Rabu, 24 Maret 2010

Sejarah Penggunaan Basa Sunda

Sejak kedatangannya pada abad ke-17 ke Hindia Belanda, orang Belanda sangat sedikit yang mengetahui jika Sunda memiliki Budaya sendiri. Paradigma semacam ini berlanjut hingga pada abad ke 19. Sebelumnya pada tahun 1811-1816, Raffles, Gubernur Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam buku History of Java, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Ia pun menyatakan bahasa Sunda itu adalah sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.

Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri. Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda, Madura – masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.

Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.

Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai berikut :

  • Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan. Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai aksara Jawa.
Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.

Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :


  • “Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”
Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya.

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedanhkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde. Kemudian Roorda membuat pernyataan :

Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat, khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ; bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia Timur.

Berdasarkan khasanah naskah Sunda yang berhasil di data Edi S. Ekadjati dkk (1988), dikemukakan, Pada abad ke 19 merupakan masa peralihan kehidupan naskah Sunda, yaitu dari masa transisi antara lain ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimuali pada abad ke-17 kemasa baru yang ditandai lahirnya naskah-naskah Sunda dengan menggunakan aksara cacarakan, Pegon, dan Latin yang dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pada Masa itu telah ada pula penulis dan pengarang Sunda terkenal, seperti Raden Haji Muhamad Saleh dan Raden Haji Muhamad Musa. Tentunya Muhamad Musa terkenal dengan Karyanya “Panji Wulung”.(*)



Sumber Bacaan :
  • rintisan peneliusuran masa silam Jawa Barat 1984
  • Semangat Baru Miukihiro Moriyama - 2002



Jumat, 12 Maret 2010

Walangsungsang

Dalam beberapa kisah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang dianggap sama dengan Kiansantang, padahal dalam kisah lainnya Pangeran Cakrabuana banyak juga yang menyebut namanya dengan sebutan Arya Santang.

Kiansantang dalam cerita lain sering dianggap sebagai seorang anak yang berupaya mengislamkan Prabu Siliwangi (ayahnya), sehingga terjadi peperangan. Padahal kejatuhan Pajajaran terjadi jauh-jauh hari pasca wafatnya Sri Baduga. Tidak ada alasan seorang raja yang memiliki tahta penuh harus ngalalana lantaran dikejar-kejar anaknya, sementara dia sendiri masih bertahta sebagai raja yang berkuasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa Kiansantang adalah nama lain dari Rajasangara yang dikebumikan di daerah Godog – Garut. Ia termasuk penyebar islam di Jawa Barat.

Dalam cerita lainnya Kiansantang dianggap tilem dan tetap kokoh ngagem agama leluhurnya. Ia dianggap benteng budaya sunda yang tak lekang ditelan waktu tak luntur ditelan masa. Tapi patut pula diakui, bahwa kesimpang siuran penafsiran Kiansantang membawa pada pemahaman yang kurang pas tentang sosok sejarah Cakrabuana, bahkan ada yang menafsirkan bahwa Kiansantang bukan Arya Santang. Namun mudah mudahan kedepan ada sejarawan yang mampu menguak tabir ini, tentunya melalui cara pemisahan antara mitos dan sejarahnya yang hakiki.

Siapa Cakrabuana ?
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.

Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.

Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.

Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.

Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.

Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda, terutama ketika ia diindetifisr sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang.

Pengembaraan
Didalam cerita masa lalu, pengembaraan seorang anak raja guna menambah ilmu dan memperluas cakrawala bathinnya merupakan faktor penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hal ini sama ketika dilakukan oleh Niskala Wastu Kancana yang mengembara ke wilayah Sumatera, atau Sri Baduga sebelum menduduki tahta Pajajaran. Dalam dokumen resmi pun demikian, seperti yang diketahui tentang Bujangga Manik, yang kelak dikemudian hari banyak dirujuk sebagai topografi untuk wilayah pada saat itu.

Demikian pula dalam kisah Walanagsungsang, sebagai seorang yang haus akan ilmu Pangeran Walangsungsang kemudian memohon pamit juga kepada Ki Gedeng Tapa untuk berguru mencari ilmu ditempat lain.

Sulit dibayangkan oleh para peminat sejarah yang kadung mendikotomi ageman ketika ada kisah Walangsungsang memperistri Indang Geulis, putri dari Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Hal ini terjadi ketika Walangsungsang melakukan pengembaraan ke wilayah Timur. Hingga pada suatu hari ia tiba di padepokan Ki danuwarsih, seorang pendeta agama Budha. Ki Danuwarsih adalah anak seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.

Pemaknaan lainnya mungkin juga dapat diambil ketika Walangsungsang berguru tanpa ia pun harus meninggalkan agamanya. Yoseph Iskandar menafsirkan, bahwa : Mungkin saja ia ingin mengetahui agama Budha, hanya sebagai studi perbandingan.

Didalam buku yang sama Yoseph Iskandar menjelaskna pula, bahwa : tempat tinggal Ki danuwarsih, menurut naskah Pustaka nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan bang Wetan. Ketika mengadakan “Penelitian Bahasa Sunda” di Kabupaten Pakalongan atas prakarsa Lemit Unpas tahun 1989, dikecamatan Paninggaran, terdapat beberapa situs, diantaranya makam keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas.

Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.

Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan, sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka (penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus hanya digunakan untuk memburu.

Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.

Pangeran Cakrabuan nama lain dari Walangsungsang. Menurut KH Syarifudin, patilasan-patilasan (situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus, terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.

Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah “Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang, Indang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.

Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang. Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.

Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Begitu juga adiknya Rara Santang mendapat nama baru sebagai Hajjah Syarifah Muda’im.

Haji Abdullah Imam bermukim selama 3 bulan di Mekkah. Ketika dalam perjalanan pulang ke Jawa Barat sempat singgah di Bagdad (Irak) dan Cempa (Indo Cina). Di Cempa, Haji Abdullah Imam berguru kepada Syeh Ibrahim Akbar. Haji Abdullah Imam dijodohkan dengan puterinya dan dibawanya pulang ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, isterinya Indah Geulis telah melahirkan seorang puteri kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.

Kemudian Haji Abdullah Imam memperisteri Ratna Riris, puteri dari Ki Danusela dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Ketika Ki Danusela wafat, Haji Abdullah Imam terpilih menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang. Selanjutnya setelah Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji Abdullah Imam tidak mendapat warisan tahtanya, melainkan mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah.

Bermodal warisan harta kekayaan dari kakeknya, Haji Abdullah Imam mendirikan keraton yang kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya. Kemudian Haji Abdullah Imam mendirikan tentara kerajaan.

Hubungan Cirebon - Pajajaran
Memperhatikan puteranya telah berhasil membuat kerajaan Islam pertama di Pajajaran, Sri Baduga Maharaja mengutus Ki Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) beserta pengiringnya, juga turut serta Rajasangara (adik bungsu Haji Abdullah Imam), untuk merestuinya. Di keraton Pakungwati, Haji Abdullah Imam dinobatkan sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana.

Walangsungsang direstui ayahnya untuk menjadi penguasa Cirebon namun secara sukarela ia menyerahkannya kepada keponakannya, anak dari Rarasantang, yaki Syarif Hidayat. Sekalipun demikina ia pun masih mampu bertindak sebagai pelindung Cirebon.

Secara politis hubungan Pajajaran dengan Cirebon sangat tergantung dari hubungan Sri Baduga dengan Walangsungsang. Hal ini mengalami masa krisis ketika Syarif Hidayat, atas dasar saran para wali memproklamirkan Cirebon sebagai negara yang merdeka, dengan Raja pertamanya Syarif Hidayat. Pada masa itu Sri Baduga akan mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi keraton), dengan alasan tidak baik seorang kakek memerangi anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara merdeka.

Memang kekhawatiran Sri Baduga terhadap Cirebon karena terlalu rapatnya hubungan dengan Demak, terutama pasca pernikahan keturunan Cirebon dengan Dengan dan gadirnya armada laut Demak di Cirebon. Padahal Pajajaran memiliki kekuatan pasukan darat namun sangat lemah di laut.

Hubungan dagang Demak – Cirebon makin menyulitkan perdagangan Pajajaran dengan dunia luar. Dalam teori politik ekonomi dimungkinkan hubungan Demak – Cirebon bukan hanya menyangkut masalah pengembangan agama, melainkan juga hubungan dagang. Untuk menjaga wilayahnya, Sri Baduga kemudian membuat perjanjian dengan Portugis. Hal yang sama dilakukan oleh Hasanudin (1546) ketika Banten dan Cirebon membantu Demak untuk menyerang Pasuruan, sama-sama negara islam.

Dalam melaksanakan perjanjian, dari Pajajaran diwakili oleh Surawisesa, putra mahkota. Dalam hikayat ini dimitoskan pula kisah Mundinglaya Dikusumah yang melawan Guriang. Kelak Guriang ini di tafsirkan sebagai orang-orang Portugis yang berbadan tinggi dan besar jika dibandingkan dengan orang sendiri.

Pasca wafatnya Sri Baduga keseganan Cirebon terhadap Pajajaran menjadi berkurang. Perang antara keduanya terjadi selama lima tahun. Di front lainnya Galuh masih merasa memiliki ikatan sejarang dengan Cirebon, karena Cirebon dahulu berada dibawah daulat Galuh, hingga Galuh melakukan penyerangan ke Cirebon.

Ketika Cirebon sedang mempersiapkan penyerangan yang ditujukan ke Daerah Talaga, peperangan terhenti ketika Syarif Hidayat mendapat berita, bahwa Walangsungsang pendiri Pakungwati dan pelindung Cirebon wafat (1529 M). Dengan demikian Cirebon kehilangan sosok pelindung yang dapat diandalkan.

Walangsungsang disebut-sebut memiliki andil yang dominan mencegah pertumpahan darah, ketika pasca pengadilan Syekh Siti Jenar yang dilakukan Walisongo dihukum mati, ia berhasil mencegah penguasa Cirebon untuk menghukum semua penganut Syi’ah.

Demikianlah kisah seorang pembaharu teureuh Sunda yang memiliki andil besar dalam kisah penyebaran agama islam dan membangun Kota Cirebon. Ia pun memberikan pelajaran bagi kita semua, bahwa tahta bukan segala-galanya. Sebagaimana yang ia contohkan ketika harus menyerahkan tahta Cirebon kepada keponakannya sendiri, yakni Syarif Hidayat.

Dari cerita ini pula kedepan diharapkan ada kupasan yang lebih mendetail tentang pembedaan pengaruh penyebaran islam dengan ekspansi dagang yang kadang harus bercaruk, sulit dipisahkan, sehingga sulit menarik benang merahnya. (cag heula).



Bahan Bacaan :
1. Rintisan Penelusuran masa Silan Sejarah Jawa Barat
2. Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar. Geger Sunten.





Jumat, 16 Oktober 2009

Pengantar

Didalam cerita rakyat sunda tokoh Balangantrang banyak di kenal melalui sejarah lisan namun saat ini agak sulit membedakan peran Ki Balangantrang dengan Lengser atau Cerita Sikabayan. Karena ketiganya lebih dikenal dari perilakunya yang nyeleneh namun mengandung makna kajian yang dalam melalui sindir sampir. Merekapun hanya diala bobodoranana.

Cerita Si Kabayan mengisahkan tokoh sunda yang sederhana namun hidup dijaman modern. Cerita ini banyak menampilkan kisah-kisah lucu dan cerdik. Sehingga sosok Kabayan digambar sebagai orang sederhana yang lugu dan lucu namun kadang-kadang cerdik. Jika saja para penyaji cerita pandai meramu kisahnya dengan baik, seolah-olah membawa penononton untuk melakukan intropeksi dan mentertawakan diri sendiri.

Sikabayan dikenal lewat banyol an lisan namun Lengser dikenal lewat gerakannya. Peranan Lengser saat ini banyak dikenal melalui upacara adat sunda. Kolaborasi menjaga tradisi karuhun dengan intertement. Digambarkan sebagai kakek-kakek, berkumis, gendut, jalan agak membungkuk dengan tangan dibelakang, jalan lenggak lenggok, berpakaian seperti orang jaman dulu, memakai totopong dan membawa kaneron, berperan sebagai penyambut tamu dan pembawa berita.

Sampai saat ini saya belum mendapat referensi resmi tentang peranan Lengser didalam birokrasi kerajaan sunda, apakah Lengser ini patih kerajaan ? atau punakawan seperti semar dalam cerita pewayangan ?; atau bentuk lain yang disembunyikan dari peranan aKi Balangantrang ?”. Namun memang ada juga yang menyebutkan peranan Lengser dalam kerajaan Sunda sebagai Purohita.

Balangantrang Sang Bimaraksa
Dalam catatan sejarah lisan maupun resmi, Aki Balangantrang merupakan nama lain dari Bimaraksa, senapati sekaligus Mahapatih Galuh dimasa pemerintahan Purbasora. Didalam paradigma sejarawan sunda, Bimaraksa dikatagorikan sebagai patriot Galuh. Ia terlibat langsung dalam epos perjuangan Galuh melawan kerajaan sundapura.

Perlu ada semacam penekan tentang istilah “Kerajaan Sunda” yang dimaksud dalam cerita ini, bukan suku atau etnis, atau Geografis, (mengenal sunda besar dan sunda kecil ; selat sunda dll) melainkan “Sundapura” nama negara kecil yang dijadikan lokasi penerus pemerintahan kerajaan Tarumanagara, Karena Tarumanagara pamornya merosot maka Terusbawa, menantu Linggawarman (wafat 669 M) menganggap perlu untuk mengalihkan pusat pemerintahan Tarumanaga ke Sundapura (670 M).

Terusbawa sebelum menggantikan Linggawarman sebagai raja Tarumanaga adalah raja di Sundapura. Posisi Sundapura sebelumnya merupakan salah satu kerajaan kecil dibawah kekuaasaan Tarumanagara, sama halnya dengan Galuh dan kerajaan kecil lainnya (+ 46 negara).

Pemindahan pusat pemerintahan dan penggantian nama dari Tarumanagara menjadi Sundapura (670 M), memicu Wretikandayun untuk memisahkan Galuh dan Negara-negara kecil disekitarnya dari Sundapura.

Namun Terusbawa menyadari posisinya dan memilih jalan damai, maka Galuh didiamkan untuk bediri sendiri lepas dari Kerjaan Sundapura. Mengenai batas wilayah Galuh dan Sundapura disepakati dibatasi oleh Sungai Citarum. Galuh kemudian dikenal pula dengan sebutan Parahiyangan.

Jika dilihat dari batas Kerajaan Tarumanagara yang mendasarkan pada catatan sejarah jawa barat, pada saat Purnawarman Wafat, terdapat 46 kerajaan yang ada dibawahnya. Istilah “tungtung sunda” dalam peta Indonesia sekarang dapat meliputi Selat Sunda dengan Kali Serayu di Jawa Tengah bagian selatan dan Kali Brebes (Cipamali) di Jawa Tengah bagian utara.

Peranan Mahapatih Bimaraksa

Peranan aKi Balangantrang dalam sejarah lisan lebih dikenal melalui cerita Ciung Wanara, berperan sebagai pengasuh Ciung Wanara. Dikisahkan pasangan Aki dan Nini Balangantrang telah lama merindukan seorang anak, hingga suatu malam ia bermimpi kejatuhan bulan. Mimpi itupun ditafsirkan, : ia akan menerima rejeki. Malam itu juga Aki Balangantrang membawa kecrikan (jala penangkapan ikan) kesungai Citanduy.

Betapa gembiranya Aki Balangantrang menemukan ranjang emas yang isinya sesosok bayi mungil, ditemani sebutir telur ayam. Bayipun dirawat hingga dewasa dan diberi nama “Ciung Wanara”. Sedangkan telur ayam kemudian ditetaskan dan jadilah “Hayum aduan”. Kemudian yang tak kalah hebatnya adalah peranan sang ayam yang dijadikan taruhan. Konon kabar dari sang juru pantun, ayam Ciung Wanara tersebut tidak terkalahkan, berkat ayam adu ini kemudian Ciung Wanara dapat menerima tahta galuh.

Dalam Babad Pajajaran yang menjadi pengasuh Ciung Wanara adalah Ki Anjali, pemilik panday besi - pengolah besi untuk berbagai keperluan perkakas dari besi, termasuk senjata tajam. Ki Anjali disebut-sebut juga sebagai orang yang memperkenalkan Ciung Wanara kepada lingkungan Kerajaan Galuh.

Ada juga sumber lain yang mengabarkan, bahwa Ki Anjali adalah partisan Galuh pendukung Ki Balangantrang, bertugas membina masa rakyat di panday besinya untuk melakukan pemberontakan terhadap Sundapura.

Selain eksistensi para tokoh diatas disebutkan peranan Banga atau Haryang Banga yang umurnya dianggap lebih tua dari Ciung Wanara. Mungkin cerita ini agak “kasilih” dengan cerita Lutung Kasarung, karena dalam cerita ini ada juga disebut eksistensi wanara (kera). Sekalipun demikian, memang ada persamaan ending dari ceritanya, yakni Ciung Wanara atau Manarah menjadi raja di Galuh menggantikan Tamperan.

Sebenarnya kita tidak dapat menyalahkan para petutur lisan ini, yang sering hiperbol atau warokti dalam menuturkan kisahnya, bahkan membiarkan hayalannya (cittanung maya) jauh membumbung meninggalkan kesejatian sejarah. Selain diatas, para petutur biasa juga tidak mengenal adanya batas logika, kita masih perlu menafsirkan hingga sesak dengan pemaknaan.

Apapun masalahnya, patut juga diberikan apresiasi, jika saja tidak ada peranan para petutur lisan, seperti juru pantun, maka kitapun menjadi kehilangan jejak sejarah, bakhan bisa jadi kita tidak memiliki bahan dasar untuk menemukan sejarah.(*)


Lanjut ke masa pemberontakan Purbasora ...........



Dari berbagai sumber

Masa Purbasora


Jika ditilik dari cikal bakal raja-raja Galuh, menurut Pustaka Raja Nusantara, pada umumnya dikenal dari kepanditaan dan kesalehannya dalam memegang “tetekon agama jeung dari gama”. Hal ini tidak heran karena sejarah leluhur pendiri Galuh berasal dari Kendan, yakni “Resiguru Manikmaya”.

Kekuasaan di Kendan ia dapatkan setelah menikah dengan putri Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara. Sehingga wajar jika dalam cerita rakyat sekitar Galuh, pemihakan terhadap raja-raja yang saleh (minandita) lebih dihormati ketimbang raja-raja yang hanya mengurusi tahta. Sedangkan wilayah Galuh sendiri lebih dikenal dengan sebutan Parahyangan (Para Hyang)

Galuh didirikan oleh Wretikandayun setelah membebaskan diri, tanpa darah dari Sundapura (670 M). Wretikandayun memiliki tiga orang putra, yakni Sempakwaja, Jantaka dan Mandiminyak. Hanya karena Sempakwaja giginya ompong dan Jantaka memiliki Hernia maka keduanya dianggap tidak berhak mewarisi tahta Galuh. Wretikandayun wafat tahun 702 M dalam usia 111 tahun.

Sepeninggal Wretikandayun, tahta Galuh diserahkan kepada Mandiminyak, anak bungsunya. Dalam catatan sejarah Mandiminyak disebut-sebut memiliki dua orang putra, yakni Bratasenawa atau Sena dan Sanaha. Sena merupakan anak hasil perselingkuhannya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja. Sanaha anak dari Parwati putri pasangan Kertikeyasinga dengan Ratu Sima. Kemudian Sena dan Sanaha (saudara se ayah) melakukan pernikahan dan melahirkan Sanjaya.

Sebelum menjadi raja galuh , Mandiminyak bersama istrinya pada tahun 695 M telah memerintah Mataram Kuno, pecahan dari Kalingga. Mandiminyak, setelah wafat digantikan Bratasenawa (709M) anak dari Rabbabu.

Memang peristiwa kelahiran Sena di Galuh dianggap aib besar. Untuk mendingin kan suasana Wretikandayun terpaksa harus memisahkan Mandiminyak dari Galuh dan menikahkannya dengan putri dari kerajaan kalingga.

Berikut ini saya cuplik dari Carita Parahyangan :

Carek Rahiang Sempakwaja:

"Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing tea."
Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.
"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.


Pemberontakan Pertama
Cerita yang sering hilang dari alurnya adalah alasan para keturunan Wretikandayun lainnya (Purbasora dan Bimaraksa) melakukan pemberontakan terhadap Bratasenawa yang termasuk keluarganya sendiri. Hal ini dimungkinkan jika dilihat dari dua alasan.

Pertama, keturunan Sempakwaja (Purbasora) merasa lebih berhak menggantikan tahta Wretikandayun, mengingat Sempakwaja anak pertama Wretikandayun. Sedangkan Bimaraksa, anak jantaka merupakan menantu dari Purbasora, sehingga wajar jika Bimarksa memihak Purbasora.


Kedua dapat saja disebabkan oleh asal-usul kelahiran Sena dan perilaku Mandiminyak yang dianggap tidak lajim oleh keturunan Wretikandayun lainnya. Perilaku menyimpang ini didalam sejarah raja-raja tatar sunda selalu diberi cap kurang baik. Selain hal tersebut, dilihat dari kesejarahan Galuh yang didirikan oleh seorang resi, mereka lebih menghormati raja-raja yang minandita. Disini ada semacam pesan moral yang terkait dengan masalah (bibit, bobit, bebet).

Dalam cerita yang beredar diluar Galuh, Sena memang dikenal sebagai orang alim namun kurang mendapat sambutan lingkungan keluarga Galuh, antara lain disebabkan sirsilah kelahiran diatasnya. Kekurang nyamanan lingkungan Galuh menyulut pemberontakan terhadapnya sehingga pada 716 M Sena dijatuhkan dari takhtanya, akibat pemberontakan yang dipimpin Purbasora.

Keberhasilan Purbasora tentunya tidak dapat dipisahkan dari peranan Demunawan dan Bimaraksa. Secara gagah berani Bimaraksa memimpin pasukan Bhayangkara, balabantuan dari Indraprahasta (kerajaannya terletak di Cirebon Girang). Bimaraksa dikenal pula sebagai senapati yang akhli memainkan berbagai jenis senjata dan akhli strategi perang. Mengingat peran Bimaraksa yang begitu besar dalam penggulingan Sena maka Purbasora mengangkatnya sebagai Senapati sekaligus Mahapatih Galuh.

Sekalipun tidak sebanyak bahasan untuk Sanjaya, carita Parahyangan menceritakan perihal suksesi di Galuh, sebagai berikut :

Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.


Keberpihakan Bimaraksa dan Demunawan terhadap Purbasora memberikan legitimatasi pada gerakan pemberontakan Purbasora, bahwa sedang terjadi pemberontakan dari tiga orang keturunan Wretikandayun terhadap keturunan Wretikandayun lainnya yang dianggap tidak syah tetapi menguasai tahta Galuh. Disinilah mulai terbentuk epos aki Balangantrang ((**)

Lanjut ke masa Sanjaya.


Dari berbagai sumber.

Masa Sanjaya


Pada cerita sebelumnya dijelaskan identitas Balangantrang berikut eksistensinya dalam membantu Purbasora merebut tahta Galuh dari Sana, atau Bratasenawa. Namun Kisah kemenangan Senjaya, putra Bratasenawa merebut kembali Galuh hampir tidak diketahui, jarang diceritakan atau mungkin juga tidak pernah terceritakan dalam sejarah lisan, sehingga kisah Balangantrang menjadi raib. Kisah ini baru muncul kembali dalam cerita Ciung Wanara. Itupun karena Balangantrang disebut-sebut sebagai pengasuh Ciung Wanara.

Meretas alur kesejarahan Sanjaya di Galuh hemat saya menjadi penting, karena eksistensi Sanjaya sebagai penguasa Sunda – Galuh didalam kesajarahan nusantara menjadi tak tersambung, padahal Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya di Mataram Kuno - Medang, dan sekaligus penguasa Sunda dan Galuh. Dengan demikian Sanjaya memiliki wilayah kekuasaan yang lebih luas dari kekuasaan raja-raja Tarumanagara.


Sanjaya dalam sejarah Jawa Madha
Keharuman nama Senjaya di Jawa Kwulon, Madha dan Pawathan tak terkirakan. Menurut Slamet Mulyana, hanya Sanjaya yang menggunakan gelar Ratu dalam sirsilah raja-raja Medang, sedangkan yang lainnya menggunakan gelar Sri Maharaja. Gelar Ratu identik dengan sebutan Datu, pemimpin, keduanya diakui sebagai gelar orang Indonesia asli.

Prasasti Canggal yang dibuat Sanjaya pada tahun 732 M menyebutkan Raja Sanjaya merupakan pendiri Wangsa Sanjaya yang bertahta di Mataram Kuno – Jawa Tengah, Prasasti itupun menyebutkan, bahwa ada raja Medang sebelum Sanjaya yang memerintah Pulau Jawa, yakni Sanna.

Kisah Karuhun Sanjaya di Jawa Madha dan Pawathan terputus dan tidak terlacak, bahkan disinyalir hampir sama dengan kisah Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang hanya mengkalim dirinya keturunan raja-raja Singasari. Namun kedua sejarah tersebut diuraikan dalam sejarah Sunda.

Jika saja mau sedikit telaten “Nyungsi Laratan” Sanjaya, atau sedikit mau berbesar hati membuka wacana ke Indonesiaan, Karuhun Sanjaya sebenarnya diuraikan dalam Carita Parahyangan. Ia disebut sebut sebagai putra Sanna, sedangkan Sanna adalah Putra Mandiminyak dari hasil hubungan gelapnya dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakak Mandiminyak, atau dikenal pula sebagai ayah dari Purbasora.

Namun didalam buku pelajaran kelas empat Sekolah Dasar, Sanjaya disebut-sebut berasal dari Kerajaan Saunggalah, tapi entah dimana, yang jelas Kerajaan ciptaan itu meleburkan eksistensi Galuh sebagai salah satu kerajaan yang ada di tatar pasundan.

Carita Parahyangan memberi nama Rakeyan Jambri, dengan panggilan Rahyang Sanjaya.

Fragmen dari Carita Parahyangan tersebut, sbb :

Lawasna jadi ratu, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang Sena.
Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta dibunikeun.

Carek Rahiangtang Kidul:

"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"

Carek Rakian Jambri:

"Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."

Kemudian ada juga yang mengaitkan Sannaha sebagai ibu dari Sanjaya. Karena dianggap suatu hal yang mustahil jika Sannaha mau mendudukan Sanjaya di tahta Medang sepeninggalnya Sena. Sannaha disebut sebut juga sebagai putri Mandiminyak dari Parwati, Putri Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, penguasa Kalingga. Dengan demikian disinyalir pula adanya perkawinan sedarah, antara Sena dengan Sannaha.

Prasasti Mantyasih yang dibuat pada tahun 907 menyebutkan raja Medang pertama adalah Rahyang ta rumuhun ri Medang Poh Pitu (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) namun tidak menjelaskan adanya Sanna sebagai pendahulunya.

Menurut versi ini, Sanjaya menjadi Raja di Medang setelah Sanna meninggal yang menimbulkan kekacauan. Kemudian Sanjaya menjadi Raja atas bantuan Sannaha, yang disebut-sebut sebagai Saudara perempuan Sanna.

Jejak Balangantrang pada masa Sanjaya
Hilangnya jejak Sanjaya menimbulkan putusnya jujutan Karuhun Sunda Galuh, terutama kaitannya dalam Kisah Ciung Wanara. Salah satu contoh adalah Kisah Bimaraksa atau lalakon Aki Balangantrang setelah kekalahan Purbasora oleh Sanjaya.

Kekisruhan sejarah lainnya ditenggarai dalam menempatkan identitas Ciung Wanara atau Manarah dengan Banga atau Haryang Banga. Padahal keduanya merupakan penerus syah dari kekuasaan raja-raja di tatar pasundan.

Ciung Wanara dan Haryang Banga dianggap “dulur pateterean”, dan palaputra dari Prabu Brama Wijayakusumah, dari dua ini yang berbeda, yakni Pohaci Naganingrum yang berputra Ciung Wanara dan Dewi Pangrenyep yang berputra Haryang Banga.

Konon kabar ketika Haryang Banga berumur 3 tahun Pohaci Naganingrum belum juga hamil. Ketika hamil Dewi Pangrenyep memrintahkan semua embank meningalkan Dewi Pohjaci dengan alasan, : kelahiran bayi Pohaci akan diurus langsung oleh Pangrenyep. Menurut cerita pula, ketika lahir bayi itu dibuang dan digantikan oleh seekor anjing, sehingga Dewi Pohaci dianggap melahirkan seeokr anjing. Serta dianggap aib dan harus dibuang. Disinilah dimulainya “lalakon” Ciung Wanara.

Dari untaian cerita rakyat, saya agak sulit menarik kesimpulan tentang : Siapa yang dimaksud dengan Prabu Brama Wijayakusumah ?, Tamperan Barma Wijaya atau Permana Dikusumah. Karena keduanya pernah memiliki istri yang sama, yakni Dewi Pohaci dan Dewi Pangrenyep (lihat kisah balangantrang dalam Masa Ciungwanara).

Bisa saja pasilih carita ini disebabkan dari cara menafsirkan rujukannya, karena dalam Carita Parhyangan Tamperan secara sepintas dapat disebut ayah Manarah.

Cuplikan dari persitiwa tersebut sebagai berikut :

Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,
ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu
kana panjara beusi tea. Kanyahoan ku Sang Manarah,
tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.

Masalah kedua, status Ciung Wanara dengan Haryang Banga yang dianggap saudara satu ayah, menimbulkan terputusnya kisah perseteruan keturunan Wretikandayun dari Sempakwaja dan Jantaka dengan Mandiminyak. Berakibat pula eksistensi Purbasora dan Senjaya menjadi tidak terceritakan, serta peran Balangantrang didalam Kisah Ciung Wanara hanya menjadi bumbu cerita.

Masalah ketiga menyebabkan kisah kasih Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah tercampur dengan “lalampahan” Mandiminyak yang berhasil menghamili Rabbabu, istri kakaknya, yakni Sempak Waja.

Kisah ini disebut-sebut didalam Carita Parahyangan, dari hasil perselingkuhan melahirkan Sena (Bratasenawa) ayah Sanjaya. Bagi saya, ketidak utuhan penangkapan informasi oleh masyarakat menjadi wajar, karena masalah Mandiminyak maupun Tamperan dianggap aib, sehingga pesannya disampaikan secara bisik-bisik.

Mungkin kekisruhan kisah ini yang menyebabkan peran Bimaraksa menjadi terpisah dengan nama Balangantrang. Karena Balangantrang dalam sejarah lisan hanya diberi peran sebagai pengasuh dan bumbu dari cerita Ciung Wanara. Padahal didalam sejarah Galuh, Balangantrang memiliki epos tersendiri, mengantarkan Ciungwanara ketampuk kekuasaan Galuh.

Sanjaya Mengembalikan Tahta Galuh
Pengambilan alihan kembali tahta Galuh oleh Sanjaya, sebagai pewaris syah dari Sena diuraikan dalam cerita Parahyangan :

Carek Rahiangtang Kidul:
"Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku ti Galuh.
Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"

Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku Rahiang Purbasora."


"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."


Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?"


"Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh, 'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang Resi Guru."


Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang ka Galuh.


Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.


Kedatangan Sanjaya kepada Jantaka seperti diuraikan diatas sebenarnya hanya untuk meminta agar dapat bertindak sebagai pemberi keadilan, namun permintaan ini membuahkan kegalauan bagi Rahyang Guru (Jantaka). Mengingat, disatu sisi ia menganggap Sanjaya sebagai pewaris syah tahta Galuh disisi lain Bimaraksa, anaknya terlibat membantu Purbasora. Kisah selanjutnya Eahyang Guru memilih diam dan tidak terlibat dalam perseturan anak Sempakwaja, kakaknya dengan anak Mandiminyak, adiknya.

Kisah Sanjaya di Galuh tentunya sejaman dengan Kisah Balangantrang, mengingat keduanya actor intelectual dari persitiwa tersebut dan keturunan dari Wretikandayun, pendiri Galuh, yang sedang bersebrangan.

Jika dipetakan kekuatan politis dan militer Sanjaya, tentunya pada saat itu masih unggul dibandingkan Purbasora. Sekalipun Purbasora berhasil menurunkan Sena (ayah Sanjaya) dari tampuk pimpinan Kerajaan Galuh, namun tidak dapat begitu saja bisa menikmati kejayaannya, dan Purbasora sangat dihantui serangan Sena yang akan datang sewaktu-waktu.

Untuk mempertahankan kekuasaanya, Purbasora kemudian membentuk pasukan khusus dari legiun Indraprahasta (mertua Purbasora) yang panglimanya langsung berada dibawah Bimaraksa. Maka dalam cerita ini, Balangantrang masih memiliki eksistensi.

Sena pada waktu itu sangat bersahabat dengan Terusbawa, raja Sundapura yang memiliki legiun cukup kuat untuk menyerang Galuh. Sewaktu-waktu bias saja Sena meminta bantuan Terusbawa.

Kedua Sena cucu suami dari Parwati, penguasa Mataram dan iapun masih bersaudara dengan Dewasinga, keduanya keturunan Kalingga. Namun Sena yang dikenal santun dan alim ini menyadari kondisi percaturan politik di Galuh yang tidak menyenangi kehadirannya. Cukup beralasan jika tidak berniat melakukan pembalasan.

Lainnya dengan Sanjaya, putra Sena. Ia menganggap peristiwa ini sebagai penghinaan kepada ayahnya. Ketika peristiwa tersebut terjadi Sena tidak ada di Galuh. Kemudian Mempersiapkan diri menuntut balas atas penghinaan kepada Sena. Namun sama halnya dengan Sena, Sajnaya pun tidak berkeinginan menjadi Raja di Galuh.

Titik kekuatan lainnya yang dimiliki Sena setelah ia menikahkan Senjaya, putranya dengan putri Terusbawa, putri mahkota Sundapura.

Sanjayapun sebelumnya dinikahkan dengan Sudiwara putri Dewasinga. Dengan demikian posisi Sanjaya ketika itu sebagai putra mahkota Mataram dari Sanaha, ibunya ; sebagai putra mahkota Galuh dari Sena, ayahnya ; dan suami dari putri mahkora Sundapura. Jika diletakan dalam atlas, secara politis Sanjaya bisa menguasai 75% pulau jawa.

Untuk melaksanakan niatnya Sanjaya melatih pasukan khusus di Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Disisi lain Sanjaya pun dibantu pasukan sunda yang dipimpin langsung oleh Patih Anggada. Sehingga hanya dalam satu kali penyerangan dimalam hari, Purbasora dan keluarganya dibantai habis.

Dalam cerita ini memang ada yang sedikit aneh, karena Bimaraksa, senapati yang sekaligus patih dari Galuh, bersama sebagian kecil pasukannya berhasil meloloskan diri, sehingga bias ditafsirkan adanya persekongkolan. Namun alasannya diuraikan dalam sejarah Jawa Barat, bahwa : Sanjaya mendapat pesan dari Sena, kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati.

Dalam cerita ini dikisahkan pula, pasca kekalahan Purbasora, Demuwan diminta Sanjaya untuk menjadi memegang pemerintahan Galuh dibawah Sanjaya, sedangkan Bimaraksa kemudian menetap di Geger Sunten dan menyusun kekuatan baru. Iapun lebih dikenal dengan sebutan Balangantrang, dalam sejarah lisan disebut Aki Balangantrang, penyampai benang merah kisah Galuh kepada Ciung Wanara.

Permana Dikusumah
Sanjaya sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia pun berkeinginan menyudahi perang saudara. Sebagai orang yang taat terhadap orang tua iapun mengikuti pesan Sena untuk meminta restu dan menghormati orang-orang tua di Galuh. Langkah ini nampak dari cara Sanjaya meminta restu dari Sanjaya untuk memintakan pendapat agar Demuwan dapat diangkat sebagai “piparentaheun” – pemerintah yang mewakili kepentingan Sanjaya di Galuh.



Sempakwaja sebagai ayah dari Purbasora dan Demuwan tentunya patut mencurigai permintaan Sanjaya. Ia berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan sundapura pembunuh Purbasora. ia pun masih teringat perjuangan Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara.

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai berikut :

Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,
carek Dangiang Guru:
"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,
Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.
Da beunang ku aing kabawah.
Turut kana ucapan aing.
Da aing wenang ngelehkeun,
hanteu kasoran. Da aing anak dewata."

Sebagai orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta (Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.

Kekalahan Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja menunjuk Permana Dikusumah, putra Wijayakusumah, cucu Purbasora untuk memegang pemerintahan Sanjaya di Galuh, dan Sanjaya menyetujuinya.

Untuk mengontrol kekuasaan Permana Dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di Purasaba Galuh (***)

Laju ka masa Manarah..................

Masa Manarah


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Balangantrang dikenal juga dengan nama Bimaraksa, dalam cerita rakyat dikenal dalam kisah Ciung Wanara sebagai pasangan nini aki Balangantrang yang menemukan bayi Ciung Wanara, bayi itu ia beri nama Ciung Wanara.


Tersebutlah sepasang aki dan nini Balangantrang yang tinggal di Geger Sunten, suatu wilayah yang tidak memiliki tetangga. Karena kesepiannya si nini merindukan kehadiran anak yang konon tak kunjung tiba. Hingga pada suatu malam, si nini bermimpi kejatuhan bulan, si aki pun menafsirkan bahwa sebentar lagi ia akan mendapat rejeki.


Karena profesi aki Balangantrang sebagai penangkap ikan, pada malam itu juga aki membawa “kecrik” ke kali Cintanduy. Namun tanpa diduga duga, tiba-tiba melihat ranjang bayi yang gemerlap di tepi sungai, "lir ibarat emasng singaling". ia pun lantas mengambil dan memeriksanya. Betapa terkejutnya ketika dibuka nampak sesosok bayi mungil yang masih hidup. Disebelah bayi tergeletak sebutir telor ayam.

Konon menurut yang empunya cerita, bayi itu lantas di “rorok” dengan penuh kasih hingga dewasa, sedangkan telur ayamnya di tetaskan hingga menjadi seekor ayam jantan. Konon pula, kelak ayam itu menjadi ayam aduan yang tangguh dan berhasil mempersembahkan mahkota.

Balangantrang mendapat kabar, bayi yang ia pelihara itu ternyata anak raja. Aki dan Nini pun kemudian membekali pengetahuan secukupnya. Mereka pun menceritakan kepada Ciung Wanara, bahwa mereka sebenarnya bukan orang tuanya. Dan orang tua Ciung Wanara adalah seorang raja. Cerita selanjutnya dikisahkan, bagaimana Ciung Wanara memenangkan taruhan adu ayam, hingga kemudian ia menjadi raja di Galuh.

Dalam cerita lisan ini memang tidak disebutkan adanya pemisahan batas kekuasaan Manarah dengan Haryang Banga sebagaimana yang dikenal dalam catatan sejarah resmi. Namun ada persamaan mengenai batas wilayah kekuasaanya, yakni di batasi Kali Citarum.

Manarah dan Balangantrang



Dalam catatan sejarah, Ciung Wanara dikenal dengan nama Manarah, putra Permana Dikusumah – seorang raja “nu minandita” dari Pohaci Naganingrum, putri Balangantrang.

Permana Dikusumah lebih dikenal karena sikapnya yang minandita. Permana Dikusumah lebih senang bertapa ketimbang mengurus tahtanya. Dari sifatnya yang alim, Permana Dikusumah diberi nama Bagawan Sijalajala atau Ki Ajar Resi. Dengan demikian Manarah adalah cucu dari Bimaraksa.

Tentang Permana Dikusumah, biasanya cerita lisan sering “pacaruk” dengan cerita Mundiinglaya Dikusumah (Surawisesa), mungkin cerita ini terbaur karena memliki nama yang sama, yakni Dikusumah, agak sulit dibedakan. Sehingga epos Sunda (Sundapura) dengan Galuh menjadi cair.

Permana Dikusumah sebenarnya bukan keturunan Mandiminyak yang mendapat amanah menggantikan Wretikandayun, ayahnya. Ia anak Patih Wijaya Kusumah, Putra Prbasora. Memang sepintas menjadi aneh dan menimbulkan pertanyaan serius bagi para akhli sejarah :”kenapa Sanjaya memilih Permana Dikusumah sebagai pemegang pemerintahan di Galuh dan Sanjaya malah tinggal di ibu kota sunda ?.

Para akhli sejarah mencari jawaban ini dari Carita Parhyangan. Konon kabar setelah mengalahkan Purbasora, kemudian ia mengutus patih menemui Sempakwaja. Ia meminta agar Demuwan (adik Purbasora dan anak Sempakwaja) direstui untuk memegang pemerintahan di Galuh.


Karena Sanjaya tidak memiliki ambisi untuk tinggal di Galuh, Ia berkeinginan untuk menyudahi perang saudara. Sanjaya pun meminta restu ini karena menghormati orang-orang tua di Galuh sesuai dengan pesan Sena (ayah Sanjaya).


Sempakwaja patut mencurigai permintaan ini dan berpikir : permintaan ini hanya akan menjebak Demunawan untuk kemudian dibinasakan. Ia pun tidak rela anaknya menjadi bawahan sundapura pembunuh Purbasora. Sedang ia pun masih teringat perjuangan Wretikandayun, ayahnya ketika membebaskan Galuh dari Sundapura. Iapun tidak lantas menolak permintaan itu dan ia pun tidak lekas mengabulkan permintaan restu untuk mengakui Sanjaya sebagai penguasa Galuh. Namun Sempakwaja saja, bahwa : Sanjaya adalah pewaris sah kerajaan Galuh.

Untuk menjawab semua permintaan Sanjaya, Sempakwaja memberikan syarat dan tantangan : jika Sanjaya ingin direstui sebagai penguasa Galuh, maka Sanjaya harus membuktikan keunggulannya dengan cara menaklukan raja-raja di jawa tengah dan disekitar Galuh. Karena galuh bukan kerajaan kecil. Galuh harus dipimpin orang yang kuat. Syarat itupun sebenarnya ada maksudnya. Sempakwaja berniat menghadapkan Senjaya dengan jago andalannya, Pandawa, Wulan dan Tumanggul, masing-masing raja Kuningan, kajaron dan Kalanggara.

Sempakwaja juga meminta janji Sanjaya, jika Sanjaya dapat menaklukan tiga serangkai tersebut, maka Sempakwaja akan mengikuti apa yang dimintakan Sanjaya, namun jika sebaliknya maka Sanjaya harus mengikuti kemauan Sempakwaja. Kisah ini diceritakan didalam Carita Parhyangan, sebagai berikut :


Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru,

carek Dangiang Guru:


"Rahiang Sanjaya! Lamun kaereh ku sia Sang Wulan,

Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,

aing bakal nurut kana sagala ucapan sia.

Da beunang ku aing kabawah.

Turut kana ucapan aing.

Da aing wenang ngelehkeun,

hanteu kasoran. Da aing anak dewata."



Sebagai orang yang mentaati orang tua dan leber elmu jeung wawanena, tantangan ini pun disambut gembira oleh Sanjaya, Sanjaya pun menyiapkan pasukannya. Kisah peperangan ini diabadikan didalam Naskah Wangsakerta (Naskah Kretabumi), isinya mengabarkan : Ketika belum menjadi raja Galuh Sanjaya dikalahkan oleh Pandawa raja Kuningan. Kelak setelah menguasai jawa kulwan (Sunda-Galuh) dan Medang (jawa madha) dengan pasukan yang besar, Sanjaya dapat terus memenangkan peperangan.

Kekalahan Sanjaya oleh tiga serangkai tersebut mengakibatkan ia harus memenuhi janjinya untuk tunduk pada keinginan Sempakwaja. Kemudian Sempakwaja menunjuk Permana Dikusumah untuk memegang pemerintahan di Galuh, dan Sanjaya pun menyetujuinya.

Ending yang sama namun disajikan dengan alasan yang berbeda, dikemukakan dalam Naskah Wangsakerta, isinya mengabarkan : Sanjaya menjadi Raja Galuh Pakuan (sunda dan galuh) tetapi kerabatnya, yakni Sempakwaja dan Demuwan merasa tidak senang melihat Sanjaya menjadi penguasa sekitar Galuh, terutama melihat Galuh berada dibawah Kerajaan Sunda.

Karena itu ia tinggal di ibukota sunda. Oleh karenanya Galuh dikuasakan kepada Prabu Permana Dikusumah sebagai raja bawahan sunda. Untuk mengontrol kekuasaan Permana dikusumah, Sanjaya melantik Tamperan atau Barmawijaya, putranya dari sunda sebagai patih duta Sunda. Tamperan juga diberi kekuasaan untuk memimpin Garnisun sunda yang ditempatkan di Purasaba Galuh.

Peristiwa Dewi Pangrenyep
Telah diuraikan diatas, Permana Dikusumah sangat terkenal dengan kepanditaannya, iapun pernah menjadi raja dibawah kekuasaan Mandiminyak. Bahkan julukan resi ia terima sejak masih muda.

Permana Dikusumah juga menantu Bimaraksa. Dari Naganingrum kemudian ia dikaruni anak yang diberi nama Surotama atau Manarah. Ada juga petutur yang memberinya nama Ciung Manarah, sedangkan dalam tradisi lisan (pantun), Manarah dikenall dengan sebutan Ciung Wanara. Ia sangat disayang, kakeknya, Bimaraksa. Dari Manarah terkumpul darah keturunan Wretikandayun tulen, yakni Sempakwaja dan Jantaka.

Pada periode kepemimpinan di Galuh, Permana Dikusumah di jodohkan dengan Dewi Pangrenyep, putri Anggada, patih Sundapura. Umurnya jauh lebih muda dari Permana Dikusumah.


Konon kabar karena beda umur ini dan hobinya Permana Dikusumah menyebabkan Pangrenyep menjadi kesepian. Dalam cerita lain, seringnya Permana Dikusumah pergi bertapa disebabkan keengganannya mengabdi kepada Sanjaya, pembunuh kakeknya. Namun semua itu ia lakukan sesuai permintaan Sempakwaja, kakek buyutnya.

Selama ditinggalkan bertapa Pangrenyep sering bertemu dengan Tamperan, patih yang masih muda dan gagah perkasa, terjadilah perselingkuhan. Hal inipun tidak diketahui Sanjaya, mengingat Sanjaya masih terus melakukan ekspansi kenegara lain.


Hubungan gelap Tamperan kemudian melahirkan seorang anak, yang diberi nama Banga. Permana beranggapan, Manarah tidak akan pernah menjadi Raja Galuh, karena siapapun yang dilahirkan Pangrenyep, secara resmi masih istri Permana, dinisacayakan menjadi raja di Galuh.

Sampai cerita ini, banyak sejarah nu pagaliwota, paling tidak penafsiran Manarah satu ayah dengan Banga, dan menganggap Permana Dikusumah telah meninggal, sehingga perseteruan Manarah dengan Banga dianggap perebutan tahta adik dan kakak.


Peristiwa memalukan ini kemudian diketahui Sanjaya. Untuk menutup aib Sanjaya menyingkirkan Tamperan ke Pakuan. Setelah penaklukan Jawa Madha dan Jawa Pawathan, Sanjaya memutuskan untuk tinggal di Galuh. Namun tidak berlansung lama, karena pada suatu ketika Sena meminta sanjaya menggantikannya, menjadi raja di Mataram.
Permintaan ayahnya tersebut menyebabkan Senjaya sangat sulit untuk menentukan pengganti yang dapat mejadi wakilnya di Galuh. Sementara itu, Permana Dikusumah pun telah berketetapan untuk menjadi pertapa dan meninggalkan kesibukan dunia. Pada akhirnya Senjaya menunjukan Tamperan sebagai penguasa Galuh.

Balangantrang manggung deui
Sebenarnya cinta terlarang tamperan dengan Pangrenyep tidak akan menumpahkan darah jika Tamperan tidak membunuh Permana Dikusumah dipertapannya. Pembunuhan terjadi ketika Tamperan menggantikan posisi Sanjaya di Galuh, namun ia belum memiliki permaisuri. Ia memilih pangrenyep untuk menjadi istrinya. Sayangnya Pangrenyep masih istri resmi dari Permana Dikusumah, hingga iapun perlu terlebih dahulu melenyapkan Permana Dikusumah.

Setelah suruhannya berhasil membunuh Permana Dikusumah kemudian iapun sekaligus menikahi Pangranyep dan Naganingrum. Iapun memperlakukan Manarah seperti anaknya sendiri. Mungkin peristiwa inilah yang ditafsirkan Manarah dan Banga adik kakak satu ayah. Bahkan dalam cerita rakyat nama ayah keduanya disebut-sebut Prabu Brama Wijayakusumah, hampir sama dengan nama Tamperan Barmawijaya.


Skandal yang sebelumnya menjadi rahasia Tamperan pada akhirnya tercium luas di lingkungan Galuh, terdengar pula oleh Bimaraksa di Geger Sunten, pada waktu itu sedang aktif menghimpun kekuatan dengan nama Aki Balangntrang. Ia pun mendapat dukungan dari raja-raja sekitar Galuh yang berhasil ditaklukan Sanjaya. Tugas ini tidak begitu sulit dilakukan, karena sebelumnya ia dikenal sebagai senapati dan Patih Galuh yang tangguh, serta masih terhitung cucu dari Wretikandayun.

Untuk mematangkan soliditas perlawanan, Balangantrang merasa perlu menarik Manarah dipihaknya. Memang agak sulit, karena Tamperan mengakui dan memperlakukan Manarah sebagai anaknya sendiri. Namun bagi gerakan Balangantrang, Manarah adalah simbol perlawanan Galuh, karena ia anak Permana Dikusumah yang dibunuh Tamperan. Pada akhirnya Manarah dapat diyakinkan, hingga iapun sering secara diam-diam menemui kakeknya di Geger Sunten.


Penyerbuan Manarah dan pasukan Balangantrang untuk menguasai Galuh diatur dengan seksama. Bagi mereka masalah penguasaan teritorial kota Galuh tidak sulit dilakukan, mengingat kesehariannya Ia hidup dilingkungan Galuh. Balangantrang merencanakan untuk melakukan penyerbuan pada siang hari, dengan cara langsung menguasai istana, sedangkan Manarah melakukannya ditempat sabung ayam, ia akan terlibat sebagai peserta sabung ayam. Biasanya pada acara itu di hadiri pada saat para pembesar istana (termasuk Tamperan). Sehingga dengan taktik ini Balangantrang akan sangat mudah menguasai istana. Namun dalam sejarah lisan, masyarakat Galuh lebih banyak menceritakan kisah sabung ayamnya, ketimbang penguasaan keraton oleh pasukan Balangantrang.


Upaya merebut tahta Galuh itu dilakukan pada tahun 723, dan berhasil dengan gemilang. Jika Sanjaya dahulu merebut tahta Galuh dari Purbasora dilakukan pada malam hari, namun Manarah dengan Balangantrang melakukannya pada siang hari.


Persitiwa ini diceritakan didalam Carita Parahyangan, cuplikannya sebagai berikut :

Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna,
ku Sang Manarah.
Dipanjara beusi Rahiang Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik,
sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah,
tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa,
mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa,

Rahiang Tamperan
lilana ngadeg raja tujuh taun,
lantaran polahna resep
ngarusak nu tapa,
mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh

taun, lantaran tabeatna hade.

Perjanjian Galuh
Sanjaya mendengar berita kematian anaknya, dengan pasukan besarnya IA menyerang purasaba Galuh. Tapi Manarah telah mempersiapkan diri menyongsong serangan,dibantu oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang kerajaannya telah dibumi hanguskan Sanjaya, disampng itu ia dibantu raja-raja di daerah Kuningan yang pernah ditaklukan Sanjaya.

Pengulangan perang saudara tidak berlangsung lama karena dapat dilerai oleh Resi Demuwan. yang memaksa mereka untuk berunding.

Dari perundingan kemudian disepakati, : menyudahi permusuhan ; tidak boleh saling menyerang ; penyelesaian masalah harus dengan musyawarah ; hubungan kekerabatan tidak boleh terputus ; harus saling menghormati hak ahli waris yang syah, yakni negeri sunda dari daerah Citarum ke barat dipimpin oleh Banga sedangkan Negeri Galuh dari Sungai Citarum ke timur dipimpin oleh Manarah.


Memang patut disayangkan, bekas kerajaan Tarumanagara yang berhasil disatukan oleh Sanjaya (723 – 739) terpaksa harus terpisah kembali. Namun ketika jaman Pajajaran (Kawali dan Pakuan) wilayah ini untuk yang kedua kalinya dapat dipersatukan.

Dalam babak berikutnya Galuh diserahkan kepada Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana, sedangkan Sunda diserahkan kepada Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya. Perundingan itupun menetapkan status Banga menjadi raja bawahan Galuh. Namun Banga menerima keputusan ini, karena ia merasa masih bisa tetap hidup karena kebaikan Manarah.

Sama dengan tradisi raja-raja dahulu yang kerap dilakukan, adalah mengikat pertalian saudara melalui perkawinan. Untuk lebih mempererat persaudaraan dan menyatukan kembali keturunan Wretikandayun, keduanya dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dijodohkan dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.


Dari perkawinan dengan Kancanasari, manarah mempunyai beberapa orang putri, iapun kemudian diganti oleh menantunya, Manisri, suami dari Puspasari. Karena tidak diketahui asal-usulnya, maka didalam Cerita Lutung Kasarung, Manisri dianggap sebagai Putra Sunan Ambu, sedangkan Puspasari bernama Purbasari.

Rupanya keturunan Manarah sangat sulit memperoleh anak laki-laki dan keturunan, karena ketika Linggabumi cicit dari Manarah, terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaanya kepada Rakeryan Wuwus, raja sunda keturunan Banga, suami adiknya

Lainnya halnya dengan Banga, ia berhasil menaklukan raja-raja disekitar Citarum, untuk kemudian iapun melepaskan dari Galuh dan menjadi negara merdeka. Hingga Sunda menjadi sederajat dengan Galuh. Iapun dikarunia keturunan yang tidak terputus, bahkan cicit Banga , yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon, yang menjadi Raja Sunda ke-8. Diserahi menjadi raja Galuh, karena Lingga Bumi, keturunan Manarah tidak mempunyai keturunan.

Panutup
Setelah perjanjian dilaksanakan, dan Balangantrang berhasil mengantar Manarah, menjadi raja di Galuh, Balangantrang kembali ke Geger Sunten. Tentunya sekarang tidak lagi perlu bersembunyi seperti ketika ia bergerilya. Tinggalah Manarah yang dibantu anak-anak muda, melanjutkan tugasnya untuk mengemban hidup dan kehidupan. Aki Balangantrang masih hidup dengan para juru pantun, sekalipun raganya sudah tak lagi ada.

Cag heula. Pamuga jaga aya nu ngorehan carita jeung bebenerana (***).

Dari berbagai sumber.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960