Tampilkan postingan dengan label Inohong sunda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inohong sunda. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Oktober 2009

In Memoriam Kang Duduh


Asa cik keneh tepung jeung Kang Duduh. Ceuk Indung kuring mah Kang Duduh teh babaturan sakola keur SD di Ciwidey. Malah Indung kuring pernah nganjrek di bumi ramana kang Duduh, nu katelah Anom Kiking. Lantaran harita aki kuring masih keneh jadi kapala kahutanan di Cimanggu. Harita mah ka Cimanggu teh masih naek kuda, teu jiga ayeuna loba angkot jeung ojeg jurusan Ciwidey – Cimanggu.

Kuring wanoh ka Kang Duduh lain lantaran di wanohkeun, tapi kabeneran sakaresep maen bridsen. Harita masih keneh SMA sok dibabawa maen ku Kang Pandi, raka teh Maya, istrina Kang Duduh. Harita Kang Duduh masih keneh ngajar di Bandung. Biasana maen teh saminggu dua kali. Jadi paling elat tepung teh saminggu dua kali.

Tepung deui waktu rek acara tujuh belasan, awal taun 80-an. Harita Kang Duduh keur sibuk ngajurian FFI. Tapi diolo mah teu burung kersaeun ngalatih kuring jeung babaturan. Saur Kang Duduh : “ulah teater rada panjang waktuna, mending oratorium”. Der we kuring saparakanca latihan oratorium langsung di sutradaraan ku anjeunna. Ti harita campleng kuring teu tepung deui. Sok komo kuring kudu ngumbara nyebrang pulo. Mun diitung-itung mah dua puluh taunan. Ngan kuring masih sering maca karya-karya Kang Duduh di Majalah atawa surat kabar.

Saprak pindah deui ka Batawi kuring remen ka lembur, komo mun aya program ngalatih barudak di leuweung. Tapi teu kungsi deui tepung sareng kang Duduh. Ngan cenah mah Kang Duduh tos ngalih ka Cibolerang.

Kira-kira genep bulan katukang mukaan deui buku-buku Kisunda, da bongan maca buku nu lian mah kerur rada bosen, gancang robahna. Memang aya gerentes hate hayang nepungan Kang Duduh, maksud teh rek nambut buku-bukuna. Lebaran kamari di nawaetuan.

Basa keur silaturakhmi jeung babaturan di imah, ras we inget ka Kang Duduh. Ceuk kuring, : “Cing euy anteur ka bumina Kang Duduh, urang aya perlu”. Babaturan teh lain ngajawab, malah ngabetem. Meurun nyangka na teh kuring heureuy. Lantaran kuring nanya wae terus babaturan ngajawab. “Kapan tadi enjing-enjing Kang Duduh Pupus. Malahan parantos di makam keun di awi surat”. Ngadenge kitu asa leuleus awak. Kuring ngan nembalan “Innalilalhi Wainna illah rojiun”. Mudah-mudahan Kang Duduh sing di tampi iman kalih islamna. Sing dicaang padangkeun di alam kuburna. Amin.


Lebaran kadua, 2008

Balangantrang.


Copas dari puyya multiply

Kamis, 23 Oktober 2008

Oto Iskandar Dinata

Kemarin di gunung pancar Eko cerita, dia lagi seneng baca Biografi orang-orang terkenal, dia bilang asyik dan menegangkan. Saking hanyutnya dia dalam bacaan-bacaan itu jadi nggak anekh jika mengidolakan tokoh Che Guevara. Orang Jember (mungkin Jember Utara), Keturunan Madura yang ngaku-ngaku orang Jogya ini menulis inisial atau gambar-gambar dan jargon-jargon dengan lambang Che Guevara. Tidak cukup sampai disitu, team futsal binaannyapun dia beri lambing Che Guevara. Saya pun mempunyai keyakinan, mungkin juga onderdil dalamnya ada lambang Che Guevara.

Mudah-mudahan dia tidak menyekutukan Tuhan atau Nabinya dengan Che Guevara. Karena kalo itu terjadi pastilah dia dikutuk temen-2 lainnya. … heheheheh. Mari kita doakan aja supaya dia tidak terjerumus lebih jauh lagi.

Nakh, sebagai temen tentunya perlu juga mendorong dia agar terus rajin belajar dan membaca buku, terutama buku-buku biografi tokoh-tokoh, mungkin juga biografi seleb juga dia baca. Untuk itu tak hadiahi ulasan Buku Otobiografi OTO ISKANDAR DINATA. Hal ini penting, mengingat saat ini Eko lagi ada dalam masa transisi, dari masyarakat proletar menuju masyarakat Kapitalis, dan agak borjuis, karena tidurnyapun sudah sangat teratur.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Didalam Kamus Mbah Wikie : Raden Oto Iskandar di Nata (Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897–Bandung, 20 Desember 1945) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mempunyai julukan si Jalak Harupat. Selain itu, ia adalah mantan ketua organisasi Paguyuban Pasundan dan anggota Volksraad (DPR pada masa Hindia Belanda).

Oto Iskandar Di Nata dilandih sebagai Si Jalak Harupat, tentunya mempunyai alasan yang unik, karena Oto Iskandar Di Nata di kenal Pejuang yang Non Kompromistis. Mungkin juga bisa dikatagorikan cepet marah, cepat naek darah, sehingga tak heran meninggalnya pun hampir sama dengan Tan Malaka dan Supriyadi, yang tidak diketahui siapa yang membunuhnya. Mayatnya sampai kini tidak pernah ditemukan.

Bagai anak saya, tokoh Oto Iskandar Di Nata hanya dikenal lewat nama sebuah jalan yang ada hampir diseluruh kota. Sedangkan peranannya hampir terlupakan. Sama halnya dengan peranan MH. Thamrin, tokoh masyarakat Betawi. Tidak ada film yang menceritakannya, seperti film “Janur Kuning” atau tokoh-tokoh pemberantasan PKI dalam Film Pemberontakan G 30 S/PKI. Oto Iskandar Di Nata adalah tokoh nasional, yang berjuang tidak hanya di daerah Jawa Barat, tapi lebih dikenang masyarakat Sunda. Inilah yang diceritakan . Iip D. Yahya dalam Oto Biografi Oto Iskandar Di Nata.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sijalak Harupat : Pejuang Etno - Nasionalais
Dari : Rubrik Politik Priangan tanpa Batas, Fakta tanpa Batas, Priangan Maya Priangan Nyata : Senin, 21 Juli 2008
Ditulis oleh : Prof. Dr. H.M. Ahman Sya
-------------------------------------------------------------------------------------------

SETIAP tanggal 31 Maret, keluarga besar Paguyuban Pasundan biasanya melakukan upacara ziarah di puncak sebuah bukit kecil yang diberi nama Pasir Pahlawan (Jalan Raya Bandung-Lembang). Tempat itu adalah lokasi simbolis dimakamkannya R. Oto Iskandar di Nata. Disebut simbolis, karena yang disemayamkan di situ (sejak 20 Desember 1952) hanyalah setumpuk pasir yang dibungkus dengan kain kafan, yang berasal dari pantai Mauk (Tangerang), tempat dimana R. Oto Iskandar di Nata dibunuh. Mayatnya sampai kini tidak pernah ditemukan.

Dalam acara ziarah, senantiasa dibacakan ikrar ziarah atau ikrar panyekar sebagai berikut:

Kalayan nyebat asmana Alloh Nu Mahawelas tur Mahaasih,
disakseni ku nu Mahauninga,
dinten ieu kaping 31 Maret,
para panyekar nu rajeg ngadeg di mumunggang Pasir Pahlawan,
nyungkemkeun sewu panghormat ka Bapa R. Oto Iskandar Di Nata (suargi),
rehing Bapa parantos mintonkeun yasa-yasa kanggo kawaluyaan Ki Sunda,
kalih bangsa sareng nagara Indonesia.
Panyekar nu rajeg ngadeg dina raraga neundeun katineung ka Bapa,
seja panceg dina adeg-adeg Ki Sunda nu parantos dicontokeun ku Bapa.
Tapak lacak, ketak sareng wawanen Bapa seja diteraskeun,
sangkan komara Ki Sunda ngagalura.
Panyekar misadar, hasil tohpati Bapa di bihari,
kedah diteraskeun ku rundayan nu kiwari.
Ku kituna, panyekar ngagemblengkeun tekad, sejak samiuk satangtung,
ngajungjung ajen-inajen perjuangan Bapa.
Paneja muga laksana.
(Dokumen Resmi PB Paguyuban Pasundan)


Kata-kata yang setiap tahun dibacakan itu, intinya berisikan pengakuan akan perjuangan Pa Oto, serta kesipan melanjutkan cita-citanya. Orang Sunda khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, memang seharusnya mitineung pada Pa Oto. Dia telah menunjukkan diri bagaimana seharusnya berfikir, bersikap, dan bertindak untuk membangun Indonesia sejahtera. Beliau telah berhasil mengubah pola dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun hankam dalam menciptakan fondasi yang kuat bagi kemerdekaan Indonesia.

Masyarakat Sunda dan budayanya dalam keyakinan Pa Oto, bukanlah masyarakat yang mengalah pada kebiadaban serta menyerah pada nasib. Dia adalah kelompok yang potensial, mampu bangkit dari segala kelemahan dan keterpurukan melalui pembangunan pendidikan dan ekonomi. Masyarakat ini juga bisa menjadi pelopor dan perekat dalam mewujudkan Indonesia yang multikultur.

Terbitnya buku Iip D. Yahya, saya berani menyatakan bahwa seluruh orang Sunda wajib hukumnya membaca buku itu. Alasannya agar tidak pareumeun obor. Tahu tentang apa, mengapa, dan bagaimana sepak terjang pejuang sekelas Pa Oto dalam membangun sebuah bangsa berdasar kesungguhan dan keikhlasan. Kini bangsa kita sudah komersil, materialistis, dan semakin menurun nasionalismenya.

Popularitas R. Oto Iskandar di Nata mencuat ke permukaan tatkala beliau memimpin organisasi Pagoeyoeban Pasoendan antara tahun 1929-1942 (tiga periode). Sebelumnya, organisasi ini dipimpin oleh D.K. Ardiwinata dan R. Oto Koesoema Soebrata.

Sebagai organisasi perjuangan, Pagoeyoeban Pasoendan didirikan pada tanggal 20 Juli 1913 di Batavia atas prakarsa D.K. Ardiwinata dan para mahasiswa HBS (Hogere Burger School), KWS (Koning Willem School) dan STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen) serta masyarakat Soenda yang ada di Batavia. Semenjak berdiri, falsafah organisasi ini adalah memberantas kemiskinan dan kebodohan, yang kini diperkuat dengan motto agar para anggotanya memiliki karakter yang (1) pengkuh agama Islam na, (2) jembar budaya Sunda na, dan (3) luhung elmu na.

Sebelum memimpin Pagoeyoeban Pasoendan, R. Oto Iskandar di Nata yang dilahirkan di Bojongsoang pada tanggal 31 Maret 1897, adalah anggota dan pengurus Boedi Oetomo yang memiliki kecerdasan yang brilian serta nasionalisme yang militan. Setelah menamatkan Kweekschool (sekolah guru rendah), beliau melanjutkan sekolah ke HKS (Hogere Kweekschool) sebagai sekolah pendidikan guru tertinggi untuk pribumi di Purworejo. Beliau tamat tahun 1920, dan selanjutnya mendapat tugas sebagai guru HIS (Hollands Inlandsche School) atau sekolah dasar 7 tahun yang berbahasa Belanda, di Banjarnegara.
Tahun 1921-1924 bertugas di Bandung, selanjutnya pindah lagi ke Pekalongan. Di tempat ini, beliau mulai terjun ke dunia politik praktis melalui organisasi Boedi Oetomo, dan terpilih menjadi anggota Dewan Kota.


II. PEMBELA RAKYAT SEJATI
Prestasi gemilang R. Oto Iskandar di Nata selama menjadi anggota Dewan Kota di Pekalongan diantaranya adalah:
1. Melawan tuan kontrak Wonopringgo yang bertindak memeras rakyat untuk kepentingan perusahaannya. Residen Pekalongan saat itu mengancamnya akan membuang Pa Oto ke Digul. Namun pada akhirnya Residen itu yang dimutasi.
2. Membongkar tindakan pimpinan kepolisian Pekalongan yang menyiksa rakyat tanpa perikemanusiaan.
3. Memberantas kejahatan rentenir.
4. Mendirikan sekolah Kartini.
Tahun 1928, pada saat beliau bertugas sebagai guru HIS Muhammadiyah di Jakarta, beliau menjadi anggota Pagoeyoeban Pasoendan. Di bawah kepemimpinan beliau, organisasi ini dibentuk menjadi partai politik, sehingga memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar. Disegani oleh kaum penjajah. Hasilnya, banyak diantara pengurus Pagoeyoeban Pasoendan yang terpilih menjadi anggota dewan daerah, yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat.

Pada tahun 1930, Pa Oto terpilih jadi anggota dewan rakyat (volksraad). Di sini pula peran beliau sangat menonjol, berani karena benar, membela rakyat tanpa pandang bulu. Tidaklah heran, bila kemudian beliau mendapat julukan Si Jalak Harupat atau Si Bima. Kalau diumpamakan pada ayam jantan Ciparage, garung suwung musuh, can asor di mana-mana, kuat ku teunggeul, asak dina ulin, tapi ana ngabintih, sakali meupeuh matak ngarumpuyuk musuh.

Musuh bebuyutan Pa Oto adalah penjajah Belanda. Tatkala Jepang datang, beliau memilih perjuangan kooperatif, meskipun sebenarnya ia bertolak belakang. Di jaman Jepang, Pa Oto mempunyai kedudukan sebagai:
1. Direksi warta harian “Tjahaya”
2. Pimpinan Jawa Hokokai
3. Pimpinan BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perang)
4. Anggota Tyuo Sangiin
5. Anggota Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
6. Pendiri PETA, yang kemudian menjadi ABRI dan selanjutnya TNI
7. Pencipta pekik “Merdeka” sambil mengangkat tangan kanan dimana semua jarinya terbuka.

Akhir kehidupan Pa Oto memang tidak disangka akan tragis. Orang Sunda dan bangsa Indonesia pada umumnya kehilangan sosok pejuang yang memahami betul perjuangan. Meskipun pada akhirnya ia diangkat sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No. 088/TK/1973 tanggal 6 Nopember 1973, namun kita sungguh kehilangan jejak.Beliau adalah teladan dan pejuang sejati. Melalui Pagoeyoeban Pasoendan, beliau berjuang demi Indonesia. Jadi tidaklah benar, organisasi ini bersifat kesukuan. Namun etno-nasionalis.

Sejak awal, ketuanya (Baca : Paguyuban Pasundan) adalah Daeng Kanduruan Ardiwinata, cucu raja Lombo dari Makassar. Isterinya orang Manonjaya, karena itu sekarang D.K. Ardiwinata disemayamkan di Manonjaya, Tasikmalaya. Daeng adalah nama atau gelar keturunan raja Makassar, sedangkan Kanduruan adalah gelar yang dianugerahkan Belanda kepada guru yang banyak jasanya.


III. PEWARISAN NILAI, JIWA DAN SEMANGAT JUANG
Buku otobiografi R. Oto Iskandar di Nata pernah ditulis diantaranya oleh Mardanas Safwan dan Sutrisno Kutoyo (1972), Sri Sutjiatiningsih (1983) dan Nina H. Lubis (2003). Kali ini, penulisnya adalah Iip D. Yahya, seorang jurnalis muda yang potensial. Gaya penulisannya pun lain dari yang lain. Mungkin boleh dikelompokkan pada tipe logico-hipotetico-verifikasi.

Pa Iip mencoba mengungkap terlebih dahulu peristiwa pembunuhan Pa Oto. Mencari tahu siapa pembunuhnya, apa alasannya dan bagaimana penyelesaiannya. Namun, layaknya sebuah penelitian ilmiah, buku ini juga diakhiri dengan ditemukannya masalah baru. Adakah muatan politis dalam semua peristiwa itu? Adakah hubungannya dengan ketokohannya dalam masyarakat Sunda? Bagaimanakah hubungannya dengan orang-orang di sekitar Bung Karno atau dengan peran Bung Karno sendiri, mengingat almarhum sangat dekat dengannya? Semua pertanayaan ini menantang untuk segera dicari tahu jawabannya.

Pa Oto sejak kecil, memang pemberani. Mungkin juga terlalu berani. Seorang guru Belanda nya ditantang untuk berkelahi karena melakukan kekeliruan fatal. Demikian pula dia berani mengeritik cara gurunya pakai dasi, yang waktu itu sangat terlarang bagi murid pribumi berbuat seperti itu. Guru Belanda nya kemudian bergumam, “Andaikata dia anak Belanda, ia pasti disebut anak pemberani dan suka terus terang”.

Menurut hemat saya, sepak terjang tokoh seperti Pa Oto, belum pernah muncul lagi di kalangan masyarakat Sunda, juga di Indonesia. Kini, banyak pemimpin yang serba ragu-ragu dan serba takut. Lebih banyak yang berani mengorbankan harga diri dan martabat bangsa, daripada harus melawan “penjajah baru”. Akibatnya, bangsa ini menjadi the beggar nation atau bangsa peminta-minta.
Proses nation and character building yang sejak sebelum kemerdekaan selalu menjadi prioritas, kini semakin pudar. Egosentrisme lebih mengemuka daripada nasionalisme. Idealisme dan patriotisme kebangsaan, juga melemah. Kita lebih didominasi oleh pragmatisme untuk kepentingan diri atau kelompok. Mungkin suatu saat, kemampuan bangsa ini untuk tetap eksis memasuki wilayah yang harus dipertanyakan.

Bangsa ini, adalah bangsa yang besar. Diperlukan upaya yang terus menerus dalam memelihara persatuan dan kesatuannya. Kita memiliki wilayah 7,5 juta kilometer persegi, 17.500 buah pulau, 525 suku bangsa, dan 250 bahasa daerah. Apabila idealisme, patriotisme, nasionalisme, persatuan dan kesatuan tidak lagi menjadi fokus pembangunan kesejahteraan dan keamanan, maka menurut seorang pengamat, tahun 2015 diduga akan memasuki puncak krisis. Dengan berguru pada perjalanan hidup Pa Oto, maka kita harus tetap berjuang dan memperjuangkan diri untuk maju. Jadi jangan ngakaya orang Sunda. Kita bisa bangkit membela diri dalam kerangka NKRI.

Pa Oto patutlah kiranya, jika kita semua meneladaninya. Sejak sekarang, diharapkan lahir Pa Oto-Pa Oto baru, yang mampu menjadi contoh dan perekat dalam ke-Indonesiaan. Pa Oto adalah sosok yang berani berkorban segalanya.

Beberapa hari setelah proklamasi beliau mengatakan: ”Kalau Indonesia merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia, saya telah memajukan diri sebagai kandidat yang pertama untuk pengorbanan itu (Taufik Abdullah dalam Nina H. Lubis, 2003:xxi).

Dalam siding PPKI tanggal 18 Agustus 1945, Pa Oto juga lah yang mengusulkan Bung Karno dan Bung Hatta jadi presiden dan wakil presiden RI pertama. Terakhir, dia menjadi menteri Negara pertahanan dalam kabinet pertama RI.
Mungkin ada yang pro dan kontra dalam membicarakan kehidupan Pa Oto. Namun itu adalah sesuatu yang lumrah. Apalagi dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan yang senantiasa berbajukan politik. Waktu beliau masih jadi pelajar saja, selalu diawasi oleh gurunya karena senang membaca De Express pimpinan Douwes Dekker yang anti penjajahan. Tapi satu hal, Pa Oto adalah pemberani, jujur, serta peduli terhadap rakyat dan bangsanya.

Menjelang akhir hayatnya, isu tentang kooperatifnya Pa Oto dengan Jepang, nampaknya menjadi dasar munculnya pengkhianatan. Karenanya, tatkala NICA tiba di Bandung, Pa Oto dicurigai akan menjual Bandung satu bilyun kepada NICA.

Semenjak Pa Oto diculik tanggal 10 Desember 1945 sampai awal tahun 1952, segala sesuatu tentang dia tidak mendapat perhatian. Orang Sunda bangkit dan membelanya. Inilah bukti bahwa orang Sunda siap menjadi pewaris nilai, jiwa, dan semangat juang Pa Oto demi Indonesia Raya!
-----------------------------------------------------------------------

Disampaikan pada diskusi dan bedah buku Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories karya Iip D. Yahya (2008), yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) di kantor Redaksi Harian Umum Priangan (Grup Pikiran Rakyat).

Penulis adalah Rektor Univ. ARS Internasional, Bandung.
Wk. Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan, PB Paguyuban Pasundan, Bandung - Guru Besar UNSIL Tasikmalaya

Minggu, 19 Oktober 2008

Raden Alit


Konotasi Jampang di daerah Betawi diidentikan dengan seorang jagoan silat jaman dulu. Lebih terkenal lagi pada era 70 an ketika diangkat ke layar lebar. Dikisahkan Si Jampang Jago Betawi sangat anti ‘Kumpeni Belanda’. Perilaku Si Jampang diidentikan dengan Robin Hood dari hutan kayu Inggris. Konon termasuk manusia kebal. Ia berguru ke daerah Jampang Kulon. Mitos kehebatan Urang Jampang mungkin bermula dari kisah keberanian Laskar Jampang. Namun memang sulit dilacak pengaruh mitos Si Jampang Jago Betawi dengan perlawanan urang Jampang yang merambah ke Batavia.

Pada tahun 1705 M pemimpin tertinggi Kompeni Belanda di Batavia pernah di repotkan oleh sepasukan laskar yang berasal dari Jampang, dibawah pimpinan Raden Alit Haji Prawatasari. Ia menyerang berbagai posisi Kompeni di Tatar Pasundan, Tangerang dan sekitar Batavia, ketika itu Tangerang dan Batavia berada langsung dibawah kekuasaan Kompeni. Untuk menangkap Raden Alit pihak Belanda melakukan beberapa upaya, seperti membersihkan orang-orang yang pro Raden Alit serta mengadakan sayembara berhadiah.

Konon para sejarawan dan orang-orang tua banyak menceritakan tentang daerah Jampang sebagai daerah penggemblengan para jagabaya agar mahir ilmu beladiri dan peperangan. Mungkin pula sisa-sisa mitos itu yang menyisakan sebutan daerah Jampang sebagai salah satu pusat ilmu kanuragan di tatar sunda.

Daerah Jampang menyisakan kisah kepahlawanan seorang Menak, dikenal dengan sebutan Raden Alit atau Haji Prawatasari. Kisah ini tentunya masih membekas di hati rakyat, bahwa tidak seluruh menak ‘bariluk ka walanda’, bahkan pernah ada menak yang berani menyalakan api perlawanan.

Kondisi Tatar Sunda waktu itu
Ketika masa itu Cianjur sudah berada dibawah kekuasaan Kompeni Belanda, akibat dari perjanjian yang dibuat antara VOC dengan Mataram pada tahun 1677 di Jepara, terkait dengan masalah pemberontakan Trunojoyo. Sebagai balas jasa terhadap Belanda.maka Amangkurat II menyerahkan tatar sunda, termasuk Cianjur.

Mungkin yang menjadi pertanyaan : Mengapa Amangkurat II (raja Mataram) menyerahkan Tatar Pasundan ?. legalitas kesejarahan apa yang dimiliki Mataram sehingga Tatar Sunda sebagai souvenirnya kepada VOC ?.

Kisah Sumedang Larang menjadi bawahan Mataram sampai saat ini masih membuahkan beberapa pertanyaan, apakah sebagai akibat perjanjian Geusan Ulun dengan Sultan Agung, atau karena diserahkan oleh Suryawangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, kepada Mataram ?. Mengapa pula Sumedang Larang dirubah menjadi setingkat Kabupaten, sedangkan Cirebon dan Banten masih diakui sebagai kerajaan yang Mahardika ?. Faktor ini pula yang menjadi kabut hitam sejarah ‘Tatar Pasundan’.

Kekuasaan Mataram di Tatar Sunda efektif terjadi pada saat Rangga Gempol (1620 M). Pada masa itu status 'kerajaan' Sumedang dirubah menjadi 'kabupatian wedana' dibawah Mataram. Alasan Mataram mengubah status ini bertujuan untuk menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Banten dan Belanda.

VOC sebelum menguasai Cianjur terlebih dahulu menguasai Bogor. Pada tahun 1687 telah sampai didaerah sungai Ciliwung. Pembukaan kawasan ini dipimpin Scipio sampai muara Cisadane, di Samudra Hindia. Ekspedisi ke wilayah Bogor terkait erat dengan penemuan Scipio tentang sisa-sisa kerajaan Pajajaran, bahkan penemuan Scipio dijadikan rujukan penting dalam menyusun sejarah Bogor. Mungkin juga penemuan jejak puing Pajajaran tersebut diinspirasikan oleh Tanuwijaya, seorang Letnan Belanda. Konon kabar ia masih teureuh Pajajaran.

Kekuasaan Kompeni Belanda ke daerah pedalaman sudah sampai pula ke Daerah Cianjur. Ketika itu Cianjur berada dibawah pemerintahan Wiratanu I sudah menganggap VOC sebagai pelindung dan pendamping Mataram, yang ia pertuan. Maka terhitung sejak tahun 1691, Cianjur mulai menjadi kawula VOC.

Siapa Raden Alit ?
Raden Alit dikenal seorang menak sunda layaknya menak di Cianjur yang taat beragama. Ia dikenal pula dengan nama Haji Prawatasari. Istilah Alit dalam bahasa sunda bisa berarti kecil. Mungkin landihan Alit menandakan dari susunan keluarga, ia dianggap anak paling kecil. Bisa juga karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit”, maka ia disebut Raden Alit.

Raden alit memimpin kelompok rakyat, diperkirakan berjumlah hingga 3.000 orang yang berkedudukan di wilayah Jampang (Cianjur Selatan). Daerah tersebut dipilihnya karena disana telah ada pelarian orang Sukapura. Pertama ia melakukan perlawanan terhadap Bupati Cianjur pada bulan Maret tahun 1703 M. Perlawanan Raden Alit dilakukan melalui cara tidak melakukan kewajiban tanam paksa (kopi). Ia pun bersama rakyat merusak dan menggagalkan panen buah kopi yang sudah memasuki masa panen.

Raden Alit pada tanggal 12 Juli 1707 ditangkap Belanda didaerah Bagelen, kemudian di bawa ke Kartasura, Ibu Kota Mataram. Tentunya pula untuk menghindarkan adanya gangguan dari masyarakat tatar pasundan dan muncul kembali kerjasama para penguasa daerah dengan sisa-sisa pasukan Raden Alit. Sama halnya pelaksanaan penghukuman dalam kisah Dipati Ukur dan Suryawangsa

Kisah Perlawanan Raden Alit.
Kisah Kompeni di Indonesia mungkin dapat di pelajari dari sistim kolonialisasi dan kapitalisme tua barat di Negara-negara jajahan. Komoditi yang sangat laku di Eropa dari tatar sunda antara lain komoditi Kopi. Akibat kesungguhan Kompeni untuk menjaga stabilitas tatar sunda sebagai penghasil kopi menyebabkan ia perlu menggunakan kekuatan militernya. Hingga suatu ketika VOC tak lagi mampu membiayai ongkos untuk menjaga stabilitasnya. Pada tanggal 31 Desember 1799 M VOC dibubarkan, dan hutang-hutangnya diambil alih Kerajaan Belanda. Saat itu beralihlah penguasaan Indonesia dari VOC kepada Kerajaan Belanda.

Kisah perlawanan Raden Alit terkait dengan akumulasi penderitaan rakyat, antara lain akibat dari sistim persewaan tanah dan tanam paksa. Selain itu menyangkut pula adanya penyesalan rakyat karena Bupatinya menundukan diri terhadap daulat Kompeni.

Sistim sewa tanah diberlakukan oleh para Bupati di wilayahnya. Hasil persewaan tanah tersebut diperuntukan guna membiayai oprasional pemerintahan. Tentunya penundukan para Bupati kepada VOC tidak disertai dengan adanya biaya oprasional yang memadai, sehingga perlu mendayagunakan asset kabupaten yang dimiliki.

Tanah persewaan yang laku sewa bukan berada didaerah kosong yang jauh dari perkampungan. Para pemodal swasta tidak tertarik menyewa tanah-tanah yang tidak berpenduduk. Alasan ekonomis tentunya terkait dengan masalah tenaga kerja dan posisi tanah-tanah tersebut. Berdasarkan keinginan dari para penyewa, para pemilik modal dari Eropa dan warga keturunan Timur Asing, lebih memilih tanah-tanah persewaan yang berada didesa-desa yang telah berpenghuni.

Desakan kebutuhan untuk membiayai oprasional pemerintahan, para Bupati menyetujui lokasi tanah-tanah persewaan sesuai kemauan para pemodal. Pajak-pajak dari rakyat yang biasa dipungut oleh para Bupati juga menjadi bagian dari persewaan dan beralih ka pungutnya kepada para penywa. Masalahnya menjadi rumit ketika beban pajak dikenakan sagat memberatkan rakyat. Disisi lain secara hukum para Bupati tidak dapat mengontrol pengenaan biaya sewa kepada rakyatnya, karena semuanya telah menjadi hak penyewa.

Hal yang berkaitkan dengan masalah ini adalah kewajiban menanam komoditi sesuai dengan keinginan para tuan tanah. Seluruh tanah persewaan di wilayah Cianjur pada umumnya di wajibkan menanam kopi (di wilayah lain tanaman nila dan tebu), bahkan telah dimulai sistim kerja paksa (rodi).

Perlawanan rakyat terjadi ketika beban hidup sudah sangat memberatkan. Disisi lain para pejabat pribumi umumnya lebih senang bergaul dengan Belanda dan menjadi abdinya, lebih menikmati gaya-gaya feodal. Pada masa ini ‘Tatar Sunda’ memasuki masa kelam dalam perkembangan ekonomi dan budaya rakyat.

Kemarahan rakyat Cianjur di picu pula oleh tindakan Bupati Wiratanu II yang sudah mengakui VOC dan menjadi kawulanya. Penundukan ini sebagai warisan dari Bupati sebelumnya, Wiratanu I menganggap Kompeni sebagai protector dan mitra penting dari Mataram. Ketika itu Mataram sedang menguasai tatar sunda. Bara ini kemudian menjadi api ketika seorang menak menyalakan lentera perlawanan. Itulah Raden Alit.

Perlawanan Raden Alit
Raden Alit melarang rakyat Jampang untuk memanen kopi yang telah masuk masa panen, bahkan ia memerintahkan untuk merusak tanaman kopi. Untuk mengamankan kepentingan Kompeni Belanda merencakan mengirimkan pasukannya ketempat peristiwa. Namun sebelum berangkat kelokasi, Tanuwijaya, kepala Kampung Baru Bogor mengirimkan berita bahwa Raden Alit telah meninggal dunia. Di balik itu Tanuwijaya mengirim berita kepada Raden Alit tentang adanya rencana Belanda untuk menyerang Jampang, sehinga dengan segera Raden Alit memboyong semua warganya, berjumlah 1.354 jiwa, untuk meninggalkan Jampang. Serangan itu pun diurungkan VOC.

Mungkin berdasarkan penelitian intelijen VOC diketahui, bahwa Raden Alit belum meninggal. VOC segera menyerbu Jampang. Namun pasukan Raden Alit telah lebih dahulu memindahkan penduduk Jampang ke daerah Bayabang, di tepi Kali Citarum. Sayang jauhnya daerah baru itu sangat jauh, hanya sebagian yang bisa dipindahkan, karena ancaman kelaparan dan kelelahan. Sementara pasukan VOC di Jampang mendapatkan tempat kosong.

Pasca penyerangan tersebut Raden Alit seolah-olah ditelan bumi. VOC memperkirakan pemberontakan Raden Alit telah berakhir. Namun Kompeni di kejutkan dengan serangan pasukan Raden Alit di Priangan Timur, seperti di Galuh, Imbanagara dan Kawasen. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata pada tahun 1704 Raden Alit memindahkan markas pasukannya ke muara Cintaduy.

Untuk mencegah dan menangkap Raden Alit, Kompeni Belanda mengirimkan pasukan ke Ciamis, namun mereka menemukan daerah yang kosong, karena Raden Alit telah memindahkan pasukannya kembali ke Daerah Jampang. Demikian pula ketika menyerang Jampang, ternyata pasukan Raden Alit sudah tidak ada lagi, bahkan ia telah menyerang daerah sekitar Batavia. Kondisi ini sangat membingungkan Belanda.

Epos perlawanan Raden Alit sejaman dengan lalampahan Tanuwijaya, yang banyak memberikan bantuan untuk perjuangan Raden Alit. Padahal ketika itu Tanuwijaya sudah berpangkat Letnan Belanda dan dijadikan sebagai penguasai Bogor Baru. Tanuwijaya yang dianggap anak emas Belanda tersebut telah beberapa kali menyesatkan Belanda dalam upayanya menangkap Raden Alit. Seperti ketika merencanakan penyerangan ke daerah Jampang. Tanuwijaya menginformasikan kepada Belanda, bahwa Raden Alit telah meninggal terkena wabah penyakit. Namun dalam waktu yang sama ia pun mengirimkan berita kepada Raden Alit, tentang rencana Kompeni menyerang Raden Alit di Jampang. Tentunya tindakan yang dilakukan Tanuwijaya membutuhkan keberanian. Namun tidak heran jika mengetahui, bahwa Tanuwijaya masih ‘Teureuh Pajajaran’ yang memiliki kepentingan untuk memerdekakan tatar pasundan.

Dalam cerita lain memang ada kesan Tanuwijaya adalah antek Belanda, seperti di abadikan dalam lagu rakyat tentang ayang-ayang gung. sebagai berikut :

Ayang-ayang gung
Gung goong na rame
Menak kang Mas Tanu
Nu jadi wadana

Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba haru biru
Rucah jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagorengan
Nganteur Kang Jeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong.

Lagu itu sangat bertolak belakangan dengan catatan sejarah. Terutama ketika diketahui bahwa Tanuwijaya dibuang Belanda ke Tanjung Harapan. Tentunya sebagai konsekwensi dari pembangkangannya kepada Belanda.

Kisah selanjutnya tentang Raden Alit terjadi pada tahun 1705. Pasukan Raden Alit diketahui telah berada di Bogor dan menyerang posisi-posisi Belanda, kemudian menghilang tak diketahui rimbanya. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan kecurigaan Belanda. Hingga akhirnya berdasarkan laporan intelejen Belanda diketahui, bahwa ada kerjasama antara Raden Alit dengan Tanuwijaya. Langkah berikutnya tentu Belanda ‘mengamankan Tanuwijaya’. Ia menagkap Tanuwijaya dan dibuang ke Tanjung Harapan. Namun Tanuwijaya tak kunjung mau menceritakan kepada Belanda tentang posisi Raden Alit.

Penangkapan Tanuwijaya tidak menyurutkan epos perlawanan Raden Alit. Pada bulan maret 1705 pasukan Raden Alit muncul di Sumedang Selatan dan menyerang posisi-posisi strategis Belanda. Pasukan Raden Alit berhasil membunuh pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.

Kegagalan Intelejen Belanda dalam mendeteksi keberadaan pasukan raden Alit sangat mengkhawatirkan posisinya. Dengan politik adu dombanya Belanda mengadakan Sayembara, : Barang siapa yang mampu menangkap Raden Alit, hidup atau mati maka akan dihadiahi 300 ringgit. Namun rakyat lebih bersimpati kepada Raden Alit ketimbang tergiur hadiah 300 ringgit.

Belanda mengira adanya kerjasama antara Raden Alit dengan para penguasa daerah, seperti pada Tanuwijaya. Untuk menekan para penguasa daerah Belanda mengistruksikan kepada para Bupati untuk menangkap Raden Alit paling lambat enam bulan. Belanda mengancam pula, jika tidak berhasil para Bupati tersebut akan ditangkap dan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Raden Alit. Namun tidak satupun Bupati yang mengindahkan instruksi tersebut. Selain segan dan menaruh hormat terhadap Raden Alit merekapun ‘gimir’ melihat keberanian Raden Alit.

Sebagai rasa terima kasih dari Raden Alit dan menyelamatkan posisi para Bupati tersebut, pada tahun 1706 mengalihkan serangannya ke Wilayah Tangerang. Suatu wilayah yang berada dibawah pengawasan langsung Belanda. Namun Belanda hanya menemukan sisa-sisa penyerangan tanpa mengetahu jejak selanjutnya. Akibat serangan ini Belanda berkeyakinan, tidak ada hubungan antara para Bupati di tatar sunda dengan perlawanan Raden Alit.

Dihin pinasti kersaning Hyang Widi, niti wanci ninggang mangsa, hirup – pati – bagja jeung cilaka manusa rasiah Pangeran. Pada tahun 1707 Raden Alit memindahkan wilayah gerilyanya ke Banyumas, pada bulan april tahun yang sama Raden Alit berhasil mengalahkan pasukan Belanda di Banyumas. Kekalahan Raden Alit terjadi pada Juli 1707. Ketika ia menyerang posisi Belanda di Bagelen. Namun pasukan Belanda sudah mencium rencana Raden Alit. Maka pada tangal 12 Juli 1707 Raden Alit Haji Prawatasari tertangkap. Kemudian ia dibawa ke Kartasura ibu kota Mataram. Namun entah kabar selanjutnya, yang jelas Raden Alit tak pernah kembali ke tatar sunda. Cag Heula (***).

Rakean.

Selasa, 20 Mei 2008

PURNAWARMAN

Purnawarman bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaprakarma Suryamahapurusa Jagatpati – Pembangun Tarumanagara. Ia disebut juga narendraddhvajabuthena (panji segala raja), atau sering disebut Maharaja Purnawarman. Ia berkuasa pada tahun 395-434 M. Dan meningal pada 356 Saka (434 M), dipusarakan di Citarum, sehingga disebut juga Sang Lumah ing Tarumadi.


Sebutan sebagai panji segala raja dimuat didalam Prasasti Tugu dan prasasti Cidangiang. Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang sangat terkenal dibandingkan raja-raja Tarumanagara lainnya. Ia membangun beberapa sungai sebagai sarana perekonomian ; menaklukan raja-raja kecil di Jawa Barat yang belum mau tunduk terhadap Tarumanagara. Ia dijuluki bhimaparakramoraja. Lawan-lawannya menjuluki Wyahghra ning Tarumanagara (Harimau dari Tarumanagara ; ia banyak dikisahkan didalam prasasti-prsasasti Tarumanagara dan Naskah-naskah sejararah, sebagai raja yang gemar memberikan hadiah.


Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan tentang Purnawarman sebagai raja tarumanagara ; menggali kali gomati sepanjang 6122 busur ; wilayahnya meliputi Bogor dan Pandeglang ; sebagai raja perkasa yang selalu menang perang dan ditakuti musuh-musuhnya ; Ia senang menganugrahkan hadiah ; tunggangannya seekor gajah yang bernama Airawata.


Dari prasasti maupun naskah Wangsakerta menerangkan, Purnawarman berhasil menundukkan musuh-musuhnya. Seperti prasasti Munjul (Pandeglang) yang menjelaskan wilayah kekuasaan Tarumanagara semasa Purnawarman mencakup pantai Selat Sunda. Dimungkinkan wilayah ini sama dengan ketika dipimpin kakek dan ayahnya.


Perluasan daerah kekuasaan Tarumanagara melalui jalan perang maupun jalan damai berakibat wilayah Tarumanagara menjadi jauh lebih luas dibandingkan ketika masih dipimpin Rajadirajaguru dan Raja Resi. Sehingga wajar jika Pustaka Nusantara menyebutkan kekuasaan Purnawarman membawahi 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (Purbolinggo) di Jawa Tengah. Sehingga memang secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Hal yang sama dapat ditenggarai dari masa Manarah dan Sanjaya di Galuh.


Membangun Wilayah Tarumanagara

Kisah Purnawarman secara terperinci diuraikan didalam Pustaka Pararatvan I Bhumi Jawadwipa. Langkah pertama yang dilakukannya, ia memindahkan ibukota kerajaan kesebelah utara ibukota lama, ditepi kali Gomati, dikenal dengan sebutan Jayasingapura. Kota tersebut didirikan Jayasingawarman, kakeknya. Kemudian diberi nama Sundapura (kota Sunda). Iapun mendirikan pelabuhan ditepi pantai pada tahun 398 sampai 399 M. Pelabuhan ini menjadi sangat ramai oleh kapal-kapal kerajaan Tarumanagara.


Pada tahun 410 M ia memperbaiki kali Gangga hingga sungai Cisuba, terletak di daerah Cirebon, termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Indraprahasta.


Pada tahun 334 Saka (412 M) memperindah alur kali Cupu yang terletak di kerajaan Cupunagara yang mengalir hingga istana raja.


Tahun 335 Saka (413 M) Purnawarman memerintahkan membangun kali Sarasah atau kali Manukrawa (Cimanuk).


Tahun 339 Saka (417 M), memperbaiki alur kali Gomati dan Candrabaga, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru, kakeknya.


Tahun 341 Saka (419), memperdalam kali Citarum yang merupakan Sungai terbesar di Wilayah kerajaan Tarumanagara.


Proses dan hasil pembangunan yang dilakukannya menghasilkan beberapa implikasi bagi Tarumanagara, yakni Purnawarman dapat memperteguh daerah-daerah yang dibangunnya sebagai daerah dibawah kekuasaanya. Kedua, pembangunan tersebut dapat membangkitkan perekonomian pertain dan pedagang. Ketika, membangun rasa kebersamaan melalui karya bhakti. Karena setiap daerah yang dibangunnya selalu melibatkan para petani disekitarnya. Ia pun tidak lupa untuk menghadiahi mereka yang melakukan Karya Bhakti dan menyumbang para Brahmana.


Purnawarman pun menyusun berbagai macam Pustaka yang berisi undang-undang kerajaa, peraturan ketentaraan, siasat perang, masalah daerah di Jawa Barat, serta sirsilah keluarga Warman dan maklumat kerajaan.


Politik dan Keamanan Wilayah

Sejak pra Aki Tirem wilayah pantai barat pulau jawa tak lekang dari gangguan para perompak, bahkan keberadaan Salakanagara tak lepas pula dari perlunya penduduk Kota Perak mempertahankan diri dari gangguan para perompak. Disinilah sebenarnya Dewawarman I berkenalan dengan masyarakat Yawadwipa dan dari thema ini pula kemudian masyarakat Jawa Barat bersentuhan dengan kebudayaan India.


Konon kabar ketika masa Salakanagara, pemberantasan perompak memang dianggap sulit bahkan menurut cerita rakyat, ketujuh putra Dewawarman terakhir terbunuh dilaut ketika menghalau perompak. Para perompak yang paling ganas berasal dari laut Cina Selatan, sehingga unhtuk keperluan ini, Dewawarman membuka jalur diplomatic dengan Cina dan India.


Demikian pula ketika jaman Purnawarman, wilayah laut jawa sebelah utara, barat dan timur telah dikuasai perompak. Semua kapal selalu diganggu atau dirampas, bahkan berhasil menyandera dan membunuh seorang menteri kerajaan Tarumanagara dan para pengikutnya.


Untuk menghancurkan perompak, Sang Purnawarman langsung memimpin pasukan Tarumanagara. Kontak senjata pertama terjadi diwilayah Ujung Kulon. Para perampok tersebut dibunuh dan dibuang kelaut. Sedemikian marahnya Purnawarman. Sejak peristiwa itu daerah tersebut menjadi aman, karena Purnawan akan menghukum mati setiap perompak yang tertangkap.


Untuk meneguhkan hubungan diplomatik, banyak anggota kerajaan yang menikah dengan keluarga raja lain. Purnawarman memiliki permaisuri dari raja bawahannya, disamping istri-istri lainnya dari Sumatra, Bakulapura, Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya.


Dari permaisuri ini kemudian lahir sepasang putra dan putri. Putra Purnawarman bernama diberinama Wisnuwarman, kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Tarumanagara. Sedangkan adiknya dinikahi oleh seorang raja di Sumatera. Konon dikemudian hari di Sumatera terdapat raja besar yang bernama Sri Jayanasa, ia adalah keturunan Purnawarman.


Agama di Tarumanagara pada masa Purnawarman

Purnawarman dikenal sebagai pemuja Wisnu, sebagaimana yang dikenal didalam prasastinya. Namun ia dikenal juga sebagai pemuja Indra apabila ia hendak pergi berperang, sehingga dijuluki Sang Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng). Gelar purundara merupakan dsalah satu gelar Dewa Indra sebagai Dewa Perang.


Walaupun demikian, para penduduk Tarumanagara ada juga yang memuja Syiwa dan Brahma, serta sedikit yang beragama Budha, kecuali di Sumatera. Namun bagi masyarakat pribumi kebanyakan menganut agama nenek moyangnya, sama dengan ketika ayahnya masih berkuasa. (***)




File terkait : Tarumanagara.




Senin, 28 April 2008

SILIHWANGI

Mengisahkan sejarah Siliwangi seperti mudah namun agak rumit, meningingat banyak pesan-pesan para petutur (tradisi lisan) yang menyesuaikan dengan semangat nilai-nilai yang diyakininya benar. Suatu hal yang mungkin menyebabkan kerancuan, antara lain adanya perubahan "ageman" urang sunda, dari tradisi buhun menjadi pemeluk agama yang sekarang. Ageman yang dikenal dengan istilah "Sunda Wiwitan" tak diakui pula sebagai agama, sama nasibnya dengan agama asli Batak, Nias, Suku Ibu dan Kaharingan. Mungkin karena kecintaan dan rasa kagumnya, para petutur seolah-olah tidak ikhlas jika "Silihwangi" berbeda agama dengan para petuturnya. Selanjutnya dalam Islam dan Sunda dalam mitos.



Antara Mitos dan Kebenaran Sejarah

------------------------------------

Sejarah adalah sejarah, suatu cermin yang dapat memantulkan kearifan masa lalu. Kita bisa mengambil nilai-nilainya yang universal. tanpa harus merubah keyakinan yang kita miliki. Mungkin kita bisa mengambil himah dari pesan Galunggung : Hana nguni hana mangke - Tan hana nguni tan hana mangke - Aya ma baheula hanteu teu ayeuna - Henteu ma baheula henteu teu ayeuna - Hana tunggak hana watang Hana ma tunggulna aya tu catangna ..... Tiada masa kini tanpa ada masa lalu - masa kini adalah peninggalan masa lalu.


Kerancuan yang paling nyata dapat ditemukan dari cara pandang para pecinta supranatural. dalam hal ini Silihwangi menjadi sangat mistis. Saya masih sering mendengar cerita "urang sunda" nu ngumbara didaerah transmigrasi. Mereka merasa di jenguk Prabu Silihwangi ketika pagi hari melihat bekas tapak harimau. Memang nampaknya berlebihan, tapi inipun ada alasannya, menafsirkan dari uga : "Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna".


Sebagai rasa hormat dan kekaguman, nama Silihwangi banyak diabadikan didalam berbagai ragam, dari nama jalan raya, lapangan, gedung bahkan, kesatuan, komunitas dan lembaga pendidikan. Di Jawa Barat nama pasukan yang selalu membawa nama harum diberi nama Siliwangi. Konon kabar nama Siliwangi memberikan semangat bagi tentara yang terkenal pemberani dan pantang menyerah, bahkan dalam penumpasan pemberontakan dijaman orla, dapat memberikan posisi menang selangkah di banding lawan-lawannya ketika mendengar Pasukan Divisi Siliwangi. Jadi tidak heran jika Pasukan Elite Angkatan Darat yang sekarang dikenal dengan nama Kopasus lahir dari haribaan Divisi Siliwangi.


Dalam perkembangannya, keharuman Pasuka
n Siliwangi yang menyatu dengan semangat kebesaran Prabu Siliwangi sangat dimasygulkan masyarakat sunda. Bagi yang sedikit melek politik nama ini dimanfaatkan untuk ikut mendongkrak nama organisasi politik atau ormas. Karena nama Siliwangi memiliki daya magnet dan keagungan yang meniscayakan dihormati masyarakat sunda, Jadi cukup beralasan jika nama Silihwangi digunakan pula sebagai Jargon pemersatu dan pemikatnya.


Organisasi yang menggunakan nama Siliwangi didalam Barisan Muda Jawa Barat, seperti Angkatan Muda Siliwangi (AMS) ; Gabungan Inisiatif Anak Siliwangi (GIBAS), namun sebenarnya agak kurang sreg jika nama Siliwangi digunakan hanya untuk gagah-gagahan atau menakuti-nakuti rakyat untuk mendukung salah satu organisasi politik ataupun organisasi masa. Karena Siliwangi milik semua lapisan masyarakat, tanpa mengenal golongan atau kelompok manapun. Sehingga dikhawatirkan nama Siliwangi menjadi tidak seharum asal mula gelar Silihwangi itu sendiri.


Situs "Silihwangi"


Para mahasiswa Jawa Barat dari resimen Mahawarman sebelum dilikwidasi jadi Menwa dan berubah menjadi baret ungu (semula biru) sangat bangga ketika dilengan kanannya masih berlambangkan Siliwangi. Seolah-olah menjadi jaga baya dari Negara Indonesia, dari sisi sebagai pengamal Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun sebagai Cadnas yang trampil dan sigap dalam olah fisik dan keprajuritan, banyak yang mendapat piagam "Bintang Seroja" karena cacat ketika turut dalam pasukan membebaskan timor timur. Semangat tersebut memiliki, yakni : "Widya Castrena Dharma Sidha: : “Dengan ilmu dan senjata kita sempurnakan kearah yang lebih baik”.



Siapa "Prabu Siliwangi ?"

Gelar Siliwangi didalam paradigma rakyat kebanyakan yang "taram-taram" dalam mengkaji sejarah diberikan kepada seluruh raja-raja Pajajaran. Namun ada yang memberikan Gelar Prabu Silihwangi kepada tiga raja Pajajaran, yakni: Rakean Mundinglaya - Siliwangi I ; Rakean Mundingwangi - Siliwangi II ; Rakean Mungingsari/ mundingkawati - Siliwangi III. Karena ketiganya memiliki gelar Sri Baduga (Sri Paduka) dan menguasai Sunda dan Galuh.

Berdasarkan analisa catatan sejarah resmi, yang patut dan tepat bernama Prabu Silihwangi adalah Sri Baduga (Prasasti Batutulis). Ketika masih kecil bernama Pamanahrasa, kemudian setelah menjadi Raja di Galuh bernama Jayadewata. Ia cucu dari Prabu Wastukancana (Prabu Wangisuta). Sedangkan Wastukancana putra dari Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur pada peristiwa Bubat.

Menurut Naskah Wangsakerta : Gelar Prabu Maharaja Lingga Buana sebagai "Prabu Wangi" diberikan karena kemasyhuran dan keadilannya selama memimpin negara. Selain itu ia dianggap sangat berprinsip ketika menghadapi peristiwa bubat.

Dalam Kidung Sundayana ia mengikrarkan sumpah bubat, yang isinya : “Nihan ta wuwusna rudiarana iking bhubat sabha,naming ksatrya sunda tan atemahan ring nagara pada jaya mami.”“ (Najan banjir getih, bedah di palagan Bubat, cadu ksatrya Sunda ancur ajen diri di lemahcai sorangan). Sama halnya dengan Lingga Buana, Jaya Dewata atau Sri Baduga sangat dicintai rakyatnya, membawa Negara pada kondisi yang adil dan makmur, maka iapun diberi gelar Silihwangi. “Silih” berarti pengganti (dari Prabu Wangi).

Nama Siliwangi sebenarnya sudah ada dalam cerita pantun ketika Sri Baduga masih jumeneng, ditulis dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Cerita ini banyak menceritakan tentang Siliwangi menjadi raja di Pajajaran. Menurut para akhli sejarah sunda hal ini menunjukan Sri Baduga mempunyai kekuasaan dan kemasyhuran yang sama dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi. Jika dihubungkan dengan tradisi sunda lama, rakyat sangat segan atau ada semacam larangan untuk menyebut raja yang sebenarnya,. Dalam tradisi “menak” sunda, memanggil nama orang yang dihormati dengan sebutan namanya langsung dianggap tidak sopan – “belegug”. Jadi wajar jika para juru pantun menggantikan dengan sebutan Silihwangi. Nama Siliwangi kemudian menjadi sangat populer ditelinga "Urang Sunda".

Tafsiran diatas sejalan dengan pendapat yang tertulis dalam Naskah Wangsakerta, yang menyebutkan : Urang Sunda dan Urang Cirebon serta urang jawa kulon (barat) menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Cerita lainnya dapat dihubungkan dengan Carita Parahiyangan, : Niskala Wastu Kancana adalah "seuweu" Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga dalam bahasa aslinya : ......... putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun. Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.


Masalah lainnya, : mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dan mertuanya yaitu susuk tunggal tidak diberi gelar Sri Baduga ?. Hemat saya dimungkinkan karena Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, demikian pula Susuk Tunggal hanya menguasai Sunda, namun Jayadewata menguasai Sunda dan Galuh, sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kancana. Jadi wajar jika Sri Baduga dianggap "silih" (pengganti) dari Prabu Wastu Kancana dan raja di tataran sunda.

Didalam prasasti batutulis menyebutkan Sri Baduga dinobatkan dua kali, pertama ketika Jayadewata menerima Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala), bergelar Prabu Guru Dewapranata. Kedua ketika menerima Tahta Kerajaan Sunda Susuktunggal (mertuanya). Dengan peristiwa statusnya sebagai penguasa Sunda dan Galuh (sama seperti kakeknya, yaitu Wastu Kencana), maka dinobatkan menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.


Prasasti Batu Tulis


Menurut Saleh Danasasmita yang saya copas dari buku “Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi” yang diterbitkan tahun 2003, Bandung, Kiblat Buku Utama, prasasti Batu tulis menceritakan, sbb :


1. 0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu

2. diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri

3. baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-

4. wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-

5. kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu

6. ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-

7. la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga

8. rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-

9. wa '(m)ban bumi 0 0


Prasasti Batutulis menyebutkan pula bahwa Sri Baduga Maharaja dilantik menjadi raja dua kali. Pertama kali pada tahun 1420 M di Karaton Kawali Karajaan Galuh, menggantikan ayahnya dan diberi gelar Prabu Dewataprana. Keduanya dilakukan di Pakuan ibu kota karajaan Sunda, menggantikan Prabu Susuk Tunggal, Dewa Niskala mertuanya. Dengan demikian Sri Baduga Maharaja yang ditafsirkan sebagai Prabu Siliwangi menjadi raja dari dua Negara sekaligus, sehingga wajar jika ia sangat kuat membenam dibenak masyarakat sunda sebagai raja sunda.


Didalam cerita lainnya, ketika masih kecil dikenal dengan sebutan Sang Pamanahrasa kemudian menjadi Pangeran Jayadewata, ketika dinobatkan sebagai raja bergelar Sri Baduga Maharaja. Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja pada tahun 1404 Saka atau 1482 M. dan meninggal dunia pada tahun 1445 Saka atau 1521 M. Konon kabar dikebumikan di daerah Rancamaya, yang saat ini dijadikan pemukiman rumah mewah. Selanjutnya digantikan oleh Surawisesa.



Siliwangi dalam Naskah

---------------------------------

Kemudian dalam naskah sejarah yang pertama menyebut-nyebut Siliwangi ditemukan dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian (1518) dan Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M) yang disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, menerangkan bahwa Prabu Siliwangi adalah putra Prabu Anggalarang dari Galuh yang pernah mendiami Keraton Surawisesa.


Berita besar yang menceritakan kemasyhuran Siliwangi terdapat juga dalam catatan portugis yang dibuat Tome Pires. Mereka menuliskan bahwa Kerajaan Sunda diperintah secara adil dan masyarakatnya dikenal santun dan jujur. Kegiatan perdagangan Pajajaran dengan Malaka pada waktu itu dapat menembus hingga ke Maladewa. Prabu Siliwangi memimpin Pakuan Pajajaran selama 39 tahun.


Kebijakan lainnya yang dilakukan Sri Baduga yang dianggap paling popular saat itu yakni membebaskan rakyat dari pajak dan menetapkan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya, suatu daerah yang dianggap suci, sama halnya dengan sebutan desa perdikan (Baca : Kolom Kabuyutan). Hal ini tercantum didalam Piagam-piagam Sri Baduga yang "piteket" – perintah langsung.


Dari kisah diatas ada beberapa yang bisa disimpulkan, terutama yang terkait dengan cita-cita akhir dari BK untuk dapat dimakamkan di daerah Bogor bahkan istananyapun diberi nama “Hing Puri Sang Bimasakti”, yang artinya hampir sama dengan nama keraton Sri Baduga Maharaja di Bogor, yakni Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.


Konon kabar pula, istilah Pajajaran bukan hanya berasal dari nama pohon paku yang berjajar, namun ditafsirkan dari adanya sikap raja Pajajaran yang sangat egaliter - sajajar teu mandang darajat - kalawan teun ngabeda-bedakeun somah jeung menak, dan tidak dikenal adanya kasta dalam kehidupan masyarakat Pajajaran. Jika saja di wilayah ini dikenal adanya tingkatan "darajat manusa", hal tersebut setelah runtuhnya Pajajaran dan kasilihnya Raja Sumedang menjadi hanya Kabupaten dari Mataram.


Mangga urang lenyepan kalawan dipedar langkung tebih deui. (***)







MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960