Senin, 11 April 2011

Seni Pantun

Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop, namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi cerita-cerita Pantun, kecuali perubahan instru-men, seperti masuknya tarawangsa atau rebab, berubahnya alat musik kecapi, yang semula bedawai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang digunakan untuk mengiringi kacapi tersebut adalah pe log, selanjutnya banyak menggunakan laras salendro.
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melain makna dari kisah yang dituturkan tukang mantun (petutur pantun). Pantun Sunda sama halnya de ngan teater tutur di wilayah Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyumas, warahan di Lampung, ding- dong di Gayo, sinrili di Sulawesi Selatan, bakaba di Minangkabau.
Pertunjukan pantun dilakukan pada malam hari. Oleh Jakob Sumardjo diistilah di luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara ngaruwat (ruatan), biasanya dimulai te ngah malam sampai hampir terbitnya matahari. Seni Pantun disa jikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual ngaruat (ruatan). Cerita untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pan tun, sedangkan untuk acara ritual (ngaruat), sama halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.
Ngaruat
Ngaruat asal kata dari ruat. Menurut kamus bahasa Sunda (Danadibrata : 2006), berarti menyelamatkan barang baru atau ma nusia agar bermanfaat, panjang umur, singkatnya agar selamat du nia dan ahirat. (Kecap pagawean kariaan nyalametkeun barang anyar atawa Jelema supaya awet kapakena, genah dipibanda, panjang umurna, pendekna supaya salamet dunia aherat).
Kisah yang biasanya digunakan untuk acara ngaruat adalah cerita Batara Kala, Kama Salah atau Murwakala. Biasanya yang di ruat adalah :
1.       anak tunggal,
2.       nanggung bugang (anak yang adik dan kakaknya meninggal),
3.       kulah dihapit kupancuran (anak pe rempuan yang adik dan kakaknya laki -laki),
4.       pancuran di hapit ku kulah (anak laki-laki yang kakak dan adiknya pe rempuan),
5.       pandawa lima (anak laki-laki lima orang).
6.       rumah sujen (tanah yang sekelilingnya rata namun tengahnya menjorok)
7.       lmah gunting (tanah yang bentuknya seperti gunting).
Sumber Kisah Batara kala berasa dari lisan dan tulisan. Sum ber dari berita lisan berasal dari cerita Pantun, Wayang dan Beluk, sedangkan tulisan sumber tertulis dari naskah Sunda Kuna, yang beraksara Budha atau aksara Gunung, diperkarakan seumur dengan naskah Kidung Subrata. Naskah ini pemberian dari Friedirich, pemerihati kebudayaan Jawa dan Bali. Secara bertahap diserahkan pada bulan Mei sampai dengan April 1869. Saat ini disimpan di perpustakaan pusat, bernomor lontar 506 atau naskah Kala Purbaka. Naskah tersebut antara lain menyebutkan nama lain dari Batara Kala, sebagai berikut :
Mari haran siya :
Sang bangbang
Sang kama salah
Sang keteriti
Sang Buta Tuwa
Sedangkan tempat tinggal Batara kala disebutkan :
Cicing hanaking
Ditu kwata manuk
Lemah/pedek hingseup-ingseup
Garanggangan-garunggungan,
Lenging landak panggung ning warak
Kayu geutah, kayu getih,
Oyod kumedang-kumedung,
Rangdu kepuh karameyan,
Catang nonggang catang nonggeng
Tinggalah anakku,
Disanalah kota manuk,
Tanah padat dan pengap,
Tanah yang berbukit-bukit
Sarang landak dan kubangan badak
Kayu bergetah kayu berdarah,
Akar menjalar kemana-mana,
Pohon randu yang rimbun,
Batang pohon berserakan
Sumber Kisah Pantun yang sama dengan naskah Sunda Kuna dimungkinkan masih banyak, seperti tentang Ciung Wanara (manarah), nampak dari carita Waruga Guru. Adapun cuplikan dari naskah tersebut, sebagai berikut :
Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina. Ari dibuka, behna murangkalih, endog disileung leumkeun, keris. Tuluy diteundeunkeun murangkalih. Tuluy dirorok, dipang ninggurkeun. Lawas-lawas datang ka tegus cangcut. Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.
Bwat ciung. “Ayah, nahaeun eta?” “Ngaranna ciung, anaking.” Bot indung na, bwat bapana, bwat anakna. Pur hiber bapana. “Ayah, ka mana eta arahna?” “Piaraheunnana ka daleum dayeuh.” “Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”
Memang originalitas kisah pantun adakalanya bergeser dari awalnya, dikarenakan adanya kelemahan dari tradisi lisan, serta terlalu bebasnya para prepantun mengisahkan ceritanya, sehing ga kisah yang dituangkan dan diingat masyarakat dan penerusnya menjadi ikut bergeser.
Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda deng an berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuna. Hal ini memberi dampak terhadap nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat sehingga berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Se ni Pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk mera sakan masa keemasan sejarah dan kebudayaan masa lampau penduduk tatar Sunda.
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkira kan ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahkan keberadaan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an. Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ketepatan kepada siapa ha rus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun maka perlu ber tanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut :
Hayang nyaho di pantun ma : Langga larang, Banyakcatra, Siliwangi, Hatur wangi ; prepantun tanya.
Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun
Cerita yang dikisahkan
Ceritanya pantun berkisar tentang Anggalarang, Banyakca tra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang banyak disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Sering pula membahas masalah yang terkait dengan Uga atau totonden mangsa, seperti pantun yang di tuturkan oleh Ki Buyut Rambeng dari Bogor. Kisah yang terkenal adalah Dadap Malang Sisi Cimandiri. Biasanya dijelaskan tentang alasan runtuhnya kerajaan Pajajaran, serta meramalkan tanda-tan da akan lahirnya Pajajaran baru.
Pantun Bogor dibagi menjadi dua bagian yakni Pantun Bogor Leutik dan Pantun Bogor Gede. Pantun Bogor Leutik berkisah sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Kerajaan Pajajaran atau tentang para putri raja dan kesatria. Sedangkan Pantun Gede berkisah tentang ajaran agama Sunda, silsilah Raja Sunda, Uga, dan pola pemerintahan Kerajaan Sunda.
Dalam perkembangannya, cerita pantun yang di anggap bernilai tinggi itu terus bertambah. Sampai saat ini diperkirakan tidak kurang dari 75 judul kisah pantun. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang di sajikan secara ritual se perti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung. Pantun Bogor biasanya berjudul Kalang Sunda Makalangan, Paku jajar Beukah Kembang, Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malan Sisi Cimandiri, Pajajaran Seren Pa pak, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh Kalasima.
Judul dan cerita Pantun, sebagai berikut :


Ciung Wanara
Lutung Kasarung
Mundinglaya di Kusumah
Aria Munding Jamparing
Banyakcatra
Badak Sangorah
Badak Singa
Bima Manggala
Bima Wayang
Budak Manjor
Budug Basu
Sri Sadana
Sulanjana
Bujang Pangalasan
Burung Baok
Buyut Orenyeng
Dalima Wayang
Demung Kalagan
Deugdeug Pati Jaya
Gajah Lumantung
Gantangan Wangi
Hatur Wangi
Raden Tanjung
Senjaya Guru

Jaka Susuruh
Jalu Mantang
Jaya Mangkurat
Kembang Panyarikan
Kidang Panandri
Kidang Pananjung
Kuda Gandar
Kuda Lalean
Kuda Malela
Kuda Wangi
Langla Larang
Langga Sari
Langon Sari
Layung Kumendung
Liman Jaya Mantri
Lutung Leutik
Malang Sari
Manggung Kusuma
Matang Jaya
Rangga Katimpal
Rangga Malela
Rangga Sena
Ratu Ayu
Ratu Pakuan

Munding Jalingan
Munding Kawangi
Munding Kawati
Munding Liman
Munding Mintra
Munding Sari Jaya Mantri
Munding Wangi
Nyi Sumur Bandung
Paksi Keling
Panambang Sari
Panggung Karaton
Parenggong Jaya
Raden Mangprang di Kusumah
Raden Tegal
Rangga Sawung Galing
Rangga Gading
Siliwangi
Ringgit Sari


Pantun Bogor
Pantun Kanekes
Kalang Sunda Makalangan
Paku jajar Beukah Kembang
Pakujajar di Lawanggintung
Kujang di Hanjuang Siang
Dadap Malang Sisi Cimandiri
Pajajaran Seren Papak
Curug Sipadaweruh
Tunggul Kawung Bijil Sirung
Lawang Saketeng ka Lebak Cawene
Ronggeng Tujuh Kalasima.
           Langgasari Kolot
Langgasari Ngora
Lutung Kasarung

Rajah Bubuka / Pamunah
Sakralitas seni pantun akan sangat dirasakan ketika diawali dengan ngarajah. Pengertian Rajah di dalam kamus bahasa Sun da (Danadibrata : 2006), berarti (1) doa, atu jampe yang dinyanyi kan, sebelum memulai mantun agar selamat juru pantun maupun pe nyelenggaranya. (2) ngarajah sama hal nya dengan mohon ijin dari para Dewa-dewi, dari Sang Rumuhun sebelum mantun. Se dangkan Rajah Pamunah, adalah Rajah untuk tulakbala dan untuk mencegah bala. (Rajah : (1) doa, atu jampe nu dilagukeun, me meh prak mantun supaya salamat lahir bathin, salamat nu ngala lakonkeun, salamat nu nanggapna. (2) Ngarajah teh minangka menta widi ti para Dewa-dewi, ti sang Rumuhun memeh prak man tun. Rajah Pamunah : Rajah pikeun tulakbala jeung pikeun pang nyinglar bala).
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan seba gai berikut : penyediaan sesajen; ngukus; mengumandangkan ra jah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ke mudian ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Se bagai kesenian yang hidup sejak masa Pra Islam, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) juru pantun merupakan pembauran keduan jaman itu. Selain istigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur).
Didalam cerita pantun, rajah termasuk bagian dari cerita pan tun yang berisi pemberitahuan tentang permulaan atau akhir ceri ta. Rajah pembukaan disebut rajah bubuka, sedangkan pada bagi an akhir disebut rajah pamunah. Rajah bubuka mengandung tuju an, untuk :
1.    Tanda di mulainya kisah pantun ;
2.    memanjatkan doa selamat ;
3.    memohon ijin kepada tokoh yang dikisahkan.
Rajah bubuka yang mengandung unsur doa, berisi kata-kata pun sapun (maaf ijinkanlah), sang rumuhun (yang terdahulu), bul kukus (mengepul asap). Contoh rajah bubuka tersebut, sebagai-mana di bawah ini :
Bul Kukus mendung ka manggung
Kamanggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci ned suci
Kuring reka dia ajar ngidung
Nya ngidung carita Pantun
Ngahudang carita wayang
Nyilokakeun nyukcruk laku
Dalam perkembangan kandungan dan pemaknaan pantun mendapat pengaruh seiring dengan kayakinan yang ada di masya rakat Sunda. Hal demikian nampak dari rajah (doa atau mantra) misalnya tentang kosmologi yang menyebutkan pohaci, batara, de wa, Batara Guru (Siwa), Hiyang. Pada perkembangannya, setelah islam masuk ketatar Sunda kerap diselipkan kata-kata Allah, Nabi Muhammad, Rasul. Pengucapan kalimat ahung, aslinya aum, ke pendekan dari mantra Aum Nani Padme Hum, diganti dengan kali mat Astagfirullah aladzim. Hal ini menunjukan seni pantun dipe ngaruhi pula oleh nilai-nilai keyakinan, atau simbol-simbol kosmo logi yang ada saat itu, seperti contoh pada rajah bubuka, sebagai berikut :
(1)
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Bul kukus mendung ka manggung
Nyambuang ka awang-awang
Ka manggung neda suci
Ka dewata neda maap
Kuring rek diajar ngidung
Nya ngidung carita pantun
Ngahudang carita anu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Kadalapan keur disorang
Bok bilih nerus narutus
Bok bilih narajang alas
Palias nerus narutus
Palias narajang alas
(Carita Mundinglaya Di Kusumah)
(2)
Pun sapun
Sang kuyupu ngaraning parukuyan
Sang rupay puting ngaraning seuneu
Sang lingsir putih ngaraning menyan
Kukus nyambuang
Pangandika gusti rosul
Mangka terus ka nu alus
Ka purba ka nu kawasa
Ka nu dihin
Ka nu pasti
Kukus nyambuang
Nuja katatar pasagi handap
Ngungkab bumi tujuh lapis
Cundukna ka ratu bungsu
Ka pangeran rangga sinuhun
Ka batara naga raja
Kanu aya di sakuriling cai
(Carita Gantangan Wangi)
Rajah yang bertujuan memohon ijin kepada tokoh yang akan dikisahkan, sebagaimana contoh didalam Rajah untuk Pantun Da dap Malang Sisi Cimandiri, sebagai berikut :
Pun
Kaula dek nginjeum ngaran
Caturkeun dina beja
Lalakuna dadap malang
Nu baheula nyorang aya
Sisi kidul Cimandiri !
Paralun !
Saha nu di injeum ngarana ?
Putri bungsu Purnamasari
Mayang Pajajaran anu lenjang
Saha anu di lalakonkeun ?
Rakean Kalang Sunda
Nu engke salin rupa ....
Paralun !
Rajah Pamunah dicontohkan sebagaimana di bawah ini :
Ahung guru hiyang bayu
Sang pamunahing rajah hiang musada
Nu puguh maha mulya
Pangmunahkeun uing itu
Hiyang wosesa ti wisesa
Ratu wisesa uing wisesa
Di buana pancatengah
Langit kapunah bumi kapunah
Kapunah ku para wises
Ka wisesa ku awaking
Sumur pamunah ratu
Ngabulungbung tanpa puhun
Kula agung nya paralun
Neda panjang pangampura
Isi seluruh rajah dapat diartikan bahwa juru pantun memohon kan untuk memusnahkan segala bahaya dan aral rintangan, serta memintakan keselamatan bagi juru pantun maupun yang mende ngarkan. Juru pantun menciptakan mandala dipertunjukan, deng an cara menghadirkan kuasa-kuasa dari dunia atas, dan masuk dalam 8 mata angin, seperti pada ucapan : “Lulurung tujuh ngaban dung, Kadalapan keur disorang”. Jakob Sumardjo (2006) mengungkapkan, bahwa juru pantun menempatkan diri sebagai bagian kedelapan dari arah mata angin tidak mewakili dirinya, melainkan bagian dari adikodrati, penguasa kosmos yang kedelapan.
Setelah selesai ngarajah dilakukan paparan, berisi gambaran perilaku para tokoh atau sesuatu yang perlu di tonjolkan. Seperti dikenal dengan alam lingkungan di dalam cerita pantun. Contoh nataan dri pantun Cisolok, dalam menggambarkan kecantikan Nyi Ratna Inten, dikisahkan sebagai berikut :
Keur geulis ditambah leucir
Keur denok ditambah montok
Keur lenjang ditambah lesang
Keur weuteuh ditambah peungkeur
Kasohor nangtung galungan
Kasohor malang sigangna
Geulis leucir weuteuh peungkeur
Paranaman angin-angin
Bulu bitis museur-museur
Contoh nataan lainnya didalam cara menggambarkan aleut an menak (rombongan pembesar), sebagai berikut :
Burudul anu ti kidul
Aleutan para tumenggung
Leugeudeut aleutanana
Leugeudeut tanggeuyanana
Melengkung umbul-umbulna
Biribit ampiranana
Beleber bendera kancana
Naon cacandakanana
Bawana gadung jeung iwung
Tuntungna muncing buntung
Parabon degung jeung angklung
Alur cerita pantun dituturkan dengan gaya prosa-liris seperti dicirikan dari bahasa dengan gaya khusus dan menunjukan keka yaan sasta dan bahasa Sunda. Menggunakan irama delapan suku kata menjadi ciri bahasa puisi pantun. Bentuk pengulangan bunyi vokal dan konsonan, perulangan bunyi suku kata, perulangan ka ta, bahkan perulangan kalimat atau bagian kalimat banyak ditemu kan. Pada setiap pergantian adegan didahulu dengan ucapan :
Cag !
Teundeun di handeuleum sieum
Tunda di hanjuang siang
Paranti nyokot ninggalkeun
Kacaritakeun di ............
Sang ...........................
Makna dan Kandungan Pantun
Jakob Sumardjo (2006), seorang budayawan, penyusun Bu ku Khasanah Pantun Sunda memaparkan tentang Pertunjukan se ni Pantun dan Latar Belakang Sejarah Budaya Pantun. Dianggap sebagai arkeologi pemikiran masyarakat Sunda buhun. Pada inti nya memiliki pandangan Dasar, serta mengisahkan tentang tafsir Kosmologi Sunda buhun, seperti didalam cerita Mundinglaya Di Kusumah, Ciungwanara, Nyai Sumur Bandung, Panggung Kara ton, Lutung leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Luman tung, Lutung Kasarung, dan Sri Sadana. Terkandung pula maksud maksud dari siloka pantun, seperti tentang Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci, Lengser, Asas Tri tangtu, Asas Dalam-Luar Budaya Sunda, Arketip kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun, perempu an dalam masyarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasun-dan.
Pantun menceritakan pula tentang Primordial Sunda, seperti topografi, habitat dan budaya, pola perkampung dan rumah, religiu sitas, kosmologis, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual. Masalah primordial Sunda biasanya digambarkan didalam nataan. Dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupa kan asas primordial Sunda yaitu tritangtu, atau trilogi Budaya Sun da, tentang tilu sapamula, atau gambaran fungsi rama, resi dan ra tu sebagai satu kesatuan peneguh dunia. Sistim perkampungan Sunda menggambaekan adanya tiga fungsi, yakni tangtu, panam ping dan luar. Ketiga fungsi tersebut di tentukan berdasarkan ke-mandalaannya, sama halnya dengan yang diyakini masyarakat Ba duy dan Suku Naga di Tasikmalaya.
Khusus Pantun Bogor hanya berisi alur cerita pendek, yakni tokoh-tokoh yang berupaya lepas dari kejaran musuh, seperti ki sah Rakean Kalang Sunda di dalam Dadap Malang Sisi Cimandiri. Selanjutnya menyelipkan totonden mangsa tentang kapan Paja jaran akan jaya kembali. Kisah pelarian para putra Pajajaran terse but di uraikan dengan seksama dan penuh empati. Sang Juru Pan tun seolah-olah mengharapkan para pelarian itu dapat lepas dari kejaran musuh. Juru pantun sangat teliti di dalam menjelaskan da erah-daerah yang disinggahi, seperti tempat menangis Nyi Mas Purnamasari kelak nama daerahnya menjadi Ciwening (Cibening), kemudian tanah Cogreg, Rancamaya, petilasan mbah Badigul, Ci homas (Ciomas), Sanghyang Purwa (Gunung Gede).
Pantun pada umumnya mengandung siloka tentang segala sesuatu berasal dari yang satu, dari Yang Tunggal. Sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari ajegnya kehidupan. Kisah ini nampak dari cerita pantun yang berjudul Pakuan Pajajaran. Di silo kakan Pajajaran sebagai sentra; Pangeran Pajajaran, dan Raja ba wahan. Semakin banyak raja bawahan dan semakin luas para pa ngeran menguasai raja bawahan, maka semakin kuat pula posisi pajajaran. Ketiganya satu kesatuan yang saling melindungi. Pusat kekuasaan tidak mungkin ajeg-kokoh tanpa ditunjang oleh bawa hannya, yang dikendalikan para pangeran
Siloka juga mewarnai tentang adanya dua kutub berlawanan, akhirnya bisa saling bekerjasama, seperti di dalam kisah Pareng-gong Jaya, antara Pangeran Pajajaran dengan Parenggong Jaya, semula bertetangan, kemudian saling bekerjasama. Kisah lainnya dari cerita laki-laki dan perempuan; ada siang dan ada malam; ada panas dan ada dingin, tapi tidak mengetengahkan adanya kon flik, atau konfrontasi, melainkan komplementer, saling melengkapi, saling membutuhkan, karena melahirkan sinthesa dari seluruh pro ses dialektika, melahirkan kemajuan dan kebaikan, terutama ke-langsungan kehidupan. Tidak mungkin manusia lahir jika tidak ada ibu dan bapak. Sama ketika memahami siloka “Dua Sakarupa”, sekalipun dua tapi tetap sama. Pola tiga atau nu tilu merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh lelaki dan perempuan, dari  perkawinannya melahirkan anak. Perkawinan Dunia Atas atau Bu-ana Nyungcung dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah).
Contoh dari cerita Panggung Karaton yang dibawakan oleh Ki Aceng Tamadipura, sebagai berikut :
Teras kangkung galeuh bitung
Tapak meri dina leuwi
Tapak soang dina bantar
Tapak sireum dina batu
Kalakay pare jumarum
Sisir serit tanduk ucing
Sisir badag tanduk kuda
Kekemben layung kasunten
Kurambuan kuwung-kuwung
Tulis langit gurat mega
Panjangna sabudeur jagad
Inten sagede baligo
Inti batang kangkung adalah batang bambu
Jejak anak itik di telaga
Jejak angsa di tanah gosong
Jejak semut diatas batu
Batang padi kering seperti jarum
Sisir suri tanduk kucing
Sisir besar tanduk kuda
Berkemban langit lembayung
Aneka warna pelangi
Tulisan di langit gambar di mega
Panjangnya sebundar dunia
Intan sebesar buah beligo
Teras kangkung galeuh bitung/Tapak meri dina leuwi/Tapak soang dina bantar/Tapak sireum dina batu, menggambarkan keko-songan. Apa yang kosong itulah dunia manusia. Hidup ini kosong, maya tak berarti. Bagaimana mengetahui bahwa yang di gambar kan serba kosong adalah manusia dan dunianya?. Hal ini dijelas kan di dalam baris: Kalakay pare jumarum/Sisir serit tanduk ucing. Menggambarkan sesuatu yang keras/tegang adalah laki-laki, me-lambangkan dunia bawah. Dunia atas berazaskan perempuan (Su nan Ambu), seperti pada kata-kata : Kekemben layung kasunten. Sedangkan Tulis langit gurat mega/Panjangna sabudeur jagad, melambangkan hakekat hidup manusia, takkan pernah habis diba ca dan dipelajari. Itulah sesungguhnya langit, dunia atas, yang ko song itu sejatinya adalah bobot isi yang amat padat dan tak ternilai harganya, ibarat Inten Sagede Baligo. Sedangkan Intan, permata bermakna yang plural itu satu, yang satu itu plural – dua sakarupa. Manusia sebagai salah satu unsur plural, adalah bagian dari Yang Tunggal.
Makna dari keseluruhan, adalah : hidup manusia dan kebera daan ini seperti dunia terbentuk. Yang tampak isi bermakna, se-sungguhnya hanya kosong dan sia-sia. Dan yang tampak kosong tak berarti, sesungguhnya adalah isi dan makna hidup sejati. Hu kum serba terbalik ini dikenal waringin sungsang (pohon beringin terbalik), akarnya diatas, daun dan batangnya dibawah.akar hidup manusia itu berasal dari langit. Hidup manusia yang sejati ada di alam atas yang kosong-sunyi tersebut.
Untuk mengenal diri kita sendiri manusia harus mengenal kekosongan dunia atas. Manusia tidak akan mengenal sejati diri nya hanya bersandar pada daun-daun, ranting dan batang beri ngin hidup ini. Yang tampak dan wadag itu dapat menipu manusia menuju penemuan hakikat dirinya. Diri manusia adalah bagian da ri Diri Universal, di sanalah terdapat akarnya, asal-usulnya. Disana lah keberadaan Intan Besar, Yang Tunggal sekaligus plural.   
Prepantun
Para petutur Pantun Sunda yang terkenal di jamannya. Di Ci anjur dikenal nama R. Aria Cikondang abad ke-17, Aong Jaya La himan dan Jayawireja abad ke-19, di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung awal abad ke-20 dan Pantun Beton Wikatmana pertengahan abad ke-20, di Bogor terkenal jurupantun Ki Buyut Rombeng. Bahkan Ki Buyut Rombeng saat ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pantun Bogor. Penerus dari Ki Buyut Rombeng disebut Rakean Minda Kalangan. Jenis pantun Bogor betul-betul mewakili cerita rakyat (cacah), oleh karenanya bahasa pantun pun menggunakan gaya bahasa yang egaliter, tanpa te deng aling-aling, dan sangat dinamis. Sayangnya, pantun Bogor ti dak boleh dipelajari dalam bentuk tulisan. Konon saat ini estafet itu berada di tangan Anis Djatisunda.
Penulisan ceritapantun yang patut mendapat perhatian, dan sekaligus penghargaan dilakukan atas upaya Ajip Rosidi, dengan sebuah badan swasta yang diberinama Proyek Penelitian Pantun & Folklore Sunda. Team ini berhasil mengumpulkan kisah pantun, seperti :
1.       cerita Demung Kalagan dan kembang Panyarikan dari juru pantun Ki Kamal Lebak Wangi, Kuningan;
2.       cerita Mundinglaya Dikusumah dan Panggung Karaton dari Ki Aceng Tamadipura, Situraja, Sumgedang;
3.       cerita Parenggong Jaya dari Ki Samid, Cisolok Sukabumi;
4.       cerita Gantangan Wargi dari Ki Asom, Pringkasap, Subang; Cerita Ciung Wanara dari Ki Subarna, Ciwidey, Bandung. 
Dewasa ini perkembangan seni Pantun sangat memprihatin kan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bah wa seni Pantun dapat bertahan tanpa harus meleburkan diri men jadi satu bentuk kesenian pop, sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa lalu, terutama pada fung si yang sakral menjadi profan. (Agus Setia Permana).
Sumber Bacaan :
Sumardjo, Jakob
2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.
Gunawan, Aditia & Agung Kriswanti
Kala Purbaka, Kisah Batara Kala dan Teks Sunda Kuna, didalam Pulung Karaton Pajajaran dan esai-esai lainnya mengenai kebudayaan Sunda. Pusat Studi Sunda – 8, 2009.
Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

Kamis, 31 Maret 2011

Tri Tangtu

Sejarah kebudayaan masyarakat Sunda di masa lalu menun jukan kepada sifatnya yang mistis-spiritual, dikatagorikan kedalam masyarakat religius. Masyarakat religius sangat berbeda dengan masyarakat modern-sekuler yang memberikan jarak distansi an tara dia dan diluar dirinya, antara subyek dengan obyek, sehingga wajar jika manusia modern-sekuler lebih mementingkan dirinya di bandingkan orang lain yang berposisi diluar dirinya. Didalam pa radigma yang religius, manusia harus partisipatif aktif terhadap lingkungan dan alam semesta. Mereka menyadari bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam semesta, memerlukan manusia lain nya ; sangat tergantung terhadap alam, yang tak dapat dikuasai, sehingga manusia religius akan selalu menjaga harmoni hidupnya dengan alam dan lingkungan.


Kebudayaan religius atau mistis-spiritial membagi sumber pe ngetahuan kedalam tiga tahap (Sumardjo : 2006, hal.22). Pertama, subyek manusia berhadapan dan berjarak dengan obyek pe ngetahuan, atau antara dirinya dengan obyek pengetahuan ada jaraknya sama halnya dengan yang dipahami masyarakat modern. Sehngga manusia selalu berupaya untuk menggapai pengetahuan tersebut. Pada akhirnya manusia yang mistis–spritual atau religius mengenal pula pengetahuan atau ilmu, seperti ilmu obat-obatan, bertani dan lainnya. Kedua, antara subyek (dirinya) dengan obyek (pengetahuan) tidak ada jarak, atau partisipatif. Seperti dapat dilihat dari pepatah tepo sliro, tenggang rasa ; ngaragap angen sorangan ; tat twan asi, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.


Paradigma demikian bersumber pada faham totalitas dan menjadi pemikiran penting didalam kebudayaan mistis-spiritual. Pengetahuan dengan dirinya menjadi tidak ada batasnya, seperti didalam kisah, legenda danmitos-mitos, bahwa manusia bisa berbicara dengan hewan (Angling Dharma) ; manusia berubah jadi harimau (mitos Kean Santang : dan kerbau putih berubah menjadi Dewa. Contoh lain dari faham totalitas yang tidak membatasi antara masyarakat ma nusia dengan masyarakat di dalam bumi, seperti kisah Purnama Alam, Mundinglaya Dikusumah dan kisah-kisah keajaiban lainnya. Kisah-kisah diatas saat ini tidak dapat dikatagorikan sebagai hal yang rasional, namun tetap disebut rasional dalam katagori penge tahuan Sunda pramodern. Fenomena ini lajim disebut sebagai totalitas.Ketiga, batas pengetahuan dari kebudayaan mistis–spiritual adalah pengetahuan dan pengalaman yang di dalamnya tidak ada lagi subyek dan obyek. Hal ini disebut puncak mistisme, seperti pengetahuan suwung awang uwung, awang awang uwung uwung, kosong dalam kosong adalah isi yang sejati-jatinya. Puncak pengalaman mistisisme ini tidak semua manusia mampu dan memiliki pengetahuan ini.


Dilihat dari cara berpikir masyarakat modern seperti saat ini, pada umumnya hanya berhenti pada tahap pertama, tidak mengenal lagi cara berpikir tahap kedua dan ketiga, sehingga miskin dalam pengetahuan spiritual dan moralitas, memandang persoalan secara homogen (tunggal), padahal makna ruang dan waktu tidak tunggal, homogen.


Pola Budaya masyarakat agraris pada umumnya homogen. Diantaranya memiliki Pola Budaya Tiga, seperti dalam kehidupan masyarakat adat Bugis, Batak, Dayak, Minangkabau dan Sunda. Pola Budaya Tiga nampak dari struktur Kampung Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Perkampungan Cipta Gelar terdiri dari kelom pok kampung besar yang berangota tiga kampung. Masing-masing kampung memiliki peranan yang berbeda. Masyarakat Minangkabau menyebutnya Tigo Tungku Sajarangan atau Pola Nan Tigo. Pola Tigo Tungku Sajarangan merupakan satu kesatuan antara Ninik Mamak (kepala ada) ; Alim Ulama (pemuka agama) ; dan Cerdik Pandai (tokoh masyarakat). Selain dari wujud dan fung si para tokoh, nampak pula dari kampungannya (nagari). Basis budaya Minang dulu diakui berpuncak pada luhak nan tigo, yakni tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, dengan adagium adat ; adat manurun, syara mandaki, maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan perkembangan syara dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan puncak buda yanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung.


Pola Budaya
Sunda Pola Budaya Sunda termasuk pada pola budaya tiga dalam sistem budaya primordial. Masyarakat tradisional Sunda menyebut Pola Tri Tangtu; pola Nu Tilu ; Tilu Sapamalu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda. Pola tiga telah di dokumentasikan sejak tahun 1440 (Saka) atau 1518 M, dalam Koropak 630 yang dikenal dengan Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan. Intinya satu kesatuan dari fungsi ratu ; rama ; dan resi. Naskah tersebut jika di hubungan dengan naskah Kosmologi Sunda menguraikan tentang tiga fungsi diatas, yakni bayu, sabda, dan hedap. Menurut naskah tersebut : setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta, agar kelak bisa kembali ke kodratnya.


Pengertian mengenai tugas dan fungsi yang terkandung di dalam Tri Tangtu merupakan tiga ketentuan di dunia yang disebut peneguh dunia. Naskah Sanghyang Siksa nangtukeun (menegas kan) : Ini tri tangtu di bumi. Bayu kita pinahka prebu, sabda kita pinah ka rama. hedap kita pinahka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaran na.Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tri tangtu pineguh ning bwana. Tri warga hurip ning jagat. Ya sinangguh tri tangtu di nu reya ngaranya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Ke sentosaan kita ibarat raja ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehi dupan di dunia. Ya disebut tri tangtu pada orang banyak namanya. Tugas dan fungsi Tri Tangtu saat ini masih dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy, tentang mengelola perkampungan nya dan melaksanakan enam fungsi pokoknya. Tri Tangtu terdiri atas Resi, Rama, Ratu. Ketiga komponen tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tapi dalam jajaran yang setara. Fungsi Resi : mikukuhkeun agama Sunda ; ngabaratakeun nusa telung puluh telu ; bagawan sawidak lima ; panca salawe nagara, atau na paan. Tapi tapi yang dimaksud adalah menanungi, mengayomi, memelihara, mengelola dan sebagainya yang produktif untuk ke langsungan fungsinya. Fungsi Rama : ngasuh ratu ngajak menak dalam arti menjadi penasehat pihak eksekutif. Fungsi Ratu : Nga heuyeuk dayeuh ; ngolah nagara, atau sebagai pelaksana peme rintahan. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jika telah berpadu maka dapat memperteguh dunia.Tri Tangtu ditemukan dalam ungkapan masyarakat tradisio nal Sunda, antara lain dalam tradisi masyarakat Cipta Gelar, Suka bumi Selatan, yakni : Tilu Sapamalu - Dua Sakarupa - Hiji eta-eta keneh. Bilangan tersebut terbalik, dari tiga, dua kemudian satu, me-ngandung arti dari banyak menjadi atau menuju (yang) satu, yakni asal usul terjadinya keberadaan yaitu dari yang satu, atau mengembalikan kepada yang satu.


Dikatakan tiga sapamalu, ka rena yang tiga itu kesatuan dan yang satu itu selalu berhubungan dengan tiga (Sumardjo : 2006).Mitologi Sunda Buhun membicarakan eksistensi tiga dunia, yakni Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Itulah Tilu Sa pamalu. Pola tiga berasal dari dua sakarupa, artinya banyak (plu ral), namun substansi dari banyak adalah dua (karena lebih dari satu), yakni : pasangan atau kembar dan saling berlawanan, seperti ada laki-laki dan ada perempuan. Fenomen ruang juga ada dua, yakni ada siang dan ada malam ; ada bumi dan ada langit, namun menjadi tiga, seperti adanya manusia karena ada kedua orang tuanya (ayah dan ibu) ; adanya angin karena ada udara pa nas dan udara dingin. Namun yang dua pasangan itu, berasal dari yang satu, atau hiji eta-eta kenah. Itulah Hyang Tunggal.Tuntunan Kepemimpinan.Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yakni : Rama ; Resi ; dan Prabu. Rama adalah pendiri kampung yang menjadi pemim pin masyarakat dan keturunannya serta yang mewarisi Prabu ada lah raja, pemegang kekuasaan. Setiap manusia dianjurkan agar selalu berusaha memiliki bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja) ; sabda pinaka rama (ucapan seorang rama) ; dan hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Ketiga tokoh tersebut kesehariannya memiliki tugas, yakni :Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palang ka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerinta han menjadi tanggung jawab raja sebagai pemegang kekuasaan).Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitan-nya, pada muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karenanya, diantara ketiganya : haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang saka beh, tuha kalawan anwam. jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda) Pola kepemimpinan dimaksud saat ini masih dilaksanakan di Kanekes.


Masyarakat Baduy menyebut Tangtu Telu, nampak dari fungsi ketiga orang Puun, yakni posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Ketiga Puun kesehariannya berkuasa penuh di daerah masing-masing. Dalam hal menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu di-berlakukan secara umum .SpiritualitasPola Tri Tangtu tercermin di dalam kosmologi masyarakat tra disional Sunda, yakni (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sanghyang Kersa, yang letaknya paling atas ; (2) Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah ; dan (3) Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Masyarakat Baduy meyakini ada tiga pasang kata, semua saling melengkapi fungsinya dan ada hubungan dengan tugasnya seba gai pengemban wiwitan di Buana Panca Tengah. 


Pikukuh menurut Urang Baduy, sebagai berikut : Antara wiwitan jeung nu rek ngabangun nagara waktu babagi disawargaloka dibere atawa dibekelan tugas masing-masing, nya eta (1) di wiwitan aya carek, diluar wiwitan aya coret ; (2) diwiwitan aya lisan, di luar wiwitan aya tulisan (3) di wiwitan aya khabar, di luar wiwitan aya gambar. (Asep Kurnia : 2010). Antara wiwitan dengan yang akan membangun negara ketika di sorga diberikan ata dibekali tugs masing-masing, yaitu : (1) di wiwit an ada larangan diluar wiwitan ada tanda ; (2) di wiwitan ada lisan di luar wiwitan ada lisan ; (3) di wiwitan ada kabar diluar wiwitan ada gambar. 


Masyarakat Baduy sangat yakin jika masing-masing manusia telah diberikan tugas sejak belum lahir kedunia, yakni yang meng-abdi (menjaga) wiwitan dan mengabdi (mengabdi) negara. Tugas dimaksud berkaitan dengan keseimbangan hidup dalam menjaga masalah spiritual dan keduniaan. Fungsinya ada tiga yang disebut Tiga Sapamalu ; dua jenis tugas disebut dua saka rupa, sama-sa ma memikul tugas kehidupan ; semuanya berasal dari satu sema ngat, yakni menjalankan tugas dari pencipta.Contoh lannya ditemukan di dalam trasi masyarakat Naga, yang masyarakat tradisional Sunda yang berada di daerah Tasik, penganut agama Islam. Selain melaksankan syariat agama islam juga melaksanakan tradisi yang biasa dilakukan pendahulunya. Diantara tradisi yang menyangkut masalah spiritual yakni melaku kan nyepi namun berbeda dengan nyepi yang dilakukan oleh ma syarakat Bali. 


Masyarakat Naga melakukan nyepi tiga kali dalam satu minggu. Bertujuan mengembalikan dan memusatkan kekua tan-kekuatan yang hilang dalam diri dan jiwa yang kotor dan ber usaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. Namun kenapa harus tiga kali dalam seminggu?. mungkin inilah pemaknaan dari Tri Tangtu dan menyeimbangkan unsur bayu ; sabda dan hedap.LingkunganPola Tri Tangtu Sunda ditemukan pula didalam Sistim penge lolaan Kabuyutan, seperti yang disebut di dalam Amanat Galung gung dan Prasasti Kabantenan. Pola di Kabuyutan Sunda tercer min dari fungsi Resi (pemuka agama/Wiku); ratu (raja Sunda); dan Rama (tetua kampung atau yang dituakan). 


Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang, fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).


Perkampungannya ditentukan dari bobot dari kemandalaannya, yakni Tangtu ; Panamping ; Dangka. Wilayah Tangtu termasuk yang terkuat Kemandalaannya. Selain terletak di daerah yang paling dalam juga tugasnya untuk menjaga wiwitan. Perkampungan mayarakat Naga memiliki tiga elemen Pola Pembagian Lahan, yakni Kawasan Suci; Kawasan Bersih ; dan Ka wasan Kotor. Fungsi lahan dimaksud, sebagai berikut :(1) Kawasan Suci :Lokasi yang disebut kawasan suci terdapat tiga tempat, yakni leuweung larangan ; leuweung tutupan ; dan pekuburan masya rakat Naga. Disebut kawasan suci karena tidak boleh dikunju ngi sembarang orang, harus dijaga kesucian, kelestarian dari pengaruh luar, serta diawasi setiap saat. Leuweung larangan, ditumbuhi pohon-pohon besar, dilarang untuk dikunjungi sembarang orang da, banyak tabu. Di tempat ini leluhur mereka dimakamkan.


Leuweung tutupan atau leuweung biuk. Ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Leuweung ini sangat mempengaruhi iklim sekitar perkampungan Naga, bahkan dijadikan sebagai sumber kehidupan.Pemakaman Masyarakat Naga, tempat dimana mereka di-makamkan ketika saatnya tiba, terletak ditempat yang lebih tinggi dari pemukiman, namun dekat leuweung larangan.(2) Kawasan Bersih :Kawasan ini terletak dipemukiman Kampung Naga. Terdapat rumah-rumah dengan arsitek Sunda lama. Di kawasan bersih terdapat leuit ; Bale patemon ; Bumi Ageung.Leuit adalah lumbung padi, tempat penyimpan padi atau gabah hasil panen.Bale Patemon atau balai pertemuan, digunakan pada saat melakukan musyawarah atau digunakan pula untuk menerima kunjungan tamu. Bangunan ini terletak di dekat bangunan Masjid.


Bumi Ageung atau bangunan besar, merupakan bangunan tanpa jendela. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan ba rang-barang pusaka. Bangunan ini dikelilingi Pager Jaga dan ti dak boleh dimasuki sembarangan orang, kecuali seijin Kuncen (juru kunci). (3) Kawasan Kotor :Terletak disebelah Sungai Ciwulan, sekaligus batas wilayah Kampung Naga. Kawasan ini digunakan untuk kegiatan sehari-hari penduduk kampung naga. 


Menurut naskah Sanghyang Siksa, kawasan kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbu- ang.Inilah gambaran umum tentang Tilu Sapamalu ; Tri Tangtu ; Nu Tilu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda, ber ikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Trilogi Sunda menun jukan adanya harmoni dalam kehidupan kosmos. Fungsi dari Tri Tangtu sebagai peneguh dunia, dilambangkan dengan raja seba gai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (agus setia permana)


Sumber bacaan :

Sumardjo, Jakob

2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.

Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960