Jumat, 09 Oktober 2009

In Memoriam Kang Duduh


Asa cik keneh tepung jeung Kang Duduh. Ceuk Indung kuring mah Kang Duduh teh babaturan sakola keur SD di Ciwidey. Malah Indung kuring pernah nganjrek di bumi ramana kang Duduh, nu katelah Anom Kiking. Lantaran harita aki kuring masih keneh jadi kapala kahutanan di Cimanggu. Harita mah ka Cimanggu teh masih naek kuda, teu jiga ayeuna loba angkot jeung ojeg jurusan Ciwidey – Cimanggu.

Kuring wanoh ka Kang Duduh lain lantaran di wanohkeun, tapi kabeneran sakaresep maen bridsen. Harita masih keneh SMA sok dibabawa maen ku Kang Pandi, raka teh Maya, istrina Kang Duduh. Harita Kang Duduh masih keneh ngajar di Bandung. Biasana maen teh saminggu dua kali. Jadi paling elat tepung teh saminggu dua kali.

Tepung deui waktu rek acara tujuh belasan, awal taun 80-an. Harita Kang Duduh keur sibuk ngajurian FFI. Tapi diolo mah teu burung kersaeun ngalatih kuring jeung babaturan. Saur Kang Duduh : “ulah teater rada panjang waktuna, mending oratorium”. Der we kuring saparakanca latihan oratorium langsung di sutradaraan ku anjeunna. Ti harita campleng kuring teu tepung deui. Sok komo kuring kudu ngumbara nyebrang pulo. Mun diitung-itung mah dua puluh taunan. Ngan kuring masih sering maca karya-karya Kang Duduh di Majalah atawa surat kabar.

Saprak pindah deui ka Batawi kuring remen ka lembur, komo mun aya program ngalatih barudak di leuweung. Tapi teu kungsi deui tepung sareng kang Duduh. Ngan cenah mah Kang Duduh tos ngalih ka Cibolerang.

Kira-kira genep bulan katukang mukaan deui buku-buku Kisunda, da bongan maca buku nu lian mah kerur rada bosen, gancang robahna. Memang aya gerentes hate hayang nepungan Kang Duduh, maksud teh rek nambut buku-bukuna. Lebaran kamari di nawaetuan.

Basa keur silaturakhmi jeung babaturan di imah, ras we inget ka Kang Duduh. Ceuk kuring, : “Cing euy anteur ka bumina Kang Duduh, urang aya perlu”. Babaturan teh lain ngajawab, malah ngabetem. Meurun nyangka na teh kuring heureuy. Lantaran kuring nanya wae terus babaturan ngajawab. “Kapan tadi enjing-enjing Kang Duduh Pupus. Malahan parantos di makam keun di awi surat”. Ngadenge kitu asa leuleus awak. Kuring ngan nembalan “Innalilalhi Wainna illah rojiun”. Mudah-mudahan Kang Duduh sing di tampi iman kalih islamna. Sing dicaang padangkeun di alam kuburna. Amin.


Lebaran kadua, 2008

Balangantrang.


Copas dari puyya multiply

Rabu, 03 Juni 2009

Sjrh Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda sebagai bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan–bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa Jawa, Konon kabar sejak abad 17 (Jatuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.




Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.


Bahasa Sunda manggung deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara resmi


Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.


Perihal hubungan Budaya dan Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :


“Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”


Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya..


Untuk lebih mengetahui sejarah singkatnya, saya sadur tulisan dibawah ini.


Selamat membaca.



Sejarah Penggunaan Bahasa Sunda


Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.


Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).

Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).


Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.


Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.


Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:


(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)

(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).


Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.


Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.


Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.


Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.


Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.


Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.


Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.


Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.


Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan
sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.



Disadur dari Sumber :

Ensiklopedia Sunda - Pustaka Jaya

Disadur dari http : reno overwoker.com


Negara, Agama dan KTP


Oleh : Agus Sopian


Ada tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?

Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka. Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari "eks tapol".

Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak bisa mengetuk pintu-pintu lainnya. Semua kebebasan sipilnya tertutup, kecuali derita panjang. Terkadang derita itu menjalar sampai ke anak-cucunya. Dan sekarang, perlukah Ruswana dikontrol sebegitu rupa sehingga ruang kebebasan sipilnya juga harus ditutup, semua atau sebagian? Saya mengenal Ruswana cukup lama. Dan rasa-rasanya dia tak memadai untuk dikerangkeng dalam definisi orang berbahaya. Dia suami dari seorang istri, Tuti Ekawati, seorang ibu rumah tangga yang ramah. Ruswana bapak dari tiga anak, yang kesemuanya tak pernah punya pertalian dengan kasus-kasus yang dapat dianggap membahayakan negara.

Ruswana yang saya kenal adalah seorang planolog lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1983, dan kini bekerja sebagai konsultan ahli sistem perencanaan pembangunan pada Local Governance Support Program (LGSP), sebuah lembaga kontraktor untuk United States Agency for International Development (Usaid).

Saya baru tahu di belakang hari kalau KTP strip itu ternyata penanda buat seorang penghayat aliran kepercayaan. Ruswana memang pemeluk Agama Buhun, suatu aliran kepercayaan yang bersumber dari ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Di Indonesia, penganut Agama Buhun tak sedikit. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan populasi 100 ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia. Dikatakan terbesar lantaran angka itu adalah 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, total jenderal penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Semua penghayat umumnya mendapat KTP strip. Negara menggolongkan mereka sebagai pemeluk "agama lain-lain" dan praktis segolongan dengan penganut Konghucu, Kejawen, Aliran Mulajadi Nabolon, Purwoduksino, Budi Luhur, Kaharingan, Pahkampetan, Bolim, Basora, Tonaas Walian dan banyak lagi.

Sebagai penganut "agama lain-lain", banyak dari mereka yang harus berurusan dengan ranjau-ranjau birokrasi yang cenderung diskriminatif itu. Bukan hanya dijatah KTP strip, adakalanya bisa lebih menyakitkan lagi: mereka dipersetankan untuk punya KTP. Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon belakangan ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya dikenal juga sebagai Agama Cigugur.

"Saya sudah mendapatkan KTP sekarang," kata Dewi Kanti, awal Maret lalu. Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan birokrasi catatan sipil. Agustus 2005, dia baru mendapatkan KTP, atau setelah birokrasi menggantungnya tiga tahun.

Pahit yang dirasakan Dewi Kanti dimulai dari upacara pernikahannya dengan Okky Satrio yang berlatar adat Sunda Wiwitan. Birokrasi sipil tak terima. Pasangan itu gagal memeroleh Akta Nikah. Orang tahu, Akta Nikah adalah bahan baku untuk Kartu Keluarga, dan Kartu Keluarga bahan baku untuk KTP.

Gara-gara tak punya KTP, Dewi Kanti kehilangan hak asuransi dari suaminya, saat bekerja pada suatu perusahaan sekuritas. Kepahitan telah berlalu, KTP sudah di tangan Dewi Kanti, tapi suaminya tak lagi jadi karyawan swasta. Kini dia jadi petani.

***

Di kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).

Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata "agama" menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk "ada" dan gamana untuk "aturan atau jalan". Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai "ada aturan atau jalan (lebih baik)" dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.

Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar persamaan. Kebangsaan berdasar karakter dan nation building.

Apa boleh buat, negara melarang apa yang diyakini Ruswana sebagai agama. Larangan ini ada aturan yuridisnya: UU No. 1/1965, yang kemudian diikuti Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/1969. Kombinasi aturan ini dipagari Ketetapan MPR No IV/1978 yang menggariskan bahwa "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama." Sebuah frasa aneh, dan nyaris tak memiliki logika. Pertanyaannya, apakah ketidakpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan agama?

Apapun, demi aturan main dan loyalitas pada negara, para pemeluk ajaran Mei Kartawinata menamai agama mereka Aliran Kepercayaan Perjalanan, biasa disingkat AKP, sebuah nama yang kemudian dijadikan nama organisasi bagi salah satu sekte penghayat ajaran Mei Kartawinata. Siapa Kartawinata?

Nama itu pernah dikenal dalam jagat politik Indonesia tahun 1950-an. Dia pendiri Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Pada pemilihan umum 1955, Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Kartawinata juga pernah menjadi nama penting dalam jagat seni. Dia menjadi figur sentral dibalik pendirian Pebadi (Paguyuban Dalang Indonesia). Kartawinata suka wayang. Melalui wayang, dia memompakan ajaran-ajarannya.

Peneliti Abdul Rozak - sehari-harinya menjabat dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Sunan Gunung Djati, Bandung - banyak memberikan informasi seputar riwayat hidup Mei Kartawina melalui bukunya itu. Di luar pendekatannya terhadap teologi Agama Buhun, Engkus Ruswana mengafirmasi kebenaran fakta di dalam buku itu. Tokoh-tokoh Agama Buhun lainnya seperti Aa Suara Adinegara, Usup Sudarsa, Suparman, atau Endang Rasidi, menyatakan sependapat.

Menurut Abdul Rozak, Kartawinata lahir 1 Mei 1897 atau 1898 di Bandung. Dia mendapatkan pendidikan dari sekolah rakyat. Usia remajanya dihabiskan di lingkungan kediaman Sultan Kanoman Cirebon.

Pada 1929, dia pergi ke Subang dan bekerja di sebuah percetakan. Di sini Kartawinata tertarik pada dunia pergerakan, dan setahun kemudian dia mendirikan organisasi Perjalanan. Kartawinata mulai mengembangkan ajarannya, hasil kontemplasinya pada laku air.

Dia sering memperhatikan Sungai Cileuleuy. Pikirnya, dalam perjalanan menuju lautan, air sungai itu memberi kesejahteraan pada lingkungannya. Pada pepohonan. Pada binatang. Pada manusia. "Sungguh suatu perbuatan yang sangat mulia dan sangat luar biasa."

Kartawinata ingin dirinya seperti air.
Dia tak sendirian dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Kartawinata dibantu dua sahabatnya, M. Rasyid dan Sumitra. Rasyid berasal dari Bandung, anak keluarga kaya di kawasan Pasar Baru. Sedangkan Sumitra seorang yang berasal dari Garut. Mereka sering bersama-sama menerima wangsit, suara dari suatu sumber tanpa wujud dan rupa. Adakalanya, wangsit datang hanya pada Kartawinata seorang, terutama saat sedang merenung di pinggir Sungai Cileuleuy.

Ajaran Mei Kartawinata didengar orang. Dari hari ke hari, pengikutnya makin bertambah. Tak hanya orang-orang yang sebelumnya sama sekali tak beragama, tapi juga mereka yang sudah memeluk agama tertentu.

Kolonial Belanda menganggap Kartawinata menggangu ketertiban umum. Maka, seperti juga nasib yang menimpa Pangeran Madrais, Kartawinata jadi korban katastrofi politik represif kolonial Belanda. Tahun 1937, Kartawinata ditangkap dan dipenjara di Bandung. Di masa pendudukan militer Jepang, lagi-lagi Kartawinata dipenjara. Itu tahun 1943. Lalu, ketika Belanda datang lagi, pada 1947, Kartawinata masuk bui Cirebon. Dua tahun kemudian, Kartawinata jadi penghuni penjara Glodok di Jakarta.

***

Ada banyak nama untuk ajaran Mei Kartawinata. Di luar AKP, Perjalanan atau Agama Buhun, orang mengenalnya sebagai Agama Traju Trisna, Agama Pancasila, Agama Yakin Pancasila, Agama Petrap, Agama Sunda, Ilmu Sejati, Permai, atau Jawa-Jawi Mulya. Mereka yang hendak melecehkannya cukup menyebutnya "Agama Kuring". Dalam bahasa Indonesia, Kuring adalah kosakata untuk "Aku" atau "Saya". Prosekusi libel "Agama Kuring" mengarah pada usaha mendiskreditkan pemeluk agama ini sebagai penganut agama semau gue.

Cap semau gue telah lama menancap, sekurang-kurangnya sejak Mei Kartawinata meletakkan alam sebagai "kitab suci". Ruswana menerangkan esensi itu. Katanya, alam adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia, berlaku universal, dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa, ras maupun gender.

Di bawah keyakinannya akan "kitab suci" itu, Ruswana menimbang bahwa agama yang dianutnya bukanlah berasal dari sinkretisme antara Islam dan budaya Sunda. Ini sekaligus tanggapannya untuk pendapat-pendapat yang terus berkembang, yang pada pokoknya menyatakan ajaran-ajaran Mei Kartawinata berasal dari sinkretisme itu, bahkan sinkretisme adat Sunda dengan aneka macam agama: Islam, Kristen, Hindu. Pendapat ini berlatar pada riwayat hidup Mei Kartawinata, yang diketahui sempat bergumul dengan macam-macam teologi ketuhanan dari rupa-rupa agama.

Abdul Rozak mengungkapkan bahwa di masa kecil, Kartawinata mengenal teologi Kristen dari sekolahnya, HIS Zendingschool. Semasa remaja, dia masuk pesantren-pesantren dan diduga belajar kitab kuning. Kemudian, Kraton Cirebon mengenalkan dia pada pada ajaran-ajaran kebatinan.

Kraton Cirebon dalam sejarahnya memang masyhur sebagai salah satu tempat pertumbuhan ajaran-ajaran kebatinan. Yang terkenal adalah Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat, kadang disebut juga Ngelmu Makrifat. Kaum santri menyebutnya Ngelmu Engkik atau Ngelmu Garingan -- kontra "ilmu basah" yakni ilmu-ilmu yang didapatkan para santri, yang selalu bersinggungan dengan air, baik untuk mandi maupun wudhu.

Mei Kartawinata diduga mendalami Ngelmu Sajati itu. Dasar argumentasinya adalah bahwa Kartawinata pandai membaca kitab kuning, suatu kunci yang bisa membuka gerbang teologi Murjiah, yang nyata-nyata mendukung pemikiran kebatinan itu.

Ngelmu Sejati sendiri, dalam pandangan Abdul Rozak, berasal dari tulisan-tulisan yang disebut Primbon. Sumbernya, penjabaran ajaran tasawuf Wihdah al-Wujud gagasan Ibnu Arabi. Bisa dipahami kalau dalam ajaran Ngelmu Sejati terdapat istilah-istilah dalam ajaran tasawuf tadi, seperti alam Ahadiat, alam Wahdat, Wahdaniyat, alam Arwah, alam Mitsal, alam Ajsam, atau al-Insan al-Kamil.

Ruswana menolak pendekatan itu. Menurutnya, penggunaan istilah-istilah tadi -- yang antara lain terekam dalam kitab Budi Daya, buku panduan bagi penghayat ajaran-ajaran Mei Kartawinata -- lebih bermuara pada situasi dan kondisi masa-masa awal penyebaran ajaran-ajaran Mei Kartawinata.

Dulu, tutur Ruswana, banyak penganut ajaran Mei Kartawinata yang berasal dari kalangan Islam. Mereka, salah satunya Haji Sujai, menuntut Kartawinata menjelaskan inti ajaran dalam istilah yang mereka pahami. Kartawinata manut. Di belakang hari, Kartawinata bahkan menggunakan pula istilah-istilah dalam bahasa Belanda, semata untuk melayani komunitas pengguna bahasa Belanda. Juga istilah-istilah dalam bahasa Cina untuk keperluan yang sama.

***

Bagaimana dengan pengaruh Hindu? Kemungkinan pengaruh itu selalu ada. Hindu dan Budha, menurut catatan sejarah, masuk ke Indonesia dalam kurun abad ke-2 hingga ke-4. Lebih dari cukup buat kedua agama itu untuk menjangkarkan pengaruh religiusitasnya, baik melalui penetrasi maupun akultrasi, ke dalam masyarakat Indonesia sejak masa silam. Apalagi keduanya masuk ke Indonesia dengan cara-cara damai melalui hubungan dagang.

Fakta berikutnya, sebelum Islam datang, hampir seluruh kerajaan di Indonesia, mulai nama kerajaan hingga rajanya sendiri, menggunakan nama-nama Hindu atau Budha. Di Kalimantan, raja-raja Kutai, yang dianggap sebagai raja-raja tertua di Indonesia menggunakan nama-nama Hindu sejak Kundungga digantikan keturunannya mulai Devawarman, Aswawarman hingga Mulawarman.

Di Sumatra, kerajaan tertua Kanto Li - nama Cina untuk kerajaan Sriwijaya awal di Palembang - juga diperintah oleh raja-raja bernama Hindu atau Budha. I Tsing, musafir dari Cina, yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 M, memberi kesaksian bahwa Sriwijaya adalah pusat penelitian agama Budha dan mempunyai banyak sarjana filsafat termasyhur seperti Sakyakirti, Dharmapala dan Vajabudhi.

Di tanah Priangan, naskah Pangeran Wangsakerta dari Cirebon -- naskah yang dianggap tertua dan kini sedang dalam pengajian para ahli sejarah -- mengindikasikan kalau raja-raja Sunda di masa awal telah menggunakan nama-nama Hindu sejak abad ke-4 Masehi, termasuk kemudian Tarumanagara.

Sudah jamak dalam suatu sistem sosial prademokrasi, rakyat diminta loyal dan taat dari hulu sampai hilir pada raja-rajanya, tak terkecuali dalam keyakinan. Konsep keyakinan, kepercayaan pada Tuhan, iman, pada akhirnya menjadi suatu konsep "langage" - istilah yang digunakan pemikir Islam Ulil Abshar-Abdalla untuk merumuskan bentuk dan wujud iman.

Dalam takrif itu, berangkat dari filsafat Saussurean yang melandasinya, kepercayaan kepada Tuhan menjadi serba pasti, positivistis, dan dapat menjadi dasar untuk perumusan suatu ideologi perubahan sosial. Iman ditentukan oleh penguasa. Seorang penguasa beragama A, rakyatnya akan ikut A.

Ajip Rosidi, sejarawan cum budayawan yang memahami dengan baik kosmologi kesundaan, menerangkan bahwa memang tak tertutup kemungkinan ada pengaruh Hindu dalam Agama Sunda Wiwitan, yang ditandai oleh adanya kosakata-kosakata yang berasal dari Hindu tadi.
Dalam seri Sundalana tentang "Islam dalam Kesenian Sunda", contoh-contoh yang diberikan Ajip Rosidi lebih teologis, seperti Batara Tunggal, Batara Jagat hingga Batara Seda Niskala. Hanya saja, menurut Ajip Rosidi, semua batara tadi tempatnya berada di bawah Sanghiang Keresa (Yang Maha Kuasa).

"Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan," kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.

Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa. Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.

Dalam Agama Buhun, alam didefinisikan secara luas, mulai pohon-pohon, sungai, air, langit dan sebagainya - yang mereka sebut Nyakra Manggilingan (konsep keteraturan alam) - sementara dalam Agama Sunda Wiwitan, alam lebih mengerucut lagi ke dalam definisi pohon-pohonan, dan terutama padi, yang dianggap sebagai simbol Dewi Sri. Tercela bagi pemeluk Agama Buhun dan Sunda Wiwitan untuk merusak alam.

Alam semesta, tutur Engkus Ruswana, adalah tempat kita bisa belajar dan menghayati. Seluruhnya berjalan secara teratur. Dalam keteraturan ini, gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin, telah enjalankan kodratnya, memberikan kehidupan pada seluruh makhluk. Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan. Semuanya telah menjalankan kodratnya, yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia.

"Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya, melaksanakan kemanusiaannya," Ruswana bertanya retoris.

***

Debat teologis di sekitar Agama Buhun belum lagi usai, seperti juga debat eksistensialnya. Agama Buhun masih tetap berada dalam lingkaran yuridis aliran kepercayaan, di saat Konghucu yang selama ini sejajar dalam daftar "agama lain-lain" mulai mendapat angin dari negara untuk didaulat sebagai agama yang ajeg.

"Disebut agama maupun tidak, negara harus menjadi pengayom semua," kata Mujtaba Hamdi, seorang aktivis lintas agama dari Jakarta, yang kerap menyuarakan perlunya toleransi dan pemahaman pluralisme. Taba, demikian panggilan akrab buatnya, mengatakan bahwa tugas negara adalah melindungi eksistensi semua masyarakat. Tak boleh pilih-pilih: dilindungi yang satu, digencet yang lain.

Ketidakadilan yang dilakukan negara selama ini, kata Taba, bersumber dari definisi yang bias. "Dalam definisi resmi negara kita, yang disebut sebagai agama adalah sistem kepercayaan yang, di antaranya, memiliki kitab suci dan nabi. Definisi ini menurut dia, terlalu bias 'agama samawi', bahkan terlalu bias Islam.

Dikatakan bias Islam, sebab menurut dia, posisi sentral kitab suci dalam Islam, sangat beda dengan posisi kitab suci di Kristianitas, misalnya. Di Kristianitas, Injil adalah sabda Yesus, dan jika Yesus diposisikan sebagai Nabi maka -- kalau mau disepadankan dengan Islam -- Injil itu setara dengan hadis.

"Tapi, yang disebut orang Islam kitab suci bukanlah hadis, melainkan al-Quran. Jadi, kalau mau di-strict-kan di sini, apa itu agama, yang dimaksud tak lain adalah Islam. " Dengan kata lain, definisi ini sudah mengandung 'kuasa', bahwa Islam-lah yang paling otoritatif, yang paling sah untuk disebut agama. Yang lain-lain, baru bisa masuk sebagai agama hanya jika mau disepadankan posisi 'kitab suci' dan 'nabi' dengan posisinya dalam Islam.

"Apakah dengan posisi demikian, saya tidak lagi loyal sama Islam? Saya yakin tidak. Saya justru sangat loyal dengan Islam. Di Islam, patokan agama dengan kategori-kategori seperti yang dimiliki di negeri kita, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada. Bahkan kalau 'agama' itu merupakan terjemahan kata din dalam bahasa Arab, pengertiannya justru sangat berbeda dari pengertian resmi kita," ujar Taba, pendiri Syir'ah itu, sebuah majalah dengan slogan "Menenggang Beda."

Agama dalam pandangan Taba adalah ad-diin nashihah. Nasihat. Maksudnya, agama adalah jika si pemeluk memiliki perhatian untuk saling memperhatikan sesama, memperingatkan mereka jika melakukan kesalahan, membantu mereka jika memperjuangkan kebenaran, menolong mereka jika tak mampu.

Lalu, dalam Islam juga dikenal ad-diin mu'aamalah. Agama itu interaktif dengan masyarakat. Intinya, agama adalah jika si pemeluk agama berkomitmen untuk mencipta hubungan yang baik dengan masyarakat, berbagi, saling bantu, baik masyarakat itu muslim atau nonmuslim.

Bagaimana kriteria suatu kepercayaan menjadi agama?
Menurut Taba, pertanyaan itu menyiratkan bahwa sebuah "aliran kepercayaan" berposisi subordinat di bawah agama: bahwa untuk bisa diakui, sebuah kepercayaan harus menjadi "agama". Ini tidak fair. Definisi agama hanya digunakan untuk 'menaklukkan' dan 'mendelegitimasikan' kepercayaan. Taba tak keberatan jika suatu aliran kepercayaan disebut agama jika mereka sendiri menyebutnya begitu.

Sebuah pertanyaan retoris lagi-lagi muncul, dan kali ini dari Taba: "Saya ingin Islam, dan umat Islam, bersikap adil, bahkan sejak dalam pikiran, dalam konteks ini, sejak dalam definisi agama. Dan bukankah sikap adil lebih dekat pada takwa, seperti kata al-Quran."

Sikap adil juga seharusnya menjadi landasan negara dalam memandang pluralisme agama dalam masyarakat. "Negara harus sadar bahwa masyarakat negeri ini tidak tunggal. Negara harus mengakui dengan tegas bahwa negeri ini memang "bhineka", bermacam ragam, dan semua harus dilindungi."

Sebagai awal, Taba meminta negara untuk mulai menghapus kolom agama di KTP. "Inilah biang segala ketidakadilan."

Ada bahaya lain di ujung perkara KTP bertanda strip pada kolom agamanya. Siapa yang bisa menjamin seluruh rakyat Indonesia paham "bahasa KTP"? Salah-salah mereka yang memiliki KTP strip didiskreditkan atheis. Dan atheisme tak pernah punya tempat di negeri ini.

Ada masa-masa rapuh yang lahir dari rahim prasangka atheisme. Kita bisa belajar dari peristiwa hitam yang terjadi di tahun-tahun rusuh, saat massa memburu mereka yang dianggap atheis.

Hari penuh kebencian itu berlangsung pada tahun 1954, di Kampung Paku Tandang, Ciparay, Bandung, kiblat bagi penghayat Agama Buhun. Kampung ini dibakar. Parang-parang berhenti menyabit rumput, lalu berganti fungsi jadi alat penyabit leher. Tiga orang yang berusaha meloloskan diri dari amuk massa, akhirnya meregang ajal. Di belakang jasad mereka, sebanyak 22 orang yang mempertahankan rumah ibadat Pasewakan, tewas terbunuh. Terbakar atau diparang.

Sejarah tak pernah mengenang mereka yang mati hari itu.

Disadur dari :
Majalah Playboy Indonesia, edisi I, April 2006.

Sejarah Sunda Terkuak


Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan dengan temuan - temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan yang
selama ini masih gelap.

Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati didampingi peneliti arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma SU, mengemukakan itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Senin (20/2). Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda yang selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di Jawa Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.

Bila benar dugaan adanya kesinambungan antara Raja Sunda dan Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah baru dalam perkembangan sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati menyatakan, kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan Pasundan dan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar Carita Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.

Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang dikenal dengan Dewa Raja.

Apa yang disebut dalam Carita Parahiyangan, menurut Richadiana, ada kesamaan makna dengan prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, yang berada di antara daerah Sleman dan Magelang (Jawa Tengah). Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut sebagai Prasasti Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu telah berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya, atau dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. ‘Saya belum berani memastikan adanya kesinambungan Raja Sunda dan Jawa. Yang pasti, Carita Parahiyangan yang berisi tentang cerita raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama Sanjaya yang membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan dalam prasasti Canggal di Jawa Tengah," tegas Richadiana.

Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat pula dengan prasasti yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang dikenal dengan prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana tidak tahu persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti, prasasti itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.

Dua abad hilang
Endang Sri Hadiati dan Richadiana mengakui, sejarah Pasundan memang masih gelap, artinya belum mempunyai alur sejarah yang mendekati pasti."Tonggak sejarah klasik Jawa Barat hanya pada 6 buah prasasti Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan prasati lain tidak mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih waktunya berabad-abad," tandasnya. Namun begitu, jika dicermati dan dikaitkan dengan temuan tahun 90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu dua abad saja sejarah Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja Tarumanegara, yaitu antara abad ke V - VII.

Richadiana mengatakan, setelah abad Raja Tarumanegara V sampai abad ke VII memang tidak ditemukan prasasti. Namun lontar Carita Parahiyangan mengisahkan adanya kehidupan raja-raja di Tanah Galuh pada abad VII, disusul kemudian adanya temuan prasasti abad VIII Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan di seputar prasasti Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya seorang pejabat tinggi yang bernama Rakai Juru Pangambat.

Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja Jaya Bupati. ‘Sebenarnya kalau kita runut prasasti-prasasti itu sudah mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik Sunda. Tidak ada peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda, selain orang Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti merana,’ tegasnya. (top)



Disadur dari :
KOMPAS, Selasa, 21-02-1995. Hal. 16

PUSAT INFORMASI KOMPAS
Judul asli : Sejarah Sunda mulai terkuak

Manusia Karts Pawon

Oleh : Nanang Saptono (Balai Arkeologi Bandung)
Judul asli : Mengungkap Kehidupan Karts Pawon


Kawasan Karst Pawon secara administratif termasuk di wilayah Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Dalam dunia arkeologi, kawasan karst pawon menjadi perhatian sejak ditemukannya jejak-jejak kehidupan manusia di Gua Pawon. Selama ini perhatian terhadap kawasan karst pawon baru sebatas pada temuan rangka manusia di Gua Pawon. Dengan ditemukannya bukti kehadiran manusia tersebut memunculkan pertanyaan sejauh mana kawasan jelajah Manusia Pawon dalam memenuhi kehidupannya. Berdasarkan pengamatan terhadap kawasan karst pawon diketahui bahwa di kawasan itu terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang merupakan jejak-jejak kehidupan manusia beserta budayanya yang berlangsung pada masa lampau. Tinggalan arkeologis tersebut berasal dari berbagai masa sejak zaman prasejarah hingga sekitar abad XVII.

Penelitian arkeologis yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung yang kemudian juga melakukan kerjasama dengan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan dan Nilai Tradisional, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat telah berhasil mengungkap keberadaan Manusia Pawon. Ekskavasi yang pernah dilakukan mendapatkan gambaran bahwa Gua Pawon di masa lalu pernah digunakan sebagai tempat hunian dan penguburan.

Bentuk hunian yang pernah berlangsung merupakan hunian tertutup yang memanfaatkan gua sebagai tempat bermukim. Berdasarkan bentuk tengkorak yang ditemukan, dapat diketahui bahwa Manusia Pawon berasal dari kelompok ras mongoloid. Berdasarkan hasil analisis C-14 menunjukkan umur Manusia Pawon antara 5660±170 BP sampai 9520±200 BP.

Di sekitar Gua Pawon, jejak-jejak kehidupan manusia ditemukan di puncak Pasir Pawon dan di lembah sekitar aliran Cibukur. Di puncak Pasir Pawon, di mana terdapat stone garden dapat dijumpai sebaran artefak berupa fragmen tembikar dan keramik. Selain itu juga terdapat beberapa batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa unsur bangunan.

Fragmen tembikar yang ditemukan ada yang menunjukkan pada tingkat teknologi sederhana ada pula yang sudah agak maju. Tembikar dengan teknologi sederhana merupakan ciri teknologi masa prasejarah. Fragmen tembikar yang menunjukkan berasal dari tingkat teknologi lebih maju mempunyai ciri yang sama dengan tembikar Buni yang berkembang di daerah pantai Karawang hingga Pamanukan. Diperkirakan tembikar Buni berkembang sejak abad ke-2 SM hingga pada masa Kerajaan Sunda dan awal Islam (Abad ke-17).

Fragmen keramik yang ditemukan berasal dari Cina. Keramik tertua dari zaman dinasti T’ang (abad VII – X). Secara tipologis, keramik ini berasal dari bentuk guci. Keramik yang lebih muda lagi dari zaman dinasti Song (abad X – XIII). berglasir warna hijau seladon, berasal dari bentuk mangkuk. Keramik dari zaman dinasti Yuan (abad XIII – XIV) juga ditemukan di puncak Pasir Pawon. Keramik ini pada bagian dalam berglasir warna abu-abu. Secara tipologis berasal dari bentuk mangkuk tanpa kaki.

Beberapa batuan beku yang ditemukan di puncak Pasir Pawon, sekarang dalam kondisi tersebar. Salah satu batu berbentuk bulat panjang. Berdasarkan bentuknya mungkin merupakan bekas struktur bangunan berundak yang lazim berkembang pada masyarakat pendukung tradisi megalitik. Bangunan tersebut merupakan sarana dalam ritual pengagungan arwah nenek moyang. Batu berbentuk bulat panjang mungkin merupakan menhir.

Di sebelah utara Gunung Masigit berjarak sekitar 40 m terdapat aliran sungai Cibukur. Di sungai tersebut telah ditemukan alat batu berupa kapak perimbas monofacial dari bahan batu gamping. Alat batu semacam ini termasuk dalam kategori paleolitik yang digunakan oleh manusia prasejarah.

Selain tinggalan arkeologis, pada masyarakat di sekitar kawasan karst pawon terdapat tradisi yang menempatkan Pasir Pawon sebagai wilayah yang sakral. Pasir Pawon dipercaya sebagai lokasi petilasan para karuhun. Beberapa nama yang diketahui adalah Rama Agung, Embah Kalapa, Eyang Haji Putih Jagareksa, Krincing Wesi, Centring Manik, Manik Maya, Embah Purbakawasa, Embah Gatot Jalasutra, dan Embah Basar.

Petilasan tersebut ada yang di dalam Gua Pawon, di puncak pasir, dan di pinggir persawahan sebelah utara Gunung Masigit. Di puncak Pasir Pawon terdapat “makam” yang dibangun oleh seseorang yang kesampaian keinginannya. Lokasi tersebut sebenarnya bukan makam tetapi petilasan Embah Purbakawasa. Di dalam Gua Pawon, pada salah satu ruangan merupakan petilasan para karuhun.

Di pinggir persawahan sebelah utara Gunung Masigit terdapat “makam” yang sebenarnya adalah petilasan Embah Basar. Tokoh ini dipercaya sebagai kepercayaan Sunan Gunungjati dari Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di kampung itu. Embah Basar merupakan tokoh asli setempat.



Disampaikan dalam Workshop Integrasi Aspek Kegeologian Dalam Pembangunan Daerah
(Distamben Jabar - 8 Maret 2006.

Disadur Oleh : Balangantrang.blogspot.com

Jumat, 24 Oktober 2008

Falsafah Sunda

Dalam perbincangan ringan yang berisi tentang “Kasundaan” banyak disitir tentang falsafah sunda, namun tak pula dapat dipungkiri jika pandangannya berupa aktualisasi dari nilai-nilai yang pada saat itu dianggap benar, bahkan menganggap masalah kasundaan sebagai sesuatu yang tak perlu diperbicangkan lagi, bahkan prehistoris. Saya kadang bertanya tentang sumber dari falsafah “Sunda” itu sendiri, apakah dari nilai dan aktualisasi keyakinan para petuturnya atau memang ada rujukan yang bisa dijadikan indikator. Masalah rujukan tentu menjadi lingkaran setan. Terutama ketika disadari bahwa pengaruh jaman dan perubahannya niscaya menjadi factor lain keberadaannya.

Saya agak terhenjak ketika membaca Web-nya Pak Ayip Rosidi (baca : http://ajip-rosidi.com) tentang sumber dan indikator dari falsafah sunda. Memang beliau sangat sistimatik. Sama dengan cara para ilmuwan menguraikan tentang suatu ilmu, yakni logis dan rational.

Dalam prakteknya sumber-sumber dan acuan nilai tidak selamanya ditemukan dalam sumber dan data ilmiah. Karena patut disadari juga bahwa pencarian sejarah sunda pun harus melingkar dan masuk dari aras lain, seperti cerita-cerita lisan masyarakat, dalam karya sastra, pantun dan dongeng-dongeng rakyat, bahkan ada yang mengambil dari forum supranatural dan spiritual. Memang cara ini ada sisi lemahnya, karena muatan sejarah menjadi tertambahkan atau terkurangi.

Nakh, untuk mengetahui tentang Falsafah sunda, saya sajikan makalahnya Pak Ayip Rosidi. Mudah-mudahan dapat mengantarkan pada pemahaman tentang pengetahuan pandangan hidupnya “Urang Sunda”, seperti berikut ini.


-o0o-


 
Kajian tentang Falsafah Sunda
Oleh : Ajip Rosidi
----------------------------------------
Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!

Panitia sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan secara profesional.

“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).

Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.

Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.

Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain. Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.

Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.

Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs. Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Undang Ahmad Darsa.

Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini - yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.

Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung, naskah Sanghyang Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.

Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).

Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 - 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.

Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.

Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat orang lain.


2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.

Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.

Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.

3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.

Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.

5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.

Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong meng-gantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.

Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.

Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian.

Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).

Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda - walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku - yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.

Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja ?

Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.

Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.

Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.

Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat - lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.

Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin - dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahan kan warisan nenekmoyang yang berharga.

Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.

Pabelan, 12 Agustus, 2006.




Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Kajian tentang Falsafah Sunda, Oleh Ajip Rosidi - Disampaikan sebagai Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar tanggal 21 Agustus 2006.






.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960