yang berbukit-bukit
Sarang landak dan kubangan badak
Kayu bergetah kayu berdarah,
Akar menjalar kemana-mana,
Pohon randu yang rimbun,
Batang pohon berserakan
Sumber Kisah Pantun yang sama dengan naskah Sunda Kuna dimungkinkan masih banyak, seperti tentang Ciung Wanara (manarah), nampak dari carita Waruga Guru. Adapun cuplikan dari naskah tersebut, sebagai berikut :
Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina. Ari dibuka, behna murangkalih, endog disileung leumkeun, keris. Tuluy diteundeunkeun murangkalih. Tuluy dirorok, dipang ninggurkeun. Lawas-lawas datang ka tegus cangcut. Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.
Bwat ciung. “Ayah, nahaeun eta?” “Ngaranna ciung, anaking.” Bot indung na, bwat bapana, bwat anakna. Pur hiber bapana. “Ayah, ka mana eta arahna?” “Piaraheunnana ka daleum dayeuh.” “Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”
Memang originalitas kisah pantun adakalanya bergeser dari awalnya, dikarenakan adanya kelemahan dari tradisi lisan, serta terlalu bebasnya para prepantun mengisahkan ceritanya, sehing ga kisah yang dituangkan dan diingat masyarakat dan penerusnya menjadi ikut bergeser.
Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda deng an berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuna. Hal ini memberi dampak terhadap nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat sehingga berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Se ni Pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk mera sakan masa keemasan sejarah dan kebudayaan masa lampau penduduk tatar Sunda.
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkira kan ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahkan keberadaan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an. Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ketepatan kepada siapa ha rus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun maka perlu ber tanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut :
Hayang nyaho di pantun ma : Langga larang, Banyakcatra, Siliwangi, Hatur wangi ; prepantun tanya.
Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun
Cerita yang dikisahkan
Ceritanya pantun berkisar tentang Anggalarang, Banyakca tra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang banyak disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Sering pula membahas masalah yang terkait dengan Uga atau totonden mangsa, seperti pantun yang di tuturkan oleh Ki Buyut Rambeng dari Bogor. Kisah yang terkenal adalah Dadap Malang Sisi Cimandiri. Biasanya dijelaskan tentang alasan runtuhnya kerajaan Pajajaran, serta meramalkan tanda-tan da akan lahirnya Pajajaran baru.
Pantun Bogor dibagi menjadi dua bagian yakni Pantun Bogor Leutik dan Pantun Bogor Gede. Pantun Bogor Leutik berkisah sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Kerajaan Pajajaran atau tentang para putri raja dan kesatria. Sedangkan Pantun Gede berkisah tentang ajaran agama Sunda, silsilah Raja Sunda, Uga, dan pola pemerintahan Kerajaan Sunda.
Dalam perkembangannya, cerita pantun yang di anggap bernilai tinggi itu terus bertambah. Sampai saat ini diperkirakan tidak kurang dari 75 judul kisah pantun. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang di sajikan secara ritual se perti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung. Pantun Bogor biasanya berjudul Kalang Sunda Makalangan, Paku jajar Beukah Kembang, Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malan Sisi Cimandiri, Pajajaran Seren Pa pak, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh Kalasima.
Judul dan cerita Pantun, sebagai berikut :


Ciung Wanara
Lutung Kasarung
Mundinglaya di Kusumah
Aria Munding Jamparing
Banyakcatra
Badak Sangorah
Badak Singa
Bima Manggala
Bima Wayang
Budak Manjor
Budug Basu
Sri Sadana
Sulanjana
Bujang Pangalasan
Burung Baok
Buyut Orenyeng
Dalima Wayang
Demung Kalagan
Deugdeug Pati Jaya
Gajah Lumantung
Gantangan Wangi
Hatur Wangi
Raden Tanjung
Senjaya Guru

Jaka Susuruh
Jalu Mantang
Jaya Mangkurat
Kembang Panyarikan
Kidang Panandri
Kidang Pananjung
Kuda Gandar
Kuda Lalean
Kuda Malela
Kuda Wangi
Langla Larang
Langga Sari
Langon Sari
Layung Kumendung
Liman Jaya Mantri
Lutung Leutik
Malang Sari
Manggung Kusuma
Matang Jaya
Rangga Katimpal
Rangga Malela
Rangga Sena
Ratu Ayu
Ratu Pakuan

Munding Jalingan
Munding Kawangi
Munding Kawati
Munding Liman
Munding Mintra
Munding Sari Jaya Mantri
Munding Wangi
Nyi Sumur Bandung
Paksi Keling
Panambang Sari
Panggung Karaton
Parenggong Jaya
Raden Mangprang di Kusumah
Raden Tegal
Rangga Sawung Galing
Rangga Gading
Siliwangi
Ringgit Sari


Pantun Bogor
Pantun Kanekes
Kalang Sunda Makalangan
Paku jajar Beukah Kembang
Pakujajar di Lawanggintung
Kujang di Hanjuang Siang
Dadap Malang Sisi Cimandiri
Pajajaran Seren Papak
Curug Sipadaweruh
Tunggul Kawung Bijil Sirung
Lawang Saketeng ka Lebak Cawene
Ronggeng Tujuh Kalasima.
           Langgasari Kolot
Langgasari Ngora
Lutung Kasarung

Rajah Bubuka / Pamunah
Sakralitas seni pantun akan sangat dirasakan ketika diawali dengan ngarajah. Pengertian Rajah di dalam kamus bahasa Sun da (Danadibrata : 2006), berarti (1) doa, atu jampe yang dinyanyi kan, sebelum memulai mantun agar selamat juru pantun maupun pe nyelenggaranya. (2) ngarajah sama hal nya dengan mohon ijin dari para Dewa-dewi, dari Sang Rumuhun sebelum mantun. Se dangkan Rajah Pamunah, adalah Rajah untuk tulakbala dan untuk mencegah bala. (Rajah : (1) doa, atu jampe nu dilagukeun, me meh prak mantun supaya salamat lahir bathin, salamat nu ngala lakonkeun, salamat nu nanggapna. (2) Ngarajah teh minangka menta widi ti para Dewa-dewi, ti sang Rumuhun memeh prak man tun. Rajah Pamunah : Rajah pikeun tulakbala jeung pikeun pang nyinglar bala).
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan seba gai berikut : penyediaan sesajen; ngukus; mengumandangkan ra jah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ke mudian ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Se bagai kesenian yang hidup sejak masa Pra Islam, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) juru pantun merupakan pembauran keduan jaman itu. Selain istigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur).
Didalam cerita pantun, rajah termasuk bagian dari cerita pan tun yang berisi pemberitahuan tentang permulaan atau akhir ceri ta. Rajah pembukaan disebut rajah bubuka, sedangkan pada bagi an akhir disebut rajah pamunah. Rajah bubuka mengandung tuju an, untuk :
1.    Tanda di mulainya kisah pantun ;
2.    memanjatkan doa selamat ;
3.    memohon ijin kepada tokoh yang dikisahkan.
Rajah bubuka yang mengandung unsur doa, berisi kata-kata pun sapun (maaf ijinkanlah), sang rumuhun (yang terdahulu), bul kukus (mengepul asap). Contoh rajah bubuka tersebut, sebagai-mana di bawah ini :
Bul Kukus mendung ka manggung
Kamanggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci ned suci
Kuring reka dia ajar ngidung
Nya ngidung carita Pantun
Ngahudang carita wayang
Nyilokakeun nyukcruk laku
Dalam perkembangan kandungan dan pemaknaan pantun mendapat pengaruh seiring dengan kayakinan yang ada di masya rakat Sunda. Hal demikian nampak dari rajah (doa atau mantra) misalnya tentang kosmologi yang menyebutkan pohaci, batara, de wa, Batara Guru (Siwa), Hiyang. Pada perkembangannya, setelah islam masuk ketatar Sunda kerap diselipkan kata-kata Allah, Nabi Muhammad, Rasul. Pengucapan kalimat ahung, aslinya aum, ke pendekan dari mantra Aum Nani Padme Hum, diganti dengan kali mat Astagfirullah aladzim. Hal ini menunjukan seni pantun dipe ngaruhi pula oleh nilai-nilai keyakinan, atau simbol-simbol kosmo logi yang ada saat itu, seperti contoh pada rajah bubuka, sebagai berikut :
(1)
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Bul kukus mendung ka manggung
Nyambuang ka awang-awang
Ka manggung neda suci
Ka dewata neda maap
Kuring rek diajar ngidung
Nya ngidung carita pantun
Ngahudang carita anu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Kadalapan keur disorang
Bok bilih nerus narutus
Bok bilih narajang alas
Palias nerus narutus
Palias narajang alas
(Carita Mundinglaya Di Kusumah)
(2)
Pun sapun
Sang kuyupu ngaraning parukuyan
Sang rupay puting ngaraning seuneu
Sang lingsir putih ngaraning menyan
Kukus nyambuang
Pangandika gusti rosul
Mangka terus ka nu alus
Ka purba ka nu kawasa
Ka nu dihin
Ka nu pasti
Kukus nyambuang
Nuja katatar pasagi handap
Ngungkab bumi tujuh lapis
Cundukna ka ratu bungsu
Ka pangeran rangga sinuhun
Ka batara naga raja
Kanu aya di sakuriling cai
(Carita Gantangan Wangi)
Rajah yang bertujuan memohon ijin kepada tokoh yang akan dikisahkan, sebagaimana contoh didalam Rajah untuk Pantun Da dap Malang Sisi Cimandiri, sebagai berikut :
Pun
Kaula dek nginjeum ngaran
Caturkeun dina beja
Lalakuna dadap malang
Nu baheula nyorang aya
Sisi kidul Cimandiri !
Paralun !
Saha nu di injeum ngarana ?
Putri bungsu Purnamasari
Mayang Pajajaran anu lenjang
Saha anu di lalakonkeun ?
Rakean Kalang Sunda
Nu engke salin rupa ....
Paralun !
Rajah Pamunah dicontohkan sebagaimana di bawah ini :
Ahung guru hiyang bayu
Sang pamunahing rajah hiang musada
Nu puguh maha mulya
Pangmunahkeun uing itu
Hiyang wosesa ti wisesa
Ratu wisesa uing wisesa
Di buana pancatengah
Langit kapunah bumi kapunah
Kapunah ku para wises
Ka wisesa ku awaking
Sumur pamunah ratu
Ngabulungbung tanpa puhun
Kula agung nya paralun
Neda panjang pangampura
Isi seluruh rajah dapat diartikan bahwa juru pantun memohon kan untuk memusnahkan segala bahaya dan aral rintangan, serta memintakan keselamatan bagi juru pantun maupun yang mende ngarkan. Juru pantun menciptakan mandala dipertunjukan, deng an cara menghadirkan kuasa-kuasa dari dunia atas, dan masuk dalam 8 mata angin, seperti pada ucapan : “Lulurung tujuh ngaban dung, Kadalapan keur disorang”. Jakob Sumardjo (2006) mengungkapkan, bahwa juru pantun menempatkan diri sebagai bagian kedelapan dari arah mata angin tidak mewakili dirinya, melainkan bagian dari adikodrati, penguasa kosmos yang kedelapan.
Setelah selesai ngarajah dilakukan paparan, berisi gambaran perilaku para tokoh atau sesuatu yang perlu di tonjolkan. Seperti dikenal dengan alam lingkungan di dalam cerita pantun. Contoh nataan dri pantun Cisolok, dalam menggambarkan kecantikan Nyi Ratna Inten, dikisahkan sebagai berikut :
Keur geulis ditambah leucir
Keur denok ditambah montok
Keur lenjang ditambah lesang
Keur weuteuh ditambah peungkeur
Kasohor nangtung galungan
Kasohor malang sigangna
Geulis leucir weuteuh peungkeur
Paranaman angin-angin
Bulu bitis museur-museur
Contoh nataan lainnya didalam cara menggambarkan aleut an menak (rombongan pembesar), sebagai berikut :
Burudul anu ti kidul
Aleutan para tumenggung
Leugeudeut aleutanana
Leugeudeut tanggeuyanana
Melengkung umbul-umbulna
Biribit ampiranana
Beleber bendera kancana
Naon cacandakanana
Bawana gadung jeung iwung
Tuntungna muncing buntung
Parabon degung jeung angklung
Alur cerita pantun dituturkan dengan gaya prosa-liris seperti dicirikan dari bahasa dengan gaya khusus dan menunjukan keka yaan sasta dan bahasa Sunda. Menggunakan irama delapan suku kata menjadi ciri bahasa puisi pantun. Bentuk pengulangan bunyi vokal dan konsonan, perulangan bunyi suku kata, perulangan ka ta, bahkan perulangan kalimat atau bagian kalimat banyak ditemu kan. Pada setiap pergantian adegan didahulu dengan ucapan :
Cag !
Teundeun di handeuleum sieum
Tunda di hanjuang siang
Paranti nyokot ninggalkeun
Kacaritakeun di ............
Sang ...........................
Makna dan Kandungan Pantun
Jakob Sumardjo (2006), seorang budayawan, penyusun Bu ku Khasanah Pantun Sunda memaparkan tentang Pertunjukan se ni Pantun dan Latar Belakang Sejarah Budaya Pantun. Dianggap sebagai arkeologi pemikiran masyarakat Sunda buhun. Pada inti nya memiliki pandangan Dasar, serta mengisahkan tentang tafsir Kosmologi Sunda buhun, seperti didalam cerita Mundinglaya Di Kusumah, Ciungwanara, Nyai Sumur Bandung, Panggung Kara ton, Lutung leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Luman tung, Lutung Kasarung, dan Sri Sadana. Terkandung pula maksud maksud dari siloka pantun, seperti tentang Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci, Lengser, Asas Tri tangtu, Asas Dalam-Luar Budaya Sunda, Arketip kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun, perempu an dalam masyarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasun-dan.
Pantun menceritakan pula tentang Primordial Sunda, seperti topografi, habitat dan budaya, pola perkampung dan rumah, religiu sitas, kosmologis, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual. Masalah primordial Sunda biasanya digambarkan didalam nataan. Dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupa kan asas primordial Sunda yaitu tritangtu, atau trilogi Budaya Sun da, tentang tilu sapamula, atau gambaran fungsi rama, resi dan ra tu sebagai satu kesatuan peneguh dunia. Sistim perkampungan Sunda menggambaekan adanya tiga fungsi, yakni tangtu, panam ping dan luar. Ketiga fungsi tersebut di tentukan berdasarkan ke-mandalaannya, sama halnya dengan yang diyakini masyarakat Ba duy dan Suku Naga di Tasikmalaya.
Khusus Pantun Bogor hanya berisi alur cerita pendek, yakni tokoh-tokoh yang berupaya lepas dari kejaran musuh, seperti ki sah Rakean Kalang Sunda di dalam Dadap Malang Sisi Cimandiri. Selanjutnya menyelipkan totonden mangsa tentang kapan Paja jaran akan jaya kembali. Kisah pelarian para putra Pajajaran terse but di uraikan dengan seksama dan penuh empati. Sang Juru Pan tun seolah-olah mengharapkan para pelarian itu dapat lepas dari kejaran musuh. Juru pantun sangat teliti di dalam menjelaskan da erah-daerah yang disinggahi, seperti tempat menangis Nyi Mas Purnamasari kelak nama daerahnya menjadi Ciwening (Cibening), kemudian tanah Cogreg, Rancamaya, petilasan mbah Badigul, Ci homas (Ciomas), Sanghyang Purwa (Gunung Gede).
Pantun pada umumnya mengandung siloka tentang segala sesuatu berasal dari yang satu, dari Yang Tunggal. Sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari ajegnya kehidupan. Kisah ini nampak dari cerita pantun yang berjudul Pakuan Pajajaran. Di silo kakan Pajajaran sebagai sentra; Pangeran Pajajaran, dan Raja ba wahan. Semakin banyak raja bawahan dan semakin luas para pa ngeran menguasai raja bawahan, maka semakin kuat pula posisi pajajaran. Ketiganya satu kesatuan yang saling melindungi. Pusat kekuasaan tidak mungkin ajeg-kokoh tanpa ditunjang oleh bawa hannya, yang dikendalikan para pangeran
Siloka juga mewarnai tentang adanya dua kutub berlawanan, akhirnya bisa saling bekerjasama, seperti di dalam kisah Pareng-gong Jaya, antara Pangeran Pajajaran dengan Parenggong Jaya, semula bertetangan, kemudian saling bekerjasama. Kisah lainnya dari cerita laki-laki dan perempuan; ada siang dan ada malam; ada panas dan ada dingin, tapi tidak mengetengahkan adanya kon flik, atau konfrontasi, melainkan komplementer, saling melengkapi, saling membutuhkan, karena melahirkan sinthesa dari seluruh pro ses dialektika, melahirkan kemajuan dan kebaikan, terutama ke-langsungan kehidupan. Tidak mungkin manusia lahir jika tidak ada ibu dan bapak. Sama ketika memahami siloka “Dua Sakarupa”, sekalipun dua tapi tetap sama. Pola tiga atau nu tilu merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh lelaki dan perempuan, dari  perkawinannya melahirkan anak. Perkawinan Dunia Atas atau Bu-ana Nyungcung dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah).
Contoh dari cerita Panggung Karaton yang dibawakan oleh Ki Aceng Tamadipura, sebagai berikut :
Teras kangkung galeuh bitung
Tapak meri dina leuwi
Tapak soang dina bantar
Tapak sireum dina batu
Kalakay pare jumarum
Sisir serit tanduk ucing
Sisir badag tanduk kuda
Kekemben layung kasunten
Kurambuan kuwung-kuwung
Tulis langit gurat mega
Panjangna sabudeur jagad
Inten sagede baligo
Inti batang kangkung adalah batang bambu
Jejak anak itik di telaga
Jejak angsa di tanah gosong
Jejak semut diatas batu
Batang padi kering seperti jarum
Sisir suri tanduk kucing
Sisir besar tanduk kuda
Berkemban langit lembayung
Aneka warna pelangi
Tulisan di langit gambar di mega
Panjangnya sebundar dunia
Intan sebesar buah beligo
Teras kangkung galeuh bitung/Tapak meri dina leuwi/Tapak soang dina bantar/Tapak sireum dina batu, menggambarkan keko-songan. Apa yang kosong itulah dunia manusia. Hidup ini kosong, maya tak berarti. Bagaimana mengetahui bahwa yang di gambar kan serba kosong adalah manusia dan dunianya?. Hal ini dijelas kan di dalam baris: Kalakay pare jumarum/Sisir serit tanduk ucing. Menggambarkan sesuatu yang keras/tegang adalah laki-laki, me-lambangkan dunia bawah. Dunia atas berazaskan perempuan (Su nan Ambu), seperti pada kata-kata : Kekemben layung kasunten. Sedangkan Tulis langit gurat mega/Panjangna sabudeur jagad, melambangkan hakekat hidup manusia, takkan pernah habis diba ca dan dipelajari. Itulah sesungguhnya langit, dunia atas, yang ko song itu sejatinya adalah bobot isi yang amat padat dan tak ternilai harganya, ibarat Inten Sagede Baligo. Sedangkan Intan, permata bermakna yang plural itu satu, yang satu itu plural – dua sakarupa. Manusia sebagai salah satu unsur plural, adalah bagian dari Yang Tunggal.
Makna dari keseluruhan, adalah : hidup manusia dan kebera daan ini seperti dunia terbentuk. Yang tampak isi bermakna, se-sungguhnya hanya kosong dan sia-sia. Dan yang tampak kosong tak berarti, sesungguhnya adalah isi dan makna hidup sejati. Hu kum serba terbalik ini dikenal waringin sungsang (pohon beringin terbalik), akarnya diatas, daun dan batangnya dibawah.akar hidup manusia itu berasal dari langit. Hidup manusia yang sejati ada di alam atas yang kosong-sunyi tersebut.
Untuk mengenal diri kita sendiri manusia harus mengenal kekosongan dunia atas. Manusia tidak akan mengenal sejati diri nya hanya bersandar pada daun-daun, ranting dan batang beri ngin hidup ini. Yang tampak dan wadag itu dapat menipu manusia menuju penemuan hakikat dirinya. Diri manusia adalah bagian da ri Diri Universal, di sanalah terdapat akarnya, asal-usulnya. Disana lah keberadaan Intan Besar, Yang Tunggal sekaligus plural.   
Prepantun
Para petutur Pantun Sunda yang terkenal di jamannya. Di Ci anjur dikenal nama R. Aria Cikondang abad ke-17, Aong Jaya La himan dan Jayawireja abad ke-19, di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung awal abad ke-20 dan Pantun Beton Wikatmana pertengahan abad ke-20, di Bogor terkenal jurupantun Ki Buyut Rombeng. Bahkan Ki Buyut Rombeng saat ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pantun Bogor. Penerus dari Ki Buyut Rombeng disebut Rakean Minda Kalangan. Jenis pantun Bogor betul-betul mewakili cerita rakyat (cacah), oleh karenanya bahasa pantun pun menggunakan gaya bahasa yang egaliter, tanpa te deng aling-aling, dan sangat dinamis. Sayangnya, pantun Bogor ti dak boleh dipelajari dalam bentuk tulisan. Konon saat ini estafet itu berada di tangan Anis Djatisunda.
Penulisan ceritapantun yang patut mendapat perhatian, dan sekaligus penghargaan dilakukan atas upaya Ajip Rosidi, dengan sebuah badan swasta yang diberinama Proyek Penelitian Pantun & Folklore Sunda. Team ini berhasil mengumpulkan kisah pantun, seperti :
1.       cerita Demung Kalagan dan kembang Panyarikan dari juru pantun Ki Kamal Lebak Wangi, Kuningan;
2.       cerita Mundinglaya Dikusumah dan Panggung Karaton dari Ki Aceng Tamadipura, Situraja, Sumgedang;
3.       cerita Parenggong Jaya dari Ki Samid, Cisolok Sukabumi;
4.       cerita Gantangan Wargi dari Ki Asom, Pringkasap, Subang; Cerita Ciung Wanara dari Ki Subarna, Ciwidey, Bandung. 
Dewasa ini perkembangan seni Pantun sangat memprihatin kan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bah wa seni Pantun dapat bertahan tanpa harus meleburkan diri men jadi satu bentuk kesenian pop, sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa lalu, terutama pada fung si yang sakral menjadi profan. (Agus Setia Permana).
Sumber Bacaan :
Sumardjo, Jakob
2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.
Gunawan, Aditia & Agung Kriswanti
Kala Purbaka, Kisah Batara Kala dan Teks Sunda Kuna, didalam Pulung Karaton Pajajaran dan esai-esai lainnya mengenai kebudayaan Sunda. Pusat Studi Sunda – 8, 2009.
Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960