Tampilkan postingan dengan label Dari masa lalu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dari masa lalu. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 April 2011

Uga

Uga dikalangan masyarakat tradisional Sunda dipahami sebagai ramalan atau petuah dari leluhur, menyangkut kondisi sosial politik dan sosok pemimpin yang diharapkan. Uga termasuk tradisi lisan masyarakat Sunda yang disampaikan secara lisan, menggunakan bahasa siloka, atau simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Pencetus Uga adakalanya anonim, namun diyakini bersumber dari karuhun yang dianggap memiliki kelebihan, terutama dalam masalah spiritualitasnya. Contoh Uga :

Daréngékeun !
Jaman bakal ganti deui. Tapi engké, lamun Gunung Gedé ang eus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajaja gat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Ha dé deui sakabéhanana. Sana gara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.Tapi ratu saha ? Ti mana asal na éta ratu ? Engké ogé dia nyaraho. Ayeu na mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang! Dengarkan ! (jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab  berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asal nya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang!
Uga tersebut diyakini berasal dari Prabu Siliwangi. Saat ini bukan lagi merupakan rahasia, karena beredar di dunia maya dan maka banyak di perbincangkan di kalangan peminat mistis. Di sebutkan sebagai amanat dari Prabu Siliwangi sebelum ngahiyang (tilem), ditujukan kepada rakyatnya yang ikut mundur diserang musuh. Jika ditelaah lebih lanjut, terutama masalah waktu dikeluarkannya, memang membuahkan pertanyaan, karena jika yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga, maka Pajajaran sedang berada di puncak keemasan, sedangkan kekalahan Pajajaran masih berselang sekitar lima raja lagi, kecuali jika raja Pajajaran terakhir, yakni Ragamulya Suryakancana dianggap Prabu Siliwangi.

Uga lahir dan berkembang di masyarakat agraris tradisional. Saat ini hanya terbatas dikalangan orang-orang tua peminat masalah mistis-spiritual, atau dijadikan acuan bagi para politikus tradisional sebagai sumber informasi. Dalam tradisi masyarakat jawa tradisional dikenal juga ramalan Jayabaya, atau lajim dikenal Pralambang Jayabaya. Selain itu ada juga Ramalan Sabda Palon Naya genggong, intinya semacam ramalan dan ajaran yang disampai kan Sabda Palon kepada Brawijaya, raja Majapahit terakhir. Uga dan Pralambang Jayabaya sangat dibutuhkan ketika negara akan menghadapi perubahan kepemimpinan, disangkutkan dengan so sok pemimpin yang diharapkan dan ideal sesuai persepsinya, seperti masalah ratu adil, satria piningit (calon pemimpin) maupun kondisi sosial politiknya.

Contoh Uga
Uga diungkapkan dalam bentuk siloka atau simbol-simbol, dan menekankan pada unsur waktu peristiwa yang akan terjadi, seperti dalam istilah : Geus nepi kana ugana (sudah sampai pada uganya, atau sudah tiba waktunya sesuai yang diramalkan uga). Kata-kata tersebut menekankan tentang waktu ramalan itu akan terbukti. Seperti contoh dari Uga Prabu Siliwangi,: Tapi engké, la mun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung (tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung), menunjukan waktu ramalan uga akan tiba jika Gunung Gede meletus dan tujuh gunung lainnya, namun waktu meletusnya be lum pasti.

Di tatar pasundan lebih dari empat Uga yang diyakini kebera daannya, seperti :

Uga Kawasen
mengungkapkan, : ari nu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu jolna ti Gunung Surandil, bandera na karakas Cau (yang bakal menjadi ratu/raja atau pemimin negara, berbaju rombeng, menggunakan topi tempurung, yang datang dari Gunung Surandil [mungkin gunung serandil ?] berbendera daun pisang).

Uga Galunggung
menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung).

Uga Bandung
menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kembali lagi).

Uga Prabu Siliwinangi
mengungkapkan : Daréngékeun ! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé ang geus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. (Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati).

Uga Priangan
isinya menyangkut tentang ramalan akan adanya perubakan kondisi politik, dilengkapi dengan tanda-tandanya.
 
Menafsirkan Uga
Uga bisa ditafsirkan secara verbal dan kontekstual. Penafsiran verbal menitik beratkan kepada soal bahasa, pembendaharaan kata, tata bahasa, dan terjemahan yang tepat, sedangkan penafsiran konstekstual merupakan upaya untuk memahami arti ungkapan dengan melihat situasi di mana dan kapan ramalan ini ada, tentunya melalui cara memahami data histori di mana dan ada kondisi yang bagaimana ketika uga itu di buat (Nina H. Lubis : 2006).

Contoh dalam menafsirkan bagian akhir Uga Wangsit (wasiat) Prabu Siliwangi, seperti pada kalimat, sebagai berikut :

jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi se luruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Negara, jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan me noleh kebelakang !

Dari kalimat jaman akan berubah lagi. Tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi selu ruh bumi, mengandung siloka dan ramalan, bahwa : akan ada perubahan kondisi atau keadaan. Sedangkan Gunung Gede meletus. Ribut lagi seluruh bumi, dapat ditafsirkan akan muncul suasana yang mencemaskan, membuat masyarakat panik, bisa karena peristiwa alam, seperti bencana alam atau munculnya huru hara yang ditimbulkan oleh manusia, atau akibat dari kebijakan penguasa yang menimbulkan ketidak senangan rakyat dan memicu kerusuhan sosial. Dalam paradigma masyarakat Jawa tradisional disebut goro-goro.

Kesejarahan dari kondisi sebagaimana yang diramalkan di atas bukan hanya koridor dunia mistis-spiritual, melainkan suatu hal yang realistis jika menggunakan teori dialektikanya Hegel, di mana thesa (kondisi yang telah mapan) akan selalu berhadapan dengan antithesa (kondisi yang menginginkan perubahan) untuk kemudian melahirkan sintesa (kondisi baru). Dalam hal ini. Perlu ada kemampuan dan pengetahuan untuk mengetahui siloka-siloka yang terkandung di dalam kata-kata uga tersebut.

Kalimat selanjutnya : “Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali” dapat ditafsirkan, bahwa sehubungan dengan peristiwa diatas (adanya kepanikan, sebagaimana disilokakan dalam kalimat gunung gede meletus), maka orang Sunda akan dimintakan pertolongan (orang sunda dipanggil-panggil), baik untuk bersatu bersama-sama komponen warga bangsa lainnya, maupun karena kemampuannya menyelesaikan persoalan tersebut. Ketika orang Sunda memiliki kemauan untuk bersatu atau tampil sebagai penyelesai persoalan maka di tafsirkan sebagai sudah “memaafkan”, karena mungkin orang Sunda pernah disakiti atau kecewa. Jika hal ini terjadi “maka semua baik lagi dan negara bersatu kembali”.

Siloka dari ramalan ini tidak serta merta berjalan dengan sendirinya, melainkan masih diperlukan unsur kemampuan dan kemauan dari orang Sunda dalam menyelesaikan persoalan, seperti dari kalimat “Orang Sunda memaafkan” menunjukan pada sifatnya yang harus ada kemauan dari orang Sunda untuk memaafkan, sehingga menimbulkan empatinya untuk menyelesaikan kekacauan.

Siloka dari : “Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati”, mengandung makna : negara jaya kembali, sebab akan ada (lahir) ratu adil yang amanah, mengerti kemauan rakyat, pemimpin sejati, sesuai dengan keinginan masyarakat. Timbulnya ratu adil adalah hasil akhir dari tuntutan rakyat (sintesa). Tuntutan (antitesa) dimaksud berbentuk kerusuhan, unjuk rasa, huru hara yang mencemaskan masyarakat (siloka : Gunung Gede meletus).

Kemudian siloka dari kalimat : “Tapi ratu siapa? dari mana asalnya sang ratu ? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung makna, bahwa ratu adil yang dimaksud masih dirahasiakan. Disinilah kemudian banyak ditafsirkan sebagai Satria Piningit seorang calon pemimpin atau Ratu Adil yang benar-benar telah ditempa sehingga mumpuni untuk menjadi pemimpin yang sejati, keberadaannya akan diketahui kemudian.

Selanjutnya dari siloka :” Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang !”, mengandung siloka: adanya kewajiban warga sunda untuk mencari pemuda yang mengasuh atau mengayomi masyarakat. Mungkin menunjukan agar tepat memilih pemimpina. Si pemuda tersebut bukan berarti otomatis menjadi ratu adil, melainkan sebagai sarana yang akan menunjukan atau yang akan mengarahkan pene muan ratu adil. Sedangkan perintah dengan kalimat :” ingat jangan menoleh kebelakang”, mengandung siloka, agar tidak melihat ke masa lalu, karena mungkin dimasa lalu ada peristiwa yang menyakitkan, jika diingat-ingat akan menimbulkan dendam atau ketidak nyamanan.

Suatu data yang khas dari Uga ini adalah digambarkannya situasi sosial yang semrawut. Para pemimpin dan kepemimpinan silih berganti. Digambarkan ada keserakahan dari yang berkuasa. Timbulnya kondisi-kondisi yang menyengsarakan dan menakutkan orang Sunda, sehingga diakhir Uga dipesankan tentang akan adanya perubahan. Inilah suatu keniscayaan.

Sebagaimana penulis uraikan diatas, ramalan Uga seperti diatas bukan hanya dapat ditafsirkan melalui kerangka berpikir mistis-spiritual, melainkan dapat juga dutafsirkan berdasarkan koridol yang riil dan rational sesuai dengan keyakinan pemikiran masyarakat modern, bahkan dapat dibuat dan dirumuskan dalam bentuk rencana strategi, dengan menggunakan teori dialektikanya Hegel. Kondisi yang diramalkan dan di silokakan Uga diatas ada lah suatu keniscayaan. Hanya saja, siapa yang berperan aktif di dalam perubahan sosial tersebut. Jika menginginkan tampil sebagai pemimpin, maka perubahan itulah yang dapat menjadi kawah Candra Dimuka bagi sang Satria Piningit.

Contoh lainnya dari Uga Galunggung, menyebutkan, : Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung (Orang Sunda akan jaya jika pulung turun dari Galunggung). Uga ini menurut hemat penulis mengandung siloka tentang pulung dari Galunggung. Istilah pulung didalan pemahaman orang Sunda sama dengan pungut. Namun nampaknya, sang ideolog atau pencipta uga ini ti dak bertujuan demikian, melainkan memahami istilah pulung seperti yang ada didalam paradigma masyarakat Jawa. Istilah puluh akan didengar ketika menghadapi pemilihan Presiden, atau pemimpin. Puluh dipersepsikan sebagai cahaya putih yang akan menuju kerumah atau kepada calon pemimpin tersebut. Bisa jadi istilah pulung yang dimaksud dalam Uga Galunggung sama deng an yang dimaksud masyarakat Jawa.

Istilah Galunggung tentunya tidak asing lagi bagi masyakat Tasikmalaya. Dalam kesejarahannya merupakan bagian atau pusat dari pemerintahan kerajaan yang bersifat Kabataraan, banyak peninggalan-peninggalan tentang ajaran kebajikan, serta menjadi Kabuyutan Sunda, dikenal sebagai pusat keagamaan. Kerajaan Galungung dimasa lalu berfungsi sebagai negara yang ngabiseka Galuh. Artinya raja-raja Galuh akan syah menjadi raja jika direstui kerajaan Galunggung. Banyak hal yang bisa dibuka dari Siloka Uga Galunggung, baik yang terkait dengan masalah fisik kenega raan, seperti tentang kewajiban mempertahankan Kabuyutan atau mempertahankan negrinya dari penguasaan asing, serta kewaji ban untuk mentaati Purbatisti-purbajati, atau nlai-nilai Kasundaan. Siloka dari Uga Galunggung dapat ditafsir kan : (1) Jika Ki Sunda mengetahui jatidirinya maka akan menemu kan kejayaannya ; (2) Jika Ki Sunda memiliki kebersihan hati dan selalu menjalan keten tuan yang telah digariskan Tuhan maka akan menemukan kejaya annya ; (3) Jika Ki Sunda di ridhoi Tuhan dalam kehidupannya, ma ka akan menemukan kejayaannya.

Uga Bandung menyebutkan : Sunda nanjung, lamun nu pun dung ti Bandung ka Cikapundung geus balik deui (orang Sunda akan jaya, jika yang merajuk dari Bandung ke Cikapundung kem bali lagi). Uga ini menyiratkan adanya pihak yang merasa sakit hati sehingga meninggalkan Bandung dan menuju Cikapundung. Padahal Sungai Cikapundung berada di kota Bandung. Siloka ini menyiratkan, bahwa Orang Sunda akan jaya kembali jika orang yang sakit hati dan meninggalkan Bandung (kotanya) kem bali lagi dan mengelola negerinya.

Siloka dari Uga Bandung dapat pula ditafsirkan, bahwa ada pihak yang frustasi atau merajuk (pundung) akibat sesuatu, sehingga lantas menghanyutkan diri dalam kondisi yang ada, sehingga tidak perduli terhadap negerinya. Pihak yang hanyut itu harus di ingatkan dan diobati sakit hatinya, agar dapat bersama-sama mengolah dan memakmuran negeri. Dalam arti sempit da pat ditafsirkan, bahwa orang Bandung sudah tersingkirkan dari kotanya dan hanyut dalam kesemrawutan. Jika Kota Bandung ingin maju pesat, maka harus diurus oleh orang Bandung sendiri. Demikian. Hatur punten bilih aya kalepatan. Tabe Pun !!! (***).

 

Kamis, 31 Maret 2011

Tri Tangtu

Sejarah kebudayaan masyarakat Sunda di masa lalu menun jukan kepada sifatnya yang mistis-spiritual, dikatagorikan kedalam masyarakat religius. Masyarakat religius sangat berbeda dengan masyarakat modern-sekuler yang memberikan jarak distansi an tara dia dan diluar dirinya, antara subyek dengan obyek, sehingga wajar jika manusia modern-sekuler lebih mementingkan dirinya di bandingkan orang lain yang berposisi diluar dirinya. Didalam pa radigma yang religius, manusia harus partisipatif aktif terhadap lingkungan dan alam semesta. Mereka menyadari bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam semesta, memerlukan manusia lain nya ; sangat tergantung terhadap alam, yang tak dapat dikuasai, sehingga manusia religius akan selalu menjaga harmoni hidupnya dengan alam dan lingkungan.


Kebudayaan religius atau mistis-spiritial membagi sumber pe ngetahuan kedalam tiga tahap (Sumardjo : 2006, hal.22). Pertama, subyek manusia berhadapan dan berjarak dengan obyek pe ngetahuan, atau antara dirinya dengan obyek pengetahuan ada jaraknya sama halnya dengan yang dipahami masyarakat modern. Sehngga manusia selalu berupaya untuk menggapai pengetahuan tersebut. Pada akhirnya manusia yang mistis–spritual atau religius mengenal pula pengetahuan atau ilmu, seperti ilmu obat-obatan, bertani dan lainnya. Kedua, antara subyek (dirinya) dengan obyek (pengetahuan) tidak ada jarak, atau partisipatif. Seperti dapat dilihat dari pepatah tepo sliro, tenggang rasa ; ngaragap angen sorangan ; tat twan asi, atau merasakan apa yang orang lain rasakan.


Paradigma demikian bersumber pada faham totalitas dan menjadi pemikiran penting didalam kebudayaan mistis-spiritual. Pengetahuan dengan dirinya menjadi tidak ada batasnya, seperti didalam kisah, legenda danmitos-mitos, bahwa manusia bisa berbicara dengan hewan (Angling Dharma) ; manusia berubah jadi harimau (mitos Kean Santang : dan kerbau putih berubah menjadi Dewa. Contoh lain dari faham totalitas yang tidak membatasi antara masyarakat ma nusia dengan masyarakat di dalam bumi, seperti kisah Purnama Alam, Mundinglaya Dikusumah dan kisah-kisah keajaiban lainnya. Kisah-kisah diatas saat ini tidak dapat dikatagorikan sebagai hal yang rasional, namun tetap disebut rasional dalam katagori penge tahuan Sunda pramodern. Fenomena ini lajim disebut sebagai totalitas.Ketiga, batas pengetahuan dari kebudayaan mistis–spiritual adalah pengetahuan dan pengalaman yang di dalamnya tidak ada lagi subyek dan obyek. Hal ini disebut puncak mistisme, seperti pengetahuan suwung awang uwung, awang awang uwung uwung, kosong dalam kosong adalah isi yang sejati-jatinya. Puncak pengalaman mistisisme ini tidak semua manusia mampu dan memiliki pengetahuan ini.


Dilihat dari cara berpikir masyarakat modern seperti saat ini, pada umumnya hanya berhenti pada tahap pertama, tidak mengenal lagi cara berpikir tahap kedua dan ketiga, sehingga miskin dalam pengetahuan spiritual dan moralitas, memandang persoalan secara homogen (tunggal), padahal makna ruang dan waktu tidak tunggal, homogen.


Pola Budaya masyarakat agraris pada umumnya homogen. Diantaranya memiliki Pola Budaya Tiga, seperti dalam kehidupan masyarakat adat Bugis, Batak, Dayak, Minangkabau dan Sunda. Pola Budaya Tiga nampak dari struktur Kampung Cipta Gelar, Sukabumi Selatan. Perkampungan Cipta Gelar terdiri dari kelom pok kampung besar yang berangota tiga kampung. Masing-masing kampung memiliki peranan yang berbeda. Masyarakat Minangkabau menyebutnya Tigo Tungku Sajarangan atau Pola Nan Tigo. Pola Tigo Tungku Sajarangan merupakan satu kesatuan antara Ninik Mamak (kepala ada) ; Alim Ulama (pemuka agama) ; dan Cerdik Pandai (tokoh masyarakat). Selain dari wujud dan fung si para tokoh, nampak pula dari kampungannya (nagari). Basis budaya Minang dulu diakui berpuncak pada luhak nan tigo, yakni tanah Datar, Agam dan Limapuluh Kota, dengan adagium adat ; adat manurun, syara mandaki, maksudnya perkembangan adat itu adalah dari luhak nan tigo sedangkan perkembangan syara dari pantai (barat dan timur) lalu kini yang akan dijadikan puncak buda yanya adalah Padang, Bukittinggi dan Pagaruyung.


Pola Budaya
Sunda Pola Budaya Sunda termasuk pada pola budaya tiga dalam sistem budaya primordial. Masyarakat tradisional Sunda menyebut Pola Tri Tangtu; pola Nu Tilu ; Tilu Sapamalu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda. Pola tiga telah di dokumentasikan sejak tahun 1440 (Saka) atau 1518 M, dalam Koropak 630 yang dikenal dengan Naskah Siksa Kanda Ng Karesiyan. Intinya satu kesatuan dari fungsi ratu ; rama ; dan resi. Naskah tersebut jika di hubungan dengan naskah Kosmologi Sunda menguraikan tentang tiga fungsi diatas, yakni bayu, sabda, dan hedap. Menurut naskah tersebut : setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang diterima dari Sang Pencipta, agar kelak bisa kembali ke kodratnya.


Pengertian mengenai tugas dan fungsi yang terkandung di dalam Tri Tangtu merupakan tiga ketentuan di dunia yang disebut peneguh dunia. Naskah Sanghyang Siksa nangtukeun (menegas kan) : Ini tri tangtu di bumi. Bayu kita pinahka prebu, sabda kita pinah ka rama. hedap kita pinahka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngaran na.Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tri tangtu pineguh ning bwana. Tri warga hurip ning jagat. Ya sinangguh tri tangtu di nu reya ngaranya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Ke sentosaan kita ibarat raja ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehi dupan di dunia. Ya disebut tri tangtu pada orang banyak namanya. Tugas dan fungsi Tri Tangtu saat ini masih dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Baduy, tentang mengelola perkampungan nya dan melaksanakan enam fungsi pokoknya. Tri Tangtu terdiri atas Resi, Rama, Ratu. Ketiga komponen tersebut memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, tapi dalam jajaran yang setara. Fungsi Resi : mikukuhkeun agama Sunda ; ngabaratakeun nusa telung puluh telu ; bagawan sawidak lima ; panca salawe nagara, atau na paan. Tapi tapi yang dimaksud adalah menanungi, mengayomi, memelihara, mengelola dan sebagainya yang produktif untuk ke langsungan fungsinya. Fungsi Rama : ngasuh ratu ngajak menak dalam arti menjadi penasehat pihak eksekutif. Fungsi Ratu : Nga heuyeuk dayeuh ; ngolah nagara, atau sebagai pelaksana peme rintahan. Ketiganya memiliki kesetaraan. Jika telah berpadu maka dapat memperteguh dunia.Tri Tangtu ditemukan dalam ungkapan masyarakat tradisio nal Sunda, antara lain dalam tradisi masyarakat Cipta Gelar, Suka bumi Selatan, yakni : Tilu Sapamalu - Dua Sakarupa - Hiji eta-eta keneh. Bilangan tersebut terbalik, dari tiga, dua kemudian satu, me-ngandung arti dari banyak menjadi atau menuju (yang) satu, yakni asal usul terjadinya keberadaan yaitu dari yang satu, atau mengembalikan kepada yang satu.


Dikatakan tiga sapamalu, ka rena yang tiga itu kesatuan dan yang satu itu selalu berhubungan dengan tiga (Sumardjo : 2006).Mitologi Sunda Buhun membicarakan eksistensi tiga dunia, yakni Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Itulah Tilu Sa pamalu. Pola tiga berasal dari dua sakarupa, artinya banyak (plu ral), namun substansi dari banyak adalah dua (karena lebih dari satu), yakni : pasangan atau kembar dan saling berlawanan, seperti ada laki-laki dan ada perempuan. Fenomen ruang juga ada dua, yakni ada siang dan ada malam ; ada bumi dan ada langit, namun menjadi tiga, seperti adanya manusia karena ada kedua orang tuanya (ayah dan ibu) ; adanya angin karena ada udara pa nas dan udara dingin. Namun yang dua pasangan itu, berasal dari yang satu, atau hiji eta-eta kenah. Itulah Hyang Tunggal.Tuntunan Kepemimpinan.Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tonggak kehidupan, yakni : Rama ; Resi ; dan Prabu. Rama adalah pendiri kampung yang menjadi pemim pin masyarakat dan keturunannya serta yang mewarisi Prabu ada lah raja, pemegang kekuasaan. Setiap manusia dianjurkan agar selalu berusaha memiliki bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja) ; sabda pinaka rama (ucapan seorang rama) ; dan hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Ketiga tokoh tersebut kesehariannya memiliki tugas, yakni :Jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palang ka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerinta han menjadi tanggung jawab raja sebagai pemegang kekuasaan).Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena pada pawitan-nya, pada muliyana (sama asal-usulnya, sama mulianya).
Oleh karenanya, diantara ketiganya : haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang saka beh, tuha kalawan anwam. jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda) Pola kepemimpinan dimaksud saat ini masih dilaksanakan di Kanekes.


Masyarakat Baduy menyebut Tangtu Telu, nampak dari fungsi ketiga orang Puun, yakni posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Ketiga Puun kesehariannya berkuasa penuh di daerah masing-masing. Dalam hal menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu di-berlakukan secara umum .SpiritualitasPola Tri Tangtu tercermin di dalam kosmologi masyarakat tra disional Sunda, yakni (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sanghyang Kersa, yang letaknya paling atas ; (2) Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah ; dan (3) Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Masyarakat Baduy meyakini ada tiga pasang kata, semua saling melengkapi fungsinya dan ada hubungan dengan tugasnya seba gai pengemban wiwitan di Buana Panca Tengah. 


Pikukuh menurut Urang Baduy, sebagai berikut : Antara wiwitan jeung nu rek ngabangun nagara waktu babagi disawargaloka dibere atawa dibekelan tugas masing-masing, nya eta (1) di wiwitan aya carek, diluar wiwitan aya coret ; (2) diwiwitan aya lisan, di luar wiwitan aya tulisan (3) di wiwitan aya khabar, di luar wiwitan aya gambar. (Asep Kurnia : 2010). Antara wiwitan dengan yang akan membangun negara ketika di sorga diberikan ata dibekali tugs masing-masing, yaitu : (1) di wiwit an ada larangan diluar wiwitan ada tanda ; (2) di wiwitan ada lisan di luar wiwitan ada lisan ; (3) di wiwitan ada kabar diluar wiwitan ada gambar. 


Masyarakat Baduy sangat yakin jika masing-masing manusia telah diberikan tugas sejak belum lahir kedunia, yakni yang meng-abdi (menjaga) wiwitan dan mengabdi (mengabdi) negara. Tugas dimaksud berkaitan dengan keseimbangan hidup dalam menjaga masalah spiritual dan keduniaan. Fungsinya ada tiga yang disebut Tiga Sapamalu ; dua jenis tugas disebut dua saka rupa, sama-sa ma memikul tugas kehidupan ; semuanya berasal dari satu sema ngat, yakni menjalankan tugas dari pencipta.Contoh lannya ditemukan di dalam trasi masyarakat Naga, yang masyarakat tradisional Sunda yang berada di daerah Tasik, penganut agama Islam. Selain melaksankan syariat agama islam juga melaksanakan tradisi yang biasa dilakukan pendahulunya. Diantara tradisi yang menyangkut masalah spiritual yakni melaku kan nyepi namun berbeda dengan nyepi yang dilakukan oleh ma syarakat Bali. 


Masyarakat Naga melakukan nyepi tiga kali dalam satu minggu. Bertujuan mengembalikan dan memusatkan kekua tan-kekuatan yang hilang dalam diri dan jiwa yang kotor dan ber usaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. Namun kenapa harus tiga kali dalam seminggu?. mungkin inilah pemaknaan dari Tri Tangtu dan menyeimbangkan unsur bayu ; sabda dan hedap.LingkunganPola Tri Tangtu Sunda ditemukan pula didalam Sistim penge lolaan Kabuyutan, seperti yang disebut di dalam Amanat Galung gung dan Prasasti Kabantenan. Pola di Kabuyutan Sunda tercer min dari fungsi Resi (pemuka agama/Wiku); ratu (raja Sunda); dan Rama (tetua kampung atau yang dituakan). 


Fungsi dari Tri Tangtu dijelaskan didalam naskah Sanghiyang Siksa, yakni sebagai pene guh dunia, dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sum ber tekad (yang baik). Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia. Lingkungan perkampungan Baduy, memiliki tiga fungsi sosi al, yakni :1. Cibeo disebut tangtu Parahyangan, fungsi Puun mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan (Raja) ;2. Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageung, fungsi Puun mengem ban tugas sebagai pemuka/tokoh masyarakat ;3. Cikertawana disebut Tangtu Kadu Kujang, fungsi Puun me- ngemban tugas sebagai tokoh agama (Resi).


Perkampungannya ditentukan dari bobot dari kemandalaannya, yakni Tangtu ; Panamping ; Dangka. Wilayah Tangtu termasuk yang terkuat Kemandalaannya. Selain terletak di daerah yang paling dalam juga tugasnya untuk menjaga wiwitan. Perkampungan mayarakat Naga memiliki tiga elemen Pola Pembagian Lahan, yakni Kawasan Suci; Kawasan Bersih ; dan Ka wasan Kotor. Fungsi lahan dimaksud, sebagai berikut :(1) Kawasan Suci :Lokasi yang disebut kawasan suci terdapat tiga tempat, yakni leuweung larangan ; leuweung tutupan ; dan pekuburan masya rakat Naga. Disebut kawasan suci karena tidak boleh dikunju ngi sembarang orang, harus dijaga kesucian, kelestarian dari pengaruh luar, serta diawasi setiap saat. Leuweung larangan, ditumbuhi pohon-pohon besar, dilarang untuk dikunjungi sembarang orang da, banyak tabu. Di tempat ini leluhur mereka dimakamkan.


Leuweung tutupan atau leuweung biuk. Ditumbuhi berbagai jenis tanaman keras yang umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Leuweung ini sangat mempengaruhi iklim sekitar perkampungan Naga, bahkan dijadikan sebagai sumber kehidupan.Pemakaman Masyarakat Naga, tempat dimana mereka di-makamkan ketika saatnya tiba, terletak ditempat yang lebih tinggi dari pemukiman, namun dekat leuweung larangan.(2) Kawasan Bersih :Kawasan ini terletak dipemukiman Kampung Naga. Terdapat rumah-rumah dengan arsitek Sunda lama. Di kawasan bersih terdapat leuit ; Bale patemon ; Bumi Ageung.Leuit adalah lumbung padi, tempat penyimpan padi atau gabah hasil panen.Bale Patemon atau balai pertemuan, digunakan pada saat melakukan musyawarah atau digunakan pula untuk menerima kunjungan tamu. Bangunan ini terletak di dekat bangunan Masjid.


Bumi Ageung atau bangunan besar, merupakan bangunan tanpa jendela. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan ba rang-barang pusaka. Bangunan ini dikelilingi Pager Jaga dan ti dak boleh dimasuki sembarangan orang, kecuali seijin Kuncen (juru kunci). (3) Kawasan Kotor :Terletak disebelah Sungai Ciwulan, sekaligus batas wilayah Kampung Naga. Kawasan ini digunakan untuk kegiatan sehari-hari penduduk kampung naga. 


Menurut naskah Sanghyang Siksa, kawasan kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbu- ang.Inilah gambaran umum tentang Tilu Sapamalu ; Tri Tangtu ; Nu Tilu ; atau dalam bahasa akademis disebut Trilogi Sunda, ber ikut nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Trilogi Sunda menun jukan adanya harmoni dalam kehidupan kosmos. Fungsi dari Tri Tangtu sebagai peneguh dunia, dilambangkan dengan raja seba gai sumber wibawa ; rama sebagai sumber ucap (yang benar) ; dan resi sebagai sumber tekad (yang baik). (agus setia permana)


Sumber bacaan :

Sumardjo, Jakob

2006
Khasanah Pantun Sunda – Sebuah Interprestasi. Bandung. Kelir.

Wibisina, Wahyu dkk
2010
Lima Abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi. Jilid 1. Jakarta. Bandung. Geger Sunten.

Rabu, 24 Maret 2010

Sejarah Penggunaan Basa Sunda

Sejak kedatangannya pada abad ke-17 ke Hindia Belanda, orang Belanda sangat sedikit yang mengetahui jika Sunda memiliki Budaya sendiri. Paradigma semacam ini berlanjut hingga pada abad ke 19. Sebelumnya pada tahun 1811-1816, Raffles, Gubernur Inggris di Jawa mendorong untuk melakukan penelitian tentang sejarah dan kebudayaan lokal. Dalam buku History of Java, Raffles masih dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Ia pun menyatakan bahasa Sunda itu adalah sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga yang menyebut bahasa Sunda sebagai bahasa Jawa Gunung dibagian barat.

Pada masa selanjutnya para cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah, swasta dan para penginjil menemukan sunda sebagai etnis sendiri. Pengetahuan etnografi ini sangat dibutuhkan, paling tidak untuk mempermudah komunikasi antara Belanda dengan Pribumi. Peristiwa penemuan ini ditunjang pula oleh upaya pemerintah kolonial bekerjasama dengan para Sarjana Belanda, membagi Nusantara kedalam wilayah Budaya yang berbeda-beda, antara lain Jawa, Sunda, Madura – masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.

Belanda tentunya memiliki tujuan, karena masing-masing wilayah memiliki potensi alam yang berbeda. Seperti daerah Priangan sangat penting dari segi ekonomi, karena sebagai penghasil kopi. Belanda mendorong para elite lokal untuk menjalankan roda administrasinya sendiri, serta mendorong untuk belajar pendidikan formal. Dari sini para Bumiputra menyadari, bahwa memang ada perbedaan bahasa dan budaya diantara mereka.

Pada tahun 1829 M, Andries de Wilde, seorang pengusaha perkebunan di Sukabumi melakukan studi etnografi tentang daerah Priangan. Ia berpendapat bahwa bahasa sunda merupakan bahasa tersendiri. Cuplikan pendapatnya, sebagai berikut :

  • Bahasa yang dituturkan diwilayah ini adalah bahasa sunda. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Jawa dan Melayu. Namun demikian, ada banyak kata-kata yang pelan-pelan masuk atau diambil dari kedua bahasa yang disebut belakangan. Aksara yang dipakai para ulama adalah Arab ; banyak pemimpin lokal juga menegenal bahasa itu ; jika tidak memakai aksara itu, penduduk pada umumnya memakai aksara Jawa.
Kemudian dalam revisi yang dilakukannya pada tahun 1830, ia mengumpulkan banyak kata-kata Sunda mengenai pertanian, adat istiadat, dan Islam. Hasil penelitiannya semakin meneguhkan bahwa Sunda adalah etnis tersendiri.

Bahasa memang lajim disebut pertanda bangsa – Basa Ciciren Bangsa (een volk). Pendapat ini dikemukakan pula pada tahun 1920-an oleh Memed Sastrahadiprawira, seorang sarjana sunda. Ia mengemukakan :


  • “Basa teh anoe djadi loeloegoe, pangtetelana djeung pangdjembarna tina sagala tanda-tanda noe ngabedakeun bangsa pada bangsa. Lamoen sipatna roepa-roepa basa tea pada leungit, bedana bakat-bakatna kabangsaan oge moesna. Lamoen ras kabangsaanana sowoeng, basana eta bangsa tea oge lila-lila leungit”
Dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan Sarjana Sunda yang dianggap cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa : bahasa merupakan representasi, cerminan suatu kebudayaan ; dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai pengusung terpenting dari suatu Budaya.

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedanhkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde. Kemudian Roorda membuat pernyataan :

Pertama-tama (kamus) ini bermanfaat, khususnya supaya bisa lebih kenal dekat dengan bahasa yang sampai sekarang pengetahuan kita mengenainya sangat sedikit dan tidak sempurna ; bahasa itu dituturkan di wilayah barat pulau Jawa, yang oleh penduduk setempat disebut Sunda atau Sundalanden, yang berbeda dari bahasa di wilayah timur pulau itu ; bahasa itu sangat bebeda dengan yang pantas disebut bahasa jawa dan juga melayu, yaitu bahasa yang digunakan orang-orang asing di kepulauan Hindia Timur.

Berdasarkan khasanah naskah Sunda yang berhasil di data Edi S. Ekadjati dkk (1988), dikemukakan, Pada abad ke 19 merupakan masa peralihan kehidupan naskah Sunda, yaitu dari masa transisi antara lain ditandai dengan lahirnya naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon yang dimuali pada abad ke-17 kemasa baru yang ditandai lahirnya naskah-naskah Sunda dengan menggunakan aksara cacarakan, Pegon, dan Latin yang dimulai pada pertengahan abad ke-19. Pada Masa itu telah ada pula penulis dan pengarang Sunda terkenal, seperti Raden Haji Muhamad Saleh dan Raden Haji Muhamad Musa. Tentunya Muhamad Musa terkenal dengan Karyanya “Panji Wulung”.(*)



Sumber Bacaan :
  • rintisan peneliusuran masa silam Jawa Barat 1984
  • Semangat Baru Miukihiro Moriyama - 2002



Jumat, 24 Oktober 2008

Falsafah Sunda

Dalam perbincangan ringan yang berisi tentang “Kasundaan” banyak disitir tentang falsafah sunda, namun tak pula dapat dipungkiri jika pandangannya berupa aktualisasi dari nilai-nilai yang pada saat itu dianggap benar, bahkan menganggap masalah kasundaan sebagai sesuatu yang tak perlu diperbicangkan lagi, bahkan prehistoris. Saya kadang bertanya tentang sumber dari falsafah “Sunda” itu sendiri, apakah dari nilai dan aktualisasi keyakinan para petuturnya atau memang ada rujukan yang bisa dijadikan indikator. Masalah rujukan tentu menjadi lingkaran setan. Terutama ketika disadari bahwa pengaruh jaman dan perubahannya niscaya menjadi factor lain keberadaannya.

Saya agak terhenjak ketika membaca Web-nya Pak Ayip Rosidi (baca : http://ajip-rosidi.com) tentang sumber dan indikator dari falsafah sunda. Memang beliau sangat sistimatik. Sama dengan cara para ilmuwan menguraikan tentang suatu ilmu, yakni logis dan rational.

Dalam prakteknya sumber-sumber dan acuan nilai tidak selamanya ditemukan dalam sumber dan data ilmiah. Karena patut disadari juga bahwa pencarian sejarah sunda pun harus melingkar dan masuk dari aras lain, seperti cerita-cerita lisan masyarakat, dalam karya sastra, pantun dan dongeng-dongeng rakyat, bahkan ada yang mengambil dari forum supranatural dan spiritual. Memang cara ini ada sisi lemahnya, karena muatan sejarah menjadi tertambahkan atau terkurangi.

Nakh, untuk mengetahui tentang Falsafah sunda, saya sajikan makalahnya Pak Ayip Rosidi. Mudah-mudahan dapat mengantarkan pada pemahaman tentang pengetahuan pandangan hidupnya “Urang Sunda”, seperti berikut ini.


-o0o-


 
Kajian tentang Falsafah Sunda
Oleh : Ajip Rosidi
----------------------------------------
Panitia meminta saya berbicara tentang “Kajian Sejarah dan Falsafah Sunda”. Sejarah dan Falsafah adalah dua bidang kajian yang berlainan dan masing-masing memerlukan keahlian sendiri, sedangkan saya bukan ahli dalam keduanya. Saya mau menerima permintaan Panita, namun hanya mengenai salah satu bidang saja, ialah tentang Falsafah Sunda. Bukan karena saya merasa tahu tentang falsafah Sunda, melainkan karena belakangan ini saya dengar banyak sekali orang yang berbicara tentang “falsafah Sunda” yang menimbulkan tandatanya pada diri saya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “falsafah Sunda”? Yang saya tangkap kalau saya dengar orang berbicara atau menulis tentang “fasafah Sunda” hanyalah pikiran-pikiran orang itu sendiri yang sering tidak rasional, tidak sistimatis dan tidak jelas metodologinya. Biasanya merupakan campuran mitos, mistik dan kirata basa saja. Ngawur!

Panitia sendiri menulis dalam Term of reference-nya, bahwa “Sunda dan kesundaan sangat kaya akan pelajaran dan falsafah hidup.” Tidak tahu dari mana kesimpulan itu diperolehnya. Saya sendiri sampai sekarang tidak berhasil menemukan “kekayaan” itu. Banyak hal yang dibanggakan sebagai milik orang Sunda atau warisan dari karuhun Sunda, setelah dikaji agak mendalam ketahuan bawa sebenarnya hanya cangkokan saja dari India, dari Jawa, atau dari Islam. Pencangkokan yang sering tidak pula dilakukan secara profesional.

“Falsafah” atau “palasipah”, “filsafah”, “filsafat” artinya sama dengan istilah “philosophy” dalam bahasa Inggris. Menurut The Oxford Companion to Philosophy (ed. Ted Honderich, New York, Oxford University Press, 1995), definisi “philosophy” yang paling singkat dan tepat ialah berpikir tentang berpikir (thinking about thinking). Adapun definisi yang lebih rinci menurut buku itu ialah: berpikir secara kritis dan rasional, secara kurang lebih sistimatis mengenai keadaan umum dunia (metafisik atau tiori tentang eksistensi), pembenaran atas kepercayaan (epistemologi atau teori tentang ilmu pengetahuan) serta cara hidup sehari-hari (etika atau teori nilai).

Apakah orang Sunda mempunyai tradisi berpikir tentang berpikir? Pertanyaan sederhana ini susah dijawab, karena dalam tradisi filsafah, berpikir itu tidak hanya yang dilakukan dalam kepala seseorang, melainkan harus ditulis, sehingga bukan saja dapat diketahui oleh orang yang tidak berkenalan langsung dengan orang itu, melainkan juga kebenaran dan ketelitiannya dapat diukur dan diuji setiap saat. Harus diakui bahwa tradisi menulis di kalangan orang Sunda, walaupun ada naskah bahasa Sunda yang berasal dari abad ke-16 dan sejak abad ke-19 banyak sekolah didirikan di Tatar Sunda sehingga orang Sunda termasuk yang pertama mendapat kesempatan untuk menuliskan bahasa ibunya dengan huruf Latin dan menggunakannya dalam buku-buku yang tercetak, namun kebiasaan menulis, apalagi menuliskan pikiran-pikiran secara kritis dan rasional mengenai eksistensi kehidupan, dan mengenai teori ilmu pengetahuan tidak pernah berkembang. Yang kita temui dalam naskah-naskah kuna Sunda terutama tentang etika. Hal itu nampak dalam naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda Kuna - yang sekarang hanya bisa dibaca dan dimengerti oleh beberapa orang saja, tidak akan lebih dari 10 orang! Begitu juga dalam naskah-naskah yang lebih kemudian yang ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Pegon, huruf Hanacaraka, maupun dengan huruf Latin. Sejak abad ke-19, orang Sunda menuliskan bahasa Sunda yang diterbitkan berupa buku, tetapi seperti juga naskah-naskah isi buku-buku itu kebanyakan berupa cerita atau uraian tentang agama. Hampir tidak ada yang bersifat hasil pemikiran, apalagi yang kritis! Bersikap kritis dalam masyarakat Sunda dianggap kurang ajar. Henteu Nyunda.

Satu-satunya kekecualian mungkin hanyalah H. Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menuliskan renungan dan pendapatnya yang kritis, terutama dalam bentuk puisi, walaupun banyak juga yang berbentuk prosa. Tetapi karya-karyanya kebanyakan disalurkan melalui cara pesantrén tradisional, yaitu beredar dengan disalin melalui tulisan tangan dari seorang kepada yang lainnya. Hanya tiga buah karyanya yang dicetak selama hidupnya yaitu Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Éta (1913) dan Buku Leutik Pertélaan Adat Jalma-jalma di Pasundan (1916). Keduanya merupakan deskripsi étnografis, bukan hasil renungan dan pemikirannya. Yang satu lagi, walaupun terbit ketika HHM masih hidup, namun disusun oleh W.A. (Wangsaatmadja), berjudul Balé Bandung (1924), yang merupakan kumpulan surat-menyurat antara HHM dengan Kiai Kurdi dari pesantrén Sukawangi, Singaparna. Surat-menyurat itu terutama membahas masalah ketuhanan (tauhid) dalam bentuk puisi rakyat.

Di samping itu masih dapat dipersoalkan apakah ada “falsafah” sesuatu bangsa atau suku bangsa? Kalau kita berbicara tentang falsafah Yunani misalnya, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh banyak filosof: Sokrates, Plato, Aristoteles, Anaxagoras, Aristippus, Protagoras dll. Di samping itu ada juga falsafah Yunani modern yang berkembang pada zaman modern yang juga diwakili oleh banyak pemikir yang tidak selalu sejalan seperti Peter Vrailas-Armenis, Konstantine Tsatsos, Panayotis Kanellopoulos, Teophilos Voreas, Christos Androutsos dll. Keseluruhan pemikiran para filosof itulah yang membangun apa yang disebut “falsafah Yunani”. Di antara mereka pemikirannya bukan saja tidak selalu sejalan, melainkan sering juga bertentangan satu sama lain. Jadi bukan hanya satu macam pemikiran yang bulat menjadi hasil pemikiran orang Yunani. Hal yang sama terjadi juga kalau kita mau berbicara tentang “falsafah Cina”, “falsafah India”, “falsafah Jepang”, dll. Yang dimaksud selalu berarti seluruh pemikiran yang timbul di masing-masing negara itu dan tidak selalu merupakan kesatuan yang bulat, karena terdapat perbedaan bahkan pertentangan paham satu sama lain. Dengan demikian “falsafah orang Sunda” harusnya terdiri dari semua pemikiran yang dikemukakan orang Sunda selama sejarahnya tentang hidup, tentang mati, tentang seni, tentang agama dll. Masalahnya ialah karena orang Sunda tidak (banyak) meninggalkan naskah tertulis mengenai hal itu, sehingga kita sulit menjejakinya.

Kalau kita hendak berbicara tentang “filsafah Sunda” atau “falsafah orang Sunda”, kita tidak akan banyak menemukan hasil pemikiran orang Sunda yang tertulis. Memang pemikiran manusia tidak hanya dalam bentuk tulisan saja. Yang lisan pun bukannya tidak berharga. Tradisi lisan menurunkan pemikiran nenek moyang kepada anak cucunya melalui berbagai cara. Niscaya orang Sunda terutama mempergunakan cara lisan dalam menyampaikan kearifan hidupnya, karena tradisi tulisan belum melembaga dalam masarakat. Tapi sejak beberapa dasawara lembaga-lembaga lisan yang dahulu menjadi cara menurunkan kearifan hidup orang Sunda sudah tidak berfungsi lagi. Kearifan hidup dari nenek moyang tidak lagi disampaikan kepada anak cucu, karena masarakat Sunda mengalami perubahan yang sangat mendasar. Hanya sebagian kecil saja kearifan nenek moyang orang Sunda yang sempat dicatat dan dengan demikian tersimpan. Itu pun tidak dapat disalurkan untuk diketahui oleh anak-cucunya, karena lembaga-lembaga pendidikan dan komunikasi yang sekarang dikenal tidak memberi tempat untuk hal-hal demikian. Artinya kalaupun ada apa yang disebut “falsafah Sunda”, namun hampir tidak dikenal lagi oleh komunitas manusia yang sekarang disebut orang Sunda. Karena “falsafah” itu merupakan pandangan tentang hidup (dan juga tentang mati) yang dianut seseorang atau sekelompok orang, maka kadang-kadang “falsafah” diartikan sama dengan “pandangan hidup”. Istilah “pandangan hidup orang Sunda” pernah dijadikan kajian satu tim peneliti yang dilaksanakan kl. 20 tahun yl.

Proyék Sundanologi ketika dipimpin oleh Prof. Dr. Édi Ékadjati pada paruh kedua tahun 1980-an mengadakan penelitian tentang “Pandangan hidup Orang Sunda” dan menghasilkan tiga judul buku yang masing-masing dikerjakan oleh tim peneliti yang berlain-lainan. Yang pertama Pandangan Hidup orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Suwarsih Warnaén dengan anggota Dr. Yus Rusyana, Drs. Wahyu Wibisana, Drs. Yudistira K. Garna dan Dodong Djiwapradja SH. Yang kedua sama judulnya (1987), hanya dengan keterangan tambahan “Konsistensi dan Dinamika” dan walaupun Ketua Tim tetap, namun anggotanya berubah menjadi Dodong Djiwapradja SH, Drs. H. Wahyu Wibisana, Drs. Kusnaka Adimihardja MA, Dra Nina Herlina Sukmana dan Dra Ottih Rostoyati. Sedang yang ketiga judulnya berubah menjadi Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam kehidupan Masyarakat Dewasa Ini (1988/1989) dengan Tim yang terdiri dari Dr. Yus Rusyana, Drs. Yugo Sariyun MA, Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Undang Ahmad Darsa.

Ketiga buku itu sampai sekarang merupakan hasil kajian yang boleh dikatakan cukup mendalam tentang pandangan hidup orang Sunda, baik yang tertulis dalam naskah-naskah dan buku-buku, maupun yang terdapat dalam tradisi lisan dan berdasarkan hasil wawancara terhadap orang-orang Sunda dewasa ini - yaitu pada masa penelitian itu dilangsungkan kl. 20 tahun yl. Penelitian tahap I sampai pada kesimpulan yang ternyata konsisten dengan hasil penelitian pada tahap II, namun kesimpulan pada tahap III menunjukkan terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai hal.

Dalam kesempatan ini saya ingin menjadikan hasil penelitian itu sebagai pegangan kita dalam mencari jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana gerangan yang disebut “falsafah Sunda” tanpa terjebak dalam persoalan apakah istilah “falsafah” yang dimaksud oleh Panitia sama dengan istilah “pandangan hidup”, tidakkah “pandangan hidup” lebih sempit dari “falsafah” dan sebagainya.

Penelitian tentang Pandangan hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda, dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi;
2. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat;
3. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam;
4. pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
5. pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.

Pada tahap pertama penelitian dilakukan terhadap tradisi lisan dan sastera Sunda, yaitu yang berupa ungkapan tradisional, carita pantun Lutung Kasarung, naskah Sanghyang Kanda ng Karesian, sawér pangantén, roman Pangéran Kornél (1930) dan Mantri Jero (1928) karya R. Méméd Sastrahadiprawira. Pada tahap kedua penelitian dilakukan terhadap uga, Bab Adat Urang Priangan jeung Sunda lian ti éta (1913) karya H. Hasan Mustapa, cerita-cerita si Kabayan, cerita rakyat (yang sudah dibukukan), roman Rusiah nu Goréng Patut (1928, harusnya 1927) karya Yuhana, Lain Éta (1934) karya Moh. Ambri, Maot dina Dahan Jéngkol (1986) karya Ahmad Bakri.

Menurut kesimpulan para peneliti, tidak banyak berbeda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali bahwa penelitian tahap I memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda golongan élit, sedangkan penelitian tahap II memberikan gambaran tentang pandangan hidup orang Sunda kebanyakan (balaréa).

Penelitian tahap III dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada sejumlah orang Sunda kontemporer (yang hidup pada waktu penelitian dilangsungkan), sebagai sampel diambil beberapa wilayah di Tatar Sunda, ialah Kotamadya Bandung, Sumedang Kota, Cianjur Kota, Sumedang pedesaan, Garut pedesaan, Tasikmalaya pedesaan dan Sukabumi pedesaan. Semua responden dari seluruh wilayah jumlahnya 7 X 48 orang = 336 orang, berusia antara 17 - 60 tahun, baik orang yang mampu maupun yang tidak mampu, baik pegawai negeri atau pun bukan. Tim peneliti menganggap bahwa sampel 336 orang itu representatif mewakili orang Sunda masa penelitian dilakukan yang jumlahnya pasti di atas 20 juta orang.

Ternyata pada umumnya pandangan hidup orang Sunda kontemporer itu umumnya masih tetap sama dengan pandangan hidup orang Sunda hasil penelitian tahap I dan tahap II, kecuali pada beberapa hal terjadi pergeseran bahkan perubahan.

Secara singkat, akan saya rumuskan isi hasil penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi
Orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik al. harus sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa. Untuk mempunyai tujuan hidup yang baik, harus punya guru yang akan menuntunnya ke jalan yang benar. Guru dihormati dalam masyarakat Sunda. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa juga disebut Guru Hyang Tunggal. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa orang dapat berguru kepada siapa saja. Dianjurkan agar bertanya kepada orang yang ahli dalam bidangnya. Teladani orang yang berkelakuan baik. Terimalah kritik dengan hati terbuka. Ambil manfaatnya dari teguran dan nasihat orang lain.


2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat
Tujuan hidup yang dianggap baik oleh orang Sunda ialah hidup sejahtera, hati tenang dan tenteram, mendapat kemuliaan, damai, merdeka dan mencapai kesempurnaan di akhirat. Sejahtera berarti hidup berkecukupan. Tenang dan tenteram berarti merasa bahagia. Mendapat kemuliaan berarti disegani dan dihormati orang banyak, terhindar dari hidup hina, nista dan tersesat. Hidup damai artinya rukun, akrab dengan tetangga dan lingkungan. Orang yang merdeka artinya terlepas dari ujian dan terbebas dari hidup tanpa tujuan. Dan kesempurnaan akhirat ialah terhindar dari kema’siatan dunia dan ancaman neraka di akhirat.

Untuk mencapai tujuan hidup itu orang harus taat kepada ajaran-ajaran karuhun, pesan orangtua dan warisan ajaran yang tercantum dalam cerita-cerita pantun, dan yang berbentuk naskah seperti Siksa Kandang Karesian. Ajaran-ajaran itu punya tiga fungsi: (1) sebagai pedoman dalam menjalani hidup; (2) sebagai kontrol sosial terhadap kehendak dan nafsu yang timbul pada diri seseorang dan (3) sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.

Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.

3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam
Orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.

Dalam Siksa Kandang Karesian misalnya terdapat ungkapan, “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk makan, dll. ” yang berarti tidak boleh berlebihan. Orang Sunda dianjurkan agar “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Samasekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan
Sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan. Tuhan disebut juga Nu Murbéng Alam (Yang Menguasai Alam), Nu Mahawisésa (Yang Mahakuasa), Nu Mahaasih (Maha Pengasih), Gusti Yang Widi (Yang Maha Menentukan), Nu Mahasuci (Yang Maha Suci), dll. Tuhan menghidupi mahlukNya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikannya pada waktunya.

5. Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya. Tidak menunda pekerjaan yang belum selesai apalagi menyerahkannya kepada orang yang bukan ahlinya. Mau mengerjakan yang baik meskipun pekerjaan kasar. Kesehatan dipelihara, makan cukup, pakaian bersih dan pantas, punya kedudukan, punya harta kekayaan. Tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan yang berharga warisan nenekmoyang. Memperlihatkan rasa tanggungjawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan, dan selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya pada kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebiasaan yang berlaku di tempat hidupnya. Berusaha mencapai hari depan yang lebih baik. Mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.

Pergeseran dan perubahan
Dari hasil penelitian tahap III yang berupa kuesioner terhadap sejumlah sampel, di sejumlah daerah, terlihat adanya nilai-nilai yang tetap dipertahankan, ada yang bergeser dan ada pula yang berubah. Pada pandangan hidup manusia sebagai pribadi terdapat pergeseran mengenai pantangan (harus ada alasan yang masuk akal), hidup berkumpul dengan keluarga, membela kehormatan, hidup selamat dan hidup sederhana. Pandangan semula tidak ditolak sama sekali, tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang mengalami perubahan adalah mengenai bicara arif, bertindak hati-hati, ramah kepada pedatang, pengalihan kebiasaan dan tentang hidup yang dicita-citakan. Orang bicara tak usah lagi malapah gedang, lebih baik blak-blakan, tak usah terlalu menenggang perasaan orang lain. Terhadap para pedatang, sekarang menjadi harus waspada. Kebiasaan dirubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya kebiasaan menanam padi, kalau ternyata memelihara ikan lebih menguntungkan, maka kebiasaan itu ditinggalkan.

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat, cenderung terjadi pergeseran dan perubahan dalam semua hal. Misalnya tentang membantu anggota keluarga yang miskin, sewaktu-waktu dan seperlunya saja, jangan sampai yang ditolong meng-gantungkan diri pada orang lain. Terhadap orang tua tidak lagi menuruti segala keinginan dan nasihatnya, bergeser menjadi asal tidak melupakan dan menghargai jasa-jasanya. Dalam menghadapi hal yang tidak disetujui, kalau semula diam, sekarang menyatakan pendapat dan merundingkannya, bahkan memerotesnya. Yang berubah ialah tentang perkawinan dengan orang daerah lain (menjadi terbuka), tentang tugas isteri terhadap suami (menjadi setara sebagai teman hidup).

Pada pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan, terjadi penguatan dan pergeseran. Kepercayaan orang Sunda akan Tuhan dan akan keesaan Tuhan, sekarang menjadi lebih kuat. Keyakinan akan Tuhan Mahakuasa kian kuat. Manusia harus berusaha dan berdo’a tapi pasrah akan hasilnya. Pendidikan agama dianggap kian penting baik di rumah, di sekolah, di madrasah, maupun di masjid. Yang bergeser adalah yang bertalian dengan upacara adat seperti membuat sasajén, dan sikap terhadap uga.

Pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah mengalami sedikit pergeseran. Umumnya nilai-nilai lama dipertahankan. Hanya kekayaan yang semula dipandang sebagai hal yang menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan sekarang dipandang sebagai hal yang mendorong orang untuk menyegani pemiliknya.

Dengan demikian Tim Peneliti berkesimpulan bahwa “pandangan hidup orang Sunda dengan tetap berakar pada tradisinya telah dan sedang mengalami pergeseran dan perubahan, setidak-tidaknya dialami oleh orang-orang yang menetap di kawasan sampel penelitian.

Nampak pergeseran dan perubahan ke arah pandangan yang lebih waspada, yang lebih bertauhid dalam agama, yang lebih realistis dalam bermasyarakat dan lebih memahami aturan alam.” (jilid III h. 259).

Pareumeun Obor
Melihat bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap I dan II, kita dapat diyakinkan bahwa hasilnya dapat dikatakan representatif mewakili alam pikiran orang Sunda seperti yang tercermin dalam tradisi lisan dan sastera Sunda - walaupun menimbulkan tandatanya mengapa dari H. Hasan Mustapa yang dijadikan bahan adalah Bab Adat Urang Priangan jeung urang Sunda Lian ti Éta saja yang merupakan deskripsi etnografis, dan tidak satu pun karyanya yang merupakan hasil pemikiran baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi dijadikan sumber. Tapi hal itu mungkin disebabkan karena karya-karya HHM umumnya belum diterbitkan sebagai buku - yang menimbulkan tandatanya pula karena banyak sumber lain yang berasal dari lisan malah digunakan sebagai bahan. Yang penting ternyata dalam hasil penelitian tahap I dan tahap II tidak tercermin adanya perubahan-perubahan dalam perjalanan masa, padahal bahan-bahan yang digunakan itu berasal dari masa dan lingkungan yang tidak sama. Begitu pula melihat bahwa dalam penelitian tahap III, yang dijadikan sampel hanya 336 orang, kita bertanya-tanya apakah benar telah secara representatif mewakili alam pikiran orang Sunda yang jumlahnya pasti lebih dari 20 juta, meskipun peneliti telah berusaha mengajukan kuesioner kepada orang Sunda di kota maupun di pedesaan.

Keraguan itu diperkuat ketika kita membaca hasilnya yang menimbulkan tandatanya, misalnya apakah betul hanya terjadi sedikit pergeseran dan perubahan pada pandangan hidup orang Sunda yang dirumuskan dalam penelitian tahap I dan II dengan hasil penelitian tahap III? Apakah betul pandangan hidup orang Sunda tetap berakar pada tradisinya dengan hanya mengalami pergeseran dan perubahan sedikit pada hal-hal tertentu saja ?

Misalnya bertalian dengan pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, hasil penelitian tahap I dan II menyatakan bahwa a.l. “orang Sunda itu berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan ……berpikiran luas serta mencintai tanahair dan bangsa”. Padahal dalam kehidupan nyata di sekeliling kita sekarang, apakah kita melihat nilai-nilai tersebut dilaksanakan oleh orang Sunda? Mungkin ada orang-orang Sunda yang demikian, tetapi menurut pengamatan saya bukanlah merupakan nilai yang secara umum diperlihatkan oleh orang Sunda sehari-hari. Memang ada Tétén Masduki, ada Erry Riyana Hardjapamekas, dan beberapa orang atau beberapa puluh orang lagi, tetapi secara umum orang Sunda tidak bersikap seperti mereka. Kebanyakan merasa lebih baik memilih diam melihat kebenaran dan keadilan diperkosa. Umumnya menganggap bersikap pura-pura tidak tahu sebagai sikap yang bijaksana - alias tidak bersikap “berani dan teguh pendirian”. Nilai-nilai tersebut mungkin dijaring dari naskah kuna seperti Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518, ketika kerajaan Sunda masih berdiri dan manusia Sunda masih merdeka. Tetapi setelah Tatar Sunda dijajah Mataram (sejak awal abad ke-16) dan kemudian oleh Belanda (sejak abad ke-18) dan Jepang (1942-1945), manusia Sunda menjadi manusia yang paling lama dijajah di Indonesia dan mentalnya sudah berubah menjadi mentalitas manusia jajahan, yang selalu ketakutan dan tidak berani mengemukakan pikiran sendiri karena “heurin ku létah” dan sebagai abdi dalem yang setia selalu melihat ka mana miringna bendo. Lebih mengutamakan keselamatan dan kedudukan pribadi daripada memperlihatkan sikap “berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan”.

Menurut Siksa Kandang Karesian orang harus menerima kritik dengan hati terbuka, tetapi kita tahu kritik dianggap tabu dalam masyarakat Sunda bahkan juga sampai sekarang. Orang yang berani mengeritik dianggap henteu Nyunda! Artinya telah terjadi pergeseran dari sikap terbuka terhadap kritik yang terdapat pada masa Siksa Kandang Karesian. Tetapi sejak kapan pergseran itu terjadi, tidak diketahui.

Peneliti agaknya tidak menangkap bahwa nilai-nilai yang dimuat dalam Siksa Kandang Karesian sudah banyak yang tidak diikuti lagi dalam kehidupan nyata orang Sunda sejak beberapa lama - mungkin beberapa abad. Hal yang dapat kita maklumi karena naskah Siksa Kandang Karesian tidak dikenal lagi oleh orang Sunda umumnya sejak beberapa abad.

Juga mengenai pandangan hidup orang Sunda tentang hubungan manusia dengan alam, kita misalnya dapat mempertanyakan tentang kesadaran untuk melestarikan alam yang harus “dirawat dan dipelihara dengan baik dan digunakan secukupnya saja”. Sudah lama kita melihat - lama sebelum pada masa reformasi orang Sunda meranjah hutan Sancang dan hutan lindung lain sehingga di Tatar Sunda sekarang hampir bisa dikatakan tidak ada lagi hutan - para pejabat orang Sunda di Bappeda memperkosa tanah subur dan sungai-sungai dengan menjadikannya sebagai kawasan industri. Suara yang mengingatkan akan bahaya yang bisa ditimbulkannya tidak pernah didengar. Nasihat Siksa Kandang Karesian tentang “makan sekedar tidak lapar, minum sekedar tidak haus, berladang sekedar cukup untuk hidup” sudah lama tidak diperhatikan. Orang Sunda sekarang kebanyakan sudah terpengaruh oleh faham kapitalistis yang serakah dan tidak pernah merasa kenyang dengan apa yang sudah didapat.

Nilai-nilai dalam pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah juga sudah berubah. Mengutamakan mutu hasil kerja misalnya sudah dikalahkan oleh keinginan menghasilkan sebanyak mungkin - dengan konsekuensi mutunya menurun. Nilai tentang hidup sederhana sekarang hanya dilaksanakan karena terpaksa. Dan kalau terpaksa semua orang juga bisa, walaupun hasratnya yang menonjol adalah mencapai kehidupan duniawi yang penuh gemerlapan. Kalau perlu tanpa memperhatikan larangan-larangan yang diturunkan dari leluhurnya. Juga nilai “tidak buru-buru menerima yang baru yang belum tentu baik dan tidak mudah meninggalkan warisan nenek moyang yang berharga” tidak kelihatan lagi. Sekarang semua orang seperti berlomba-lomba menerima bahkan merebut yang baru walaupun belum tahu baik buruknya dan tidak nampak usaha untuk mempertahan kan warisan nenekmoyang yang berharga.

Pertanyaan-pertanyaan itu timbul karena memang kita sebagai orang Sunda, sebagai bangsa Indonesia, sedang mengalami perubahan sosial yang luar biasa. Perubahan yang mengguncangkan dan mencabut nilai-nilai warisan nenekmoyang yang karena perjalanan sejarah tidak dapat disampaikan secara baik dari generasi tua kepada generasi selanjutnya, baik secara lisan maupun secara tulisan. Misalnya nilai-nilai yang dikemukakan dalam Siksa Kandang Karesian, yang pada masanya menjadi pegangan orang banyak selama berabad-abad hanya secara fragmentaris saja disampaikan oleh generasi tua kepada generasi yang berikutnya. Sementara itu telah datang agama, budaya dan nilai-nilai baru dari luar yang merasuk ke dalam masyarakat baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang termasuk golongan elit maupun yang termasuk golongan balaréa, dibawa oleh para saudagar, para penjajah, dan lain-lain. Semuanya itu mempengaruhi nilai-nilai yang dianut oleh orang Sunda dalam hidupnya dari masa ke masa. Sementara pewarisan nilai-nilai asli peninggalan nenekmoyangnya tidak berlangsung secara baik, sehingga orang Sunda sekarang seperti pareumeun obor.

Pabelan, 12 Agustus, 2006.




Disadur :
Oleh : Agus Setia Permana
Dari : Kajian tentang Falsafah Sunda, Oleh Ajip Rosidi - Disampaikan sebagai Makalah Pelatihan Kepemimpinan Putra Sunda yang diadakan oleh Gema Jabar tanggal 21 Agustus 2006.






.

Wasiat Wastu Kencana

Niskala Wastu Kancana dikenal sebagai raja Kawali yang banyak meninggalkan pesan kebajikan. Niskala Wastu Kanca na putra dari Lingga Buana atau Prabu Maharaja. Pada saat peristiwa Bubat ia baru berumur sembilan tahun, sehingga tidak ikut rombongan Sunda ke Majapahit. Pasca gugurnya Prabu Maharaja Kawali dikuasakan kepada Sang Bunisora, pamannya yang terkenal ketaatannya terhadap agama, se-hingga Bunisora oleh penulis Carita Parahyangan diberi gelar Satmata, yakni gelar tingkat bathin kelima manusia dalam ke agamaan, sebagaimana yang dijelaskan didalam naskah Sang hiyang Siksa Kandang Karesiyan.
 
Tingkatan dimaksud, yakni acara; adigama; gurugama; tuha gama; satmata; suraloka; nirawerah. Satmata merupakan tingkat kelima, atau tingkat tertinggi manusia yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat keenam (Suraloka), maka manusia mulai sinis terhadap du- niawi, sedangkan pada tingkat ketujuh (nirawerah) padam lah seluruh hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya dipasrahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. (Yoseph : 2005)
 
Niskala Wastu Kancana banyak dibimbing tentang masalah kenegaraan dan keagamaan, sehingga ia tumbuh menjadi orang bijaksana dan banyak disukai masyarakat. Niskala Was tu Kancana menggantikan posisi Bunisora pada usia yang 23 tahun, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana tunggadewata, dalam naskah yang paling muda disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang.
 
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudah nya diabadikan dalam prasasti yang terletak di Kawali. Pra sasti inilah yang sangat membantu generasi sesudahnya un tuk mengenal keberadaan Sunda di Kawali. Niskala Wastu Kancana juga melekat dihati masyarakat akan kesalehan sosialnya. Masyarakat Sunda mengenal ajaran atau nasehat yang ia berikan, kemudian dikenal dengan sebutan Wangsit (Wasiat) Wastu Kancana, kemudian ia pun dikenal dengan sebutan Prabu Wangisutah.
 
Prabu Niskala Wastu Kancana diceritakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
  • Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
  • Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
  • Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.
  • Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi teng trem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamal keun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan teng trem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya kare welanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
  • Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
  • Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang lingga wesi, puasa, muja taya wates wangenna.
  • Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
  • Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, su gan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nu salarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
 
 
Karya besar yang dipersembahkan untuk generasi sesudah nya diabadikan dalam bentuk prasasti yang terletak di Kawa li. Prasasti ini sangat membantu generasi sesudahnya untuk mengenal keberadaan Sunda di Kawali, serta meninggalkan wasiat, tentang kebajikan yang harus dijalankan, bahkan ada pula yang menyebutkan, bahwa Prasasti Kawali mengandung muatan tentang ajaran Sunda.
 
Isi dari Prasasti I dan II dimaksud, sebagai berikut :
 
PRASASTI I
  • (Jangan dimusnahkan–jangan semena-mena-ia dihor mati ia tetap –ia diinjak baga roboh).

 
 








PRASASTI II
  • Aya ma nu ngeusi kawali bani pakeuna keureuta be- ner pakeun nanjeur na juritna
  • (kepada yang mengisi tempat kawali berani menerap kan kebenaran agar bertahan dalam perjuangannya).
 
PRASASTI KAWALI III
Bati peuree tinggal nu atis-tina rasa aya ma nu ngeusi dayeuh baweu ulah botoh bisi kokoro (berani menahan kotoran tinggalah isi dari rasa, kepa da yang mengisi kehidupan wilayah janganlah berlebi han agar tidak menderita). 
***
 
PRASASTI I, II dan III diatas berisi ajaran yang disampaikan kepada para pengganti Wastu Kancana di Kawali untuk ber buat kebajikan dan kesejahteraan.
 
Ajaran tentang PAKENA GAWE RAHAYU dan PAKENA KRETA BENER, atau ajaran tentang berbuat kebajikan dan kesejahte raan sejati, merupakan inti pokok dari ajaran Urang Sunda Buhun, sebagaimana yang dimuat didalam naskah Amanat Galunggung (Koropak 632) dan Naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan (630). Inti pokok dari ajaran tersebut terdapat didalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesi-yan, Koropok 630 lembar 26 dan 27, sebagai berikut :
 
Teguhkeun, pageuhkeun sahinga ning tuhu, pepet byak ta warta manah, mana kreta na bwana, mana hayu ikang jagat kena twah ning janma kapahayu.
 
Kitu keh, sang pandita pageuh kapanditaanna, kreta; sang wiku pageuh di kawikuanna, kreta; sang ameng pa geuh di kaamenganna, kreta; sang wasi pageuh dikawal kaanna, kreta; sang wong tani pageuh di katanianna, kreta; sang euwah pageuh di kaeuwahanna, kreta; sang gusti pageuh di kagustianna, kreta; sang mantri pageuh di kamantrianna, kreta; sang masang pageuh di kamasa nganna, kreta; sang tarahan pageuh di katarahanna, kre ta; sang disi pageuh di kadisianna, kreta; sang rama pa geuh di karamaanna, kreta; sang prebu pageuh di kapre buanna, kreta.
 
Nguni sang pandita kalawan sang dewarata pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul wetan sa kasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa, pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.
 
Naskah Wastukencana diatas diterjemaahkan, sebagai berikut :
Teguhkeun, kukuhkan batas-batas kebenaran, penuh kan kenyataan niat baik dalam jiwa, maka akan sejah teralah dunia, maka akan sentosalah jagat ini sebab perbuatan manusia yang penuh kebajikan.
 
Demikianlah hendaknya. Bila pendeta teguh dalam tu gasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bola wiku te guh dalam tugasnya sebagai wiku, akan sejakhtera. Bila manguyu teguh dalam tugasnya sebagai akhli gamelan, akan sejakhtera. Bila paliken teguh dalam tugasnya se bagai akhli seni rupa, akan sejahtera. Bila ameng teguh dalam tugasnya sebagai pelayan biara, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhtera. Bila wasi teguh dalam tugasnya seba gai santi, akan sejakhtera. Bila ebon teguh dalam tugasnya sebagai biarawati, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya sebagai pendeta, akan sejakhte ra. Demikian pula bila walka teguh dalam tugasnya sebagai pertapa yang berpakaian kulit kayu, akan sejahte ra. Bila petani teguh dalam tugasnya sebagai petani, akan sejakhtera. Bila pendeta teguh dalam tugasnya se bagai pendeta, akan sejakhtera. Bila euwah teguh da lam tugasnya sebagai penunggu ladang, akan sejahtera. Bila gusti teguh dalam tugasnya sebagai pemilik tanah, akan sejahtera. Bila menteri teguh dalam tugasnya seba gai menteri, akan sejahtera. Bila masang teguh dalam tugasnya sebagai pemasang jerat, akan sejaktera. Bila bujangga teguh dalam tugasnya sebagai ahli pustaka, akan sejahtera. Bila tarahan teguh dalam tugasnya seba gai penambang penyebrangan, akan sejahtera. Bila disi teguh dalam tugasnya sebagai ahli obat dan tukang per amal, akan sejahtera. Bila rama teguh dalam tugasnya sebagai pengasuh rakyat, akan sejakhtera. Bila raja (pra bu) teguh dalam tugasnya sebagai raja, akan sejakhtera.
 
Demikian seharusnya pendeta dan raja harus teguh membina kesejahteraan didunia, maka akan sejahtera lah di utara barat dan timur, diseluruh hamparan bumi dan seluruh naungan langit, sempurnalah kehidupan seluruh umat manusia.
 
Ajaran ini mengandung konsep tentang bagaimana manusia harus memiliki laku yang baik, berpegang teguh pada kebena ran, dan professional dibidang keahliannya, dengan demikian maka akan tercapailah kesejahteraan sejati, yakni kesejah-teraan bathin karena tidak mengingkari kebenaran, dan kese jahteraan lahir karena menjalan tugas dengan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya.
 
Tuntunan ini Lebih maju dari praktek kenegaraan sekarang. Saat ini banyak bukan negarawan mengurusi masalah Negara. Para ahli agama banyak yang terjun jadi politikus, banyak politikus jadi pedagang, banyak kaum pedagang jadi penentu kebijakan Negara. Semuanya menyebabkan kerancuan dan menjauhkan bangsa dari kesejahteraan. Oleh karenanya, ma nusia sesudahnya (nu pandeuri) perlu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya, sesuai dengan bidang dan ke ahliannya, agar heubeul jaya di buana (lama berjaya didunia) dan agar nanjeur na juritan (tetap unggul dalam perang), ba-ik perang lahir maupun bathin. Bila konsep kreta (kesejahte-raan) benar-benar dilaksanakan maka akan tercapai pula ketahanan dalam kehidupan negara.
 
Manusia Indonesia saat ini mengenal juga idiom tentang : “bertanyalah kepada akhlinya”, atau “jika suatu urusan dise rahkan kepada yang bukan akhlinya, maka tunggulah kehan curannya”. Hal yang sama dijelaskan oleh Darma Pitutur, di dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan atau ko ropak 630 lembar ke-15, agar jangan keliru menempatkan orang dalam tugasnya. Naskah tersebut, sebagai berikut :
 
Tadaga carita hangsa –gajendra carita banem-Matya-nem carita sagarem-Puspanem carita bangbarem. (Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa, bi la ingin tahu tentang hutan bertanyalah kepada gajah, bila ingin tahu tentang laut bertanyalah kepada ikan, bila ingin tahu bunga bertanyalah kepada kumbang).
Ajaran diatas juga berhubungan dengan konsep kepemimpin an yang universal, bahkan jauh daripada sifat yang feodalis-tik. Oleh karenanya sangat sesuai dengan dengan sifat seo rang pemimpin yang ideal didalam cara-cara menerima kritik, yakni :
 
Kitu, lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih. Nya ma na kadyangganing galah cedek tinugelan teka. Upamana urang kudil, eta kangken cai pamandyan. Upa mana urang kurit kangken datang nu ngaminyakan. Upamana urang ponyo kangkn datang nu mere kejo. Upamana urang henaang kang ken (datang nu) mawa keun aro teun. Upamana urang handeu eul kangken (datang) nu mere seupaheun. Ya sinangguh pan ca pari suda ngara(n)na. Eta kangken galah cedek tinugelan.
 
Lamun maka suka rasa urang, kangken pare beurat sangga. Boa maka hurip na urang reya. Ya katemu wwit ning suka Ia wan enak. Salang nu ngupat, ala panyara man. Aya twah urang ma eureunan. Hanteu twah urang ma ungang ambu-bapa. Kalingana janma ngara(n)na. Ya sinangguh para-mar/ra/ta wisesa, ya kangken dewa mangjanma ngara(n)na.Nya sangpuma sarira,nya wwit ning hayu, ya puhun ning bener.
 
(Begitulah, kalau ada yang men cela (mengeritik) kepa da kita, terimalah kritik orang lain itu. Yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita se dang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian; ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit, bagaikan da tang orang yang meminyaki; ibarat kita sedang lapar, bagaikan datang yang memberi nasi; ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantar kan minuman; ibarat kita sedang kesal hati, bagaikan da tang orang yang memberi sirih pinang. Itulah yang di sebut panca parisuda (lima pena war); ibarat galah so dok diperpendek.
 
Bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi. pasti se jahteralah orang banyak, karena bertemu dengan sum ber kesenangan dan kenikmatan, (yaitu) tahan celaan dan mengambil (memperhatikan) nasihat orang lain. Bila sedang sibuk tundalah sementara, (lebih-lebih) bi la sedang tidak ada pe kerjaan, untuk menjenguk ibu -bapak. Itulah yang disebut manusia sejati; yang disebut keutamaan tertinggi: ibarat dewa berwujud manusia namanya; berperibadi sempurna. benih kebajikan dan pohon kebenaran).
 
Manusia harus siap dikritik oleh siapa saja. Kritik (pameda) harus diterima sebagaimana obat penawar, seperti diberi air mandi ketika sedang dekil; diberi minyak ketika dekil; diberi nasi ketika lapar; dan ibarat diberi sirih pinang (seupaheun) ketika kesal. Bila kita menerima semuanya, budi kita akan padat berisi “kangken pare beurat angsa” atau seperti padi yang berat merunduk karena berisi.
 
Kedua, mendengar nasehat leluhurnya (para pendahulunya); mentaati agama sebagai pegangan hidup; dan harus kukuh menerima ajaran kebajikan dari para pendahulunya. Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu me negakkan ajaran/agama ; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang/silaturahmi dengan se sama manusia. Itulah manusia yang mulia.
 
Ketiga, dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal/bekerja, yaitu apa yang kita kerjakan. Bu ruk amalnya ya buruk pula tapanya, sedang amalnya ya se dang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya ya sempur na tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil ta panya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.
 
Keempat, jika ajaran ini dilaksanakan maka raja akan tente ram dalam menjalankan tugasnya; keluarga/tokoh masyara kat akan lancar mengumpulkan bahan makanan; para ahli strategi akan unggul perangnya; pertanian akan subur; dan manusia panjang umur. Oleh karenanya RAMA (tokoh masya rakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; RESI (cer dik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; PRABU (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran peme rintahan. Mereka harus mengindarkan diri dari berebut kedu dukan; berebut penghasilan; berebut hadiah.
 
Kelima, suatu keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja. Tiru lah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang di laluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesem purnaan dan keindahan.
 
Demikianlah wasiat Wastu Kancana, semoga dapat ditaati oleh NU PANDEURI agar HEUBEUL JAYA DINA BUANA.(***)

Disarikan oleh : Agus Setia Permana
AMANAT GALUNGGUNG intinya merupakan ajaran atau visi yang harus dimilik setiap ‘Urang Sunda’, terutama dalam cara hirup kumbuhna. Sehingga dapat membentuk diri sebagai pri badi yang positif dan mencerminkan kebahagiaan. Ajaran ber asal dari Prabu Darmasiksa ini, Pertama, perlu diwaspadai kemungkinan direbutnya kemuliaan dan kejayaan bangsa sendiri oleh pihak asing, termasuk menjaga Kabuyutan (ta nah pusaka yang keramat, atau tanah air). Hal ini berhubung-an dengan wajibnya warga negara mempertahan kedaulatan dan tanah airnya. Untuk menjaga agar tidak terjadi perpecah an maka jangan merampas hak orang lain dan melanggar atu ran.
***
 
 
Prasasti selanjutnya baru ditemukan pada tahun 1995 oleh Juru Kunci Astana Gede. Prasasti ini berisi enam baris tulisan yang dipahat dan berbahasa Sunda Kuna. Materi dari Prasas-ti ini berhubungan dengan Prasasti I dan II. Oleh karenanya disebut Prasasti III. Prasasti ini belum banyak dibacarakan, baik oleh para akhli maupun masyarakat tradisional, namun sudah dapat dipasti-kan berisi tentang Wasiat Wastu Kancana yang berhubungan dengan Prasasti sebelumnya.
Hayua diponah-ponah - Hayua dicawuh-cawuh–Bhaga neker baga a(n)ger-Bhaga ni(n)cak baga rempag.
Bagian pinggir/tepian
(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya didunia).
00 nihan tanpa kawali nu siya mulia tanpa bhagya pa rebu raja wastu mangadeg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan Surawisesa nu margi sakuliling dayeuh nu najur sagala desa aya ma nu pa(n) deuri pakena gawe rahhay pakeun heubeul jaya dina buana 00.
Bagian Muka/depan :
PRASASTI I DAN II disebut-sebut sebagai tanda keberadaan Wastu Kancana di Kawali. Selain itu berisi tentang Wasiat Wastu Kancana kepada para penerusnya di Kawali untuk ber buat kesejahteraan (kreta) agar Kawali tetap jaya di Buana. Isi prasasti ini memancarkan ketulusan hati seorang pertapa dinagara yang telah mampu membawa kesejahteraan dan kesentausaan rakyat dan negaranya. Seperti himbauan untuk membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati (pakena kreta bener) adalah sumber kejayaan dan kesentausaan negara.
***
Penulis Carita Parahyangan menyebutkan Wastu Kancana sebagai raja muda yang berpengalaman karena ia sangat men taati Satmata (Bunisora). Sikap dan kepemimpinnya menen tramkan semua lapisan masyarakat, kaum profesional dapat bekerja dan merasa terlindungi; taat beribadah dan menga- malkan ajaran kebajikan; bahkan karena keyakinannya dia melepaskan jabatannya.

MOHON MAAF

Untuk perbaikan dan saran anda dimohon untuk meninggalkan pesan, hasil dan jawabannya dapat dilihat di BLOG SANG RAKEAN. Hatur Nuhun







Rajah Karuhun by Agus 1960