Senin, 11 April 2011

Seni Pantun

Pantun Sunda saat ini sudah hampir musnah tergeser oleh kesenian pop, namun pengaruh kesenian pop itu sendiri sangat sulit mempengaruhi cerita-cerita Pantun, kecuali perubahan instru-men, seperti masuknya tarawangsa atau rebab, berubahnya alat musik kecapi, yang semula bedawai tujuh (kacapi Baduy) namun sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung, dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Laras yang digunakan untuk mengiringi kacapi tersebut adalah pe log, selanjutnya banyak menggunakan laras salendro.
Di masa lalu pantun diapresiasi bukan hanya sekedar seni, melain makna dari kisah yang dituturkan tukang mantun (petutur pantun). Pantun Sunda sama halnya de ngan teater tutur di wilayah Indonesia lainnya, seperti kentrung di Jawa Timur, jembung di Banyumas, warahan di Lampung, ding- dong di Gayo, sinrili di Sulawesi Selatan, bakaba di Minangkabau.
Pertunjukan pantun dilakukan pada malam hari. Oleh Jakob Sumardjo diistilah di luar waktu manusia atau waktu suci, terutama yang ditujukan untuk acara ngaruwat (ruatan), biasanya dimulai te ngah malam sampai hampir terbitnya matahari. Seni Pantun disa jikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk, yakni untuk hiburan dan acara ritual ngaruat (ruatan). Cerita untuk hiburan biasanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pan tun, sedangkan untuk acara ritual (ngaruat), sama halnya dengan yang biasa dilakukan dalam pertunjukan wayang.
Ngaruat
Ngaruat asal kata dari ruat. Menurut kamus bahasa Sunda (Danadibrata : 2006), berarti menyelamatkan barang baru atau ma nusia agar bermanfaat, panjang umur, singkatnya agar selamat du nia dan ahirat. (Kecap pagawean kariaan nyalametkeun barang anyar atawa Jelema supaya awet kapakena, genah dipibanda, panjang umurna, pendekna supaya salamet dunia aherat).
Kisah yang biasanya digunakan untuk acara ngaruat adalah cerita Batara Kala, Kama Salah atau Murwakala. Biasanya yang di ruat adalah :
1.       anak tunggal,
2.       nanggung bugang (anak yang adik dan kakaknya meninggal),
3.       kulah dihapit kupancuran (anak pe rempuan yang adik dan kakaknya laki -laki),
4.       pancuran di hapit ku kulah (anak laki-laki yang kakak dan adiknya pe rempuan),
5.       pandawa lima (anak laki-laki lima orang).
6.       rumah sujen (tanah yang sekelilingnya rata namun tengahnya menjorok)
7.       lmah gunting (tanah yang bentuknya seperti gunting).
Sumber Kisah Batara kala berasa dari lisan dan tulisan. Sum ber dari berita lisan berasal dari cerita Pantun, Wayang dan Beluk, sedangkan tulisan sumber tertulis dari naskah Sunda Kuna, yang beraksara Budha atau aksara Gunung, diperkarakan seumur dengan naskah Kidung Subrata. Naskah ini pemberian dari Friedirich, pemerihati kebudayaan Jawa dan Bali. Secara bertahap diserahkan pada bulan Mei sampai dengan April 1869. Saat ini disimpan di perpustakaan pusat, bernomor lontar 506 atau naskah Kala Purbaka. Naskah tersebut antara lain menyebutkan nama lain dari Batara Kala, sebagai berikut :
Mari haran siya :
Sang bangbang
Sang kama salah
Sang keteriti
Sang Buta Tuwa
Sedangkan tempat tinggal Batara kala disebutkan :
Cicing hanaking
Ditu kwata manuk
Lemah/pedek hingseup-ingseup
Garanggangan-garunggungan,
Lenging landak panggung ning warak
Kayu geutah, kayu getih,
Oyod kumedang-kumedung,
Rangdu kepuh karameyan,
Catang nonggang catang nonggeng
Tinggalah anakku,
Disanalah kota manuk,
Tanah padat dan pengap,
Tanah yang berbukit-bukit
Sarang landak dan kubangan badak
Kayu bergetah kayu berdarah,
Akar menjalar kemana-mana,
Pohon randu yang rimbun,
Batang pohon berserakan
Sumber Kisah Pantun yang sama dengan naskah Sunda Kuna dimungkinkan masih banyak, seperti tentang Ciung Wanara (manarah), nampak dari carita Waruga Guru. Adapun cuplikan dari naskah tersebut, sebagai berikut :
Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina. Ari dibuka, behna murangkalih, endog disileung leumkeun, keris. Tuluy diteundeunkeun murangkalih. Tuluy dirorok, dipang ninggurkeun. Lawas-lawas datang ka tegus cangcut. Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.
Bwat ciung. “Ayah, nahaeun eta?” “Ngaranna ciung, anaking.” Bot indung na, bwat bapana, bwat anakna. Pur hiber bapana. “Ayah, ka mana eta arahna?” “Piaraheunnana ka daleum dayeuh.” “Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”
Memang originalitas kisah pantun adakalanya bergeser dari awalnya, dikarenakan adanya kelemahan dari tradisi lisan, serta terlalu bebasnya para prepantun mengisahkan ceritanya, sehing ga kisah yang dituangkan dan diingat masyarakat dan penerusnya menjadi ikut bergeser.
Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda deng an berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuna. Hal ini memberi dampak terhadap nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat sehingga berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Se ni Pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk mera sakan masa keemasan sejarah dan kebudayaan masa lampau penduduk tatar Sunda.
Pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Pan tun dituliskan didalam naskah Siksa Kandang Karesyan, diperkira kan ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahkan keberadaan pantun sudah ada sejak tahun 1400-an. Naskah Siksa Kandang Karesyan mencantumkan pantun dalam masalah ketepatan kepada siapa ha rus bertanya. Jika ingin mengetahui cerita Pantun maka perlu ber tanya kepada jurupantun. Naskah tersebut, sebagai berikut :
Hayang nyaho di pantun ma : Langga larang, Banyakcatra, Siliwangi, Hatur wangi ; prepantun tanya.
Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun
Cerita yang dikisahkan
Ceritanya pantun berkisar tentang Anggalarang, Banyakca tra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang banyak disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Sering pula membahas masalah yang terkait dengan Uga atau totonden mangsa, seperti pantun yang di tuturkan oleh Ki Buyut Rambeng dari Bogor. Kisah yang terkenal adalah Dadap Malang Sisi Cimandiri. Biasanya dijelaskan tentang alasan runtuhnya kerajaan Pajajaran, serta meramalkan tanda-tan da akan lahirnya Pajajaran baru.
Pantun Bogor dibagi menjadi dua bagian yakni Pantun Bogor Leutik dan Pantun Bogor Gede. Pantun Bogor Leutik berkisah sekitar kehidupan sehari-hari masyarakat Kerajaan Pajajaran atau tentang para putri raja dan kesatria. Sedangkan Pantun Gede berkisah tentang ajaran agama Sunda, silsilah Raja Sunda, Uga, dan pola pemerintahan Kerajaan Sunda.
Dalam perkembangannya, cerita pantun yang di anggap bernilai tinggi itu terus bertambah. Sampai saat ini diperkirakan tidak kurang dari 75 judul kisah pantun. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuna sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang di sajikan secara ritual se perti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung. Pantun Bogor biasanya berjudul Kalang Sunda Makalangan, Paku jajar Beukah Kembang, Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malan Sisi Cimandiri, Pajajaran Seren Pa pak, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh Kalasima.
Judul dan cerita Pantun, sebagai berikut :


Ciung Wanara
Lutung Kasarung
Mundinglaya di Kusumah
Aria Munding Jamparing
Banyakcatra
Badak Sangorah
Badak Singa
Bima Manggala
Bima Wayang
Budak Manjor
Budug Basu
Sri Sadana
Sulanjana
Bujang Pangalasan
Burung Baok
Buyut Orenyeng
Dalima Wayang
Demung Kalagan
Deugdeug Pati Jaya
Gajah Lumantung
Gantangan Wangi
Hatur Wangi
Raden Tanjung
Senjaya Guru

Jaka Susuruh
Jalu Mantang
Jaya Mangkurat
Kembang Panyarikan
Kidang Panandri
Kidang Pananjung
Kuda Gandar
Kuda Lalean
Kuda Malela
Kuda Wangi
Langla Larang
Langga Sari
Langon Sari
Layung Kumendung
Liman Jaya Mantri
Lutung Leutik
Malang Sari
Manggung Kusuma
Matang Jaya
Rangga Katimpal
Rangga Malela
Rangga Sena
Ratu Ayu
Ratu Pakuan

Munding Jalingan
Munding Kawangi
Munding Kawati
Munding Liman
Munding Mintra
Munding Sari Jaya Mantri
Munding Wangi
Nyi Sumur Bandung
Paksi Keling
Panambang Sari
Panggung Karaton
Parenggong Jaya
Raden Mangprang di Kusumah
Raden Tegal
Rangga Sawung Galing
Rangga Gading
Siliwangi
Ringgit Sari


Pantun Bogor
Pantun Kanekes
Kalang Sunda Makalangan
Paku jajar Beukah Kembang
Pakujajar di Lawanggintung
Kujang di Hanjuang Siang
Dadap Malang Sisi Cimandiri
Pajajaran Seren Papak
Curug Sipadaweruh
Tunggul Kawung Bijil Sirung
Lawang Saketeng ka Lebak Cawene
Ronggeng Tujuh Kalasima.
           Langgasari Kolot
Langgasari Ngora
Lutung Kasarung

Rajah Bubuka / Pamunah
Sakralitas seni pantun akan sangat dirasakan ketika diawali dengan ngarajah. Pengertian Rajah di dalam kamus bahasa Sun da (Danadibrata : 2006), berarti (1) doa, atu jampe yang dinyanyi kan, sebelum memulai mantun agar selamat juru pantun maupun pe nyelenggaranya. (2) ngarajah sama hal nya dengan mohon ijin dari para Dewa-dewi, dari Sang Rumuhun sebelum mantun. Se dangkan Rajah Pamunah, adalah Rajah untuk tulakbala dan untuk mencegah bala. (Rajah : (1) doa, atu jampe nu dilagukeun, me meh prak mantun supaya salamat lahir bathin, salamat nu ngala lakonkeun, salamat nu nanggapna. (2) Ngarajah teh minangka menta widi ti para Dewa-dewi, ti sang Rumuhun memeh prak man tun. Rajah Pamunah : Rajah pikeun tulakbala jeung pikeun pang nyinglar bala).
Secara umum pola pertunjukan pantun dapat diurutkan seba gai berikut : penyediaan sesajen; ngukus; mengumandangkan ra jah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ke mudian ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas. Se bagai kesenian yang hidup sejak masa Pra Islam, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) juru pantun merupakan pembauran keduan jaman itu. Selain istigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur).
Didalam cerita pantun, rajah termasuk bagian dari cerita pan tun yang berisi pemberitahuan tentang permulaan atau akhir ceri ta. Rajah pembukaan disebut rajah bubuka, sedangkan pada bagi an akhir disebut rajah pamunah. Rajah bubuka mengandung tuju an, untuk :
1.    Tanda di mulainya kisah pantun ;
2.    memanjatkan doa selamat ;
3.    memohon ijin kepada tokoh yang dikisahkan.
Rajah bubuka yang mengandung unsur doa, berisi kata-kata pun sapun (maaf ijinkanlah), sang rumuhun (yang terdahulu), bul kukus (mengepul asap). Contoh rajah bubuka tersebut, sebagai-mana di bawah ini :
Bul Kukus mendung ka manggung
Kamanggung neda papayung
Ka dewata neda suka
Ka pohaci ned suci
Kuring reka dia ajar ngidung
Nya ngidung carita Pantun
Ngahudang carita wayang
Nyilokakeun nyukcruk laku
Dalam perkembangan kandungan dan pemaknaan pantun mendapat pengaruh seiring dengan kayakinan yang ada di masya rakat Sunda. Hal demikian nampak dari rajah (doa atau mantra) misalnya tentang kosmologi yang menyebutkan pohaci, batara, de wa, Batara Guru (Siwa), Hiyang. Pada perkembangannya, setelah islam masuk ketatar Sunda kerap diselipkan kata-kata Allah, Nabi Muhammad, Rasul. Pengucapan kalimat ahung, aslinya aum, ke pendekan dari mantra Aum Nani Padme Hum, diganti dengan kali mat Astagfirullah aladzim. Hal ini menunjukan seni pantun dipe ngaruhi pula oleh nilai-nilai keyakinan, atau simbol-simbol kosmo logi yang ada saat itu, seperti contoh pada rajah bubuka, sebagai berikut :
(1)
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Astagfirullah hal adim
Bul kukus mendung ka manggung
Nyambuang ka awang-awang
Ka manggung neda suci
Ka dewata neda maap
Kuring rek diajar ngidung
Nya ngidung carita pantun
Ngahudang carita anu baheula
Lulurung tujuh ngabandung
Kadalapan keur disorang
Bok bilih nerus narutus
Bok bilih narajang alas
Palias nerus narutus
Palias narajang alas
(Carita Mundinglaya Di Kusumah)
(2)
Pun sapun
Sang kuyupu ngaraning parukuyan
Sang rupay puting ngaraning seuneu
Sang lingsir putih ngaraning menyan
Kukus nyambuang
Pangandika gusti rosul
Mangka terus ka nu alus
Ka purba ka nu kawasa
Ka nu dihin
Ka nu pasti
Kukus nyambuang
Nuja katatar pasagi handap
Ngungkab bumi tujuh lapis
Cundukna ka ratu bungsu
Ka pangeran rangga sinuhun
Ka batara naga raja
Kanu aya di sakuriling cai
(Carita Gantangan Wangi)
Rajah yang bertujuan memohon ijin kepada tokoh yang akan dikisahkan, sebagaimana contoh didalam Rajah untuk Pantun Da dap Malang Sisi Cimandiri, sebagai berikut :
Pun
Kaula dek nginjeum ngaran
Caturkeun dina beja
Lalakuna dadap malang
Nu baheula nyorang aya
Sisi kidul Cimandiri !
Paralun !
Saha nu di injeum ngarana ?
Putri bungsu Purnamasari
Mayang Pajajaran anu lenjang
Saha anu di lalakonkeun ?
Rakean Kalang Sunda
Nu engke salin rupa ....
Paralun !
Rajah Pamunah dicontohkan sebagaimana di bawah ini :
Ahung guru hiyang bayu
Sang pamunahing rajah hiang musada
Nu puguh maha mulya
Pangmunahkeun uing itu
Hiyang wosesa ti wisesa
Ratu wisesa uing wisesa
Di buana pancatengah
Langit kapunah bumi kapunah
Kapunah ku para wises
Ka wisesa ku awaking
Sumur pamunah ratu
Ngabulungbung tanpa puhun
Kula agung nya paralun
Neda panjang pangampura
Isi seluruh rajah dapat diartikan bahwa juru pantun memohon kan untuk memusnahkan segala bahaya dan aral rintangan, serta memintakan keselamatan bagi juru pantun maupun yang mende ngarkan. Juru pantun menciptakan mandala dipertunjukan, deng an cara menghadirkan kuasa-kuasa dari dunia atas, dan masuk dalam 8 mata angin, seperti pada ucapan : “Lulurung tujuh ngaban dung, Kadalapan keur disorang”. Jakob Sumardjo (2006) mengungkapkan, bahwa juru pantun menempatkan diri sebagai bagian kedelapan dari arah mata angin tidak mewakili dirinya, melainkan bagian dari adikodrati, penguasa kosmos yang kedelapan.
Setelah selesai ngarajah dilakukan paparan, berisi gambaran perilaku para tokoh atau sesuatu yang perlu di tonjolkan. Seperti dikenal dengan alam lingkungan di dalam cerita pantun. Contoh nataan dri pantun Cisolok, dalam menggambarkan kecantikan Nyi Ratna Inten, dikisahkan sebagai berikut :
Keur geulis ditambah leucir
Keur denok ditambah montok
Keur lenjang ditambah lesang
Keur weuteuh ditambah peungkeur
Kasohor nangtung galungan
Kasohor malang sigangna
Geulis leucir weuteuh peungkeur
Paranaman angin-angin
Bulu bitis museur-museur
Contoh nataan lainnya didalam cara menggambarkan aleut an menak (rombongan pembesar), sebagai berikut :
Burudul anu ti kidul
Aleutan para tumenggung
Leugeudeut aleutanana
Leugeudeut tanggeuyanana
Melengkung umbul-umbulna
Biribit ampiranana
Beleber bendera kancana
Naon cacandakanana
Bawana gadung jeung iwung
Tuntungna muncing buntung
Parabon degung jeung angklung
Alur cerita pantun dituturkan dengan gaya prosa-liris seperti dicirikan dari bahasa dengan gaya khusus dan menunjukan keka yaan sasta dan bahasa Sunda. Menggunakan irama delapan suku kata menjadi ciri bahasa puisi pantun. Bentuk pengulangan bunyi vokal dan konsonan, perulangan bunyi suku kata, perulangan ka ta, bahkan perulangan kalimat atau bagian kalimat banyak ditemu kan. Pada setiap pergantian adegan didahulu dengan ucapan :
Cag !
Teundeun di handeuleum sieum
Tunda di hanjuang siang
Paranti nyokot ninggalkeun
Kacaritakeun di ............
Sang ...........................
Makna dan Kandungan Pantun
Jakob Sumardjo (2006), seorang budayawan, penyusun Bu ku Khasanah Pantun Sunda memaparkan tentang Pertunjukan se ni Pantun dan Latar Belakang Sejarah Budaya Pantun. Dianggap sebagai arkeologi pemikiran masyarakat Sunda buhun. Pada inti nya memiliki pandangan Dasar, serta mengisahkan tentang tafsir Kosmologi Sunda buhun, seperti didalam cerita Mundinglaya Di Kusumah, Ciungwanara, Nyai Sumur Bandung, Panggung Kara ton, Lutung leutik, Kuda Wangi, Kidang Panandri, Gajah Luman tung, Lutung Kasarung, dan Sri Sadana. Terkandung pula maksud maksud dari siloka pantun, seperti tentang Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal, Sunan Ambu, Pohaci, Lengser, Asas Tri tangtu, Asas Dalam-Luar Budaya Sunda, Arketip kepemimpinan Sunda, kosmologi rumah Sunda, keraton Sunda dalam pantun, perempu an dalam masyarakat Sunda lama, dan kuburan kosong di Pasun-dan.
Pantun menceritakan pula tentang Primordial Sunda, seperti topografi, habitat dan budaya, pola perkampung dan rumah, religiu sitas, kosmologis, humor Sunda, akar budaya, dan alam pikiran mistis-spiritual. Masalah primordial Sunda biasanya digambarkan didalam nataan. Dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupa kan asas primordial Sunda yaitu tritangtu, atau trilogi Budaya Sun da, tentang tilu sapamula, atau gambaran fungsi rama, resi dan ra tu sebagai satu kesatuan peneguh dunia. Sistim perkampungan Sunda menggambaekan adanya tiga fungsi, yakni tangtu, panam ping dan luar. Ketiga fungsi tersebut di tentukan berdasarkan ke-mandalaannya, sama halnya dengan yang diyakini masyarakat Ba duy dan Suku Naga di Tasikmalaya.
Khusus Pantun Bogor hanya berisi alur cerita pendek, yakni tokoh-tokoh yang berupaya lepas dari kejaran musuh, seperti ki sah Rakean Kalang Sunda di dalam Dadap Malang Sisi Cimandiri. Selanjutnya menyelipkan totonden mangsa tentang kapan Paja jaran akan jaya kembali. Kisah pelarian para putra Pajajaran terse but di uraikan dengan seksama dan penuh empati. Sang Juru Pan tun seolah-olah mengharapkan para pelarian itu dapat lepas dari kejaran musuh. Juru pantun sangat teliti di dalam menjelaskan da erah-daerah yang disinggahi, seperti tempat menangis Nyi Mas Purnamasari kelak nama daerahnya menjadi Ciwening (Cibening), kemudian tanah Cogreg, Rancamaya, petilasan mbah Badigul, Ci homas (Ciomas), Sanghyang Purwa (Gunung Gede).
Pantun pada umumnya mengandung siloka tentang segala sesuatu berasal dari yang satu, dari Yang Tunggal. Sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari ajegnya kehidupan. Kisah ini nampak dari cerita pantun yang berjudul Pakuan Pajajaran. Di silo kakan Pajajaran sebagai sentra; Pangeran Pajajaran, dan Raja ba wahan. Semakin banyak raja bawahan dan semakin luas para pa ngeran menguasai raja bawahan, maka semakin kuat pula posisi pajajaran. Ketiganya satu kesatuan yang saling melindungi. Pusat kekuasaan tidak mungkin ajeg-kokoh tanpa ditunjang oleh bawa hannya, yang dikendalikan para pangeran
Siloka juga mewarnai tentang adanya dua kutub berlawanan, akhirnya bisa saling bekerjasama, seperti di dalam kisah Pareng-gong Jaya, antara Pangeran Pajajaran dengan Parenggong Jaya, semula bertetangan, kemudian saling bekerjasama. Kisah lainnya dari cerita laki-laki dan perempuan; ada siang dan ada malam; ada panas dan ada dingin, tapi tidak mengetengahkan adanya kon flik, atau konfrontasi, melainkan komplementer, saling melengkapi, saling membutuhkan, karena melahirkan sinthesa dari seluruh pro ses dialektika, melahirkan kemajuan dan kebaikan, terutama ke-langsungan kehidupan. Tidak mungkin manusia lahir jika tidak ada ibu dan bapak. Sama ketika memahami siloka “Dua Sakarupa”, sekalipun dua tapi tetap sama. Pola tiga atau nu tilu merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh lelaki dan perempuan, dari  perkawinannya melahirkan anak. Perkawinan Dunia Atas atau Bu-ana Nyungcung dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia Tengah (Buana Panca Tengah).
Contoh dari cerita Panggung Karaton yang dibawakan oleh Ki Aceng Tamadipura, sebagai berikut :
Teras kangkung galeuh bitung
Tapak meri dina leuwi
Tapak soang dina bantar
Tapak sireum dina batu
Kalakay pare jumarum
Sisir serit tanduk ucing
Sisir badag tanduk kuda
Kekemben layung kasunten
Kurambuan kuwung-kuwung
Tulis langit gurat mega
Panjangna sabudeur jagad
Inten sagede baligo
Inti batang kangkung adalah batang bambu
Jejak anak itik di telaga
Jejak angsa di tanah gosong
Jejak semut diatas batu
Batang padi kering seperti jarum
Sisir suri tanduk kucing
Sisir besar tanduk kuda
Berkemban langit lembayung
Aneka warna pelangi
Tulisan di langit gambar di mega
Panjangnya sebundar dunia
Intan sebesar buah beligo
Teras kangkung galeuh bitung/Tapak meri dina leuwi/Tapak soang dina bantar/Tapak sireum dina batu, menggambarkan keko-songan. Apa yang kosong itulah dunia manusia. Hidup ini kosong, maya tak berarti. Bagaimana mengetahui bahwa yang di gambar kan serba kosong adalah manusia dan dunianya?. Hal ini dijelas kan di dalam baris: Kalakay pare jumarum/Sisir serit tanduk ucing. Menggambarkan sesuatu yang keras/tegang adalah laki-laki, me-lambangkan dunia bawah. Dunia atas berazaskan perempuan (Su nan Ambu), seperti pada kata-kata : Kekemben layung kasunten. Sedangkan Tulis langit gurat mega/Panjangna sabudeur jagad, melambangkan hakekat hidup manusia, takkan pernah habis diba ca dan dipelajari. Itulah sesungguhnya langit, dunia atas, yang ko song itu sejatinya adalah bobot isi yang amat padat dan tak ternilai harganya, ibarat Inten Sagede Baligo. Sedangkan Intan, permata bermakna yang plural itu satu, yang satu itu plural – dua sakarupa. Manusia sebagai salah satu unsur plural, adalah bagian dari Yang Tunggal.
Makna dari keseluruhan, adalah : hidup manusia dan kebera daan ini seperti dunia terbentuk. Yang tampak isi bermakna, se-sungguhnya hanya kosong dan sia-sia. Dan yang tampak kosong tak berarti, sesungguhnya adalah isi dan makna hidup sejati. Hu kum serba terbalik ini dikenal waringin sungsang (pohon beringin terbalik), akarnya diatas, daun dan batangnya dibawah.akar hidup manusia itu berasal dari langit. Hidup manusia yang sejati ada di alam atas yang kosong-sunyi tersebut.
Untuk mengenal diri kita sendiri manusia harus mengenal kekosongan dunia atas. Manusia tidak akan mengenal sejati diri nya hanya bersandar pada daun-daun, ranting dan batang beri ngin hidup ini. Yang tampak dan wadag itu dapat menipu manusia menuju penemuan hakikat dirinya. Diri manusia adalah bagian da ri Diri Universal, di sanalah terdapat akarnya, asal-usulnya. Disana lah keberadaan Intan Besar, Yang Tunggal sekaligus plural.   
Prepantun
Para petutur Pantun Sunda yang terkenal di jamannya. Di Ci anjur dikenal nama R. Aria Cikondang abad ke-17, Aong Jaya La himan dan Jayawireja abad ke-19, di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung awal abad ke-20 dan Pantun Beton Wikatmana pertengahan abad ke-20, di Bogor terkenal jurupantun Ki Buyut Rombeng. Bahkan Ki Buyut Rombeng saat ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pantun Bogor. Penerus dari Ki Buyut Rombeng disebut Rakean Minda Kalangan. Jenis pantun Bogor betul-betul mewakili cerita rakyat (cacah), oleh karenanya bahasa pantun pun menggunakan gaya bahasa yang egaliter, tanpa te deng aling-aling, dan sangat dinamis. Sayangnya, pantun Bogor ti dak boleh dipelajari dalam bentuk tulisan. Konon saat ini estafet itu berada di tangan Anis Djatisunda.
Penulisan ceritapantun yang patut mendapat perhatian, dan sekaligus penghargaan dilakukan atas upaya Ajip Rosidi, dengan sebuah badan swasta yang diberinama Proyek Penelitian Pantun & Folklore Sunda. Team ini berhasil mengumpulkan kisah pantun, seperti :
1.       cerita Demung Kalagan dan kembang Panyarikan dari juru pantun Ki Kamal Lebak Wangi, Kuningan;
2.       cerita Mundinglaya Dikusumah dan Panggung Karaton dari Ki Aceng Tamadipura, Situraja, Sumgedang;
3.       cerita Parenggong Jaya dari Ki Samid, Cisolok Sukabumi;
4.       cerita Gantangan Wargi dari Ki Asom, Pringkasap, Subang; Cerita Ciung Wanara dari Ki Subarna, Ciwidey, Bandung. 
Dewasa ini perkembangan seni Pantun sangat memprihatin kan, namun dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan, bah wa seni Pantun dapat bertahan tanpa harus meleburkan diri men jadi satu bentuk kesenian pop, sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding masa lalu, terutama pada fung si yang sakral menjadi profan. (Agus Setia Permana).
Sumber Bacaan :
Sumardjo, Jakob
2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.
Gunawan, Aditia & Agung Kriswanti
Kala Purbaka, Kisah Batara Kala dan Teks Sunda Kuna, didalam Pulung Karaton Pajajaran dan esai-esai lainnya mengenai kebudayaan Sunda. Pusat Studi Sunda – 8, 2009.
Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

Kamis, 31 Maret 2011

Tri Tangtu

Sejarah kebudayaan masyarakat Sunda di masa lalu menun jukan kepada sifatnya yang mistis-spiritual, dikatagorikan kedalam masyarakat religius. Masyarakat religius sangat berbeda dengan masyarakat modern-sekuler yang memberikan jarak distansi an tara dia dan diluar dirinya, antara subyek dengan obyek, sehingga wajar jika manusia modern-sekuler lebih mementingkan dirinya di bandingkan orang lain yang berposisi diluar dirinya. Didalam pa radigma yang religius, manusia harus partisipatif aktif terhadap lingkungan dan alam semesta. Mereka menyadari bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam semesta, memerlukan manusia lain nya ; sangat tergantung terhadap alam, yang tak dapat dikuasai, sehingga manusia religius akan selalu menjaga harmoni hidupnya dengan alam dan lingkungan.


Kebudayaan religius atau mistis-spiritial membagi sumber pe ngetahuan kedalam tiga tahap (Sumardjo : 2006, hal.22). Pertama, subyek manusia berhadapan dan berjarak dengan obyek pe ngetahuan, atau antara dirinya dengan obyek pengetahuan ada jaraknya sama halnya dengan yang dipahami masyarakat modern. Sehngga manusia selalu berupaya untuk menggapai pengetahuan tersebut. Pada akhirnya manusia yang mistis–spritual atau religius mengenal pula pengetahuan atau ilmu, seperti ilmu obat-obatan, bertani dan lainnya. Kedua, antara subyek (dirinya) dengan obyek (pengetahuan) tidak ada jarak, atau partisipatif. Seperti dapat dilihat dari pepatah tepo sliro, tenggang rasa ; ngaragap angen sorangan ; tat twan asi, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.


Paradigma demikian bersumber pada faham totalitas dan menjadi pemikiran penting didalam kebudayaan mistis-spiritual. Pengetahuan dengan dirinya menjadi tidak ada batasnya, seperti didalam kisah, legenda danmitos-mitos, bahwa manusia bisa berbicara dengan hewan (Angling Dharma) ; manusia berubah jadi harimau (mitos Kean Santang : dan kerbau putih berubah menjadi Dewa. Contoh lain dari faham totalitas yang tidak membatasi antara masyarakat ma nusia dengan masyarakat di dalam bumi, seperti kisah Purnama Alam, Mundinglaya Dikusumah dan kisah-kisah keajaiban lainnya. Kisah-kisah diatas saat ini tidak dapat dikatagorikan sebagai hal yang rasional, namun tetap disebut rasional dalam katagori penge tahuan Sunda pramodern. Fenomena ini lajim disebut sebagai totalitas.Ketiga, batas pengetahuan dari kebudayaan mistis–spiritual adalah pengetahuan dan pengalaman yang di dalamnya tidak ada lagi subyek dan obyek. Hal ini disebut puncak mistisme, seperti pengetahuan suwung awang uwung, awang awang uwung uwung, kosong dalam kosong adalah isi yang sejati-jatinya. Puncak pengalaman mistisisme ini tidak semua manusia mampu dan memiliki pengetahuan ini.


Dilihat dari cara berpikir masyarakat modern seperti saat ini, pada umumnya hanya berhenti pada tahap pertama, tidak mengenal lagi cara berpikir tahap kedua dan ketiga, sehingga miskin dalam pengetahuan spiritual dan moralitas, memandang persoalan secara homogen (tunggal), padahal makna ruang dan waktu tidak tunggal, homogen.


Pola Budaya masyarakat agraris pada umumnya homogen. Diantaranya memiliki Pola Budaya Tiga, seperti dalam kehidupan masyarakat adat Bugis, Batak, Dayak, Minangkabau dan Sunda. Pola Budaya Tiga nampak dari struktur Kampung Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Perkampungan Cipta Gelar terdiri dari kelom pok kampung besar yang berangota tiga kampung. Masing-masing kampung memiliki peranan yang berbeda. Masyarakat Minangkabau menyebutnya Tigo Tungku Sajarangan atau Pola Nan Tigo. Pola Tigo Tungku Sajarangan merupakan satu kesatuan antara Ninik Mamak (kepala ada) ; Alim Ulama (pemuka agama) ; dan Cerdik Pandai (tokoh masyarakat). Selain dari wujud dan fung si para tokoh, nampak pula dari kampungannya (nagari). Basis budaya Minang dulu diakui berpuncak pada luhak nan tigo, yakni tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, dengan adagium adat ; adat manurun, syara mandaki, maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan perkembangan syara dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan puncak buda yanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung.


Pola Budaya
Sunda Pola Budaya Sunda termasuk pada pola budaya tiga dalam sistem budaya primordial. Masyarakat tradisional Sunda menyebut Pola Tri Tangtu; pola Nu Tilu ; Tilu Sapamalu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda. Pola tiga telah di dokumentasikan sejak tahun 1440 (Saka) atau 1518 M, dalam Koropak 630 yang dikenal dengan Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan. Intinya satu kesatuan dari fungsi ratu ; rama ; dan resi. Naskah tersebut jika di hubungan dengan naskah Kosmologi Sunda menguraikan tentang tiga fungsi diatas, yakni bayu, sabda, dan hedap. Menurut naskah tersebut : setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta, agar kelak bisa kembali ke kodratnya.


Pengertian mengenai tugas dan fungsi yang terkandung di dalam Tri Tangtu merupakan tiga ketentuan di dunia yang disebut peneguh dunia. Naskah Sanghyang Siksa nangtukeun (menegas kan) : Ini tri tangtu di bumi. Bayu kita pinahka prebu, sabda kita pinah ka rama. hedap kita pinahka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaran na.Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tri tangtu pineguh ning bwana. Tri warga hurip ning jagat. Ya sinangguh tri tangtu di nu reya ngaranya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Ke sentosaan kita ibarat raja ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehi dupan di dunia. Ya disebut tri tangtu pada orang banyak namanya. Tugas dan fungsi Tri Tangtu saat ini masih dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy, tentang mengelola perkampungan nya dan melaksanakan enam fungsi pokoknya. Tri Tangtu terdiri atas Resi, Rama, Ratu. Ketiga komponen tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tapi dalam jajaran yang setara. Fungsi Resi : mikukuhkeun agama Sunda ; ngabaratakeun nusa telung puluh telu ; bagawan sawidak lima ; panca salawe nagara, atau na paan. Tapi tapi yang dimaksud adalah menanungi, mengayomi, memelihara, mengelola dan sebagainya yang produktif untuk ke langsungan fungsinya. Fungsi Rama : ngasuh ratu ngajak menak dalam arti menjadi penasehat pihak eksekutif. Fungsi Ratu : Nga heuyeuk dayeuh ; ngolah nagara, atau sebagai pelaksana peme rintahan. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jika telah berpadu maka dapat memperteguh dunia.Tri Tangtu ditemukan dalam ungkapan masyarakat tradisio nal Sunda, antara lain dalam tradisi masyarakat Cipta Gelar, Suka bumi Selatan, yakni : Tilu Sapamalu - Dua Sakarupa - Hiji eta-eta keneh. Bilangan tersebut terbalik, dari tiga, dua kemudian satu, me-ngandung arti dari banyak menjadi atau menuju (yang) satu, yakni asal usul terjadinya keberadaan yaitu dari yang satu, atau mengembalikan kepada yang satu.


Dikatakan tiga sapamalu, ka rena yang tiga itu kesatuan dan yang satu itu selalu berhubungan dengan tiga (Sumardjo : 2006).Mitologi Sunda Buhun membicarakan eksistensi tiga dunia, yakni Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Itulah Tilu Sa pamalu. Pola tiga berasal dari dua sakarupa, artinya banyak (plu ral), namun substansi dari banyak adalah dua (karena lebih dari satu), yakni : pasangan atau kembar dan saling berlawanan, seperti ada laki-laki dan ada perempuan. Fenomen ruang juga ada dua, yakni ada siang dan ada malam ; ada bumi dan ada langit, namun menjadi tiga, seperti adanya manusia karena ada kedua orang tuanya (ayah dan ibu) ; adanya angin karena ada udara pa nas dan udara dingin. Namun yang dua pasangan itu, berasal dari yang satu, atau hiji eta-eta kenah. Itulah Hyang Tunggal.Tuntunan Kepemimpinan.Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yakni : Rama ; Resi ; dan Prabu. Rama adalah pendiri kampung yang menjadi pemim pin masyarakat dan keturunannya serta yang mewarisi Prabu ada lah raja, pemegang kekuasaan. Setiap manusia dianjurkan agar selalu berusaha memiliki bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja) ; sabda pinaka rama (ucapan seorang rama) ; dan hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Ketiga tokoh tersebut kesehariannya memiliki tugas, yakni :Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palang ka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerinta han menjadi tanggung jawab raja sebagai pemegang kekuasaan).Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitan-nya, pada muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karenanya, diantara ketiganya : haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang saka beh, tuha kalawan anwam. jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda) Pola kepemimpinan dimaksud saat ini masih dilaksanakan di Kanekes.


Masyarakat Baduy menyebut Tangtu Telu, nampak dari fungsi ketiga orang Puun, yakni posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Ketiga Puun kesehariannya berkuasa penuh di daerah masing-masing. Dalam hal menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu di-berlakukan secara umum .SpiritualitasPola Tri Tangtu tercermin di dalam kosmologi masyarakat tra disional Sunda, yakni (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sanghyang Kersa, yang letaknya paling atas ; (2) Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah ; dan (3) Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Masyarakat Baduy meyakini ada tiga pasang kata, semua saling melengkapi fungsinya dan ada hubungan dengan tugasnya seba gai pengemban wiwitan di Buana Panca Tengah. 


Pikukuh menurut Urang Baduy, sebagai berikut : Antara wiwitan jeung nu rek ngabangun nagara waktu babagi disawargaloka dibere atawa dibekelan tugas masing-masing, nya eta (1) di wiwitan aya carek, diluar wiwitan aya coret ; (2) diwiwitan aya lisan, di luar wiwitan aya tulisan (3) di wiwitan aya khabar, di luar wiwitan aya gambar. (Asep Kurnia : 2010). Antara wiwitan dengan yang akan membangun negara ketika di sorga diberikan ata dibekali tugs masing-masing, yaitu : (1) di wiwit an ada larangan diluar wiwitan ada tanda ; (2) di wiwitan ada lisan di luar wiwitan ada lisan ; (3) di wiwitan ada kabar diluar wiwitan ada gambar. 


Masyarakat Baduy sangat yakin jika masing-masing manusia telah diberikan tugas sejak belum lahir kedunia, yakni yang meng-abdi (menjaga) wiwitan dan mengabdi (mengabdi) negara. Tugas dimaksud berkaitan dengan keseimbangan hidup dalam menjaga masalah spiritual dan keduniaan. Fungsinya ada tiga yang disebut Tiga Sapamalu ; dua jenis tugas disebut dua saka rupa, sama-sa ma memikul tugas kehidupan ; semuanya berasal dari satu sema ngat, yakni menjalankan tugas dari pencipta.Contoh lannya ditemukan di dalam trasi masyarakat Naga, yang masyarakat tradisional Sunda yang berada di daerah Tasik, penganut agama Islam. Selain melaksankan syariat agama islam juga melaksanakan tradisi yang biasa dilakukan pendahulunya. Diantara tradisi yang menyangkut masalah spiritual yakni melaku kan nyepi namun berbeda dengan nyepi yang dilakukan oleh ma syarakat Bali. 


Masyarakat Naga melakukan nyepi tiga kali dalam satu minggu. Bertujuan mengembalikan dan memusatkan kekua tan-kekuatan yang hilang dalam diri dan jiwa yang kotor dan ber usaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. Namun kenapa harus tiga kali dalam seminggu?. mungkin inilah pemaknaan dari Tri Tangtu dan menyeimbangkan unsur bayu ; sabda dan hedap.LingkunganPola Tri Tangtu Sunda ditemukan pula didalam Sistim penge lolaan Kabuyutan, seperti yang disebut di dalam Amanat Galung gung dan Prasasti Kabantenan. Pola di Kabuyutan Sunda tercer min dari fungsi Resi (pemuka agama/Wiku); ratu (raja Sunda); dan Rama (tetua kampung atau yang dituakan). 


Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang, fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).


Perkampungannya ditentukan dari bobot dari kemandalaannya, yakni Tangtu ; Panamping ; Dangka. Wilayah Tangtu termasuk yang terkuat Kemandalaannya. Selain terletak di daerah yang paling dalam juga tugasnya untuk menjaga wiwitan. Perkampungan mayarakat Naga memiliki tiga elemen Pola Pembagian Lahan, yakni Kawasan Suci; Kawasan Bersih ; dan Ka wasan Kotor. Fungsi lahan dimaksud, sebagai berikut :(1) Kawasan Suci :Lokasi yang disebut kawasan suci terdapat tiga tempat, yakni leuweung larangan ; leuweung tutupan ; dan pekuburan masya rakat Naga. Disebut kawasan suci karena tidak boleh dikunju ngi sembarang orang, harus dijaga kesucian, kelestarian dari pengaruh luar, serta diawasi setiap saat. Leuweung larangan, ditumbuhi pohon-pohon besar, dilarang untuk dikunjungi sembarang orang da, banyak tabu. Di tempat ini leluhur mereka dimakamkan.


Leuweung tutupan atau leuweung biuk. Ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Leuweung ini sangat mempengaruhi iklim sekitar perkampungan Naga, bahkan dijadikan sebagai sumber kehidupan.Pemakaman Masyarakat Naga, tempat dimana mereka di-makamkan ketika saatnya tiba, terletak ditempat yang lebih tinggi dari pemukiman, namun dekat leuweung larangan.(2) Kawasan Bersih :Kawasan ini terletak dipemukiman Kampung Naga. Terdapat rumah-rumah dengan arsitek Sunda lama. Di kawasan bersih terdapat leuit ; Bale patemon ; Bumi Ageung.Leuit adalah lumbung padi, tempat penyimpan padi atau gabah hasil panen.Bale Patemon atau balai pertemuan, digunakan pada saat melakukan musyawarah atau digunakan pula untuk menerima kunjungan tamu. Bangunan ini terletak di dekat bangunan Masjid.


Bumi Ageung atau bangunan besar, merupakan bangunan tanpa jendela. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan ba rang-barang pusaka. Bangunan ini dikelilingi Pager Jaga dan ti dak boleh dimasuki sembarangan orang, kecuali seijin Kuncen (juru kunci). (3) Kawasan Kotor :Terletak disebelah Sungai Ciwulan, sekaligus batas wilayah Kampung Naga. Kawasan ini digunakan untuk kegiatan sehari-hari penduduk kampung naga. 


Menurut naskah Sanghyang Siksa, kawasan kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbu- ang.Inilah gambaran umum tentang Tilu Sapamalu ; Tri Tangtu ; Nu Tilu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda, ber ikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Trilogi Sunda menun jukan adanya harmoni dalam kehidupan kosmos. Fungsi dari Tri Tangtu sebagai peneguh dunia, dilambangkan dengan raja seba gai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (agus setia permana)


Sumber bacaan :

Sumardjo, Jakob

2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.

Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

Minggu, 09 Mei 2010

Masyarakat Tradisional tak Tertarik Buku Sejarah

SEJARAH masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya.

Saya gemar baca buku sejarah. Walau tidak melekat seluruhnya, hampir semua paparan sejarah yang ditulis para ahli sejarah resmi (maksudnya para sarjana sejarah yang diakui pemerintah), manakala saya sampaikan lagi kepada masyarakat tradisional pencinta sejarah, malah banyak yang tidak klop. Maksudnya, apa yang ditulis di buku sejarah karya para sarjana dengan "pengetahuan" yang "dimiliki" masyarakat tradisional, tidak seluruhnya sama. Bahkan untuk hal-hal yang sangat prinsipil, jauh berbeda.

Sebagai contoh, manakala saya baca di berbagai buku sejarah yang ditulis ilmuwan resmi, secuil pun tidak memaparkan siapa Kian Santang itu. Namun tokoh itu, demikian hidup di dalam benak masyarakat tradisional. Bahwa Kian Santang itu putra Prabu Siliwangi, kemudian kerjanya mengejar-ngejar sang ayahanda lantaran sang ayah tak mau berganti agama dari non-Islam ke Islam, demikian amat dipercayanya di mana-mana. Sebagai pertanda amat diyakini, di beberapa daerah akan didapat "bekas-bekas" pengejaran Kean Santang. Sejak dari Pakuan (Bogor), hingga ke Hutan Sancang (Garut Selatan), banyak didapat petilasan dari peristiwa kejar-mengejar ini. Dari mulai Nagara Padang (wilayah Ciwidey) hingga Cigegejlig (Cikancung Cicalengka), terdapat "liang pangparatan" bekas Prabu Siliwangi menerobos bumi saat menghindai pengejaran sang anak.

Di beberapa masyarakat tradisional, ada yang memercayai bahwa Patih Jayaperkosa yang mengabdi ke Sumedanglarang, adalah dulunya Prabu Surawisesa, raja kedua Pajajaran. Sesuatu hal yang tidak akan dipercaya oleh para sejarawan resmi. Menurut "penelitian" para sejarawan, ada rentang waktu berbeda antara Prabu Surawisesa dengan Patih Jayaperkosa dan diakhiri dengan komentar nyinyir: "Masa dari seorang raja turun menjadi sekadar patih?"

Menurut catatan resmi, Dipati Ukur ditangkap orang-orang Mataram dan dihukum mati di Kartasura karena dosa-dosanya yang telah mengkhianati Sultan Agung lantaran gagal dalam melawan VOC. Namun masyarakat tradisional punya keyakinan tersendiri, bahwa Dipati Ukur tidak pernah tertangkap dan apalagi dibawa ke Mataram. Sebagai bukti, di beberapa wilayah, mereka tunjukkan ada hampir 42 "makam" Dipati Ukur. Namun, dari ke-42 gundukan tanah itu, hanya satu makam beneran, sisanya adalah makam-makam penghilang jejak supaya musuh menganggap Dipati Ukur memang telah wafat.

Kejadian yang sama juga dilalui Pangeran Jayakarta di Kota Jakarta. Ada lebih satu makam yang dimiliki sang pangeran, semua hanya untuk menghilangkan jejak. Lalu di manakah makam Prabu Siliwangi dan Prabu Seda (raja terakhir Pajajaran) berada? Catatan sejarah resmi tidak menyebutkan secara pasti namun masyarakat tradisional sanggup tunjukkan bahwa kedua makam tokoh penting masa lalu itu ada di sebuah gunung di wilayah Karaha, Malangbong, Garut. Ha!

Di samping banyak "data" sejarah yang tidak sama, sejarawan resmi kayanya juga "kalah" langkah dalam memunguti berbagai peristiwa lama. Penyebabnya, mereka terbentur oleh berbagai rambu yang diisaratkan oleh disiplin ilmu di mana mereka belajar. Seperti apa kata almarhum Drs. Halwany Michrob ketika bertemu penulis beberapa tahun silam. Menurut almarhun, sesuatu bisa bernilai sejarah bila memiliki data tertulis dan data arkeologi. Bila kedua syarat ini tidak dipenuhi, peristiwa apa pun yang dipercaya masyarakat tak bisa disebut sebagai sejarah.

Oleh karena itu, kala itu (1980-an) Pemkab Bogor meminta pendapat mengenai pro dan kontra status Rancamaya (apakah tetap dianggap sebagai wilayah situs atau boleh disulap jadi perumahan mewah dan lapangan golf). Adalah salah satunya almarhum Drs. Halwany Michrob yang menyetujui Rancamaya boleh dibangun apa pun sebab tak didapat bukti bahwa di sana ada situs. Tentu ini bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional yang beranggapan bahwa Rancamaya adalah wilayah suci milik Pajajaran sebab Prabu Siliwangi kerap lakukan ritual di puncak bukit Rancamaya.

Ketika Candi Bojongmenje di Rancaekek tergali, arkeolog bilang bahwa arsitektur Candi Bojongmenje sama persis dengan candi-candi yang ada di Pegunungan Dieng namun usia Candi Bojongmenje lebih tua. Penelitian berhenti hingga di sini. Sementara masyarakat tradisional sudah lama tahu kalau arsitek Candi Bojongmenje dan candi-candi di Pegunungan Dieng adalah sama, yaitu orang Sunda. Mengapa, sebab baik di Bojongmenje maupun di Dieng, yang punya gawe adalah Prabu Senna.

Senna itu anaknya Prabu Mandi Minyak dari Galuh. Dia mengembara ke wilayah timur, beristrikan Sanaha putri Raja Mataram Kuna dan Senna kemudian menjadi raja di Mataram Kuna (716-732 Masehi). Lantaran Senna beragama Hindu dan di tanah kelahirannya bikin candi Hindu kurang mendapat dukungan pemerintah (di Sunda Hindu tidak dominan dan tak jadi agama negara), Senna melampiaskan ambisinya untuk kembali bikin candi serupa di Pegunungan Dieng.

"Kekayaan pengetahuan" masyarakat tradisional, sepertinya jauh lebih banyak ketimbang apa yang dihasilkan ilmuwan sejarah resmi. Sebagai "bukti", manakala sejarawan resmi tak bisa berbuat banyak untuk mendapatkan di mana dan bagaimana bentuk Keraton Pajajaran, maka masyarakat tradisional sudah memiliki pengetahuan akan kekayaan budaya masa lalu, semisal pengetahuan arsitektur masa lalu.

Jadi, kalau ada yang berminat mengembalikan kebesaran masa lalu Pajajaran, orang sudah bisa bikin replikanya. Keraton terbuat dari kayu berarsitektur megah ini, lengkap dengan konsep standar keraton di tatar Sunda, seperti di mana letak lawang kori, lawang gintung hingga lawang saketeng. Di mana letak bale raja, bale ksatrian, bale watangan, bale paseban hingga ruang belakang tempat menyimpan leuit salawe jajar. Pengetahuan perbatikan (batik Pajajaran), pengetahuan kemiliteran (ilmu bela diri Pajajaran, taktik perang kolosal Pasukan Pajajaran), sampai mengetahui di mana akademi kemiliteran orang-orang Pajajaran dan siapa saja rektor serta dosen perguruan tinggi militer Pajajaran kala itu, catatannya telah dimiliki para "ilmuwan" tradisional.

Ilmuwan resmi tak banyak bercerita tentang perjuangan Haji Prawatasari dari Jampang, sementara masyarakat tradisional demikian hapalnya. Bahwa taktik kemiliteran Haji Prawatasari dalam menghadapi VOC telah gunakan 12 taktik tempur Pajajaran, amat dipercaya mereka. Haji Prawatasari dibesarkan di Jampang, sementara kampus perguruan tinggi ilmu kemiliteran Pajajaran terdapat di wilayah antara Surade dan Jampangkulon. Dengan demikan sangat pas bila pengetahuan militer Haji Prawatasari didapat dari alumni perguruan tinggi kemiliteran Pajajaran di pakidulan Sukabumi.

Manakala penulis sejarah resmi tak banyak tahu tentang keberadaan Ki Tanu Jiwa, peletak dasar Kota Bogor, masyarakat tradisional sejak dulu telah memiliki catatannya. Kata Ucang Sumardi pemilik buku kuna tentang catatan sejarah lokal, disebutkan bahwa Ki Tanu Jiwa dari Sumedanglarang datang ke wilayah hutan Pajajaran bukan ingin "ulun kumawula" kepada VOC, melainkan lantaran rindu dalam penelusuran sejarah karuhun-nya. Mengapa begitu, sebab Ki Tanu Jiwa yang kemudian menjadi bupati pertama Kabupaten Bogor adalah putra Santoan Peregong Jaya.

Santoan Peregong Jaya salah satu putra Aji Mantri (makamnya ada di Cimalaka) dan Aji Mantri adalah putra mahkota Prabu Ragamulya, raja Pajajaran terakhir. Namun Aji Mantri tak dibolehkan terlibat urusan politik, maka dia diperintahkan ayahandanya menyerahkan mahkota Pajajaran Binokasih Sanghyang Pake kepada Prabu Geusan Ulun. Dengan demikian, Ki Tanu Jiwa yang di catatan sejarah resmi luput dari pengamatan khusus adalah buyut dari raja Pajajaran terakhir.

Barangkali penyebab kesemuanya lantaran masyarakat tradisional adalah "pelintas-batas" yang andal. Kalau ilmuwan sejarah banyak dihadang rambu-rambu etika keilmuan, masyarakat tradisional boleh dikata tak mengenal rambu, makanya dia bisa melintas dan menyebrangi apa pun."Tak ada orang yang sanggup menengok ke masa depan sebab itu meramal namanya. Namun, untuk menengok ke masa silam, amat dimungkinkan," tutur seorang dari kalangan tradisional sejarah.

Karena "kekayaan pengetahuan" sang pelintas-batas bisa dianggap lebih lengkap, maka masyarakat lebih dekat kepada mereka ketimbang kepada sejarawan resmi. Terbukti, banyak buku yang dihasilkan kalangan ilmuwan sejarah, namun sedikit sekali yang dibaca oleh mereka. Bisa lantaran buku dengan biaya penelitian mahal itu susah didapat tapi bisa juga lantaran tak tertarik untuk membacanya.

Ada juga yang menganggap bahwa kalangan ilmuwan bekerja tidak membuka fakta yang seutuhnya lantaran berbagai kepentingan, semisal kepentingan politik penguasa. Sementara kepada "ilmuwan tradisional" mereka percaya penuh sebab beranggapan bahwa apa yang dicari kaum tradisional tidak dipengaruhi oleh berbagai kepentingan kelompok. Mereka hanya ingin membuka tabir masa lalu sejelasnya dan seutuhnya, apa pun bentuknya.

Maka jadilah berita masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut sebagai pengetahuan masyarakat lokal yang susah dibendung kadar keyaki­nannya. Sejarah masa lalu yang dipercaya dan disimak oleh masyarakat tradisional ternyata bukan dari paparan para ahli sejarah yang diakui resmi pemerintah dan menghabiskan banyak dana. Mereka lebih percaya kepada penuturan lisan atau catatan lokal dari para karuhun-nya. Cag!


***

Disadur
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : tukisan Aan Merdeka Permana, Pikiran Rakyat, Edisi Cetak – Sabtu 27 Maret 2007

Sabtu, 08 Mei 2010

Percandian Batujaya


Situs Batujaya terletak wilayah Karawang Jawa Barat + 45 km di sebelah timur kota Jakarta. Situs Batujaya secara umum memiliki peninggalan arkeologi, dilahan yang seluas sekitar 5 km persegi, berada pada lahan-lahan persawahan serta sebagian kecil yang terletak disekitar pemukiman.

Situs Batujaya ditemukan pada tahun 1985 setelah ada laporan dari masyarakat setempat. Serangkaian penelitian dan penanganan peninggalan budaya tersebut hingga tahun 2006 telah tercatat sebanyak 24 bangunan kuno yang masih dalam bentuk Unur, atau gundukan tanah yang didalamnya terdapat reruntuhan bangunan kuno, diduga berupa candi.

Ciri-ciri yang tampak pada sejumlah bangunan yang digali menampilkan sejumlah bentuk profil, bentuk relung, serta sejumlah bagian bangunan yang merupakan bangunan candi. Hingga kini dari sekitar 24 sisa bangunan yang ada, baru 4 buah tengah ditangani, 2 bangunan telah selesai dipugar.

Nama-nama bangunan yang ada disesuaikan pemberian nama oleh masyarakat setempat, seperti Candi Jiwa dan Candi Blandongan atau dengan nama desa tempat bangunan tersebut berada, seperti bangunan Segaran untuk bangunan yang ditemukan diwilayah Segaran, Telagajaya untuk bangunan yang ditemukan di wilayah Telagajaya.

Dekat dari unur-unur tersebut biasanya terdapat cekungan tanah yang dikenal dengan nama kobak (kolam), letaknya agak lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitar. Ukuran cekungan tersebut bervariasi, mulai dari 5 m x 5m hingga 25 m x 25 m. Pada Musim penghujan cekungan tersebut tergenang air. Cekungan-cekungan tersebut ada kaitannya dengan keberadaan bangunan itu sendiri.

Gambaran umum beberapa unur (candi) di Situs Batujaya adalah sebagai berikut :

Candi Jiwa
Bangunan Segaranatau dikenal juga dengan nama Candi Jiwa terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, berjarak sekitar 200 m kearah barat dari jalan Kaliasin. Badan bangunan ini masif, tidak memiliki ruangan., ber ukuran 19 m x 19 m dan tinggi 4,7 m, dengan orientasi kearah tenggara baratlaut. Pada bagian kakinya terdapat profil bangunan berbentuk pelipit rata (patta) dan pelipit penyangga (uttara) serta pelipit setengah lingkaran (kumuda).

Candi Jiwa pada bagian fondasi bangunan tidak ditemukan tanda adanya bekas pintu. Pada permukaan atas bangunan membentuk pola yang melingkar dengan diameter sekitar 6 m. gejala ini menimbulkan pertanyaan apakah susunan bata melingkar itu merupakan bagian dari stupa atau merupakan bentuk lapik dari sebuah teras. Di bagian permukaan atas, pada keempat sisinya menampakkan permukaan yang bergelombang yang seolah-olah sengaja dibuat. Tidak tampak tanda adanya bagian atau komponen bekas atap bangunan.

Susunan bata bangunan candi terdiri dari dua lapis, lapisan bagian luar dan dalam, sehingga diduga bahwa bangunan dibangun dua kali atau mungkin pernah diperluas atau diperbesar. Sementara itu pada keempat sisinya ditemukan bekas-bekas relung masing-masing dengan pasti apakah dahulunya relung-relung tersebut merupakan tempat menempatkan arca.

Pada saat ini bangunan candi Jiwa telah selesai dipugar sesuai dengan bentuk aslinya saat ditemukan. Sekelilingnya telah diberi pagar besi. Pada tahun 2008 Candi Jiwa telah menjadi pusat perayaan Bhakti waisak umat Buddha dari Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Candi Blandongan
Bangunan Segaran V atau penduduk setempat lebih mengenal dengan sebutan Candi Blandongan, terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya. keseluruhan candi merupakan salah satu yang terbesar bila dibandingkan dengan unur-unur yang lainnya.

Penelitian terhadap bangunan Candi Blandongan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1992 s.d. 1998. Pada saat itu telah berhasil menampakkan denah berbentuk bujursangkar. Tangga naik terletak di sisi timurlaut, tenggara, barat daya dan barat laut bangunan. Disisi kiri kanan tangga naik terdapat pipi tangga. Bangunan bata ini pada umumnya telah mengalami kerusakan, disebabkan factor usia tetapi masih ada bagian yang menjadi rujukan dalam pemugaran. Anak tangga dilapisi dengan batu andesit yang dibentuk dan berukuran sama dengan ukuran batat (8x15x40 cm). Pada tangga naik teratas terdapat ruang. Ruang ini berukuran 2 m x 2,3 m berfungsi sebagai pintu menuju bagian dalam halaman candi. Lantai ruangan ini dilapisi dengan batu kerikil yang dicampur dengn semacam adonan lepa yang berwarna putih dan dicampur dengan bubukan kerang.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bagunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan sutu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalannya sekitar 1,75 m. Bagian luar tembok keliling ini terdapat hiasan-hiasan pelipit datar, pelipit kemuda, pelipit sisi genta dan hiasan kerucut terpotong.

Dinding luar tembok keliling ini mungkin dahulunya dilapisi dengan lepa yang berwarna putih, karena sisa-sisa lepa dapat ditemukan dibeberapa tempat, misalnya pada bagian bawah pelipit kemuda dengan ketebalan sekitar 0,5 cm. Dibagian luar tembok keliling denahnya tidak luas, tetapi terdapat penampil berukuran 1,5 m menjorok ke luar sekitar 40 cm, terletak diantara tangga naik dan sudut bangunan. Sudut luar bangunan juga menjorok ke luar sekitar 50 cm seperti bentuk bastion sebuah benteng.

Pada bagian dalam tembok keliling terdapat halaman yang dibuat dari bata dilapisi dengan kerikil yang diaduk denganadoanan lepa berwarna putih. Karena termakan usia , lapisan ini sudah terkikis dan yang tampak adalah lantai bata. Lapisan kerikil ini masih tersisa dekat dengan sudut selatan halaman. Selain itu terdapat dua buah batu andesit yang permukaannya datar. Tepat di tengah halaman terdapat bangunan inti. Bangunan inti kini hanya menyisakan bagian kaki yang denahnya bujursangkar dengan ukuran 9,2 m x 9,2 m. Sudut-sudutnya menonjol seperti bastion pada sebuah benteng. Permukaan atasnya sudah rusak terdapat semacam saluran air pada masing-masing sudut.

Sejak pertama kali penelitian sejak 1996 hingga sekarang (saat pemugaran) berhasil ditemukan sejumlah benda-benda suci yang biasa digunakan pada upacara keagamaan. Benda-benda tersebut ditemukan pada relung di sisi baratdaya bangunan, berupa amulet dari bahan tanah liat yang dibakar, tertera mantera-mantera dan penggambaran tokoh dalam Agama Budha.

Tinggi bangunan candi Blandongan yang masih tersisa sekitar 3,5 m. Denah bagian luar bangunan berukuran 24,2 m x 24,2 m. Denah luar bangunan ini merupakan denah tembok keliling halaman sebuah bangunan candi yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan intinya. Tembok keliling bangunan ini terbuat dari bata dengan ketebalan 1,75 m.

Berdasarkan pengamatan pada fisik bangunan, ada usaha untuk menata bangunan yang sudah rusak. Gejala ini tampak dari tekhnik penyusunan bata, ada yang diletakan ada pula yang ditumpuk. Bata yang diletakan menunjukkan keaslian bangunan.

Penanggalan situs berdasarkan temuan stupika tablet di candi ini dapat diketahui berasal dari abad VI-VII M. Bahkan dengan menggunakan carbondating pada tahun 2001 memberikan hasil penanggalan lebih tua lagi yakni antara 150-400 M. Bangunan Candi Blandongan sekarang ini masih dipugar (tahap akhir) oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Propinsi Banten.

Sejarah Situs Batujaya
Sejarah Indonesia kuno telah mencatat bahwa peradaban yang mula-mula muncul di Indonesia adalah peradaban bercorak Agama Hindu, yang berlangsung di dua pusat yaitu di Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Dari prasasti-prasasti yang paling awal yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, meskipun tidak menyebutkan angka tahun yang lengkap, dapat diketahui bahwa kerajaan yang pertama kali berkembang diwilayah ini adalah kerajaan Tarumanegara yang berdiri sekitar abad ke IV Masehi. Prasasti-prasasti tertua yang menyebutkan keberadaan Prasati Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Lebak, Prasasti pasir Jambu (Koleangkak) dan Prasati Pasir Awi.

Prasasti Tugu ditemukan di kampung Batutumpu, Desa tugu kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Transkipsi prasati Tugu :


  • Pura rajadhirajena guruna, Pinabahuna Khata Khyata, Puri prapya Candrabhagaenavam yayau, Pravarddharmana Dvavinsad Dvavinsad.


  • Dhvajabhutena Crimata purnavarmmana caitrasukla, Trayodsyam dinais siddhaikadhvin sakali, Ayata sastrasahasrena dhanusam sasatena ca, Dyayinsena nadi ramya gomati nirmaladaka, Vhrahmanairgga sahasrena prayati krtadaksina.

Terjemahan :
(Raja Purnawaran yang bijaksana berhasil mebuat dua sungai (kali), yaitu Candrabhaga dan Gomati hingga mengalir ke laut, dengan panjang ± 6.122 rumbak, dimulai tanggal 8 paro-petang bulan caitra (±21 hari). Selamatnya dengan menghadiahkan 100 ekor sapi).

Prasasti-prasasti itu berdasarkan ukuran batunya, dapat diketahui bahwa prasasti-prasasti itu dibuat insitu. Edangkan dari gaya tulisan dan bahasanya prasasti-prasasti berasal dari kurun waktu abad V Masehi. Tulisan menggunakan huruf Pallawa dengan Bahasa Sansekerta. Adanya penggunaan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa tersebut merupakan bukti bahwa pada masa itu telah terjadi kontak budaya antara Tarumanagara dengan kerajaa-kerajaan di India.

Situs batujaya hingga tahun 1993 telah ditemukan candi berjumlah 24 buah. Selain itu di wilayah pantai utara Karawang terdapat pula pusat percandian yaitu di situs Cibuaya, di Desa Cibuaya dengan temuan candi berjumlah 6 buah bangunan. Dapat dibayang kan bahwa pada masa lampau di wilayah (Karawang dan sekitarnya) itu pernah terdapat suatu komonitas yang cukup besar jumlahnya dan memiliki kemampuan tekhnologi yang cukup tinggi sehingga mampu menciptakan sejumlah besar bangunan yang terbuat dari material bata, tentunya sebelum membangun, masyarakat setempat harus menguasai tekhnologi pembuatan bata, baik tentang pemilihan bahan baku, proses pembuatan hingga pembakaran pada suhu cukup tinggi. Disamping itu di daerah kecamatan Perwakilan Cibuaya pada tahun 1952-1957 juga pernah ditemukan 2 buah arca Wisnu.

Menurut penelitian secara ikonografinya diduga bahwa kedua arca tersebut berasal dari abad ke VII-VIII. Selanjutnya pada tahun 1975 ditemukan fragmen arca Wisnu yang lain yang diduga juga sejaman dengan kedua arca tersebut. Kehadiran sejumlah besar bangunan yang mempunyai cirri-ciri budaya Budha di situs Batujaya dan Hindu di situs Cibuaya itu sendiri merupakn hal penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, karena dapat dikatakan bahwa telah berkembang masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha pada abad ke V-VIII di wilayah Jawa Barat.

Hubungan antara kawasan percandian Situs Batujaya dengan Kerajaan Tarumanagara didasarkan atas tafsiran salah satunya isi prasasti Tugu tersebut, bahwa Kerajaan Tarumanagara wilayah kekuasaan meliputi (masa pemerintahan Raja Purnawarman) setidak mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Banten. Apabila perkiraan ini benar adanya, maka Situs Batujaya merupakan komplek percandian yang masuk dalam kategori tua di Indonesia (untuk sementara tertua di Indonesia, yang diperkirakan dibangun sejak abad ke 4 Masehi).

Kerajaan Tarumanagara pada akhir abad ke 8 M mulai mengalami kemunduran. Hal ini diperkuat oleh berita Cina bahwa sesudah Tahun 669 M, Kerajaan To-lomo tidak mengirim utusan ke Cina lagi. Dengan mundurnya Kerajaan Tarumanagara dan muncul 2 kerajaan baru yang semula merupakan kerajaan bawahan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang berkembang pada masa yang bersamaan (abad VII). Kerajaan Sunda daerah kekuasaannya disebelah Timur Sungai Citarum. Selama pergeseran politik dari lenyapnya Tarumanagara dan munculnya Galuh dan Sunda tidak banyak berubah dalam kehidupan keagamaan.

Penelitian tahun 2005 yang merupakan bagian integral dalam penelitian arkeologi di situs Batujaya menunjukkan bahwa okupasi lahan di areal situs Batujaya diketahui telah dilakukan sejak periode Tembikar Buni (Buni Pottery Complex) dan terus berlangsung hingga periode Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Ekskavasi pada beberapa lokasi terpilih berhasil menemukan sejumlah kerangka manusia beserta bekal kuburnya yang semuanya menunjukkan bahwa mereka adalah para pendukung kompleks Tembikar Buni. Selain itu ditemukan pula fragmen-fragmen tembikar Arikamedu (India) berada pada lapisan yang sama dengan fragmen-fragmen tembikar Buni termasuk sisa-sisa kerangka manusianya.

Budaya dan Religi
Situs Batujaya yang berlatar Agama Buddha dengan tinggalannya berupa percandian sebanyak 24 buah dikawasan seluas 5 km ini kini tertata dengan baik. Sehingga banyak menarik perhatian masyarakat dan telah menjadi objek wisata yang sering dikunjungi baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat yang bertujuan ingin mengetahui situs ini. Disamping itu, situs Batujaya telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian di bidang kebudayaan, sejarah dan pariwisata.

Baru-baru ini pada tanggal 1 Juni 2008 umat Buddha dari propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten menyelenggarakan perayaan Puja Bhakti Waisak ke 2552 BE atau tahun 2008 untuk mengenang kembali perjuangan Bodhisatva Sidharta dalam mencapai kesempurnaan hidup menjadi Buddha di pelataran Candi Jiwa dan Candi Blondongan,di situs Batujaya.

Untuk melengkapi keperluan para wisatawan baik dalam dan luar negeri, Pemerintahan Propinsi Jawa Barat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat telah membangun Site Museum Batujaya secara permanen, terletak ditepi jalan Desa Segaran atau ± 200 meter sebelah selatan Candi Jiwa. Disamping untuk keperluan wisatawan, gedung ini untuk menyimpan dan sekaligus memamerkan temuan-temuan artefaktual. Koleksi yang dipamerkan di museum ini berjumlah ± 165 buah artefak berupa keramik, gerabah, fosil tulang binatang, dan fosil tumbuhan, replica kepala arca manusia dan binatang, manik-manik kaca dan tanah liat (terakota), bernagai bentuk bata. Disamping itu juga dipamerkan buku-buku yang berisi kepurbakalaan Situs Batujaya. (*)


Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Buklet Situs Batujaya, Kabupaten Karawang – Propinsi Jawa Barat, Penyusun Dra. Heni Fajria Rif’ati – Drs. Eddy Sunarto, Penyunting/Editor Dra. Wana Sundari.


.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960